Selasa, 23 November 2010

Yang Tsabit (prinsipil) dan Mutagayyir (relatif) dalam dakwah


Sesungguhnya dakwah memiliki keistimewaan dengan prinsip-prinsipnya dan tujuannya yang tetap, sejak awal mula kelahiran dakwah. Jadi tidak benar pendapat orang yang mengatakan bahwa dakwah ini awal mula lahir sebagai gerakan dakwah tasawuf dan akhlak, kemudian berubah menjadi gerakan politik.
Universalitas dakwah dan kesempurnaannya telah ditetapkan, jelas dan dideklarasikan sejak dakwah ini diserukan. Risalah-risalah Imam Syahid; dari risalah yang pertama hingga risalah yang terakhir yang disampaikan kepada Ikhwan memiliki manhaj dan prinsip yang sama, dan hal ini tidak bertentangan dengan hakikat bahwa strategi dakwah dalam melaksanakan dan menerapkan memiliki tahapan dan fase-fase tertentu sebagaimana yang dijelaskan dan diarahkan oleh Imam Syahid.
Imam Syahid berkata dalam Muktamar Para Pemimpin Wilayah dakwah pada tahun 1945 M:
“Telah ditetapkan kepada kalian asas pertama dakwah sejak bulan Dzulqa’dah 1347 H/1928 M), dan kalian akan terus memegang teguh dan tegar hingga Allah mewujudkan janji-Nya –insya Allah-.”
Sesungguhnya prinsip-prinsip jamaah adalah prinsip-prinsip Islam itu sendiri, engkau tidak bisa menyimpangkannya. Jamaah dakwah, harus memegang teguh prinsip-prinsip yang khusus baginya dalam gerakan dan pengorganisasian, dan ia memiliki dasar pijakan yang berlandaskan kepada syariat Allah. Sementara sarana-sarana dakwah akan terus berubah dan berkembang sesuai dengan kondisi dan keadaan.
“Untuk itu kami harus menegaskan lagi bahwa, sesungguhnya tarbiyah, dakwah dan jamaah yang terorganisir, merupakan prinsip dan ketetapan yang tidak akan berubah. Meskipun sarana-sarana dakwah dan aktivitas-aktivitas yang menyokong misi dakwah semakin berkembang, namun dakwah tetap berada dalam prinsip dan poros yang tidak berubah.
Perubahan dan inovasi pada sarana dan kegiatan-kegiatan dakwah memiliki batasan-batasan dan prinsip yang harus dipenuhi serta melalui institusi-institusi jamaah yang menetapkan syura dan nota-nota kesepakatan.
Tentang Rasa Kepemilikan Terhadap Islam
Jamaah tidak memonopoli sifat Islam untuk dirinya semata, dan menapikannya dari kelompok-kelompok yang lain, karena ia bukan jama’atul al Muslimin (kelompok kaum muslimin) yang siapa saja meninggalkan dan berbeda dengannya maka telah keluar dari agama Islam, namun ia merupakan jama’atul minal muslimin (sebuah kelompok dari kaum muslimin) yang berdiri demi mewujudkan tujuan-tujuan Islam sesuai dengan ideologi dan manhaj yang berlandaskan Al Quran dan Sunnah, sebagaimana yang dipahami dan diyakini sebagai jalan yang benar dan tidak ada jalan yang lain. Jamaah tidak menetapkan sebuah hukum (ketetapan) terhadap orang lain, hanya Allah semata yang berhak menetapkan hukuman terhadap mereka. “Kami adalah para da’I, dan bukan hakim yang menghukumi.”
Jamaah tidak berdiri di atas mazhab tertentu, namun ia terbuka untuk yang lain sesuai dengan pemahaman Islam yang komprehensif dan mengajak kepadanya, dan mengajak untuk bekerjasama untuk mengembalikan kemulian umat Islam dan mewujudkan tujuan-tujuan Islam seluruhnya.
Hujjah
Jamaah dan prinsip-prinsipnya merupakan hujjah bagi kader-kader dakwah, dan bukan kader yang menjadi hujjah baginya. Sejauhmana sesesorang mengambil dan menerapkan nilai-nilai dakwah dan tarbiyah, serta ketaatannya terhadap prinsip-prinsip dakwah, maka sebesar itu pula ia berperan sebagai representasi dakwah ini, walaupun ia sebagai prajurit dakwah yang berada di akhir barisan.
Imam Syahid berkata, Ada beberapa orang yang ada di barisan kami, namun sesungguhnya ia tidak bersama kami, dan ada beberapa orang yang tidak berada di barisan kami, namun ia bersama kami.”
Beliau juga berkata tentang kewajiban dakwah dan ajaran-ajarannya:
“Cengkeramlah dengan sungguh-sungguh bimbingan-bimbingan ini. Jika tidak maka dalam barisan orang-orang yang duduk dan para pemalas masih terdapat kursi-kursi yang kosong.”
“Saya yakin, jika engkau mengetahuinya dengan baik dan engkau menjadikannya sebagai cita-cita dan orientasi hidupmu, maka balasanmu adalah kehormatan hidup di dunia dan kebajikan serta ridha di akhirat. Engkau bagian dari kami dan kami bagian dari dirimu. Jika engkau berpaling darinya lalu duduk-duduk santai saja, maka tiada lagi hubungan antara kita. Jika engkau seseorang yang biasa berada di depan majelis kita, di pundakmu tertempel gelar-gelar mentereng, dan kau tampak begitu menonjol di antara kita, maka dudukmu akan dihisab Allah dengan seberat-beratnya hisab.”
Jadi yang merepresentasikan jamaah dan menyampaikan sikap-sikapnya secara langsung, adalah qiyadah (pemimpin) tertinggi, yang disebut Mursyid ‘am, atau siapa yang dipercayakan sebagai juru bicara atas nama jamaah dan menyampaikan pandangan-pandangannya. Adapun individu dalam jamaah dakwah dan siapa saja yang bergabung dengan jamaah ini, -dengan tetap berada dalam satu kesatuan dan ideologi yang sama-, maka setiap orang berhak memiliki pandangan, ijtihad, dan interpretasi dalam pemikiran dan dakwah Islam, selama tidak keluar dari batasa-batasan syariat, prinsip dan sikap-sikap jamaah.

Tarbiyah Mas’ul Dakwah dan Struktur Kepengurusan

Sesungguhnya dakwah memberikan perhatian khusus terhadap tarbiyah para mas’ul, mempersiapkan kemampuan dan kemahiran di bidang yang digelutinya, begitupula dengan persiapan tarbawi. Hal ini merupakan dasar yang akan membantunya dalam menjalankan tugas sesuai dengan kemampuannya.
Berikut beberapa sisi-sisi penting yang sangat diperhatikan dalam tarbiyah para mas’ul:
a. Yang berhubungan langsung dengan diri mas’ul
1. Rasa tanggung jawab yang tinggi seorang mas’ul di hadapan Allah Swt., dan ia akan memikul amanah tersebut di hadapan-Nya.
2. Selalu ikhlas dalam setiap amal, dan menghindari sifat-sifat ujub, angkuh, riya, sum’ah (ingin selalu dipuji), serta selalu berupaya merasakan bahwa ia sangat membutuhkan jamaah ini, dan bukan jamaah yang membutuhkannya.
3. Tidak tergantung dengan kedudukan, sama halnya ia dikedepankan atau dikebelakangkan, serta selalu menguatkan semangat jundiyah (militansi dan kepatuhan terhadap pemimpin).
4. Senantiasa memuhasabah dirinya, sebagaimana yang dilakukan oleh Umar bin Khattab –semoga Allah meridhainya-.
5. Hendaknya ia memiliki bekal khusus dari ibadah dan ketaatan, yang dengannya ia mendapatkan bekal ruhi, dan menjadikannya sebagai sarana untuk meminta taufik dari Allah, memperbanyak doa, meminta dan menyandarkan diri kepada Allah.
6. Dan hendaknya ia selalu memiliki kekuatan spiritual yang tinggi, semangat yang selalu membara, dan tekad yang kuat.
b. Yang berhubungan dengan tugasnya:
1. Kemurnian yang paripurna, yaitu dengan mengikat setiap anggota tarbiyah dengan jamaah, dan bukan dengan figuritasnya, serta tidak menghalangi siapa saja yang bersamanya dari anggota kelompok dan jamaah.
2. Amanah dalam pengiriman dan penyampaian
3. Mengembangakan potensi dan kemampuan diri, serta berupaya untuk mendapatkan beberapa keahlian yang dibutuhkan.
4. Lebih mengutamakan kerja, dan menjauhkan diri dari cara-cara yang gaduh dan suara yang tinggi, senantiasa tawakkal kepada Allah, mengutamakan hal-hal yang substabsial, sebagaimana lebih baik baginya memiliki buku tanpa judul dari pada memiliki judul tanpa buku.
5. Selalu menggunakan cara-cara musyawarah dan prosedural kerja.
6. Menerima nasehat dari siapapun
7. Memperhatikan adab-adab muhasabah dan evaluasi, dan hendaknya tegas dan mampu mengambil keputusan.
8. Hendaknya ia Menjadi teladan bagi siapa saja yang bersamanya dalam hal ketaatan, kedisiplinan dan dalam berbagai hal.
9. Mampu mengkondisikan suasana, serta menebar iklim kasih, persaudara dan saling memikul beban.
10. Menjaga keadilan dan kesamaan dalam hubungan sosialnya, mampu memperhitungkan dan memutuskan sesuatu secara tepat, serta bersandar pada kebenaran dan bukti.
11. Menerima masukan, permintaan dan evaluasi
c. Yang berhubungan dengan interaksinya dengan anggota tarbiyah
1. Lapang dada, berbaik sangka dan percaya terhadap ikhwah yang lain, karena mereka adalah turut berperan bersamanya untuk memikul tanggungjawab.
2. Memiliki kemahiran tarbiyah dalam menyampaikan taujih (pengarahan) dan materi-materi tarbiyah, karena ia bertanggungjawab terhadap mereka, mengembangkan potensi yang mereka miliki dan pendelegasian yang tepat.
3. Memiliki kemampuan untuk menguasai anggota, menghadapi problematika dan permasalahan-permasalahannya.
4. Mengenal karakter, tipikal dan kondisi setiap anggota
5. Mewujudkan makna-makna Ta’aruf, Tafahum, dan Takaful, dengan makna yang sempurna di antara anggota.
6. Tidak menyembunyikan ilmu, mentransfer pengalaman dan kemampuan kepada orang-orang yang bersamanya, serta bekerja keras dalam mewariskan dakwah dan pembentukan simpatisan dakwah.
7. Saling berhubungan dengan ikhwah yang lain, berinteraksi dengan mereka, dan berada di garda terdepan bersama mereka.
8. Menjaga hubungan dan komunikasi yang baik dengan orang yang lebih senior dan yang junior dari mereka.
Muwashafat tarbawiyah (karakteristik kader tarbiyah) ini tentunya tidak mungkin dilahirkan dalam waktu sehari-semalam, atau dengan mengadakan lompatan-lompatan tertentu, namun hal ini hanya bisa terwujud dengan ketekunan, latihan, dan pengarahan yang berkesinambungan. Kita tidak mengatakan bahwa seorang mas’ul dalam segala sisi telah memiliki dan menyempurnakan karakter-karakter ini, namun paling tidak ada standar minimal untuk kita memulai. Yang kemudian penyempurnaan, latihan dan peningkatan kualitas tarbiyah akan dilanjutkan dengan menggunakan sarana-sarana tarbiyah yang beraneka ragam, dengan tetap mengetahui bahwa jika seorang kader yang hendak diberikan tanggungjawab ternyata memiliki sebuah cela yang bisa merusak, maka kita harus berhenti sejenak sebelum memberikan tanggungjawab tersebut, dan kita tidak boleh meremehkan permasalahan itu, walaupun ia memiliki banyak karakter positif yang lain.
Diantara permasalahan-permasalahan tersebut adalah sebagai berikut: Lemahnya makna jundiyah (militansi dan ketaatan kepada qiyadah), lemahnya kedisiplinan terhadap jamaah dan condong kepada figuritas dan mengikuti pandangan individu dan nafsu, tidak memiliki loyalitas, bergantung dengan kedudukan dan posisi serta tidak siap untuk meninggalkannya jika diminta, keras hati dan kasar terhadap orang lain, bangga terhadap diri sendiri, tidak menerima kritikan dan masukan (terutama dalam hal penyimpangan finansial dan akhlak), dll.
