Selasa, 27 Mei 2014

Tafsir Surat An Nas



قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ (1) مَلِكِ النَّاسِ (2) إِلَهِ النَّاسِ (3) مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ (4) الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ (5) مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ (6)
1.  Katakanlah, "Aku berlidung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia. 2.  Raja manusia. 3.  Sembahan manusia. 4.  Dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi, 5.  Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, dari (golongan) jin dan manusia. 6.  Dari (golongan) jin dan manusia."
Pendahuluan :
Menurut pendapat para ulama di bidang tafsir, diantaranya Ibnu Katsir, Asy Syafi’i dan Asy Syaikh Abdurrahman As Sa’dy bahwa surat An-Naas termasuk golongan surat Makkiyah (turun sebelum hijrah).
Surat An Naas merupakan salah satu Al Mu’awwidzataini. Yaitu dua surat yang mengandung permohonan perlindungan, yang satunya adalah surat Al Falaq.
à Kedua surat ini memiliki kedudukan yang tinggi diantara surat-surat yang lainnya. Rasulullah SAW bersabda:
أُنْزِلَ أَوْ أُنْزِلَتْ عَلَيَّ آيَاتٌ لَمْ يُرَ مِثْلُهُنَّ قَطُّ الْمُعَوِّذَتَيْنِ
“Telah diturunkan kepadaku ayat-ayat yang tidak semisal dengannya yaitu Al Mu’awwidataini (surat An Naas dan surat Al Falaq).” (Muslim no. 814, Tirmidzi no. 2827, Nasa’i no. 944)
à Setelah turunnya dua surat ini, Rasulullah SAW mencukupkan keduanya sebagai bacaan (wirid) untuk membentengi diri dari pandangan jelek jin maupun manusia. (Tirmidzi no. 1984, dari shahabat Abu Sa’id ra)
à Namun bila disebut Al Mu’awwidzat, maka yang dimaksud adalah dua surat ini dan surat Al Ikhlash. Al Mu’awwidzat, salah satu bacaan wirid/dzikir yang disunnahkan untuk dibaca sehabis shalat. Shahabat ‘Uqbah bin ‘Amir membawakan hadits dari Rasulullah SAW, bahwa beliau SAW bersabda:
اقْرَأُوا الْمُعَوِّذَاتِ فِيْ دُبُرِ كُلِّ صَلاَةٍ
“Bacalah Al Mu’awwidzat pada setiap sehabis shalat.” (Abu Dawud no. 1523, dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani dalam Ash Shahihah no. 1514)
à Al Mu’awwidzat juga dijadikan wirid/dzikir di waktu pagi dan sore. Nabi saw bersabda: “Barangsiapa yang membacanya sebanyak tiga kali diwaktu pagi dan sore, niscaya Allah subhanahu wata’ala akan mencukupinya dari segala sesuatu”. (Abu Daud no. 4419, Naasaa’i no. 5333, dan Tirmidzi no. 3399)
à Demikian pula disunnahkan membaca Al Mu’awwidztat sebelum tidur. Caranya, membaca ketiga surat ini lalu meniupkan pada kedua telapak tangannya, kemudian diusapkan ke kepala, wajah dan seterusnya ke seluruh anggota badan, sebanyak tiga kali. (Bukhari 4630
à Al Muawwidzat juga bisa dijadikan bacaan ‘ruqyah’ (pengobatan ala islami dengan membaca ayat-ayat Al Qur’an). Dipenghujung kehidupan Rasulullah saw, beliau dalam keadaan sakit. Beliau meruqyah dirinya dengan membaca Al Muawwidzat, ketika sakitnya semakin parah, maka Aisyah yang membacakan ruqyah dengan Al Muawwidzat tersebut. (Al Bukhari no. 4085 dan Muslim no. 2195)
  Hubungan surat An-Naas dengan surat sebelumnya
       Kedua-duanya sama-sama mengajarkan kepada manusia, hanya kepada Allah-lah menyerahkan diri dari segala kejahatan
       Surat Al-Falaq memerintahkan untuk memohon perlindungan dari segala bentuk kejahatan, sedang surat An-Naas memerintahkan untuk memohon perlindungan dari jin dan manusia.
Tafsir ayat :
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ
“Katakanlah (Wahai Muhammad): “Aku berlindung kepada Rabb manusia.”
مَلِكِ النَّاسِ
“Raja manusia.”
إِلَهِ النَّاسِ
“Sembahan manusia.”
Tiga ayat diatas merupakan sebuah tarbiyah ilahiyah, Allah memerintahkan kepada Nabi-Nya untuk memohon perlindungan hanya kepada-Nya. Karena Dia adalah:
*  Rabb (yaitu sebagai pencipta, pengatur, dan pemberi rizki),
*  Al Malik (pemilik dari segala sesuatu yang ada di alam ini),
*  Al Ilah (satu-satunya Dzat yang berhak diibadahi).
à Dengan ketiga sifat Allah SWT ini,  Nabi Muhammad diperintah untuk memohon perlindungan hanya kepada-Nya, dari kejelekan was-was yang dihembuskan syaithan dan dari kejahatan karena kedengkian jin dan manuisa.
à Sebuah pendidikan Rabbani, bahwa semua yang makhluk Allah SWT adalah hamba yang lemah, butuh akan pertolongan-Nya SWT. Termasuk Nabi Muhammad SAW beliau adalah manusia biasa yang butuh akan pertolongan-Nya. Sehingga beliau adalah hamba yang tidak boleh disembah, bukan tempat untuk meminta pertolongan dan perlindungan, dan bukan tempat bergantung.
مِن شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ
“Dari kejahatan (bisikan) syaithan yang biasa bersembunyi.”
à Makna Al was-was adalah bisikan yang betul-betul tersembunyi dan samar, à Sementara makna al khannas adalah mundur.
Bagaimana maksud dari ayat ini?
à Maksudnya, bahwasanya syaithan selalu menghembuskan bisikan-bisikan yang menyesatkan manusia disaat manusia lalai dari berdzikir kepada Allah SWT. Sebagaimana firman-Nya (artinya):
“Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Rabb yang Maha Pemurah (Al Qur’an), Kami adakan baginya syaitan (yang menyesatkan). Maka syaitan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya.” (Az Zukhruf: 36)
Adapun ketika seorang hamba berdzikir kepada Allah subhanahu wata’ala, maka syaithan bersifat khannas yaitu ‘mundur’ dari perbuatan menyesatkan manusia. Sebagaimana dalam firman-Nya (artinya):
“Sesungguhnya syaitan itu tidak mempunyai kekuasaan atas orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Rabb-nya.” (An Nahl: 99)
Al Imam Ibnu Katsir di dalam kitab tafsirnya ketika membawakan penafsiran dari Sa’id bin Jubair dan Ibnu ‘Abbas, yaitu: “Syaithan bercokol di dalam hati manusia, apabila dia lalai atau lupa maka syaithan menghembuskan was-was padanya, dan ketika dia mengingat Allah subhanahu wata’ala maka syaithan lari darinya.
الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ
“Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia.”
Inilah misi syaithan yang selalu berupaya menghembuskan was-was kepada manusia;
*  Menghiasi kebatilan sedemikian indah dan menarik.
*  Mengemas kebenaran dengan kemasan yang buruk.
Sehingga seakan-akan yang batil itu tampak benar dan yang benar itu tampak batil.
Cobalah perhatikan, bagaimana rayuan manis syaithan yang dihembuskan kepada Nabi Adam dan istrinya. Allah SWT kisahkan dalam firman-Nya :
“Maka syaitan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka yaitu auratnya, dan syaitan berkata: “Rabb-mu tidak melarangmu untuk mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang-orang yang kekal (dalam al jannah/surga)”. (Al A’raf: 20)