Kepengurusan dalam dakwah kami, tidak terpisah dari tarbiyah dan pembinaan, karena keduanya adalah sebuah kemestian. Praktek kepengurusan pada dasarnya merupakan praktek nilai-nilai tarbiyah dan ia memiliki bentuk dan sarana yang beragam, ia tidak semata mengikuti sebuah manhaj studi atau gagasan yang disampaikan di pelatihan-pelatihan managerial, namun lebih kepada praktek, latihan, interaksi dan pelatihan anggota tarbiyah oleh mas’ul.
Adab-adab Islam, akhlak dan batasan-batasannya dalam hubungan dan interaksi langsung yang terjalin antara anggota tarbiyah dengan batasan-batasan kerja itu sendiri, merupakan asas tarbiyah dan mahhaj praktis yang akan mewujudkan tujuan-tujuan yang ingin dicapai.
Struktur kepengurusan di dalam jamaah pada dasarnya merupakan sebuah fase tarbiyah dimana ada saling keterkaitan dan kesatuan dalam menjalankan tanggungjawab, dan bukan struktur kelompok yang hanya melakukan kerja-kerja nisbi yang terpisah di beberapa sekat yang berbeda-beda. Struktur-struktur itu misalnya, serikat para pekerja, petani, kalangan profesional, pedagang, pegawai, ulama, atau persatuan para guru, pelajar dan kaum wanita. Dengan pelbagai jenjang tanggungjawab yang ada di internal struktur kepengurusan tersebut, justru mereka berada dalam satu barisan yang saling bertautan erat yang membentuk kesamaan tanggungjawab, baik melalui pemilihan atau penetapan dari anggota tanpa melihat sekat-sekat bidang di tempat mereka bekerja, lalu mereka menyelesaikan tugas dan kepentingan mereka secara kolektif.
Tidak mengapa jika struktur kepengurusan tersebut berupa kepanitiaan atau tim-tim khusus yang bekerja dan bergerak di masing-masing bidang dan divisi tertentu.
Terkadang, beberapa peristiwa menimbulkan gerakan tertentu terhadap jamaah, sementara ia belum memiliki kesiapan yang sempurna dengan kemampuan dan ketersediaan tenaga-tenaga ahli, baik kuantitas maupun kualitas yang mumpuni. Dalam kondisi seperti ini, dakwah tentu tidak bisa berdiri mematung hingga sempurna seluruh potensi dan kemampuan yang ada. Namun selayaknya pada waktu itu, ia berusaha menggali dan memusatkan perhatian untuk menyiapkan pembinaan-pembinaan tarbawi dan keahlian untuk para tokoh di dalam jamaah, dan hendaknya aktivitas dan peristiwa yang terjadi tidak menggangu proses pembinaan tarbawi dan pembinaan terhadap aset dan tokoh-tokoh jamaah. Hendaknya juga dilakukan upaya keras untuk mengobati titik-titik cela dan kelemahan yang ada. Proses penyiapan kader-kader handal yang memiliki kemampuan paripurna dalam pelbagai sisi baik tarbawi maupun keahlian tertentu merupakan proyek besar yang membutuhkan waktu yang relatif panjang.
Sesungguhnya pertolongan Allah akan datang setelah dikerahkannya seluruh kemampuan manusia secara optimal, dan menyandarkan seluruh urusan dan bertawakkal kepada-Nya.
Sesungguhnya kader-kader dakwah yang menonjol, tokoh-tokoh, dan kader-kader yang menjadi figur-figur politik dan sosial, sangat membutuhkan perhatian tarbawi dan evaluasi yang cermat dan terus-menerus, karena karakter gerakan dan aktivitas mereka, serta kantor-kantor tempat mereka bekerja akan menguras banyak waktu yang mereka miliki, dan hal itu sudah barang tentu memberikan dampak terhadap kondisi ruhi dan tarbiyah mereka.
Sebagaimana sorotan publik, pers, kemilau kedudukan, dan gema suara mikropon terkadang memberikan implikasi yang cukup besar terhadap jiwa dan memberikan pengaruh yang negatif, yang kemudian menyebabkan terjadinya fitnah dan penyimpangan, baik pikiran, kedisiplinan, loyalitas, ketaatan dan ruh militansi. Yang kemudian menyebabkan timbulnya sifat liar, takjub dengan pendapat sendiri, dan hanya loyal untuk kepentingan diri dan kemaslahatannya sendiri. Hal ini bahkan sampai pada penolakan terhadap taujih (seruan atau himbauan jamaah) dan pelanggaran terhadap rukun-rukun bai’at, baik sebagian maupun seluruhnya.
Untuk itu, kami menegaskan tentang pentingnya persiapan tarbiyah yang baik dan berkualitas terhadap figur-figur kader yang menonjol dan tokoh-tokoh dakwah yang beraktivitas sebelum diterjunkan ke pelbagai lapangan, memberikan imunitas kepada mereka dari fitnah dan penyimpangan, serta melanjutkan pembinaan tarbawi secara terus menerus dan berkesinambungan, dan senantiasa menerapkan budaya musarahah (berterus terang) dan taujih-taujih tarbawi, serta memberikan perhatian yang besar terhadap bentuk-bentuk penyimpangan sejak mula, walaupun sesuatu yang kecil dan sederhana, dan hendaknya jamaah selalu tegas dan disiplin dalam menerapkan hal ini.
Tentang Realitas Kader Dakwah
• Tidak berarti dengan tingginya manhaj dan nilai-nilai tarbiyah, maka setiap individu kader dakwah menjadi malaikat sepanjang siang dan malam, namun mereka justru tetap menjadi bagian dari komunitas masyarakat yang menerima seruan dakwah dan bersemayamnya iman di hati-hati mereka, yang memikul beban dakwah, dan di waktu yang sama mereka juga memperbaiki dirinya sendiri, ‘Perbaiki dirimu dan berdakwahlah kepada orang lain’.
Mereka tidak melakukan dosa besar dan tidak melakukan maksiat secara terang-terangan. Walaupun mereka mampu melakukan maksiat, namun mereka segera menyesali perbuatannya dan bertobat kepada Allah, dan tidak ada yang tersisa di barisan mereka orang-orang yang kehilangan orientasi dan keinginan.
Imam Syahid berkata, “Kami sesungguhnya tidak berputus asa dengan diri kami.”
Beliau juga menasehatkan, “Agar kami senantiasa mengukur kadar diri kami apa adanya.”
Di dalam buku “Memoar Imam Syahid Hasan Al Banna, beliau menyampaikan nasehat yang diberikan oleh Syaikh Muhsin Sa’id Al Urfy, salang seorang ulama dari Suriah. Saat itu bertepatan dengan acara peresmian Ma’had Hurra Al Islamy di Ismailiyah pada era pertama dakwah. Beliau selalu mengatakan kepada saya, “Dengarlah baik-baik, janganlah engkau merasa resah dengan bergabungnya kedalam dakwah orang-orang yang banyak melakukan kekurangan dalam ketaatan dan melakukan kemaksiatan, selama masih takut kepada Allah, menghormati undang-undang, dan berusaha melakukan ketaatan dengan baik, karena mereka akan bertobat dalam waktu dekat. Sesungguhnya bahtera dakwah ini laksana rumah sakit yang di dalamnya terdapat dokter yang memberikan obat dan pasien yang membutuhkan pengobatan, maka janganlah anda tutup pintu dakwah di hadapan wajah mereka.
Namun hendaknya engkau waspada dengan dua kelompok dengan kewaspadaan yang tinggi, dan jangan sekali-kali mengikutkan mereka dalam gerbong dakwah; pertama adalah mulhid (atheis), yaitu orang yang tidak memiliki keyakinan agama, walaupun mereka tampak seperti orang-orang yang baik. Karena ia tidak mempunyai harapan lagi untuk diperbaiki, dan ia sangat jauh dari kalian dengan dasar ideologi, sampai ia benar-benar bertobat dan kembali kepada agama. Yang kedua, yaitu orang baik yang tidak menghormati undang-undang dan peraturan serta tidak mengenal makna ketaatan. Tipikal seperti ini bisa bermanfaat untuk dirinya sendiri dan menghasilkan kerja, namun ia akan merusak kekokohan jamaah. Ia akan mendekati jamaah untuk kepentingan pribadinya dan akan meninggalkannya jika berbeda. Andai engkau bisa mengambil manfaat darinya sementara ia jauh dari shaf jamaah, maka lakukanlah. Namun jika tidak, maka ia akan merusak dan menggoyahkan barisan dakwah.”
• Begitupula dari tipikal kelompok orang-orang yang suka menyebar fitnah dan menyimpan ambisi-ambisinya. Berkata Syaikh Hamid Askariyah –semoga Allah merahmatinya-, beliau adalah salah satu generasi pertama yang mendirikan jamaah dakwah ini bersama dengan Imam Syahid. Ketika dakwah berhadapan dengan sekelompok orang yang keluar dari jamaah, dan melakukan fitnah, beliau memberikan nasehat kepada Imam Syahid, “Mereka tidak memiliki kebaikan sedikitpun, mereka telah kehilangan kesadaran terhadap keagungan dakwah ini, mereka telah kehilangan ketaatan terhadap qiyadah (pemimpin), sesungguhnya mereka tidak memberikan kebaikan apapun terhadap barisan dakwah kita, maka hati-hatilah terhadap mereka dan teruslah berjalan di atas jalanmu, dan kepada Allah tempat meminta pertolongan.”
• Beliau juga menjelaskan tentang tidak terwujudnya manhaj dakwah secara sempurna di beberapa personal, “Sekelompok manusia memvonis kalian terhadap dakwah yang kalian serukan, bahwa kalian tidak menerapkan manhaj dakwah secara sempurna di dalam diri kalian. Saya membenarkan pendapat ini, karena harus diakui kita masih lemah dalam mewujudkan manhaj dakwah secara sempurna di dalam diri kita, dan sayapun tidak akan beralasan bahwa sebenarnya kelemahan ini lebih banyak disebabkan oleh kondisi dibanding oleh disebabkan oleh pelaku dakwah. Karena hal ini lebih menjadi otokritik agar kita berupaya untuk mewujudkan kesempurnaan, dan tidak maksudkan untuk membela kelemahan. Namun saya ingin menegaskan tentang perbedaan antara Ikhwan dengan komunitas lain adalah dalam hal; bahwa Ikhwan merasakan kekurangan ini dan mengakuinya, sementara orang lain akan menggunakan alasan dan bersembunyi di balik keindahan kata-kata. Ikhwan dengan pengakuan ini, akan terus berjalan untuk melakukan penyempurnaan hingga mereka mendapatkan bagian yang telah ditetapkan Allah untuk mereka.”
• Imam Syahid juga menolak orang-orang yang malas dan orang yang banyak bertanya dengan mengatakan, “Maka dimanakah jamaah itu sebenarnya? Apa yang telah aku berikan untuk jamaah? Beliau mengatakan, “Demikianlah orang banyak tertipu dalam memahami hakikat jamaah dan individu. Mereka mengira bahwa jamaah itu sesuatu sedangkan individu adalah sesuatu yang lain. Padahal jamaah itu, tiada lain adalah kumpulan dari individu-individu, dan individu-individu itu adalah komponen bangunan jamaah itu sendiri. Apabila komponen-komponen itu bercerai-berai dan setiap mereka bertanya dengan pertanyaan, “lalu dimanakah jamaah itu? Siapa yang bertanya dan siapa yang ditanya? Kita sering memahami hal ini secara keliru, disebabkan oleh kebiasaan kita bersikap kurang bertanggungjawab; kita sering melimpahkan beban tanggung jawab hanya pada pundak seseorang. Berikutnya lahirnya sifat masa bodoh, tidak tahan uji menghadapi keadaan, dan tidak kunjung melangkah lebih maju.
Untuk itu, maka saya ingin berseru kepada putra-putri Islam yang memiliki semangat bahwa sesungguhnya seluruh jamaah Islam di masa kini sangat membutuhkan munculnya pribadi aktivis sekaligus pemikir dan anasir produktivitas yang pemberani. Maka haramlah hukumnya bagi orang semacam ini untuk tertinggal dari kafilah dakwah, meskipun sesaat.”
“Tidakkah seorang Al Akh memahami bahwa sesungguhnya jamaah adalah tempat individu-individu berkumpul.”
• Setiap individu dalam shaf dakwah tidak diproduksi dalam satu cetakan, atau dalam satu naskah yang digandakan, namun di sana terdapat perbedaan manusiawi, baik dalam kemampuan maupun karakter. Walaupun dakwah telah menetapkan standar minimal dan dasar yang sama, namun tentu dakwah harus beradaptasi dengan perbedaan-perbedaan ini, mengendalikannya dengan segenap kendala yang ada, mengarahkannya untuk beraktivitas dan memperbaiki apa saja yang bisa diperbaiki. Jamaah dakwah menerima setiap individu dengan segala kondisi yang ada, kemudian ia akan tumbuh bersama mereka dan memberikan apa saja yang mereka butuhkan. Pluralitas dan keberagaman yang menjadi karakter setiap individu ini merupakan hal yang positif, ia akan menjadi aset dan modal bagi jamaah untuk belajar mengendalikannya dan memberikan peran yang tepat.
• Pembentukan ini diupayakan agar tidak menghasilkan model produk yang teoritis dan filosofis semata, tapi lebih bertujuan menghasilkan kepribadian yang aktif dan produktif, dan ini adalah manhaj yang membedakan antara khayalan, slogan dan ucapan dengan kesungguhan amal, dan jihad yang bijaksana.
“Sesungguhnya seseorang yang berbicara itu berbeda dengan orang yang beramal, dan orang yang beramal berbeda dengan orang yang berjihad, dan orang yang berjihad berbeda dengan orang yang berjihad dengan bijak yang produktif menghasilkan keuntungan besar dengan pengorbanan yang sedikit.”
• Bahwa dakwah juga tidak membiarkan seseorang mengembangkan manhaj individual yang bersemangat tapi tidak terkontrol dan terarah. Imam Syahid berkata, “Kekanglah rasa ketergesaan kalian dengan pandangan dan pemikiran yang jernih, dan terangilah kecemerlangan akal pikiran dengan gelora perasaan yang mengharu biru penuh semangat. Beranganlah dengan kejujuran hakikat dan kenyataan, dan singkaplah hakikat itu dengan benderangnya angan yang rasional nan cemerlang.”
• Imam Syahid berkata, “Sebagian orang mengatakan bahwa kalian adalah orang-orang yang tenang dan tidak agresif, orang lamban di era yang serba cepat, mereka mengklaim kalian dengan mengatakan bahwa kalian loyo dan lemah dalam semangat. Maka ingatkanlah mereka dengan satu kalimat yang mengatakan, “Berapa banyak ketergesa-gesaan yang justru menghambat jalan.”
Allah Swt. ketika mengajarkan metode penyampaian dakwah kepada nabi-Nya, berfirman:
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik”. (An-Nahl: 125)
Allah Swt. tidak mengatakan untuk berdakwah dengan tergesa-gesa, kasar dan keras, dan itu adalah perintah Allah yang diturunkan kepada kalian. Dan hendaklah kalian memahami bahwa jika Ikhwan mengetahui bahwa ketergesa-gesaan akan memberikan keberhasilan dengan persentase 99%, dan kebijaksanaan akan memberikan persentase keberhasilan 100%, maka mereka akan memilih untuk mengambil langkah perlahan yang bijak demi mewujudkan kesuksesan yang sempurna.
Dan hal ini adalah ijtihad mereka. Namun mereka berpandangan bahwa jika datang waktu untuk melakukan penyegeraan, sementara mereka mengetahui bahwa kelambatan dan ketenangan justru akan menghambat kemajuan mereka, atau akan merenggut kemenangan mereka, maka pada saat itu mereka tahu apa yang harus dilakukan untuk menambah bekal dakwah dan bagaimana mewujudkan kematian yang mulia dalam mencapai tujuan yang agung.
فَاصْبِرْ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ وَلَا يَسْتَخِفَّنَّكَ الَّذِينَ لَا يُوقِنُونَ
“Dan Bersabarlah kamu, Sesungguhnya janji Allah adalah benar dan sekali-kali janganlah orang-orang yang tidak meyakini (kebenaran ayat-ayat Allah) itu menggelisahkan kamu”. (Rum: 60)
• Manhaj Tarbiyah sangat memperhatikan terwujudnya kebersihan hati, pikiran, keikhlasan, dan kemurniaan diri untuk dakwah. Imam Syahid berkata dalam wasiatnya kepada Ikhwan:
“Jika saya khususkan apa yang hendak saya sampaikan kepada kalian dalam kesempata ini, maka hendaknya syiar kita adalah kebersihan; baik jiwa, pikiran, lisan, dalam berjalan, pakaian, badan, makanan, minuman, penampilan, tempat tinggal, interaksi, dalam perjalanan, perkataan dan perbuatan.”
Dan diantara wasiat Rasulullah Saw. kepada umatnya adalah:
Senantiasalah bersih hingga kalian tampak seperti tahi lalat di antara bangsa-bangsa.”
Begitu indah dan tingginya bahwa ajaran fiqih yang pertama dalam ibadah kita adalah Thaharah (kebersihan). Dalam sebuah hadits yang shahih disebutkan:
مِفْتَاحُ الْجَنَّةِ الصَّلَاةُ وَمِفْتَاحُ الصَّلَاةِ الطُّهُورُ
“Kunci surga adalah shalat, dan kunci shalat adalah thaharah.” (Ahmad)
Maha benar Allah yang berfirman:
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri“. (Al baqarah:222)
• Imam Syahid menekankan tentang urgensi keimanan dan ketakwaan, serta bagaimana cara untuk mewujudkannya. Beliau berkata di dalam Risalah Ta’alim, “Dan hendaklah engkau menempuh perjalan menuju Allah dengan penuh semangat dan keinginan.”
“Hendaklah engkau senantiasa merasa diawasi oleh Allah, mengingat akhirat, dan bersiap-siap untuk menjemputnya, mengambil jalan pintas untuk menuju ridha Allah dengan tekad yang kuat, mendekatkan diri kepada-Nya dengan ibadah sunah, seperti shalat malam, puasa tiga hari –minimal- setiap bulan, memperbanyak zikir hati dan lisan, dan berusaha mengamalkan doa yang diajarkan pada setiap kesempatan.”
Imam Syahid juga mewasiatkan kepada para aktivis dakwah untuk melakukan muhasaban rutin setiap hari dan setiap pekan. Hal ini dimaksudkan agar kita terbiasa melakukan evaluasi diri dan pembaharuan niat yang baik serta taubat yang benar dari segala bentuk kemaksiatan, dan agar kita dapat mengetahui permasalahan dengan cepat.
Pentingnya Refleksi Nilai-nilai Tarbiyah
• Dalam proses tarbiyah sangat dibutuhkan perhatian yang besar terhadap refleksi nilai-nilai ibadah, ketaatan, dan sarana-saran yang beragam untuk tarbiyah, serta penjelasan tentang pengaruh-pengaruh konkretnya terhadap individu peserta tarbiyah, yang tidak berdasarkan jumlah yang dihasilkan semata.
• Hakikat dari refleksi nilai-nilai tarbiyah tentunya tidak akan tampak kecuali pada saat-saat sempit dan tertekan yang dialami oleh masing-masing individu. Maka melalui kondisi-kondisi tersebut akan tampak hakikat perubahan yang terjadi. Adapun pada kondisi-kondisi biasa dan tenang, maka tidak menjadi standar dan tidak menjadi ujian terhadap kekokohan tarbiyah seseorang.
• Proses evaluasi dan perbaikan harus dilakukan dengan berinteraksi langsung dalam setiap kondisi, dan bersandar pada kejelasan, keterbukaan, keterus-terangan dan apa adanya, dan harus dilakukan melalui pencermatan yang teliti, dan tidak berdasarkan pada isu-isu yang tersebar, perkataan dan perkiraan, serta hendaknya memperhatikan kondisi-kondisi tertentu masing-masing individu. Tujuannya tidak untuk klasifikasi dan melemahkan, namun untuk proses peningkatan kualitas tarbiyah setiap kader di segala aspek, serta untuk menutupi celah-celah kerusakan dan kelemahannya.
• Proses evaluasi tarbiyah atau pembersihan hati ini merupakan hal yang tetap dan akan terus berlangsung, yang tidak berhenti pada suatu jenjang atau fase tertentu. Maka perubahan akan terus terjadi pada setiap individu di setiap waktu, dan pencapaiannya terhadap satu sifat tertentu, terkadang tidak berlangsung lama, karena sewaktu-waktu ia akan dihinggapi oleh kelemahan dan permasalahan, dengan demikian hal ini menegaskan kepada kita tentang urgensi dilakukannya evaluasi dan penyegaran, baik di jenjang individu peserta tarbiyah maupun mas’ul.
• Terkadang kelemahan refleksi tarbiyah pada diri seseorang disebabkan oleh beberapa sebab umum maupun khusus; yang hal ini menuntut sebuah pencermatan yang serius, dan upaya yang keras, serta usaha untuk menghilangkan kendala-kendalanya.
Diantara sebab-sebab umum adalah:
• Rusaknya iklim untuk mengoptimalkan fungsi sarana-sarana tarbiyah, lemahnya hubungan antara sesama peserta tarbiyah, dan sesama murabbi dan mas’ul.
• Tidak memahami dan menguasai sarana-sarana tarbiyah yang beraneka ragam dengan pemahaman yang benar, baik murabbi atau individu-individu yang melaksanakannya, yang kemudian mengakibatkan terjadinya kerusakan dalam penerapannya.
• Lemahnya kualitas tarbiyah murrabi dan kepiawaian mereka dalam menggunakan sarana-sarana tarbiyah yang beraneka beragam, dan keterbatasan kemampuan pada jumlah sarana tarbiyah yang sangat sedikit. Pengalaman dan keahlian dalam menggunakan sarana-sarana tarbiyah diwariskan melalui interaksi langsung dari satu jenjang ke jenjang yang lain, dan tidak melalui penjelasan-penjelasan teoritis.
• Kurang optimalnya dorongan pada setiap peserta tarbiyah untuk berinteraksi langsung dengan sarana-sarana tarbiyah tersebut, mengevalusi dan mengawasi pengaruhnya terhadap diri mereka.
• Hilangnya naluri tarbiyah dari setiap peserta tarbiyah, dan tidak jelasnya manhaj tarbiyah yang mereka miliki.
• Tidak ada evaluasi dari murabbi terhadap refleksi dan pengaruh instrumen tarbiyah pada masing-masing peserta tarbiyah, dan tidak adanya teguran kepada mereka ketika terjadi kelemahan dan permasalahan.
• Lemah atau hilangnya kekuatan spirit dan semangat yang tinggi, yang bermula dari mas’ul kemudian berpindah ke peserta tarbiyah.
• Banyak dan melimpahnya tugas dan kewajiban tanpa keteraturan (analisa beban dan pendelegasian tugas), yang menyebabkan kemalasan dan terbebani.
• Sedikitnya zikir dan doa kepada Allah, baik skala personal maupun kolektif (jamaah).
• Kerasnya hati, serta dominasi dosa dan maksiat.
Selain itu terdapat permasalahan-permasalahan khusus yang berkaitan dengan individu-individu tertentu, baik masalah finansial, sosial, pekerjaan (profesi), atau penyimpangan dalam pikiran dan prilaku.
Untuk mengatasi hal ini, diperlukan evaluasi yang cermat terhadap setiap individu kader dan melakukan upaya penyembuhan yang cocok untuk itu, dengan tetap memahami bahwa proses penyembuhan hati bukan permasalahan yang mudah.
Istighfar, doa, zikir, memperbanyak ikatan dengan Al Quran, shalat malam dan sedekah adalah ibadah yang dapat membersihkan dan menyucikan hati.