Demikian pula, kisah ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sedang beri’tikaf. Shafiyyah bintu Huyay (salah seorang istri beliau saw) mengunjunginya di malam hari. Setelah berbincang beberapa saat, maka Rasulullah saw mengantarkannya pulang ke kediamannya. Namun perjalanan keduanya dilihat oleh dua orang Al Anshar. Kemudian syaithan menghembuskan ke dalam hati keduanya perasaan was-was (curiga). Rasulullah saw melihat gelagat yang kurang baik dari keduanya. Oleh karena itu Rasulullah saw segera mengejarnya, seraya bersabda:
عَلَى رِسْلِكُمَا, إِنَّهَا صَفِيَّةُ بِنْتُ حُيَيّ فَقَالاَ: سُبْحَانَ الله يَارَسُولَ الله. فَقَالَ: إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنِ ابْنِ آدَمَ مَجْرَى الدَّم, وَإِنِّي خَشِيْتُ أَنْ يُقْذَفَ فِي قُلُوبِكُمَاشَيْئاً, أَوْشَرًّا.
“Tenanglah kalian berdua, dia adalah Shafiyyah bintu Huyay. Mereka berdua berkata: “Maha Suci Allah wahai Rasulullah. Maka Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya syaithan mengalir di tubuh bani Adam sesuai dengan aliran darah, dan aku khawatir dihembuskan kepada kalian sesuatu atau keburukan.” (H.R Muslim no. 2175)
Demikianlah watak syaithan selalu menghembuskan bisikan-bisikan jahat ke dalam hati manusia. Apalagi Allah subhanahu wata’ala dengan segala hikmah-Nya telah menciptakan ‘pendamping’ (dari kalangan jin) bagi setiap manusia, bahkan Rasulullah saw juga ada pendampingnya. Sebagimana sabdanya shalallahu ‘alaihi wasallam:
مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلاّ َقَدْ وُكِّلَ بِهِ قَرِيْنُهُ مِنَ الجِنِّ، قَالُوا: وَإِيَّاكَ يَارَسُولَ الله ؟ قَالَ: وَإِيَّايَ، إِلاَّ أَنَّ الله أَعَانَنِي عَلَيْهِ فَأَسْلَمَ، فَلاَ يَأْمُرُنِي إِلاَّبِخَيْرٍ.
“Tidaklah salah seorang dari kalian kecuali diberikan seorang pendamping dari kalangan jin, maka para shahabat berkata: Apakah termasuk engkau wahai Rasulullah? Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab: Ya, hanya saja Allah telah menolongku darinya, karena ia telah masuk Islam, maka dia tidaklah memerintahkan kepadaku kecuali kebaikan”. (Muslim no. 2814)
مِنَ الْجِنَّةِ وَ النَّاسِ
“Dari (golongan) jin dan manusia.”
Dari ayat ini tampak jelas bahwa yang melakukan bisikan ke dalam dada manusia tidak hanya dari golongan jin, bahkan manusia pun bisa berperan sebagai syaithan. Hal ini juga dipertegas dalam ayat lain:
“Dan Demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia)” (Al An’am: 112)
Maka salah satu jalan keluar dari bisikan dan godaan syaithan baik dari kalangan jin dan manusia adalah sebagaimana firman Allah SWT: “Dan jika syaithan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah.” (Fushshilat: 36)
Penutup :
à Melalui surat ini jelas bagi kita bahwa memohon pertolongan dan perlindungan hanya kepada Allah subhanahu wata’ala semata.
à  Mengakui bahwa sesungguhnya seluruh makhluk berada di bawah pengaturan dan kekuasaan-Nya subhanahu wata’ala.
à  Bahwa semua kejadian ini terjadi atas kehendak-Nya SWT.
à  Dan tiada yang bisa memberikan pertolongan dan menolak mudharat kecuali atas kehendak-Nya subhanahu wata’ala pula.
Semoga Allah SWT menjadikan kita sebagai hamba-hamba-Nya yang senantiasa meminta pertolongan, perlindungan dan mengikhlaskan seluruh peribadahan hanya kepada-Nya.
Tafsir Fi Dzilalil
الإِسْتِعَاذَةُ فِي هَذِهِ السُوْرَةِ بِرَبِّ النَّاسِ ، مَلِكِ النَّاسِ ، إِلَهِ النَّاسِ . وَالْمُسْتَعَاذُ مِنْهُ هُوَ : شَرُّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ ، الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُوْرِ النَّاسِ ، مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ .
Memohon perlindungan yang disebutkan pada surat ini adalah kepada Tuhan manusia, raja manusia dan sembahan manusia. Yang dimintakan perlindungan darinya adalah  Jahatnya bisikan yang bersumber dalam dada manusia; baik dari jin atau manuisa
وَالاِسْتِعَاذَةُ بِالرَّبِّ ، الْمَلِكِ ، الإِلَهُ ، تَسْتَحْضِرُ مِنْ صِفَاتِ اللهِ سُبْحَانَهُ مَا بِهِ يَدْفَعُ الشَّرَّ عَامَةً ، وَشَرَّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ خَاصَةً.
Memohon perlindungan kepada Tuhan, Raja dan Ilah akan menghadirkan sifat-sifat Allah yang dapat menolak segala kejahatan secara umum dan kejahatan bisikan secara khusus.
فَالرَّبُّ هُوَ الْمُرَبِّي وَالْمُوَجِّهُ وَالرَّاعِي وَالْحَامِي . وَالْمَلِكُ هُوَ الْمَالِكُ الْحَاكِمُ الْمُتَصَرِّفُ . وَالإِلَهُ هُوَ الْمُسْتَعْلِي الْمُسْتَوْلِي الْمُتَسَلِّطُ . . وَهَذِهِ الصِّفَاتُ فِيْهَا حِمَايَةٌ مِنَ الشَّرِّ الَّذِي يَتَدَسَّسُ إِلَى الصُّدُوْرِ . . وَهِيَ لاَ تَعْرِفُ كَيْفَ تَدْفَعُهُ لأَنَّهُ مَسْتُوْرٌ .
Ar-Rabb adalah murabbi (yang membimbing, mengarahkan, memelihara dan melindungi.
Al-Malik adalah yang memiliki, yang menentukan dan mengatur.
Al-Ilah adalah yang Maha tinggi, berkuasa dan menekan.
Sifat-sifat ini dapat memberikan perlindungan dari segala kejahatan yang berasal dari dada (hati), yang kebanyakan manusia tidak mampu melakukannya karena tersembunyi
وَاللهُ رَبُّ كُلِّ شَيْءٍ ، وَمَلِكُ كُلِّ شَيْءٍ ، وَإِلَهُ كُلِّ شَيْءٍ . وَلَكِنْ تَخْصِيْصُ ذِكْرِ النَّاسِ هُنَا يَجْعَلُهُمْ يَحُسُّوْنَ بِالْقُرْبَى فِي مَوْقِفِ الْعِيَاذِ وَالاِحْتِمَاءِ .
Allah adalah Pengatur dan penata dari segala sesuatu, pemilik dari segala sesuatu dan Ilah (Tuhan) yang berhak disembah dari segala sesuatu. Namun dikhususkan penyebutan beriring dengan sebutan manusia membuat mereka merasakan kedekatan terutama pada saat memohon perlindungan dan penjagaan.
وَاللهُ بِرَحْمَةٍ مِنْهُ يُوَجِّهُ رَسُوْلَهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأُمَّتَهُ إِلَى الْعِيَاذِ بِهِ وَالاِلْتِجَاءِ إِلَيْهِ ، مَعَ اسْتِحْضَارِ مَعَانِي صِفَاتِهِ هَذِهِ ، مِنْ شَرٍّ خَفِيِّ الدَّبِيْبِ ، لاَ قِبَلَ لَهُمْ بِدَفْعِهِ إِلاَّ بِعَوْنٍ مِنَ الرَّبِّ الْمَلِكِ الإِلَهِ . فَهُوَ يَأْخُذُهُمْ مِنْ حَيْثُ لاَ يَشْعُرُوْنَ ، وَيَأْتِيْهِمْ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبُوْنَ ..
Allah dengan rahmat-Nya memberikan pengarahan kepada Rasulullah saw dan umat untuk senantiasa berlindung dan bersimpuh kepada-Nya, diiringi dengan menghadirkan makna dari sifat-sifat-Nya dari berbagai bisikan yang tersembunyi yang tidak memiliki kekuatan untuk menghadapinya kecuali dengan pertolongan Allah; Rabb, al-Malik dan al-Ilah. Karena bisikan tersebut hadir dari arah yang tidak dapat mereka rasakan, datang dari arah yang tidak mereka duga.