Makna kekuatan Yang diinginkan Barisan Dakwah


Melalui pembinaan yang cermat dan mendalam, serta dengan ujian dan cobaan, maka barisan dakwah akan sampai pada tahap kekuatan yang diinginkan, yang dapat terlihat dari hal-hal berikut:
- Kekuatan akidah dengan keparipurnaannya
- Kekuatan persatuan dan pengorganisasian dalam barisan dakwah.
- Kekuatan para pemimpin dalam kuantitas tertentu yang memiliki kemampuan dan keahlian praktis, serta kemampuan dalam jihad dan persiapannya.
Jadi yang pertama adalah terwujudnya kekuatan akidah dalam kadar yang memadai, kekuatan ikatan dan persatuan, dan hendaknya hal itu mencakup barisan dakwah dan dengan kuantitas yang sesuai dengan realita yang ada. Dan hal ini harus terpenuhi sebelum barisan dakwah melakukan langkah selanjutnya untuk berjihad dan menghadapi problematika dakwah yang lain.
Sesungguhnya kekokohan barisan dakwah dan kekuatannya akan terwujud dengan ukhuwah dan ikatan antara personal-personal dakwah, serta keberhimpunan mereka di sekitar para pemimpinnya dengan penuh kepercayaan, dan dengan semangat syura (musyawarah) yang merupakan manhaj yang mereka pelajari di dalam shaf dakwah. Hal ini kemudian yang akan memproteksi mereka dari segala upaya penyusupan dan konspirasi yang merongrong mereka dari dalam.
Imam Syahid berkata, “Wahai Ikhwan, Persatuan dan ikatan kalian adalah senjata utama, ia adalah senjata yang paling ampuh yang kalian miliki, maka jagalah persatuan itu, senantiasalah berada dalam barisan jamaah, jangan kalian berselisih dengan saudara-saudara kalian dalam sebuah permasalahan, jangan sampai kalian terpisah dikarenakan urusan-urusan yang sepele dan oleh kebimbangan yang mematikan.”
Beliau juga berkata, “Hendaklah kalian saling mencintai satu sama lain. Jagalah selalu persaudaraan dan kesatuan, karena ia merupakan rahasia kekuatan dan penentu keberhasilan kalian. Teguhlah dalam prinsip, sampai Allah membukakan Al Haq di antara kalian dan di tengah kalian. Dia-lah sebaik-baiknya pembuka (pemberi kemenangan).
Dengar dan taatilah qiyadah (pemimpin) kalian dalam kondisi sulit maupun mudah, dalam keadaan giat ataupun malas. Itulah syiar dan simbol fikrah kalian dan mata rantai hubungan di antara kalian.”

Jumat, 15 Oktober 2010

Aurat dan Pakaian

dakwatuna.com – Keberhasilan pertama kali yang diperoleh iblis dalam menggoda manusia setelah ia mendapat vonis diusir dari surga adalah dengan melucuti pakaian Adam dan Hawa sehingga terbuka auratnya.
Allah berfirman:
فَلَمَّا ذَاقَا الشَّجَرَةَ بَدَتْ لَهُمَا سَوْآتُهُمَا وَطَفِقَا يَخْصِفَانِ عَلَيْهِمَا مِن وَرَقِ الْجَنَّةِ ۖ ﴿٢٢﴾
Tatkala keduanya telah merasai buah kayu itu, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga… (QS. 7/Al A’raf: 22)
Dan ketika aurat telah terbuka maka dampak maksiat yang muncul kemudian sebagai akibat logisnya tidak dapat dihindarkan lagi. Di samping telah runtuhnya kehormatan dan kemuliaan seseorang dengan aurat yang terbuka itu. Maka Allah swt memperingatkan manusia agar berhati-hati menjaga auratnya dari godaan setan yang senantiasa mengintainya.
Allah berfirman:
يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ وَرِيشًا ۖ وَلِبَاسُ التَّقْوَىٰ ذَٰلِكَ خَيْرٌ ۚ ذَٰلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ ﴿٢٦﴾ يَا بَنِي آدَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ كَمَا أَخْرَجَ أَبَوَيْكُم مِّنَ الْجَنَّةِ يَنزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْآتِهِمَا ۗ إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيلُهُ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْ ۗ إِنَّا جَعَلْنَا الشَّيَاطِينَ أَوْلِيَاءَ لِلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ ﴿٢٧﴾
“Hai anak Adam sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian taqwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah mudahan mereka selalu ingat. Hai anak Adam janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh setan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihatmu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah jadikan syaitan-syaitan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman. QS. 7/Al A’raf: 26-27
Makna Aurat
Kata “aurat” menurut bahasa berarti an naqshu (kekurangan). Dan dalam istilah syar’iy (agama), kata aurat berarti: sesuatu yang wajib di tutup dan haram dilihat. Dan para ulama telah bersepakat tentang kewajiban menutup aurat baik dalam shalat maupun di luar shalat. [1]
Menjaga aurat adalah konsekuensi logis dari konsep menundukkan pandangan, atau sering pula disebut sebagai langkah kedua dalam mengendalikan keinginan dan membangun kesadaran, setelah konsep menundukkan pandangan. Dari itulah dua hal ini diletakkan dalam satu rangkaian ayat yang mengisyaratkan adanya hubungan sebab akibat, atau keduanya sebagai dua langkah strategis yang saling mendukung.
Hakikat menutup Aurat
Hakikat pakaian menurut Islam ialah untuk menutup aurat, yaitu menutup bagian anggota tubuh yang tidak boleh dilihat oleh orang lain. Syariat Islam mengatur hendaknya pakaian tersebut tidak terlalu sempit atau ketat, tidak terlalu tipis atau menerawang, warna bahannya pun tidak boleh terlalu mencolok, dan model pakaian wanita dilarang menyerupai pakaian laki-laki. Selanjutnya, baik kaum laki-laki maupun perempuan dilarang mengenakan pakaian yang mendatangkan rasa berbangga-bangga, bermegah-megahan, takabur dan menonjolkan kemewahan yang melampaui batas. Catatan Kaki:
[1] Az Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa adillatuh, op  cit. Juz I h. 579

Aurat Laki-laki dan Hukum Menutupnya
dakwatuna.com – Aurat laki-laki yang harus ditutup saat menunaikan shalat adalah qubul (kemaluan bagian depan) dan dubur (kemaluan bagian belakang), adapun di luar itu, mulai dari paha, pusar dan lutut, para ulama berbeda pendapat; sebagian ulama menganggapnya sebagai aurat dan sebagian lagi tidak menganggapnya sebagai aurat.
Pendapat pertama :
Bahwa paha, pusar dan lutut bukan aurat
Mereka beralasan :
Nabi bersabda :
عن عائشة رضي الله عنها: أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان جالسا كاشفا عن فخذه، فاستأذن أبو بكر فأذن له وهو على حاله، ثم استأذن عمر فأذن له، وهو على حاله ثم استأذن عثمان فأرخى عليه ثيابه. فلما قاموا قلت: يا رسول الله استأذن أبو بكر وعمر فأذنت لهما.
وأنت على حالك، فلما استأذن عثمان أرخيت عليك ثيابك؟ فقال: “يا عائشة ألا أستحي من رجل والله إن الملائكة لتستحي منه” رواه أحمد، وذكره البخاري تعليقا.
Dari Aisyah RA, bahwa Rasulullah saw saat duduk pahanya terbuka, lalu Abu Bakar meminta izin kepada Rasul, beliau pun mengizinkannya dan beliau dalam keadaan seperti semula, kemudian Umar  meminta izin dan beliau mengizinkannya dan beliau dalam keadaan seperti itu, kemudian Utsman pun ikut meminta izin namun beliau menurunkannya pakaiannya, setelah mereka pergi aku berkata : Wahai Rasulullah ketika Abu Bakar dan Umar meminta izin engkau mengizinkan keduanya. Dan engkau dalam keadaan semula, namun ketika Utsman meminta izin engkau mengulurkan pakaianmu ? maka beliau bersabda : Wahai Aisyah,  apakah aku tidak malu dari seseorang, demi Allah para malaikat lebih malu darinya”. (HR. Ahmad, dan disebutkan oleh imam Bukhari dalam ta’liqnya)
وعن أنس: “أن النبي صلى الله عليه وسلم يوخ خيبر حسر الازار عن فخذه، حتى إني لانظر إلى بياض فخذه” رواه أحمد والبخاري.
Dari Anas RA: bahwa Nabi saw membuka pada saat Khaibar kain sarungnya sehingga terbuka pahanya, sampai aku dapat melihat pahanya yang berwarna putih. (HR. Ahmad dan Bukhari)
Ibnu Hazm berkata : Jelas bahwa paha bukan aurat, sekiranya merupakan aurat maka Allah tidak akan menyingkapkannya padahal beliau seorang yang suci dan maksum dari manusia, saat beliau menyampaikan risalahnya dan tidak diperlihatkan pahanya di hadapan Anas bin Malik dan yang lainnya.
وعن مسلم عن أبي العالية البراء قال: إن عبد الله ابن الصامت ضرب فخذي وقال: إني سألت أبا ذر فضرب فخذي كما ضربت فخذك وقال: إني سألت رسول الله صلى الله عليه وسلم كما سألتني فضرب فخذي كما ضربت فخذك وقال: (صل الصلاة لوقتها) إلى آخر الحديث.
Dari Imam Muslim, dari Abu Al-‘Aliyah al-barra berkata : bahwa Abdullah bin As-shamit memukul paha saya, dia berkata : lalu saya bertanya kepada Abu Dzar, maka beliau memukul paha saya seperti Aku memukul paha kamu, kemudian dia berkata : kemudian saya bertanya kepada Rasulullah saw seperti yang kamu Tanya kepadaku maka beliau pun memukul saya seperti aku memukul paha kamu, dan beliau bersabda : “Dirikanlah shalat pada waktunya…sampai akhir hadits.
Ibnu Hazm  berkata : jika paha sebagai bagian dari aurat maka Rasulullah saw tidak akan menyentuhnya dari Abu Dzar dengan tangannya yang suci. Dan jika paha merupakan aurat menurut Abu Dzar maka tidak menyentuh paha Abdullah bin Shamit dengan tangannya, begitu pun Abdullah bin Shamit dan Abu al-Aliyah.
Pendapat kedua :
Bahwa paha, pusar dan lutut adalah aurat.
Mereka beralasan :
Hadits nabi saw :
عن محمد بن جحش قال: مر رسول الله صلى الله عليه وسلم على معمر، وفخذاه مكشوفتان فقال  :”يا معمر غط فخذيك فإن الفخذين عورة” رواه أحمد والحاكم والبخاري في تاريخه، وعلقه في صحيحه.
Dari Muhammad bin Jahsy berkata : Rasulullah saw melewati ma’mar sementara kedua pahanya tersingkap, beliau bersabda : “Wahai Ma’mar tutuplah kedua pahamu karena paha itu adalah aurat”. (HR. Ahmad, Hakim dan Bukhari).
وعن جرهد قال: مر رسول الله صلى الله عليه وسلم وعلي بردة وقد انكشفت فخذي فقال: “غط فخذيك فإن الفخذ عورة” رواه مالك وأحمد وأبو داود والترمذي وقال: حسن: وذكره البخاري في صحيحه معلقا.
Dan dari Jurhud berkata : Rasulullah saw lewat pada Burdah dan kedua pahanya tersingkap, beliau bersabda : “Tutuplah kedua pahamu karena paha itu adalah aurat”. (HR. Malik, Ahmad, Hakim, Abu Dawud dan Tirmidzi serta Bukhari dalam shahihnya).
Demikian dua pendapat tentang batasan aurat laki-laki, namun bagi kita untuk lebih berhati-hati, saat akan menunaikan shalat maka kita menutup aurat kita mulai dari pusar hingga dua lututnya sebisa mungkin.
Aurat laki-laki bersama dengan laki-laki.
Bersama dengan kaum lelaki, ia tidak boleh menampakkan bagian antara lutut dan pusarnya, baik laki-laki yang melihatnya itu kerabatnya maupun orang lain, baik muslim maupun kafir. Adapun selain anggota tubuh itu boleh terlihat selama tidak ada fitnah.
Rasulullah bersabda :
Artinya: Apa yang ada di antara pusar dan lutut adalah aurat. (H.R.  Al Hakim)
Rasulullah saw bersabda :
Artinya: Tutuplah pahamu, karena paha lelaki adalah aurat”. (H.R. Al Hakim)
Aurat laki-laki di hadapan wanita
Seorang wanita muslimah diperbolehkan melihat kaum lelaki yang berjalan di jalan-jalan, atau memainkan permainan yang tidak diharamkan, yang sedang berjual beli, dan sebagainya.
Rasulullah SAW menyaksikan orang-orang Habsyiy bermain lembing di dalam masjid pada hari raya dan Aisyah ikut menyaksikan mereka dari belakang beliau. Rasulullah menghalangi Aisyah dari mereka, sampai ia merasa bosan dan pulang. Peristiwa ini terjadi pada tahun ke tujuh Hijriyah. [1]
Sedangkan hadits yang mengatakan :
“Berhijablah kalian berdua dari padanya. Apakah kalian berdua buta? Bukankah kalian berdua melihatnya?”[2] Menunjukkan bahwa Ummu Salamah dan Maimunah berkumpul bersama Ibnu Ummi Maktum di dalam satu majelis, mereka bertemu pandang dan berhadap hadapan.
Pada kenyataannya, memang sangat berbeda antara pandangan laki-laki pada wanita dan pandangan wanita pada laki-laki. Wanita dengan rasa malu yang tinggi akan cenderung pasif, sedangkan laki-laki dengan sifat pemberaninya akan cenderung aktif dan kreatif.
Kesimpulannya, wanita diperbolehkan melihat lelaki lain dengan dua syarat, yaitu :
Pertama, tidak dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah.
Kedua, tidak berada dalam satu majelis  berhadap-hadapan.
Catatan Kaki:
[1] As Shan’ani, Subulusalam, (Riyadh: Mathabi’ Jami’ah Al Imam Muhammad Ibn Su’ud Al Islamiyah, 1408 H) Juz I h. 304
[2] Al Qurthubi, Al Jami’ li Ahkam Al Qur’an, op  cit, Juz XII h. 228
Aurat Wanita Dan Hukum Menutupnya
Yang menjadi dasar aurat wanita adalah:
1. Al-Qur’an
Allah SWT berfirman :
“Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman : Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan khumur (jilbab)nya ke dadanya”. (QS. An-Nur : 30-31)
Ayat ini menegaskan empat hal :
a. Perintah untuk menahan pandangan dari yang diharamkan oleh Allah.
b. Perintah untuk menjaga kemaluan dari perbuatan yang haram.
c. Larangan untuk menampakkan perhiasan kecuali yang biasa tampak.
d. Perintah untuk menutupkan khumur ke dada. Khumur adalah bentuk jamak dari khimar yang berarti kain penutup kepala. Atau dalam bahasa kita disebut jilbab.
Allah SWT berfirman :
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang-orang mukmin : Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal dan oleh karenanya mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Qs. Al-Ahzab: 59).
Jilbab dalam bahasa Arab berarti pakaian yang menutupi seluruh tubuh (pakaian kurung), bukan berarti jilbab dalam bahasa kita (lihat arti kata khimar di atas). Ayat ini menjelaskan pada kita bahwa menutup seluruh tubuh adalah kewajiban setiap mukminah dan merupakan tanda keimanan mereka.
2. Hadits Nabi SAW
Dalam riwayat Aisyah RA, bahwasanya Asma binti Abu Bakar masuk menjumpai Rasulullah dengan pakaian yang tipis, lantas Rasulullah berpaling darinya dan berkata : Hai Asma, sesungguhnya jika seorang wanita sudah mencapai usia haidh (akil baligh) maka tak ada yang layak terlihat kecuali ini, sambil beliau menunjuk wajah dan telapak tangan. (HR. Abu Daud dan Baihaqi).
Hadits ini menunjukkan dua hal:
  1. Kewajiban menutup seluruh tubuh wanita kecuali wajah dan telapak tangan.
  2. Pakaian yang tipis tidak memenuhi syarat untuk menutup aurat.
Dari kedua dalil di atas jelaslah batasan aurat bagi wanita, yaitu seluruh tubuh kecuali wajah dan dua telapak tangan. Dari dalil tersebut pula kita memahami bahwa menutup aurat adalah wajib. Berarti jika dilaksanakan akan menghasilkan pahala dan jika tidak dilakukan maka akan menuai dosa.
Kewajiban menutup aurat ini tidak hanya berlaku pada saat shalat saja namun juga pada semua tempat yang memungkinkan ada laki-laki lain bisa melihatnya.
A. Aurat wanita bersama wanita
Wanita bersama dengan kaum wanita, bagaikan laki-laki bersama dengan laki-laki, diperbolehkan melihat seluruh badannya kecuali antara lutut dan pusarnya, kecuali diindikasikan akan membawa fitnah, maka tidak boleh menampakkan bagian tubuh itu. Hanya saja kepada wanita yang tidak seagama, wanita muslimah tidak boleh menampakkan auratnya sebagaimana kepada sesama wanita muslimah. Karena wanita yang tidak seagama berstatus orang lain bagi wanita muslimah. Allah berfirman :
Artinya: …atau wanita-wanita Islam…. (QS. An Nur/24:30)
B. Aurat wanita di hadapan laki-laki
Keberadaan wanita di hadapan lawan jenisnya memiliki rincian hukum yang berbeda-beda, yaitu:
a. Di hadapan laki-laki lain, yang tidak ada hubungan mahram.
Maka seluruh badan wanita adalah aurat, kecuali wajah dan telapak tangan. Karena keduanya diperlukan dalam bermuamalah, memberi dan menerima.
Pandangan laki-laki kepada wajah dan telapak tangan wanita bisa diklasifikasikan dalam tiga kelompok, yaitu:
1. Tidak diperbolehkan dengan sengaja melihat wajah dan telapak tangan wanita lain tanpa tujuan syar’i. Dan jika tanpa sengaja melihatnya maka segera harus memalingkan pandangan seperti yang telah dijelaskan pada pandangan faj’ah (tanpa sengaja).
2. Melihat karena ada tujuan syar’i dan tidak ada fitnah, seperti melihat untuk melamar. Rasulullah menyuruh Mughirah bin  Syu’bah untuk melihat wanita yang hendak dinikahinya:
Jika salah seorang di antaramu, meminang seorang wanita maka jika ia mampu melihat bagian yang mendorongnya untuk menikahinya maka lakukanlah. (H.R. Ahmad, dan Abu Daud)
Dan untuk semua tujuan itu,  seseorang diperbolehkan melihat wajahnya, yang dengan melihat wajah itu sudah cukup untuk mengenalinya.
3. Memandang dengan syahwat, inilah pandangan terlarang, seperti yang disebutkan dalam hadits Nabi:
Nabi saw bersabda :
“Telah ditetapkan atas setiap anak Adam bagian dari zina, zina mata adalah pandangannya, zina mulut adalah ucapannya, zina telinga adalah mendengarkannya, zina tangan adalah memegangnya, zina kaki adalah melangkah menemuinya, nafsunya berharap dan berselera, kemaluannya membenarkan atau mendustakannya. (H.R. Ibnu Majah)
Asbabun nuzul ayat 30 ini sangat memperjelas kewajiban menjaga pandangan, yaitu kisah seorang laki-laki yang lewat di salah satu jalan di Madinah, ia memandangi seorang wanita. Dan wanita itupun membalas memandanginya. Setan ikut bermain menggoda keduanya, sehingga keduanya saling mengagumi. Sambil berjalan laki-laki itu terus memandangnya hingga ia menabrak tembok dan berdarah hidungnya. Ia berkata:
“Demi Allah! Saya tidak akan membasuh darah ini sebelum saya menemui Rasulullah SAW lalu saya ceritakan kejadian ini.”
Laki-laki itu segera menemui Nabi dan menceritakan kejadiannya. Nabi bersabda:
“Inilah hukuman dosamu”. Dan Allah menurunkan  ayat 30 dan 31 ini.[1]
Pengecualian dalam hukum ini adalah jika berada dalam keadaan terpaksa, seperti penglihatan dokter muslim yang terpercaya untuk pengobatan, khitan, atau penyelamatan dari bahaya kebakaran, tenggelam, dsb.
b. Di hadapan laki-laki yang memiliki hubungan mahram
Ada ulama yang mengatakan bahwa dalam kondisi itu wanita hanya boleh menampakkan bagian tubuh yang biasa terlihat sewaktu bekerja, yaitu: rambut, leher, lengan, dan  betis.
Allah berfirman :
“Dan hendaklah mereka menutup kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasan-nya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra  saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka” ( QS. An Nur/24:31)
c. Di hadapan suami
Seorang wanita di hadapan suaminya boleh menampakkan seluruh anggota badannya. Karena segala sesuatu yang boleh dinikmati, tentu boleh juga dilihat.
Allah berfirman :
kecuali kepada suami mereka, …,
Ada sebagian ulama yang mengatakan makruh melihat kemaluan. Karena Aisyah RA mengatakan tentang hubungannya dengan Nabi Muhammad SAW:
Artinya: “Saya tidak pernah melihat darinya dan ia tidak pernah melihat dariku. (H.R. At Tirmidzi)
d. Budak wanita di hadapan orang yang tidak boleh menikmatinya
Aurat budak wanita di hadapan laki-laki yang tidak boleh menikmatinya adalah seperti aurat laki-laki, yaitu antara lutut dan pusar. Dan jika di hadapan tuan yang boleh menikmatinya maka kedudukannya bagaikan istri dengan suaminya.
Allah berfirman :
atau budak-budak yang mereka miliki,….
Pakaian Wanita
Ilustrasi - Pakaian Wanita Muslimah (Danang Kawantoro)
dakwatuna.com – Islam mengharamkan perempuan memakai pakaian yang membentuk dan tipis sehingga nampak kulitnya. Termasuk di antaranya ialah pakaian yang dapat mempertajam bagian-bagian tubuh khususnya tempat-tempat yang membawa fitnah, seperti: payudara, paha, dan sebagainya.
Dalam haditsnya yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda: Ada dua golongan dari ahli neraka yang belum pernah saya lihat keduanya itu: (1) Kaum yang membawa cambuk seperti ekor sapi yang mereka pakai buat memukul orang (penguasa yang kejam); (2) Perempuan-perempuan yang berpakaian tetapi telanjang, yang cenderung kepada perbuatan maksiat, rambutnya sebesar punuk unta. Mereka ini tidak akan bisa masuk surga, dan tidak akan mencium bau surga, padahal bau surga itu tercium sejauh perjalanan demikian dan demikian.” (HR. Muslim, Babul Libas)
Mereka dikatakan berpakaian, karena memang mereka itu melilitnya pakaian pada tubuhnya, tetapi pada hakikatnya pakaiannya itu tidak berfungsi menutup aurat, karena itu mereka dikatakan telanjang, karena pakaiannya terlalu tipis sehingga, dapat memperlihatkan kulit tubuh, seperti kebanyakan pakaian perempuan sekarang ini.
Bukhtun adalah salah satu macam daripada unta yang mempunyai kelasa (punuk) besar; rambut orang-orang perempuan seperti punuk unta tersebut karena rambutnya ditarik ke atas.
Dibalik keghaiban ini, Rasulullah seolah-olah melihat apa yang terjadi di zaman sekarang ini yang kini di wujudkan dalam bentuk penataan rambut, dengan berbagai macam mode dalam salon-salon khusus, yang biasa disebut salon kecantikan, dimana banyak sekali laki-laki yang bekerja pada pekerjaan tersebut dengan upah yang sangat tinggi.
Tidak cukup sampai di situ saja, banyak pula perempuan yang merasa kurang puas dengan rambut asli pemberian Allah SWT. Untuk itu mereka membeli rambut palsu yang disambung dengan rambutnya yang asli, supaya tampak lebih menyenangkan dan lebih cantik, sehingga dengan demikian dia akan menjadi perempuan yang menarik dan memikat hati.
Satu hal yang sangat mengherankan, justru persoalan ini sering dikaitkan penjajahan politik dan kejatuhan moral, dan ini dapat di buktikan oleh suatu kenyataan yang terjadi, dimana para penjajah politik itu dalam usahanya untuk menguasai rakyat sering menggunakan sesuatu yang dapat membangkitkan syahwat dan untuk dapat mengalihkan pandangan manusia, dengan diberinya kesenangan yang kiranya dengan kesenangannya itu, manusia tidak mau lagi memperhatikan persoalannya yang lebih umum.