وَقَدْ أَطْلَقَ النَّصُّ الصِّفَةَ أَوَّلاً : { الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ } . . وَحَدَّدَ عَمَلَهُ : { الَّذِيْ يُوَسْوِسُ فِي صُدُوْرِ النَّاسِ } . ثُمَّ حَدَّدَ مَاهِيَتُهُ : { مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ } . . وَهَذَا التَّرْتِيْبُ يُثِيْرُ فِي الْحِسِّ الْيَقِظَةُ وَالتَّلَفُّتُ وَالاِنْتِبَاهُ لِتُبَيِّنَ حَقِيْقَةَ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ ، بَعْدَ إِطْلاَقِ صِفَتِهِ فِي أَوَّلِ الْكَلاَمِ؛ وَلإِدْرَاكِ طَرِيْقَةَ فِعْلِهِ الَّتِي يَتَحَقَّقُ بِهَا شَرَّهُ ، تَأَهُّبًا لِدَفْعِهِ أَوْ مُرَاقَبَتِهِ!
Dalam nash disebutkan sifat pertama: “Al-Was was al-khannas” (bisikan orang yang kembali), dan menetapkan pekerjaannya “yang membisikkan di dada manusia” kemudian ditetapkan pula substansinya “dari jin dan manusia”. 
Urutan ini membangkitkan perasaan sadar, hati-hati dan perhatian untuk menjelaskan bisikan al-khannas, setelah menyebutkan secara global karakternya pada awal pembicaraan; ini untuk memberikan pemahaman akan pebuatan yang mengarah pada kejahatan dan memberikan arahan untuk menolak atau memantaunya!
وَوَسْوَسَةُ الْجِنَّةُ نَحْنُ لاَ نَدْرِي كَيْفَ تَتِمُّ ، وَلَكِنَّا نَجِدُ آثَارَهَا فِي وَاقِعِ النُّفُوْسِ وَوَاقِعُ الْحَيَاةِ . وَنَعْرِفُ أَنَّ الْمَعْرَكَةَ بَيْنَ آدَمَ وَإِبْلِيْسُ قَدِيْمَةٌ قَدِيْمَةٌ؛ وَأَنَّ الشَّيْطَانَ قَدْ أَعْلَنَهَا حَرْباً تَنْبَثِقُ مِنْ خَلِيْقَةِ الشَّرِّ فِيْهِ ، وَمِنْ كِبْرِيَائِهِ وَحَسَدِهِ وَحَقْدِهِ عَلَى الإِنْسَانِ! وَأَنَّهُ قَدْ اسْتَصْدَرَ بِهَا مِنَ اللهِ إِذْناً ، فَأَذَنَ فِيْهَا سُبْحَانَهُ لِحِكْمَةٍ يَرَاهَا! وَلَمْ يَتْرُكِ الإِنْسَانَ فِيْهَا مُجَرَّداً مِنَ الْعُدَّةِ . فَقَدْ جَعَلَ لَهُ مِنَ الإِيْمَانِ جُنَّةً ، وَجَعَلَ لَهُ مِنَ الذِّكْرِ عُدَّةً ، وَجَعَلَ لَهُ مِنَ الاِسْتِعَاذَةِ سِلاَحاً . . فَإِذَا أَغْفَلَ الإِنْسَانُ جُنَّتَهُ وَعُدَّتَهُ وَسِلاَحَهُ فَهُوَ إِذَنْ وَحْدَهُ الْمَلُوْمُ!
Adapun bisikan jin kita tidak mengetahui bagaimana caranya, namun kita mendapatkannya melalui dampak yang terjadi di dalam tubuh setiap jiwa dan realita kehidupan. Sebagaimana kita fahami bahwa perang antara Adam dan Iblis adalah laten; dan syetan telah mengumandangkan perang yang bersumber dari akhlak yang jahat di dalamnya, oleh karena kesombongannya, kedengkitannya, kebenciannya terhadap manusia! Dan syaitan telah meminta izin kepada Allah dan Allah mengizinkan untuk melihat adanya hikmah dibalik semua itu! Sementara manusia tidak dibiarkan begitu saja, namun diberikan kepadanya benteng dan menjadikan zikir sebagai tameng dan menjadikan istiadzah sebagai senjata… karena itu jika manusia lalu; bentengnya, perangkatnya dan senjatanya  maka pada hakikatnya dia sendiri yang  tercela!
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : قال رسولُ الله صلى الله عليه وسلم : «الشَّيطانُ جَاثِمٌ على قَلْبِ ابنِ آدَمَ ، فإذا ذكرَ اللّه خَنَسَ وإذا غَفَلَ وَسْوَسَ»
Dari ibnu Abbas RA berkata: Nabi saw bersabda: “Syaitan selalu berada di hati anak cucu Adam, jika ia berdzikir kepada Allah maka ia akan menjauh namun jika lengah maka ia akan membisiki” (Jami’ Al-Ushul)
وأما الناس فنحن نعرف عن وسوستهم الشيء الكثير . ونعرف منها ما هو أشد من وسوسة الشياطين!
رفيق السوء الذي يتدسس بالشر إلى قلب رفيقه وعقله من حيث لا يحتسب ومن حيث لا يحترس ، لأنه الرفيق المأمون!
وحاشية الشر التي توسوس لكل ذي سلطان حتى تتركه طاغية جباراً مفسداً في الأرض ، مهلكاً للحرث والنسل!
والنمام الواشي الذي يزين الكلام ويزحلقه ، حتى يبدو كأنه الحق الصراح الذي لا مرية فيه .
وبائع الشهوات الذي يتدسس من منافذ الغريزة في إغراء لا تدفعه إلا يقظة القلب وعون الله .
وعشرات من الموسوسين الخناسين الذين ينصبون الأحابيل ويخفونها ، ويدخلون بها من منافذ القلوب الخفية التي يعرفونها أو يتحسسونها . . وهم شر من الجنة وأخفى منهم دبيباً!
Adapun manusia kita banyak tahu akan bisikan mereka. Dan kita tahu bahwa ia lebih berbahaya dari bisikan syaitan!
-          Teman yang jahat yang selalu membisikkan kejahatan ke dalam hati dan akal teman lainnya dari arah yang tidak disangka dan tidak dijaga, karena ia mengira adalah sahabat karibnya!
-          Bawahan –pejabat- yang jahat selalu membisikkan kepada pemimpinnya sehingga ia akan melakukan segala kejahatan dan kediktatoran serta kerusakan di muka bumi, menghancurkan dan membinasakan tanaman dan keturunan
-          Para pengadu domba (pengumpat) yang senantiasa menghiasi dan membuat elok ucapannya, sehingga tampak seakan sebagai kebenaran yang tidak ada keraguan di dalamnya.
-          Para penjual syahwat yang selalu membisikkan melalui pintu-pintu syahwat, mempedaya yang tidak mampu ditolak kecuali bagi siapa yang memiliki hati dan jiwa yang waspada dan pertolongan Allah.
Dan para pembisik lainnya yang senantiasa bergentayangan dan menyembunyikannya, masuk dari berbagai pintu hati yang tersebut yang tidak disadari dan dirasa,.. Mereka adalah lebih jahat dari jin dan lebih tersembunyi dari derap semut hitam!
والإنسان عاجز عن دفع الوسوسة الخفية . ومن ثم يدله الله على عدته وجنته وسلاحه في المعركة الرهيبة!
وهناك لفتة ذات مغزى في وصف الوسواس بأنه { الخناس } . . فهذه الصفة تدل من جهة على تخفيه واختبائه حتى يجد الفرصة سانحة فيدب ويوسوس . ولكنها من جهة أخرى توحي بضعفه أمام من يستيقظ لمكره ، ويحمي مداخل صدره . فهو سواء كان من الجنة أم كان من الناس إذا ووجْه خنس ، وعاد من حيث أتى ، وقبع واختفى . أو كما قال الرسول الكريم في تمثيله المصور الدقيق : « فإذا ذكر الله تعالى خنس ، وإذا غفل وسوس » .
وهذه اللفتة تقوي القلب على مواجهة الوسواس . فهو خناس . ضعيف أمام عدة المؤمن في المعركة .
Bahwa  manusia memang lemah dari menolak bisikan yang tersembunyi. Karena itulah Allah memberikan petunjuk dengan perangkat, benteng dan senjata dalam perang yang sangat mengerikan!
Ada pelajaran yang sangat penting dalam mensifati kata-kata “Al-waswas” yaitu dengan Al-Khannas… bahwa sifat ini –dari satu sisi- menunjukkan tersembunyi dan samar sehingga mendapatkan kesempatan yang baik untuk membisikkan dan merayu. Namun –dari sisi lain- mengisyaratkan kelemahannya dihadapan orang-orang yang  sadar akan tipu daya dan selalu melindungi pintu-pintu masuk yang ada di dadanya. Baik yang berasal dari jin atau dari manusia, jika mampu dihadapai akan lambat dan kembali lagi sebagaimana semula, lalu menutup dan bersembenyi. Atau seperti yang disabdakan oleh nabi saw: “jika ia berdzikir kepada Allah maka ia akan menjauh namun jika lengah maka ia akan membisiki”
Dari pelajaran ini akan memperkuat hati dalam menghadapi berbagai bisikan, karena ia adalah lambat, lemah dihadapan orang yang beriman dan sadar terhadap perang ini.