Aurat wanita yang tak boleh terlihat di hadapan laki-laki lain (selain suami dan mahramnya) adalah seluruh anggota badannya kecuali wajah dan telapak tangan.
Syarat-Syarat Pakaian Wanita
Pada dasarnya seluruh bahan, model dan bentuk pakaian boleh dipakai, asalkan memenuhi syarat-syarat berikut:
  1. Menutup seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan.
  2. Tidak tipis dan tidak transparan
  3. Longgar dan tidak memperlihatkan lekuk-lekuk dan bentuk tubuh (tidak ketat)
  4. Bukan pakaian laki-laki atau menyerupai pakaian laki-laki.
  5. Tidak berwarna dan bermotif terlalu menyolok. Sebab pakaian yang menyolok akan mengundang perhatian laki-laki. Dengan alasan ini pula maka membunyikan (menggemerincingkan) perhiasan yang dipakai tidak diperbolehkan walaupun itu tersembunyi di balik pakaian.
Islam Agama Bersih dan Cantik
Ilustrasi (Danang Kawantoro)
dakwatuna.com – Dalam salah satu haditsnya, Rasulullah SAW pernah bersabda sebagai berikut: “Menjadi bersihlah kamu, karena sesungguhnya Islam itu bersih.” (HR. Ibnu Hiban)
Dan sabdanya pula: “Kebersihan itu dapat mengajak orang kepada iman. Sedang iman itu akan bersama pemiliknya ke Surga.” ( HR. Thabrani)
Rasulullah SAW sangat menekankan tentang masalah kebersihan pakaian, badan rumah, dan jalan-jalan. Dan lebih serius lagi, yaitu tentang kebersihan gigi, tangan dan kepala.
Ini bukan suatu hal yang mengherankan, karena Islam telah meletakkan suci (bersih) sebagai kunci bagi para peribadatannya yang tertinggi yaitu shalat. Oleh karena itu tidak akan diterima shalatnya seorang muslim sehingga badannya bersih, pakaiannya bersih dan tempat yang dipakai pun dalam keadaan bersih. Ini belum termasuk kebersihan yang diwajibkan terhadap seluruh badan atau pada anggota badan. Kebersihan yang wajib ini dalam Islam dilakukan dengan mandi dan wudhu’.
Pernah juga Nabi melihat seorang yang pakaiannya kotor sekali, maka apa kata Nabi: “Apakah orang ini tidak dapat mendapatkan sesuatu yang dapat dipakai mencuci pakaiannya?” (HR. Abu Daud)
Dan pernah ada seorang laki-laki datang kepada Nabi, pakaiannya sangat menjijikan, maka tanya Nabi kepadanya: “Apakah kamu mempunyai Uang? Orang tersebut menjawab: Ya! Saya punya: Nabi bertanya lagi: Dari mana uang itu? Orang itupun kemudian menjawab: dari setiap harta yang Allah berikan kepadaku. Maka kata Nabi: Kalau Allah memberimu harta, maka sungguh Dia (lebih senang) menyaksikan bekas nikmat-Nya yang diberikan kepadamu dan bekas kedermawanan-Nya itu.” (HR. Nasa’i)
Masalah kebersihan ini lebih ditekankan lagi pada hari-hari berkumpul, misalnya: Pada hari Jum’at dan hari raya. Dalam hal ini Nabi pun pernah bersabda : “Seyogianyalah salah seorang di antara kamu, jika ada rezki, memakai dua pakaian untuk hari Jum’at, selain pakaian kerja.” (HR. Abu Daud)
Dilaknatnya Laki-laki Menyerupai Perempuan dan Perempuan Menyerupai Laki-laki
Ilustrasi - Jadilah laki-laki sejati dan perempuan sejati (Danang Kawantoro)
dakwatuna.com – Rasulullah SAW pernah mengumumkan, bahwa perempuan dilarang memakai pakaian laki-laki dan laki-laki dilarang memakai pakaian perempuan. Di samping itu beliau melaknat laki-laki yang menyerupai perempuan dan perempuan yang menyerupai laki-laki. Termasuk di antaranya, ialah tentang bicaranya, geraknya, cara berjalannya, pakaiannya dan sebagainya.
Sejahat-jahat bencana yang akan mengancam kehidupan manusia dan masyarakat, ialah karena sifat yang abnormal dan menentang tabiat. Sedang tabiat ada dua: tabiat laki-laki dan tabiat perempuan. Masing-masing mempunyai keistimewaan tersendiri. Maka jika ada laki-laki yang berlagak seperti perempuan dan perempuan yang bergaya seperti laki-laki, maka ini berarti suatu sikap yang tidak normal dan meluncur ke bawah.
Rasulullah SAW pernah menghitung orang-orang yang dilaknat di dunia ini dan disambutnya juga oleh Malaikat, di antaranya ialah laki-laki yang oleh Allah dijadikan betul-betul laki-laki, tetapi dia menjadikan dirinya seorang perempuan; dan yang kedua yaitu perempuan yang memang dicipta oleh Allah sebagai perempuan, tetapi kemudian dia menjadikan dirinya sebagai laki-laki dan menyerupai seorang laki-laki.
Justru itu pulalah, maka Rasulullah saw melarang laki-laki memakai pakaian yang dicelup dengan ‘ashfar (wenter berwarna kuning yang biasa di pakai untuk mencelup pakain-pakain wanita di zaman itu).
Ali RA meriwayatkan:
“Rasulullah SAW pernah melarang aku memakai cincin emas dan pakaian sutera dan pakaian yang di celup dengan ‘ashfar.” (Hadits Riwayat Thabrani)
Ibnu Umar pun pernah meriwayatkan:
“Bahwa Rasulullah SAW pernah melihat aku memakai dua pakaian yang dicelup dengan ‘ashfar, maka sabda Nabi: Ini adalah pakaian orang-orang kafir, oleh karena itu jangan kamu pakai dia.”
Pakaian Untuk Berfoya-foya dan Kesombongan
dakwatuna.com – Ketentuan secara umum dalam hubungannya dengan masalah menikmati hal-hal yang baik, yang berupa makanan, minuman ataupun pakaian, yaitu tidak boleh berlebih-lebihan dan untuk kesombongan.
Berlebih-lebihan, yaitu melewati batas ketentuan dalam menikmati yang halal. Dan yang disebut kesombongan, yaitu erat sekali dengan masalah niat, dan hati manusia itu berkait dengan masalah yang zhahir. Dengan demikian apa yang disebut dengan kesombongan itu ialah bermaksud untuk bermegah-megah dan menunjuk-nunjukkan serta menyombongkan diri terhadap orang lain. Padahal Allah sama sekali tidak suka terhadap orang yang sombong.
Allah SWT berfirman :
“Allah tidak suka kepada setiap orang yang angkuh dan sombong.”
(QS. Al-Hadid: 23)
Dan Rasulullah SAW juga bersabda :
“Barang siapa melabuhkan kainnya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya nanti di hari kiamat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kemudian agar setiap Muslim dapat menjauhkan diri dari hal-hal yang menyebabkan kesombongan, maka Rasulullah SAW melarang untuk berpakaian yang berlebih-lebihan, dimana hal tersebut akan dapat menimbulkan perasaan angkuh, membanggakan diri pada orang lain dengan bentuk-bentuk lahiriah yang kosong itu.
Di dalam Haditsnya, Rasulullah SAW bersabda sebagai berikut:
“Barang siapa memakai pakaian yang berlebih-lebihan, maka Allah akan memberikan pakaian kehinaan nanti di hari kiamat.” (Riwayat Ahmad, Abu Daud, Nasa’i, dan Ibnu Majjah, dengan sanad yang kepercayaan)
Ada seorang laki-laki bertanya kepada Ibnu Umar tentang pakaian apa yang harus dipakainya? Maka jawab Ibnu Umar: Yaitu pakaian yang kiranya kamu tidak akan di hina oleh orang-orang bodoh dan tidak dicela oleh kaum filosofis. (HR. Thabrani)

Rahasia Harta

dakwatuna.com – Harta bukan simbol keberhasilan, karenanya banyak orang kaya raya justru gagal dalam hidupnya. Ia semakin menderita ketika di tangannya banyak harta. Pikirannya semakin terbebani sehingga seluruh pikiran dan perasaan tertuju ke sana. Dan sehebat apapun manusia mempertahankan hartanya ia pasti akan meninggalkannya. Tidak ada cerita bahwa orang-orang kaya tetap bertahan hidup selama hartanya masih ada. Bahkan sudah tak terhitung para raja dan para konglomerat yang meninggal dunia. Padahal istana mereka masih megah. Dan harta mereka masih banyak. Maka sungguh salah orang-orang yang mempunyai persepsi bahwa semakin banyak harta semakin berhasil. Semakin banyak harta semakin tinggi derajatnya. Perhatikan apa yang mereka alami justru di saat-saat mereka hidup nyaman? Sungguh banyak orang yang hidup di negara maju, dengan fasilitas kemewahan yang lengkap, malah justru mereka stress.  Banyak para artis justru menderita setelah memiliki harta yang banyak. Bukankah ini semua adalah bukti bahwa harta bukanlah simbol keberhasilan.
Harta bukan simbol ketinggian derajat. Banyak orang salah paham, sehingga mengira bahwa dengan banyak harta ia akan semakin terhormat. Lalu dia segera merasa di atas. Dengan banyak pegawai dan pembantu ia semakin merasa tinggi. Lidahnya hanya main perintah. Orang-orang di sekitarnya dianggap budak. Lebih dari itu mereka merasa gengsi duduk dengan pegawai rendahan. Dan yang sangat memalukan mereka merasa tidak pantas datang ke masjid untuk shalat berjamaah bersama orang-orang umum yang tidak se level jabatannya. Akibatnya ia memilih tetap di kantornya, tidak mau turun ke masjid, dan merasa tidak berdosa sekalipun ia sengaja meninggalkan shalat berjamaah, karena rapat dan pertemuan bisnis. Apakah sampai sejauh ini mereka merasa tinggi, karena harta dan jabatan yang dimiliki, sehingga secara bertahap lupa daratan, dan tidak mau turun ke bawah. Lalu sedikit demi sedikit memposisikan dirinya seperti Tuhan yang harus dipatuhi, dan siapapun yang melanggar aturannya diancam dengan PHK. Bahkan ada seorang pegawai yang karena saking takutnya minta izin untuk shalat sehingga ia rela tidak shalat demi pekerjaan kantornya.
Dalam sebuah kesempatan, pernah seorang pegawai bercerita, bahwa ia suatu hari minta izin kepada bosnya untuk shalat. Pada waktu itu rapat sedang berlangsung. Lalu seketika bosnya menjawab: ”akhirkan saja shalatnya. Apa gunanya Allah bikin akhir waktu”. Mendengar jawaban tersebut, sang pegawai segera bertanya kepada saya:  ”bagaimana cara menjawabnya?”. Saya jelaskan: ”coba saja bapak besok datang ke kantor di akhir-akhir waktu. Kira-kira bos itu marah gak? Kalau marah jelaskan, apa gunanya bos bikin akhir waktu”. Perhatikan, betapa manusia baru diberi harta sedikit lalu segera dirinya merasa hebat dan merasa berhak mengatur Allah. Bahkan tidak takut dengan sengaja berlawan dengan Allah.
Harta bukan sarana untuk bersikap sombong. Sungguh tidak pantas seseorang sombong dengan harta yang diberikan Allah. Benar, harta itu pemberian Allah. Tidak ada di dunia ini seseorang kaya karena kehebatannya, kecerdasannya atau keahliannya. Dia kaya karena nasib yang Allah tentukan. Sungguh banyak orang yang cerdas dan mempunyai keahlian yang hebat, tetapi karena nasib dia tidak menjadi kaya. Dan sungguh banyak orang yang tidak cerdas dan tidak punya keahlian tetapi karena nasib ia menjadi kaya. Karena itu, ketika seseorang mendapatkan kekayaan harta, seharusnya ia segera merasa bahwa itu pemberian sekaligus titipan Allah. Bahwa di sekitarnya banyak orang yang secara nasib miskin, maka mereka harus segera dibantu dengan harta yang dititipkan Allah tersebut. Sayangnya banyak orang salah paham. Begitu mendapatkan harta, lalu segera merasa bahwa itu adalah buah jerih payahnya, karena kehebatan dirinya. Bahwa di dalamnya tidak ada campur tangan Allah. Sehingga dengan pemahaman tersebut ia menjadi kikir dan pelit.