BERPARTISIPASI DALAM AMAL JAMAI



Pada awalnya, Allah Ta’ala menciptakan seorang manusia di muka bumi ini, yaitu Adam AS. Setelah Iblis diusir Allah Ta’ala dari surga karena kesombongannya, tinggallah Nabi Adam AS sendirian di surga.
Dia berjalan-jalan sendirian di surga dalam kesepian. Saat dia tertidur, kemudian bangun, terlihat seorang wanita tengah duduk di dekat kepalanya. Adam kemudian Menyapa:”Siapakah anda?” Jawab wanita tersebut:”Wanita”. Adam bertanya kembali:”Untuk apa anda diciptakan?” Jawab wanita tersebut:”Supaya anda jinak kepadaku”.Lalu, para Malaikat mendatangi Nabi Adam AS untuk mengetahui
sejauh mana ilmunya. Mereka bertanya:”Siapakah namanya, Adam?” Jawab Adam:”Hawwa!” Malaikat bertanya:”Mengapa namanya Hawwa?”
Jawab Adam:”Karena dia dijadikan dari benda hidup” (Tafsir Ibnu Katsir).
Itulah interaksi sosial pertama yang terjadi antara dua manusia.Interaksi sosial merupakan fithrah basyariyah (naluri manusia) yang menjadikan hidup menjadi indah dan lebih bermakna.
Keadaan Nabi Adam AS sebelum kedatangan Hawwa digambarkan dalam Tafsir Ibnu Katsir “berjalan-jalan sendirian dan kesepian”.Setelah itu, lahirlah keturunan dari Adam dan Hawwa, baik keturunan laki-laki atau perempuan, sehingga jumlahnya menjadi milyaran ummat manusia seperti sekarang ini. Allah Ta’ala berfirman:
1.  Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya[maksud dari padanya menurut Jumhur Mufassirin ialah dari bagian tubuh (tulang rusuk) Adam a.s. berdasarkan hadis riwayat Bukhari dan muslim. di samping itu ada pula yang menafsirkan dari padanya ialah dari unsur yang serupa yakni tanah yang dari padanya Adam a.s. diciptakan] Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain[menurut kebiasaan orang Arab, apabila mereka menanyakan sesuatu atau memintanya kepada orang lain mereka mengucapkan nama Allah seperti :As aluka billah artinya saya bertanya atau meminta kepadamu dengan nama Allah.], dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu. (an-Nisa : 1)

Firman-Nya yang lain:

13.  Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.(al-Hujurat:13)

Dengan semakin berkembang biaknya laki-laki dan wanita dalam jumlah yang banyak, menjadi bersuku-suku dan berbangsa-bangsa; maka mau tidak mau, suka tidak suka, manusia akan berinteraksi dengan manusia lainnya. Baik dalam lingkungan yang padat, atau dalam ligkungan yang jarang penduduknya.Keharusan berinteraksi inilah yang menjadikan manusia sebagai makhluq sosial seperti kakeknya terdahulu, Nabi Adam dengan Ibu Hawwa. Allah Ta’ala berfirman:”… Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah)hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”(An Nisaa’ [4]: 1).Dalam firman-Nya yang lain:”… menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal …” (AlHujuraat [49]: 13).
Demikianlah, Allah Ta’ala telah menjelaskan kepada kita rahasia penciptaan manusia yang beragam kulit, bahasa, tradisi dan alamnya. Semuanya tidak dalam rangka manusia saling bermusuhan dan menumpahkan darah.Tetapi untuk saling mengenal, saling membutuhkan dan saling mengunjungi.Rasulullah SAW sendiri tidak pernah berupaya merubah nama suku shahabatnya;seperti suku Auz dengan Kazraj, meskipun kedua suku tersebut pernah terlibat peperangan yang lama. Rasulullah SAW tidak merubah kedua nama suku itu, yang dihilangkan bukan namanya, tetapi sikap permusuhan di antara keduanya dan diganti dengan sikap persaudaraan. Demikian pula antara shahabat Muhajirin dan Anshar serta shahabat lainnya. Dan dengan begitu, kehidupan menjadi indah dan menggairahkan.

ISLAM TIDAK ANTI SOSIAL
Rasulullah SAW mengajak ummatnya untuk bergaul dengan masyarakatnya dan bershabar terhadap berbagai macam perilaku mereka. Sabdanya:”Seorang Mu’min yang berinteraksi dengan masyarakat dan bershabar terhadap segala macam cobaan dari mereka lebih agung pahalanya daripada seorang Mu’min yang tidak berinteraksi dan tidak bershabar terhadap cobaan manusia” (HR. Muslim).
Kata “lebih agung pahalanya” merupakan dorongan Rasulullah SAW kepada ummatnya untuk bergaul atau berinteraksi dengan manusia lainnya. Sedangkan hijrah untuk meninggalkan manusia ramai kemudian menyendiri dalam kehidupan merupakan perkara yang tidak diajarkan dalam Islam, karena Rasulullah SAW telah bersabda:”Tidak ada lagi hijrah setelah penaklukan kota Makkah” (Riyadhush Shalihin). Sebagai gantinya, Islam mengajarkan ummatnya untuk melakukan hijrah ma’nawi atau isolasi mental.Rasulullah SAW bersabda:”Muhajir (orang yang hijrah) adalah mereka yang meninggalkan segala sesuatu yang dilarang oleh Allah Ta’ala” (HR. Muslim).Dari sabda Rasulullah SAW ini, dapat kita fahami bahwa yang dimaksud hijrah adalah meninggalkan segala sesuatu yang dilarang Allah Ta’ala,tanpa harus berpindah secara fisik. Inilah yang dimaksud dengan hijrah ma’nawiyah atau isolasi mental. Secara fisik bergaul dengan masyarakat ramai, tetapi secara mental meninggalkan kemaksiatan yang mereka lakukan.
Tentu saja, yang dimaknai bergaul dengan masyarakat bukan berarti bergaul secara akrab dengan para pelaku maksiat; sampai memberikan solidaritas dan loyalitas kepada mereka.
Karena Rasulullah SAW memberikan peringatan:”Seseorang itu bersama agama temannya. Maka hendaklah seseorang memperhatikan dengan siapa dia berteman” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).Berarti yang dimaknai bergaul adalah berinteraksi dalam perkara-perkara mu’amalah seperti jual-beli, bertetangga, berteman,berorganisasi atau yang lain; sembari berda’wah untuk mengarahkan mereka terbiasa dengan akhlaq-akhlaq Islami.
Beberapa orang Muslim yang ingin menyendiri dalam kehidupan dan
tidak mau bergaul dengan masyarakat ramai mempunyai alasan yang kurang tepat.Beberapa sikap dan pemikiran yang kurang tepat adalah:
1. Belum berda’wah tetapi sudah memvonis
Islam tidak mangajarkan kepada ummatnya untuk menjadi tukang vonis, tetapi Islam mengajak ummatnya untuk menjadi seorang da’i. Allah Ta’ala berfirman:
21.   Maka berilah peringatan, Karena Sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan22.  Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka, (al-Ghaasyiyah:21-21)
 
Seringkali kita memvonis masyarakat dengan vonis yangmenyakitkan, seperti: sesat, kafir, murtad, ahli neraka dan lain-lain. Sementara kita sama sekali belum berd’awah kepada mereka dengan cara-cara yang diajarkan Rasulullah SAW. Sikap seperti ini meneybabkan terjadi rentangan jarak yang jauh antara kita dengan masyarakat. Atau, menyebabkan kita lebih suka menyendiri daripada bergaul untuk berda’wah.Tentu saja sikap seperti ini tidak tepat, karena berda’wah itu adalah langkah pertama yang harus dilakukan dalam berhubungan dengan manusia.Dan dengan da’wah pulalah kita bergaul dengan masyarakat ramai. Sedangkan sikap suka menjatuhkan vonis kepada msyarakat bukanlah ajaran Islam, karena Rasulullah SAW bersabda:”Saya tidak diutus untuk menjadi tukang cela, tetapi untuk menjadi pemberi rahmat” (Tafsir Ibnu Katsir).

2. Semua jama’ah dan organisasi Islam sesat dan firqah
Allah Ta’ala berfirman:
32.  Yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.
Rasulullah SAW bersabda:”Ummatku terpecah menjadi tujuhpuluhtiga firqah, tujuhpuluh dua masuk nerakadan satu yang masuk surga; itulah jama’ah” (HR. Ahmad).
Dalil-dalil di atas atau yang serupa dengannya, seringkali disikapi keliru oleh beberapa gelintir Kaum Muslimin. Sikap yang keliru tersebut adalah:
a. Menganggap seluruh jama’ah Kaum Muslimin adalah sesat dan firqah
b. Menganggap hanya jama’ahnya yang memenuhi kriteria di atas,sehingga hanya jama’ahnya yang berhak masuk surga. Sedangkan jama’ah lain akan masuk neraka.
Kedua sikap ekstrem tersebut tentu saja sikap yang tidak tepat.Karena ayat beserta hadits di atas, atau yang sejenis dengannya, hanya menunjukkan sifat-sifat golongan yang benar atau kelompok yang sesat.Dalil-dalil seperti itu sama sekali tidak menunjukkan suatu nama tertentu.Sehingga setiap kelompok, golongan atau jama’ah yang memenuhi sifat-sifat kebenaran seperti itu masuk dalam golongan yang selamat; apapun namanya.Demikian pula sebaliknya, jika ada kelompok, golongan atau jama’ah yang memenuhi sifat-sifat kesesatan, maka dia akan masuk dalam golongan yang celaka; apapunnamanya.
Sehingga, tidak ada organisasi yang benar sendiri tidak pula seluruh organisasi sesat. Kita lihat dulu sifat-sifat organisasi tersebut secara obyektif. Sudut pandang inilah yang Islami dan menghindarkan diri kita dari keengganan untuk bergaul dengan masyarakat ramai yang mengikuti berbagai macam organisasi.

3. Berinteraksi dengan pelaku maksiat dilarang dalam Islam
Rasulullah SAW pernah bersabda:”Seseorang itu bersama agama temannya. Maka perhatikanlah dengan siapa seseorang itu berteman” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi). Dengan sabda Rasulullah Saw ini ada beberapa Kaum Muslimin yang beranggapan  bahwa berinteraksi dengan pelaku maksiat itu dilarang.
Tentu saja pemahaman ini tidak seratus persen benar dan juga tidak seratus persen salah. Yang diingatkan Rasulullah SAW adalah pertemanan bukan interaksi. Yang diamksud dengan pertemanan adalah tempat seseorang meletakkan rasa solidaritas, menumpahkan perasaan dan tempat memberikan loyalitas. Pertemanan seperti inilah yang harus dijaga tetap dengan orang-orang yang shalih, bukan dengan para pelaku maksiat.Sedangkan interaksi itu dapat bermakna sangat luas. Karena da’wah itu sendiri adalah sebuah bentuk interaksi terus-menerus antara seorang juru da’wah dengan obyek da’wahnya. Di antara obyek da’wah adalah para pelaku maksiat.Tentu saja, interaksi da’wah dengan para pelaku maksiat bukan dalam rangka pertemanan, yaitu bukan dalam rangka memberikan rasa solidaritas, menumpahkan perasaan serta tempet memberikan loyalitas. Tetapi dalam rangka mengarahkan,meluruskan serta mengurangi intensitas kemaksiatannya.Seseorang yang menganggap interaksi dengan pelaku maksiat dilarang menyebabkan dia mengambil sikap menyendiri dan menyepi serta mengindarkan diri dari bergaul dengan sesama manusia.Sikap inilah yang tidak tepat.