Ingat, harta itu tidak mungkin kau pertahankan di tanganmu. Ia mempunyai tabiat datang dan pergi. Begitu ia datang kepadamu, suatu saat – cepat atau lambat – ia pasti akan pergi darimu. Berapa banyak orang berusaha mempertahankan hartanya, namun ternyata tiba-tiba kebutuhan segera mendesak sehingga ia harus mengeluarkannya. Hanya saja cara mengeluarkannya ada banyak bentuk alasan: ada yang keluarkan harta karena kebutuhan makan dan minum, ada pula yang keluarkan karena sakit dengan biaya mahal, ada pula yang karena harus membayar biaya pendidikan anaknya dan sebagainya. Yang jelas bahwa harta itu tidak mungkin dipertahankan. Toh sekalipun ia berhasil mempertahankannya, ujung-ujungnya ia pasti akan meninggalkannya. Dan kita semua sudah tahu pasti bahwa kematian akan datang tanpa kenal kompromi. Siapapun ketika tiba saatnya mati, tak peduli kaya atau miskin, ia pasti mati. Masihkah kau –wahai sahabat- akan mengagung-agungkan harta sehingga kewajiban kepada Allah diabaikan demi mengurus harta. Bahkan lebih dari itu, banyak orang yang tidak sempat menghadiri majelis ta’lim untuk mengokohkan iman, hanya karena alasan sibuk mengurus harta. Sungguh sudah saatnya seorang mukmin segera memperbaiki persepsinya tentang harta. Bahwa harta hanya keperluan bukan tujuan. Wallahu a’lam bishshawab.

Rukun Islam Dan Prinsip-Prinsip Akhlaq

dakwatuna.com – Rasulullah telah menjelaskan tujuan utama diutusnya beliau menjadi rasul dan minhaj yang jelas melalui sabdanya,
إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُِتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاَقِ
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq mulia.” (HR. Malik).
Seolah-olah risalah yang alirannya telah ditentukan di dalam sejarah kehidupan, si pembawanya telah mengerahkan segenap tenaga untuk memancarkan sinarnya dan mengumpulkan orang di sekitarnya. Tidak lebih dari sekadar memberi dukungan terhadap kemuliaan mereka dan menyinari kesempurnaan yang telah berkibar di depan mereka agar mereka berjalan menuju risalah itu dengan jelas dan gamblang.
Dan sabdanya:
“الدين حسن الخلق”
“Agama adalah akhlaq yang baik.” (HR. Hakim).
Begitu pentingnya akhlaq dalam Islam seakan tidak ada ajaran agama kecuali akhlaq. Oleh karena itu akhlaq menjadi landasan hidup dan  pijakan dalam  berbicara, bersikap dan berperilaku, sebagai mana firman Allah:
وَإِنَّ لَكَ لَأَجْرًا غَيْرَ مَمْنُونٍ [٦٨:٣]
“Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS. Al-Qalam)
Rukun Islam yang lima sangat erat kaitannya dengan akhlaq; dua kalimat syahadat, shalat, zakat, shaum, dan hajji tidak dapat dipisahkan dari prinsip-prinsip dan nilai-nilai akhlaq. Setiap rukun dari rukun Islam yang lima harus berdampak positif pada perubahan perilaku dan gaya hidup seorang muslim.
Dan ibadah yang disyariatkan Islam adalah sebagai pilar-pilar keimanan bukan sekadar ritual semu yang menghubungkan antara manusia dengan alam gaib yang misterius. Memberinya dengan berbagai amal serba samar dan gerak-gerik tanpa makna. Tidak, sekali lagi tidak, berbagai kewajiban yang dibebankan Islam kepada setiap muslim merupakan latihan yang berulang-ulang agar  terbiasa dengan akhlaq yang benar dan senantiasa komitmen dengan akhlaq tersebut apapun kondisi yang dialaminya.
Ia tak ubahnya seperti senam yang sangat diminati orang. Dengan melakukannya secara kontinyu ia berharap agar badannya sehat dan hidupnya sejahtera.
1. Syahadatain dan akhlaq
Mengucapkan dua kalimat syahadat bukan kegiatan formalitas untuk menjadi muslim akan tetapi lebih jauh dan lebih dalam dari itu adalah bukti keyakinan yang kuat dan kejujuran yang sempurna serta keikhlasan yang mendalam dalam menerima Islam sebagai system hidup. Oleh karena itu Rasulullah menegaskan barang siapa yang mengucapkan laa ilaaha illallah dengan hati yang jujur maka ia masuk surga.
مَا مِنْ عَبْدٍ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ثُمَّ مَاتَ عَلَى ذَلِكَ إِلَّا دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Tidak ada seorang hamba yang mengucapkan laa ilaaha illallah kemudian mati dengan komitmen padanya melainkan ia masuk surga” (HR. Bukhari)
وَمَنْ لَقِيَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ بِهِمَا غَيْرَ شَاكٍّ دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Barang siapa yang menghadap Allah dengan dua kalimat syahadat tanpa meragukannya sedikit pun maka ia masuk surga” (HR. Ahmad)
Dari dua hadits di atas sangat jelas bahwa mengucapkan dua kalimat syahadat bukan hanya sekadar ucapan lisan akan tetapi disertai dengan keyakinan, kejujuran hati dan komitmen untuk menjalankan tuntutannya dengan benar dan ikhlas.
2. Shalat dan akhlaq
Al-Qur’an Al-Karim dan As-Sunnah Al-Muthahharah menyingkap hakikat ini. Shalat wajib misalnya, saat Allah memerintahkan melaksanakannya Dia juga menjelaskan hikmahnya.
Allah berfirman,
اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ ۖ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ [٢٩:٤٥]
Bacalah apa yang Telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan Dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-‘Ankabuut: 45)
Menjauhkan diri dari keburukan dan mensucikan diri dari semua perkataan serta amal buruk adalah hakikat shalat. Nabi meriwayatkan dari Rabbnya,
إِنَّمَا أَتَقَبَّلُ الصَّلاةَ مِمَّنْ تَوَاضَعَ بِهَا لِعَظَمَتِي ، وَلَمْ يَسْتَطِلْ عَلَى خَلْقِي ، وَلَمْ يَبِتْ مُصراً عَلَى مَعْصِيَتِي وَقَطَعَ النَّهَارَ فِي ذِكْرِي ، وَرَحِمَ الْمِسْكِيْنَ وَابْنَ السَّبِيْلِ وَالأَرْمَلَةِ ، وَرَحِمَ المُصَابَ
“Sesungguhnya Aku menerima shalatnya seseorang yang tawadhu’ karena keagungan-Ku, tidak sombong terhadap makhluk-Ku, tidak terus-menerus melakukan maksiat terhadap-Ku, menghabiskan siangnya untuk berdzikir kepada-Ku, menyayangi orang miskin, ibnu sabil, dan janda, serta menyantuni orang yang terkena musibah.” (Al-Bazzar).
3. Zakat dan Akhlaq
dakwatuna.com – Zakat wajib bukan pajak yang diambil dari kas. Namun, pertama-tama ia merupakan bentuk penanaman perasaan kasih sayang, penguat hubungan antar orang-orang yang saling mengenal, serta penyatuan lintas strata masyarakat.
Al-Qur’an menyebutkan tujuan dikeluarkannya zakat.
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ ﴿١٠٣﴾
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. At Taubah: 103)
Membersihkan dari daki-daki kekurangan dan mengangkat masyarakat ke tingkat keluhuran merupakan hikmah utama zakat.
Oleh sebab itu Nabi memperluas pemahaman sedekah agar seorang muslim berusaha untuk melakukannya,
تَبَسُّمُكَ فِي وَجْهِ أَخِيْكَ صَدَقَةٌ ، وَأَمْرُكَ بِالْمَعْرُوْفِ وَنَهْيُكَ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ ، وَإِرْشَادُكَ الرَّجُلَ فِي أَرْضِ الضَّلاَلِ لَكَ صَدَقَةٌ ، وَإِمَاطَتُكَ الأَذَى وَالشَّوْكَ وَالْعَظْمَ عَنِ الطَّرِيْقِ لَكَ صَدَقَةٌ ، وَإِفْرَاغُكَ مِنْ دَلْوِكَ فِي دَلْوِ أَخِيْكَ لَكَ صَدَقَةٌ ، وَبَصَرُكَ لِلرَّجُلِ الرَّدِيْءِ الْبَصَرِ لَكَ صَدَقَةٌ
“Senyum untuk saudaramu adalah sedekah, kamu memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar adalah sedekah. Kamu membimbing seseorang di tempat tersesatnya adalah sedekah, serta kamu menunjukkan jalan bagi orang yang lemah penglihatannya adalah sedekah. Kamu menyingkirkan duri, tulang dari jalan adalah sedekah. Mengosongkan embermu dengan mengisi ember saudaramu adalah sedekah. Menuntun orang buta  adalah sedekah “ (Bukhari)
Ajaran semacam ini bagi masyarakat gurun pasir yang selama berabad-abad berada dalam permusuhan dan pertikaian mengisyaratkan tujuan yang dipaparkan oleh Islam, yang membimbing masyarakat Arab jahiliyah yang gelap gulita itu.
4. Puasa dan Akhlaq
Islam juga mensyariatkan puasa. Ibadah ini tidak dipandang sebagai larangan makan dan minum untuk rentang waktu tertentu. Namun ia dianggap sebagai tahapan larangan bagi jiwa manusia untuk memenuhi syahwatnya yang berbahaya serta keinginannya yang bejat.
Untuk menegaskan pengertian ini, Rasulullah saw bersabda,
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ ، وَالْعَمَلِ بِهِ فَلَيْسَ للهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barangsiapa tidak meninggalkan persaksian palsu dan tidak meninggalkan perbuatan (karena persaksian palsu itu) maka Allah tidak punya kepentingan apapun ketika ia meninggalkan makanan dan minumannya.” (Bukhari).
لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الأَكْلِ وَالشُّرْبِ ، إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ فَإِذَا سَابَكَ أَحَدٌ ، أَوْ جَهِلَ عَلَيْكَ ، فَقُلْ إِنِّي : صَائِمٌ
“Bukanlah puasa itu hanya sekadar tidak makan dan minum. Puasa itu adalah meninggalkan ucapan sia-sia dan kata-kata jorok. Jika seseorang mencacimu atau berbuat jahil kepadamu katakan saja, ‘Aku sedang puasa.’” (Ibnu Khuzaimah).
Al-Qur’an juga menyebutkan buah puasa seperti halnya firman Allah,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
﴿١٨٣﴾
“Diwajibkan kepada kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian agar kalian bertaqwa.” (QS. Al-Baqarah: 183).
5. Haji dan Akhlaq
Mungkin seseorang mengira bahwa bepergian ke tempat suci, yang diwajibkan bagi siapa yang mampu dan dijadikan sebagai salah satu kewajiban Islam kepada pengikutnya, hanya sebagai wisata dan jauh dari pesan-pesan moral dan nilai-nilai luhur yang kadang dimiliki oleh berbagai agama melalui ritual gaibnya.
Tentu ini tidak benar. Sebab Allah telah berfirman,
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَّعْلُومَاتٌ ۚ فَمَن فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ ۗ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ ۗ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَىٰ ۚ وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ ﴿١٩٧﴾
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertaqwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Baqarah: 197).
Inilah paparan ringkas tentang sebagian ibadah populer dalam Islam dan dikenal sebagai rukun-rukun utamanya. Jelaslah kiranya sejauh mana kuatnya hubungan antara agama dengan akhlaq.
Ibadah yang berbeda inti dan tampilannya. Namun ia bertemu pada tataran tujuan sebagaimana yang digambarkan Rasulullah saw melalui sabdanya,
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq mulia.”