4. Sekarang ini adalah masa kerusakan
Rasulullah SAW bersabda:”Akan datang suatu masa yang menimpa manusia; tidak ada Islam kecuali tinggal namanya saja, tidak ada Al Qur’an kecuali tinggal tulisannya saja, masjid-masjid mewah tetapi kosong dari petunjuk serta ulama’nya adalah orang yang paling jahat yang berada di bawah langit…” (HR. Al Baihaqi).
Hadits di atas serta hadits-hadits yang sejenis dijadikan sebagai alasan oleh beberapa Kaum Muslimin untuk menggambarkan kondisi zaman sekarang ini. Sebagian berpendapat sangat ekstrem , yaitu sekarang adalah zaman paling rusak dan sudah tidak mungkin lagi untuk diperbaiki kembali. Sehingga mereka memilih mundur dan menyepi dari keramaian manusia; dengan anggapan supaya selamat dunia akhirat.Anggapan seperti ini tentu saja tidak dapat dikatakan benar seratus persen. Karena masih banyak hadits lain yang menunjukkan bahwa akhir zaman ditandai dengan kehadiran Dajjal, Nabi Isa, Imam Mahdi, Ya’juj dan Ma’juj dan lain-lain. Semuanya itu belum terjadi. Belum lagi Rasulullah SAW pernah bersabda:”… Kemudian akan datang lagi masa kekhilafahan yang ditegakkan atas dasar-dasar kenabian ketika Allah berkehendak untuk mendatangkannya …” (HR.Ahmad). Dan masa kekhilafahan kedua ini juga belum terwujud. Bagaimana bisa bahwa zaman sekarang ini adalah rusak-rusaknya zaman, sementara ciri-ciri akhirzaman belum terwujud?
Anggapan yang keliru seperti ini menyebabkan manusia mengambil sikap yang tidak tepat pula; di antaranya adalah dengan mengasingkan diri darimasyarakat ramai dan hanya asyik dengan dirinya-sendiri.


SIKAP DIRI
Sebenarnya, ada potensi dasar pada diri seseorang yang menyebabkan masyarakat mudah menerima kehadirannya. Beberapa karakteristik dasar tersebut antara lain:
Penduduk asli lebih diterima daripada pendatang
Orang tua lebih diterima daripada anak muda
Keturunan tokoh lebih diterima daripada keturunan orangbiasa
Orang kaya lebih diterima daripada orang miskin
Orang yang suka memberi lebih diterima daripada orang yang pelit
Orang yang suka menolong lebih diterima daripada orang yang berat untuk menolong
Orang yang pandai bergaul lebih diterima daripada tidak suka bergaul
Potensi dasar ini harus senantiasa diupayakan supaya da’wah kepada masyarakat mengalami percepatan yang signifikan.
Proses percepatan dapat melalui pernikahan, pelatihan, pendistribusian dana dan lain-lain.
Selain potensi dasar pada diri seseorang, terdapat pula sikapdiri yang harus dimunculkan dalam diri seseorang ketika bergaul dengan masyarakat. Sikap diri inilah yang menyebabkan masyarakat lebih mudah menerima kehadiran kita, tidak mempunyai alasan untuk memusuhi serta menyambut da’wah kita atas ijin Allah Ta’ala.
1. Empati sebagai sikap dasar pergaulan
Sikap dasar pergaulan yang ideal adalah empati. Yang dimaksud dengan empati adalah:
a. Memandang manusia dengan kacamata kasih-sayang
Allah Ta’ala mengutus Rasulullah SAW sebagai rahmah (kasih-sayang) bagi seluruh penghuni bumi.
Firman-Nya:
107.  Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.(al-Anbiya:107)
Tentu saja kacamata rahmah (kasih-sayang) bersifat universal, yaitu ditujukan kepada seluruh ummat di dunia. Baik yang Muslim atau Non Muslim, bahkan untuk manusia atau binatang, tumbuhan dan benda-benda lain di dunia. Tetapi dalam pembahasan kita kali ini, rahmat itu ditujukan kepada seluruh ummat manusia.Inilah yang diajarkan Rasulullah SAW kepada Abdurrahman Bin ‘Auf ketika dia meminta kepada Rasulullah SAW untuk membalas celaan orang-orang kafir Quraisy. Rasulullah s.a.w bersabda:”Sesungguhnya aku ini diutus bukan untuk menjadi tukang laknat (tukang cela), tetapi untuk memberikan rahmah (kasih-sayang)”(Tafsir Ibnu Katsir).
Demikian pula, ketika Rasulullah SAW dilempari batu olehpenduduk Thaif yang membawa kesedihan sangat mendalam di hati beliau. Maka beliau berdo’a:”Ya Allah, ampunilah mereka. Karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tidak mengetahui” (HR. Bukhary dan Muslim).
Begitulah ketika kita berinteraksi dengan masyarakat, kita harus memandang mereka dengan kacamata kasih-sayang, bukan kebencian dan kemarahan.Rasulullah Saw mengingatkan:”Jauhkan dirimu dari sangka-sangka, karena sangka-sangka itu sedusta-dusta berita. Dan jangan meraba-raba dan jangan menyelidiki kesalahan orang …” (HR. Muslim).
Segala bentuk perilaku masyarakat, baik yang menyenangkan atau menjengkelkan hati kita, kita sikapi dengan tatapan kasih-sayang. Bukan balas-dendam,kemarahan dan kebencian. Sambil kita berdo’a di hadapan Allah Ta’ala:” Ya Allah, ampunilah mereka. Karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tidak mengetahui”


b. Ikut merasakan alunan perasaan orang lain
Rasulullah SAW mengajarkan kepada seorang Muslim untuk menghargai perasaan orang lain. Perasaan senang, sedih, gembira, kecewa, susah dan lain-lain. Bentuk penghargaan perasaan kepada orang lain adalah dengan ikut serta merasakan perasaan orang lain. Jika orang lain sedih, kita ikut menampakkan ekspresi kesedihan. Jika orang lain bergembira, maka kita juga semestinya menampakkan ekspresi kegembiraan. Begitu pula dengan perasaan-perasaan yang lain. Rasulullah SAW bersabda:”Jangan menunjukkan kegembiraanmu dalam kesusahan saudaramu, maka Allah akan menyembuhkan (menyelamatkannya)  dan membalas ujian padamu” (HR. At Tirmidzi; Riyadhush Shalihin II, 450).
Tentu saja, sikap ini bukan bertujuan untuk memperparah keadaan.Misalkan seseorang yang bersedih menjadi sedih berkepanjangan, atau seseorang yang bahagia melampiaskannya dengan hura-hura berlebihan. Tetapi sikap ini bertujuan untuk melegakan perasaan seseorang, terutama yang tengah dirundung derita. Karena dalam kesedihannya, masih ada orang lain yang menanggapi dan memberi perhatian kepadanya. Dalam suasana seperti itulah, nasihat yang baik akan lebih menghujam di dalam qalbu.

c. Perhatian
Perhatian adalah sebuah bentuk pencurahan pikiran dan perasaan seseorang untuk kebaikan orang lain. Lawan perhatian adalah cuek dan tidak mau tahu persoalan orang lain. Orang seperti ini, cuek dan tak mau tahu, biasanya cenderung egois atau hanya asyik dengan dirinya sendiri. Terserah saja apa yang terjadi pada orang lain, asalkan tidak menimpa diri saya.
Bentuk perhatian ini tentu saja bukan bertujuan untuk mengorek aib orang lain. Tetapi perhatian adalah lebih bertumpu kepada komitmen seseorang untuk ikut membantu orang lain bergembira dan berbahagia.