Shalat, puasa, zakat, haji dan ibadah ketaatan lainnya yang ada pada ajaran Islam merupakan tangga menuju kesempurnaan ideal dan sarana mensucikan jiwa untuk memelihara dan meninggikan kualitas hidup. Perilaku yang mulia dan berkaitan erat dengan ibadah itu atau muncul akibat itu akan membuat seseorang memiliki tempat tertinggi dalam agama Allah.
Jika seseorang tidak mendapatkan apapun untuk mensucikan hatinya, membersihkan otaknya serta mengeratkan hubungannya dengan Allah dan dengan manusia maka orang itu gagal. Allah berfirman,
إِنَّهُ مَن يَأْتِ رَبَّهُ مُجْرِمًا فَإِنَّ لَهُ جَهَنَّمَ لَا يَمُوتُ فِيهَا وَلَا يَحْيَىٰ ﴿٧٤﴾ وَمَن يَأْتِهِ مُؤْمِنًا قَدْ عَمِلَ الصَّالِحَاتِ فَأُولَٰئِكَ لَهُمُ الدَّرَجَاتُ الْعُلَىٰ ﴿٧٥﴾ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ وَذَٰلِكَ جَزَاءُ مَن تَزَكَّىٰ ﴿٧٦﴾
“Sesungguhnya barangsiapa datang kepada Tuhannya dalam keadaan berdosa, Maka Sesungguhnya baginya neraka jahanam. ia tidak mati di dalamnya dan tidak (pula) hidup. Dan barangsiapa datang kepada Tuhannya dalam keadaan beriman, lagi sungguh-sungguh Telah beramal saleh, Maka mereka Itulah orang-orang yang memperoleh tempat-tempat yang Tinggi (mulia), (yaitu) surga ‘Adn yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya. dan itu adalah balasan bagi orang yang bersih (dari kekafiran dan kemaksiatan).” (QS. Thaha: 74-76)
Kelemahan Akhlaq Bukti Lemahnya Keimanan
dakwatuna.com – Iman adalah kekuatan yang memelihara seseorang dari dunia dan mendorongnya mencapai kemuliaan. Oleh karena itu ketika Allah menyeru hamba-Nya menuju kebaikan atau mewanti-wantinya melakukan kejahatan. Allah menjadikannya sebagai konsekuensi keimanan yang kokoh tertancap di dalam hati mereka. Betapa sering Allah mengucapkan hal ini di dalam kitab-Nya,
“Hai orang-orang beriman…”
Setelah itu Allah menyebutkan tugas yang dibebankan kepada mereka,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ ﴿١١٩﴾
“Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.“ (QS. At-Taubah: 119). Misalnya.
Pemandu risalah menjelaskan bahwa keimanan yang kuat akan melahirkan akhlaq yang kuat pula. Dan kemerosotan akhlaq disebabkan oleh lemahnya keimanan atau kehilangan keimanan. Tergantung bobot kejahatan yang ada.
Orang yang menyeramkan wajahnya dan rusak perilakunya melakukan serangkaian kejahatan dan tidak peduli kepada seorang pun. Rasulullah saw bersabda;
اَلْحَيَاءُ وَالإِيْمَانُ قُرَنَاءُ جََمِيْعًاً فَإِذَا رُفِعَ أَحَدُهُمَا رُفِعَ الآخَرُ
“Rasa malu dan keimanan saling terkait satu sama lainnya. Jika salah satunya hilang,  hilang pula yang lain.” (Hakim dan Thabari).
Orang yang menyakiti tetangganya dan selalu mengatakan hal-hal buruk kepada mereka. Agama memberi penilaian kepadanya sebagai suatu kekerasan. Seperti apa yang dikatakan oleh Rasulullah,
وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ. قِيْلَ : مَنْ يَا رَسُوْلَ اللهِ ؟ قَالَ : اَلَّذِي لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ
Demi Allah, ia tidak beriman. Demi Allah ia tidak beriman. Dan demi Allah ia tidak beriman.” Ada yang bertanya, “Siapa ya Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Orang yang apabila tetangganya tidak merasa aman dari kejahatannya.” (Al-Bukhari).
Anda juga mendapati ketika Rasulullah mengajarkan para pengikutnya agar berpaling dari kesia-siaan dan menjauhi kasak-kusuk. Beliau bersabda,
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya berkata yang baik atau diam.” (Bukhari).
Demikianlah kemuliaan ditanam dan dikokohkan hingga muncul buahnya. Itu semua bersumber dari kejujuran dan kesempurnaan iman.
Hanya saja sebagian orang yang mengaku sebagai muslim menggampangkan ibadah wajib. Di hadapan masyarakat Islam mereka menampakkan seolah-olah sangat peduli untuk melaksanakan ibadah itu. Dan pada saat yang sama mereka melakukan perbuatan yang bertentangan dengan akhlaq mulia dan keimanan yang sesungguhnya.
Nabi mengancam orang-orang yang mencampur-campur seperti itu dan mewanti-wanti umatnya.
Sebab meniru bentuk-bentuk ibadah dapat dilakukan siapa saja yang tidak mampu menangkap ruhnya atau tidak bisa naik sesuai dengan tingkatannya.
Bisa jadi seorang anak kecil dapat meniru gerakan shalat dan melafalkan doa-doanya.
Bisa jadi seorang artis dapat memerankan ketawadhuan dan memperagakan ibadah paling penting.
Namun, semuanya tidak ada gunanya dan tidak menunjukkan kebenaran keyakinan dan kebersihan motivasi.
Ukuran kemuliaan dan kebersihan perilaku harus menggunakan parameter yang tidak pernah salah, yakni akhlaq yang luhur.
Dalam hal ini terdapat hadits dari Nabi bahwa seseorang berkata kepada beliau,
يا رسول الله . إن فلانة تذكر من كثرة صلاتها وصيامها وصدقتها غير أنها تؤذي جيرانها بلسانها فقال : ” هي في النار ” ثم قال : يا رسول الله فلانة تذكر من قلة صلاتها وصيامها ، وأنها تتصدق ” بالأثوار من الأقط ” ـ بالقطع من الجبن ـ ولا تؤذي جيرانها . قال : ” هي في الجنة
“Ya Rasulullah, si Fulanah itu diceritakan banyak shalatnya, puasanya, dan sedekahnya. Hanya saja ia sering menyakiti tetangganya dengan lisannya.” Rasulullah menjawab, “Wanita itu ada di neraka.” Lalu orang itu berkata lagi, “Ya Rasulullah, si Fulanah itu sedikit shalatnya, puasanya, dan sedekahnya. Ia hanya bersedekah dengan sepotong keju saja namun tidak menyakiti tetangganya. Rasulullah menjawab, “Wanita itu berada di surga.”
Jawab beliau menunjukkan nilai akhlaq yang luhur. Juga ditegaskan bahwa sedekah adalah ibadah sosial yang manfaatnya merembet kepada orang lain. Oleh karena itu sisi kuantitasnya berbeda dengan ibadah shalat dan puasa, yang secara lahir merupakan ibadah pribadi.
Rasul Islam tidak cukup hanya dengan menjawab pertanyaan. Beliau perlu menjelaskan hubungan antara akhlaq dan keimanan yang sesungguhnya dan ibadah yang benar lalu menjadikannya sebagai asas kebaikan dunia dan akhirat.
Permasalahan akhlaq lebih penting dari itu semua. Perlu bimbingan yang berkelanjutan dan nasihat yang berkesinambungan agar tertanam kokoh di dalam hati dan pikiran. Bahwa iman, kebaikan, dan akhlaq adalah komponen yang integral dan saling terkait. Tidak ada orang yang dapat memisah-misahkannya.
Pada suatu hari beliau pernah bertanya kepada para sahabat,
“أَتَدْرُوْنَ مَنِ الْمُفْلِسُ قَالُوْا: المُفْلِسُ فِيْنَا مَنْ لاَ دِرْهَمَ لَهُ وَلاَ مَتَاعَ، فَقَالَ: المُفْلِسُ مِنْ أُمَّتَي مَنْ يَأْتِيَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَةٍ وَزَكَاةٍ وَصِيَامٍ، وَيَأْتِي وَقَدْ شَتَمَ هَذَا، وَقَذَفَ هَذَا، وَأَكَل مَالَ هَذَا، وَسَفَكَ دَمَ هَذَا، وَضَرَبَ هَذَا، فَيُعْطِى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ، وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ، فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يَقْضِيَ مَا عَلَيْهِ، أَخَذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ، ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ
“Tahukah kalian siapa orang bangkrut itu?” Mereka menjawab, “Orang bangkrut menurut kami adalah yang tidak punya dirham dan harta benda.” Beliau bersabda, “Orang bangkrut di kalangan umatku adalah seseorang yang datang pada hari Kiamat nanti dengan shalat, zakat, dan puasanya. Ia datang pada hari itu dan sebelumnya pernah mencaci si ini, menuduh si ini, memakan harta si ini, menumpahkan darah si ini, dan memukul ini. Maka yang ini diberi dari kebaikannya (ibadahnya) dan itu dari kebaikannya (ibadahnya). Jika kebaikannya sudah habis sebelum melunasi tanggungannya diambillah dari kesalahan mereka dan dilemparkan kepadanya. Lalu orang itu dilemparkan ke dalam neraka.” (Muslim)
Itulah orang bangkrut. Seperti seorang pedagang yang memiliki dagangan di tokonya senilai seribu. Sementara ia punya utang senilai dua ribu. Bagaimana mungkin orang malang ini menjadi kaya?
Seorang taat beragama yang melakukan banyak ibadah lalu setelah itu banyak melakukan dosa. Wajahnya muram. Dekat dengan permusuhan. Bagaimana mungkin ia menjadi seorang yang bertaqwa?
Diriwayatkan bahwa untuk permasalahan ini Nabi membuat perumpamaan yang dekat. Beliau bersabda,
قال : ” الخلق الحسن يذيب الخطايا كما يذيب الماء الجليد ، والخُلق السوء ، يفسد العمل كما يفسد الخل العسل
“Akhlaq yang baik melarutkan kesalahan sebagaimana air melarutkan tanah keras. Akhlaq buruk itu merusak amal sebagaimana cuka merusak madu.” (Al-Baihaqi).
Jika keburukan berkembang dalam diri, bahayanya menyebar, dan resikonya mengganas. Seseorang bisa terlepas dari agamanya sebagaimana orang telanjang terlepas dari pakaiannya. Lalu anggapan sebagai orang beriman menjadi palsu. Lalu adakah nilai agama tanpa akhlaq? Apa pula pengertian kerusakan walaupun ada afiliasi kepada Allah?
Untuk mengukuhkan prinsip-prinsip yang tegas tersebut, hubungan antara keimanan dan akhlaq yang kuat. Nabi bersabda,
يقول النبي الكريم : ” ثلاث من كن فيه فهو منافق ، وإن صام وصلى وحج واعتمر ، وقال إني مسلم : إذا حدث كذب ، وإذا وعد أخلف ، وإذا اؤتمن خان
Ada tiga hal yang jika berada pada seseorang ia menjadi munafik. Kendatipun ia puasa, shalat, haji, umrah, dan mengatakan dirinya muslim: jika berbicara ia berdusta, jika berjanji ia ingkar, dan jika diberi amanah ia khianat.” (Muslim).
Beliau bersabda di riwayat lain,
وقال في رواية أخرى : ” آية المنافق ثلاث ، إذا حدث كذب ، وإذا وعد أخلف ، وإذا عاهد غدر ، وإن صلَّى وصام وزعم أنه مسلم ” !.
“Tanda munafik ada tiga: Jika berbicara ia berdusta, jika berjanji ia ingkar, dan jika diberi amanah ia khianat.”
Beliau bersabda lagi,
أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ كَانَ مُنَافِقاً خَالِصاً ، وَمَنْ كَانَ فِيْهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيْهِ خَصْلَةٌ مِنَ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا : إِذَا أؤْتُمِنَ خَانَ وَإِذَا حَدَثَ كَذَبَ ، وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ
Ada empat hal yang jika berada pada seseorang ia menjadi munafik murni. Dan siapa yang padanya terdapat satu ciri berarti padanya ada satu ciri kemunafikan sampai ia meninggalkannya: Jika diberi amanah ia khianat, jika berbicara ia berdusta, jika berjanji ia ingkar, dan jika bertikai ia curang.” (Bukhari).
– Tamat