d. Basa-basi
Basa-basi yang dimaksud di sini bukan berarti basa-basi tanpa arti. Tetapi basa-basi yang dapat melunturkan rasa dengki dan kemarahan seseorang kepada kita.
Selain itu, basa-basi ini memang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Sabdanya:”Janganlah kalian meremehkan sedikitpun kebaikan,meskipun hanya dengan wajah manis ketika bertemu dengan saudaramu” (HR.Muslim).
Di antara bentuk basa-basi itu adalah:
i. Salam
Ucapan salam kelihatannya terkesan hanya sebuah basa-basi.Tetapi sebenarnya, setiap manusia sangat suka menerima salam dari orang lain;karena merasa mendapat perhatian. Rasulullah SAW bersabda:“Demi Dia yang nyawaku berada di tangan-Nya. Kalian tidak akan masuk surga, sampai kalian beriman. Dan kalian tidak akan beriman, sampai kalian saling berkasih-sayang.Maukah kalian saya tunjukkan suatu perbuatan jika kalian lakukan akan tumbuh rasa kasih-sayang di antara kalian? Sebarkanlah salam di antara kalian” (HR.Muslim).
ii. Wajah Manis
Wajah ceria dengan senyum yang tulus merupakan bantuan moril kepada orang lain untuk turut berbahagia menghadapi hari ini. Karena dengan keceriaan wajah dan senyuman kita, seseorang akan terhipnotis ikut bergembira.Untuk itulah Rasulullah SAW berpesan:“Janganlah kalian meremehkan sedikitpun perbuatan yang ma’ruf meskipun hanya dengan berwajah manis ketika bertemu dengan saudaramu” (HR. Muslim).
iii. Jabat-tangan
Jabat-tangan yang ikhlas akan melebur rasa dendam dalam hati dan menggantikannya dengan rasa sayang serta saling memaafkan. Jabat-tangan juga mampu menumbuhkan rasa akrab serta mencairkan ketegangan suasana. Rasulullah SAW bersabda:“Tidaklah dua orang Muslim yang bertemu kemudian berjabat-tangan,kecuali Allah mengampuni dosa di antara keduanya sampai keduanya berpisah”(HR. Abu Dawud).
iv. Memanggil dengan nama yang disukai
Jika kita kenal nama seseorang, kemudian memanggil dengan namanya, maka keakraban akan dengan cepat mudah terjalin. Terlebih lagi, bila kita tahu nama kesukaan seseorang atau nama kebanggaannya, dan kita panggilorang tersebut dengan nama-nama itu; maka perasaan in group akan cepat tumbuh. Yaitu perasaan tidak terpisahkan antara kita dengan dirinya.
Allah Ta’ala berfirman:
11.  Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.
v. Memberi hadiah
Hadiah dapat memupus rasa permusuhan dan menggantinya dengan cinta. Rasulullah Saw bersabda:”Saling bertukar hadiahlah sehingga kalian saling berkasih-sayang” (HR. Muslim).

 2. Teladan sebagai contoh praktis kehidupan
Masyarakat sangat tidak menyukai teori dan konsep yang muluk-muluk dan melangit; terutama sekali masyarakat awam. Tetapi masyarakat lebih membutuhkan contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari yang praktis dan aplikatif. Karena itu, teladan merupakan bahasa yang tepat untuk berbicara kepada masyarakat. Pepatah Arab mengatakan:”Bahasa teladan lebih fasih daripada bahasa lisan”.
Misalnya, dalam masalah ibadah; sebelum kita mengajak masyarakat menegakkan shalat, maka harus dimulai dari diri kita untuk senantiasa menegakkan shalat. Kita mencontoh kan rapi dan bersih dalam penampilan, pakaian dan rumah tinggal serta kendaraan. Kita mencontohkan senantiasa memulai berbuat baik kepada tetangga dengan menyapa, silaturahmi, memberi hadiah dan yang sejenisnya.
Allah Ta’ala mengecam manusia yang hanya mau berbicara, tetapi tidak berupaya untuk menerapkan ucapannya sendiri dalam praktek amal keseharian.
Firman-Nya:
2.  Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?3.  Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.(as-shof:2-3)
Rasulullah Saw berpesan:”Mulailah dari dirimu sendiri!” (HR.An Nasaa’i).

3. Memberi manfaat
Hendaklah kita tidak sekedar mencari keuntungan material dalam
berhubungan dengan masyarakat. Segala sesuatu hanya diukur untung-rugi secara
ekonomi.
Bila kita berperilaku seperti itu, maka masyarakat akan sulit meraba keikhlasan hati kita dalam bekerja atau dalam berhubungan dengan mereka.Sehingga mereka berhati-hati dalam berhubungan dengan kita, atau bahkan menghindari. Mereka takut menjadi korban materi dalam berhubungan dengan kita Sudah semestinya, apabila kita justru berusaha banyak memberi manfaat kepada masyarakat, tanpa terbesit dalam diri kita untuk mendapat ganti;kecuali hanya keridhaan Allah semata. Demikian itulah yang diajarkan RasulullahSAW dalam hidup bermasyarakat. Sebelum Muhammad menjadi Nabi, Khadijah RA menceritakan pribadi beliau:”

4. Teguh pendirian
Banyak sekali perilaku masyarakat yang belum sesuai dengan nilai-nilai Islam. Bahkan seringkali perilaku itu telah mengakar dan membudaya dalam sebuah masyarakat. Misalnya sesaji ke kuburan, sesaji setelah bersih desa,minuman keras saat ada hajatan dan lain-lain.Tentu saja, kita dilarang untuk ikut-ikutan acara haram tersebut dengan alasan untuk bermasyarakat. Bila kita mempunyai kekuasaan di masyarakat, menjadi perangkat desa misalnya; maka kita dapat mengurangi sedikit demi sedkit tradisi tersebut melalui jalur-jalur kekuasaan. Bika kita berani mengingatkan secara lisan kepada mereka, maka dapat menegurnya. Tetapi, apabila kita tidak mampu melakukan keduanya, cukuplah kita memiliki pendirian yang kuat untuk tidak mengikutinya.
Rasulullah SAW bersabda:”Janganlah kalian menjadi orang yang imma’ah (tidak punya pendirian) yang hanya berkata:”Saya bersama masyarakat.
Bila masyarakat baik, maka saya juga baik. Demikian pula, jika masyarakat buruk, saya juga buruk”. Akan tetapi teguhkan pendirianmu, jika masyarakat berbuat baik,maka berbuat baiklah. Dan jika masyarakat melakukan keburukan, maka tinggalkanlah keburukan mereka” (HR.Muslim).

5. Memaklumi jangan minta dimaklumi
Rasulullah SAW telah menunjuk seluruh Kaum Muslimin sebagai pemimpin dengan sabdanya:” Setiap dari kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung-jawaban terhadap apa yang dipimpinnya” (HR Bukhary).
Dengan hadits itu, berarti seluruh Kaum Muslimin adalah pemimpin baik dalam skala yang luas, yaitu memimpin masyarakatnya; dalam skala sedang,memimpin rumah-tangganya; atau dalam skala kecil, yaitu memimpin dirinya sendiri.Mental khusus seorang pemimpin adalah responsible (tanggung-jawab)dan sense of belonging (rasa memiliki). Dengan dua setting mental inilah seorang Muslim harus bekerja menghadapi masyarakatnya, karena dari sini tumbuh sikap berusaha memaklumi orang lain dan tidak malah meminta untuk dimaklumi.Tingkah-polah masyarakat yang berada di sekiling kita, kita respon dengan sikap maklum. Sehingga kita mampu menghadapi mereka dengan tenang,tidak emosi serta menghilangkan dendam kesumat dalam jiwa. Jika mereka mencela kita, menghina kita, mencibir atau yang sejenisnya; cukuplah kita berdo’a
sebagaimana Rasulullah SAW berdo’a untuk penduduk Tha’if:”Ya Allah ampunilah mereka, karena mereka orang yang tidak mengetahui” (HR. Bukhary dan muslim).

INTERAKSI
1. Heterogenitas adalah anugerah Allah
Heterogentitas merupakan anugerah dari Allah Ta’ala, karena Allah telah berfirman:” Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal …” …” (Al Hujuraat [49]: 13).
Sehingga heterogenitas bukanlah sebuah perkara yang harus kita sesali, tetapi justru merupakan hal yang harus kita syukuri. Setiap suku memiliki tradisi dan cara masing-masing; bahkan setiap orang memiliki perilaku masing-masing meskipun mereka adalah suadara kembar. Tidak mungkin semua orang itu baik akhlaqnya serta sehat akalnya, tetapi ada juga yang rusak moralnya serta kacau aqalnya. Tidak semua orang mudah menerima kebenaran, tidak semua orang berani berjuang di jalan Allah, tidak semua orang terhindar dari kriminalitas dan lain-lainnya.
Semua itu merupakan heterogenitas yang ada di muka bumi,yang harus kita sadari sepenuhnya sebagai anugerah Allah Ta’ala. Sehingga kita tidak mudah sempit dada melihat perbedaan-perbedaan yang tumbuh di antara manusia, atau juga kita tidak cepat merasa putus-asa dengan menjalarnya kemaksiatan dalam tubuh masyarakat kita. Semua itu sudah menjadi hukum alam (sunnatullah)yang memang demikianlah keadaannya.

2. Mengenali obyek da’wah dengan terperinci
Kita harus senantiasa berupaya mengenali obyek da’wah kita dengan teliti. Semakin teliti kita menegnali obyek da’wahkita, semakin tepat kita memberikan therapi kepada mereka, serta semakin kecil tingkat kesalahan kita dalam berhadapan dengan mereka.
Setiap masyarakat memiliki potensi beragam serta tingkat sensitifitas yang berbeda. Permasalahan ini harus kita teliti secara mendalam,sehingga kita dapat menumbuhkan potensi mereka, seiring dengan upaya kita untuk mereduksi perilaku mereka yang negatif.

3. Berbicara sesuai budaya setempat
Setiap kaum memiliki karakter dan tradisi yang berbeda-beda.Dari sisi bahasa, misalnya, setiap kaum memiliki kosa-kata yang bervariasi serta dialek yang beragam. Sesama Bahasa Jawa saja memiliki kosa-kata yang bervariasi serta dialek yang beragam. Antara Bahasa Jawa Timur, Tengah atau Barat terjadi berbagai macam perbedaan. Bahkan antara Bahasa Jawa di Jawa Timur sendiri terdapat berbagai ragam perbedaan. Belum lagi antara Bahasa Jawa dengan bahasa daerah lainnya. Tentu saja terjadi banyak perbedaan. Apalagi antara bahasa nasional dengan bahasa asing.
Seorang da’i akan sangat mudah diterima masyarakat apabila mengenali bahasa mereka dan adat komunikasi antar mereka. Penerimaan secara pribadi ini akan berdampak terhadap penerimaan nilai-nilai yang kita tawarkan kepada mereka, yaitu nilai-nilai Islam. Maka berbicaralah dengan bahasa masyarakat setempat.
Allah Ta’ala telah berfirman:
4.  Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang dia kehendaki. dan Dia-lah Tuhan yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.(Ibrahim:4)

4. Berbicara sesuai kadar akal
Kecerdasan setiap orang tentu saja berbeda, demikian pula dengan kecerdasan rata-rata antara masyarakat yang satu dengan masyarakat lainnya Rasulullah SAW memerintahkan supaya kita berbicara disesuaikan dengan kadar akal masyarakat. Apabila mereka lemah akalnya, maka berbicaralah dengan bahasa yangsederhana dan mudah dimengerti oleh akal mereka. Sebaliknya, apabila kitaberbicara dengan masyarakat yang lebi cerdas,maka kita dapat berdiskusi denganmereka terhadap berbagai hal.
Rasulullah s.a.w bersabda:“Kami para Nabi diperintahkan supaya berbicara kepada manusia sesuai dengan kadar akal mereka” (HR. Muslim).

5. Tidak mengumbar janji
Janganlah mudah mengumbar janji kepada masyarakat, karena mereka akan menagih janji kita untuk direalisasikan. Jika kita kemudian memenuhi janji kita, mereka akan menganggap sebagai perkara yang biasa; karena memang janji harus ditepati. Sedangkan bila kita tidak mampu menepati janji, maka masyarakat akan mencemooh kita dan tentu saja kredibilitas kita di hadapan mereka akan jatuh-berantakan.
Lain lagi apabila kita tidak berjanji. Apabila kita tidak melakukannya, masyarakat akan maklum, karena memang kita tidak pernah menjanjikannya. Sebaliknya, jika kita memenuhi sesuatu padahal kita tidak berjanji sebelumnya, masyarakat justru akan salut kepada kita.Untuk itu, fikirkanlah baik-baik sebelum kita menjanjikan sesuatu kepada masyarakat. Allah Ta’ala juga telah berfirman ketika mencirikan orang yang beriman:
8.  Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.(al-Mukminun:8)

MUSYAWARAH
Musyawarah merupakan cara penyelesaian masalah di dalam bermasyarakat. Prinsip-prinsip musyawarah alam Islam telah difirmankan Allah Ta’ala:
159.  Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah Lembut terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.(Ali Imran:159)
Dari ayat di atas ada beberapa prinsip musyawarah:
1. Lembut hati
Lembut hati merupakan prinsip pertama di dalam bermusyawarah,terutama untuk pemimpin musyawarah, atau orang yang mempunyai mental pemimpin.
Rasulullah SAW bersabda:”Setiap kalian adalah pemimpin” (HR. Bukhary),
sehingga kita harus memiliki mental pemimpin pula; yaitu lembut hati dalam berhadapan dengan masyarakat. Terutama sekali ketika bermusyawarah.Lembut hati tidak semakna dengan tidak memegang prinsip, tidak tegas, pesimis atau rendah diri. Tetapi, lembut hati lebih bertumpu kepada menampilkan segala sesuatu dengan halus, seperti menampilkan ketegasan dengan bahasa yang lembut, mempertahankan prinsip dengan kehalusan dan sejenisnya.

2. Kelembutan hati merupakan rahmat Allah
Kesadaran ini sangat penting, yaitu kelembutan hati itu semata-mata merupakan rahmat Allah ta’ala kepada hamba-Nya; bukan karena kepiawaian seseorang dalam menata hatinya. Perasaan ini penting untuk kita tanamkan dalam diri kita karena:


Menghindarkan diri dari rasa sombong dan takabur
Menghadirkan kelembutan dengan cara yang disyari’atkan
Islam
Segala hasilnya dapat kita kembalikan kepada Allah

3. Hindarkan sikap keras dan kasar hati
4. Memaafkan
5. Mendoakan ampun
6. Musyawarah

Ada beberapa prinsip musyawarah:
Musyawarah merupakan tempat tertinggi mengambil keputusan
Tidak ada musyawarah tandingan yang se-level
Habis-habisan dalam musyawarah

7. ‘Azzam ketika tercapai kesepakatan
8. Tawakkal terhadap keputusan bersama

Demikianlah upaya kita dalam hidup bermasyarakat dan ikut berperan-aktif di dalamnya. Semoga Allah Ta’ala memberi kekuatan kepada kita untuk merealisasikannya. Amiin …