Jumat, 06 Agustus 2010

Aspek Sosial di Bulan Ramadhan

Oleh DR. Kamaluddin Nurdin Marjuni
Dosen Aqidah Filsafat Universiti Sains Islam Malaysia
Ibadah dalam Islam bukan hanya sekadar melakukan ibadah ritual, melainkan mencakup semua aspek kehidupan manusia. Oleh karena itu, segala bentuk pelayanan sosial dan perbuatan baik juga merupakan ibadah.
Seorang orientalis bernama Ricardo de Monte Croce, pernah mengakui kehebatan sistem pemberlakuan zakat dan sedekah dalam Islam. Ia mengatakan: ”Dalam berkehidupan sosial dengan orang-orang miskin melalui kewajiban zakat, harus diakui bahwa syari’at Islam-lah yang paling pemurah terhadap orang miskin”[1]. Perkataan ini yang membuat penulis tertarik untuk menulis tentang aspek sosial di bulan ramadhan.
Sesuai dengan tema di atas, maka dalam artikel ini penulis akan mencoba memaparkan dan menyajikan aspek sosial dalam Islam khususnya dalam bulan puasa. Dan untuk sistematiknya, dalam makalah ini penulis akan membahas tiga permasalahan di bawah ini:
  • Perhatian Islam terhadap perbaikan sosial.
  • Tanggung jawab muslim terhadap lingkungan sosialnya.
  • Bentuk aktiviti atau kegiatan-kegiatan sosial dalam ibadah Ramadhan.
Perhatian Islam Terhadap Perbaikan Sosial
Bila kita bandingkan agama Islam dengan agama-agama lainnya, baik agama samawi ataupun agama konvensional (Wadh’i), perhatian Islam terhadap perbaikan sosial, belum dapat tersaingi oleh agama lainnya. Karena Allah swt memerintahkan hamba-Nya untuk berkerja dan berusaha demi memenuhi kebutuhan dan keperluan hidupnya.
Sebagaimana firman Allah swt berikut ini:
(فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِن فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيراً لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ)
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”. Al-Jum’ah: 10.
Ayat di atas memberikan motivasi kepada kaum Muslimin agar senantiasa berusaha dan bekerja di muka bumi ini dalam upaya meningkatkan taraf hidup dan mempertahankan kehidupannya. Sebab Islam tidak menyukai kaum muslimin hidup dalam kondisi kefakiran atau hidup bergantung pada uluran tangan orang lain. Sesuai dengan sabda Rasulullah saw:
(اَلْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى)
“Tangan di atas (pemberi) lebih baik daripada tangan di bawah (penerima)[2].
Di samping itu, kefakiran juga dapat membawa manusia kepada kekufuran. Oleh karena itu, Rasulullah saw telah menegaskan hal itu dengan pasti dalam sabda beliau:
(كَادَ الْفَقْرُ أَنْ يَكُوْنَ كُفْرًا)
Kefakiran itu dapat membawa kepada kekufuran”[3]
Namun, sangatlah disayangkan jika seorang punjual dan pedagang yang datang ke mesjid pada hari jum’at hanya sekedar datang untuk menjual barang dagangannya tanpa melaksanakan shalat jum’at, yang pada akhirnya keberkahan hidup semakin menjauh darinya.
Sementara ayat di atas memberikan resep keberkahan dan keuntungan, yaitu jika mau jualannya menjadi laris maka perbanyaklah mengingat Allah ketika mengadakan jual beli.
Ulama salaf berpendapat sebagaimana disebutkan dalam tafsir Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat di atas: ”Orang yang melakukan jual beli pada hari jum’at dan ia sempurnakan shalat jum’atnya maka Allah memberkati kehidupannya (melapangkan rezqinya)”.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau secara fenomena sering kita saksikan ada penjual ataupun pedangang di sekeliling mesjid yang sudah bertahun-tahun lamanya berjualan, tapi volume penjualannya tidak ada peningkatan yang bermakna.
Hakikat manusia sebenarnya di alam dunia ini merupakan khalifah Allah swt. Yaitu Allah swt memberikan tugas kepadanya untuk mengembangkan dan memanfaatkan nikmat-Nya yang telah tersedia di alam semesta. Dan semua sarana dan prasarana yang ada di dunia ini adalah milik Allah swt. Materi dan benda yang digunakan oleh manusia dan diproduksi sedemikian rupa, semuanya bersumber dari Allah swt. Oleh karena itu, para ekonom mengatakan:
”Produksi itu sebenarnya bertujuan menciptakan manfaat, bukanlah menciptakan materi. Dengan kata lain, manusia hanya merubah sebuah materi untuk dijadikan benda yang bermanfaat agar dapat memenuhi segala kebutuhan hidupnya”[4].
Sebagai bukti yang kongkrit, asal mula bahan bakar dan benda alam lainnya adalah ciptaan Allah swt Yang Maha Kuasa, manusia tidak mampu untuk menciptakan benda tersebut, melainkan ia hanya menemukan benda tersebut kemudian disusun sedemikian rupa sampai menjadi sebuah produksi.
Namun terkadang nikmat yang didapat itu tidak dimaksimalkan fungsinya, bahkan tidak difungsikan sama sekali, sementara Allah sendiri sangat senang melihat seorang hamba yang mengoptimalkan nikmat yang dianugerahkan Allah kepadanya. Rasulullah saw bersabda :
(إِنَّ اللهَ إِذَا أَنْعَمَ عَلَى عَبْدٍ نِعْمَةً يُحِبُّ أَنْ يَرَى أَثَرَ نِعْمَتِهِ عَلَى عَبْدِهِ)
“Sesungguhnya Allah swt jika memberikan sebuah nikmat kepada hamba-Nya, maka Ia senang melihat nikmat itu di pergunakanan sebaik-baiknya”. (Hadits Riwayat Tirmizi).
Sebagai contoh, orang yang berilmu tidak mengajarkan ilmunya, sementara ilmu itu adalah pemberian Allah. Begitu juga orang yang mempunyai harta dan mampu membeli sesuatu tapi dia tidak membelinya, bahkan disimpan dan ditumpuk saja harta tersebut tidak dibelikan apa-apa, alias bakhil dan kikir. Dia hanya senang mengumpul dan menghitung hari demi hari duit yang ia peroleh. Dan orang tersebut sebagaimana yang digambarkan oleh al-Qur’an dan diberikan julukan tersendiri sebagai orang yang pengumpat dan pencela:
(وَيْلٌ لّكُلّ هُمَزَةٍ لّمَزَةٍ الّذِى جَمَعَ مَالاً وَعَدّدَهُ يَحْسَبُ أَنّ مَالَهُ أَخْلَدَهُ كَلاّ لَيُنبَذَنّ فِي الْحُطَمَةِ)
“Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela, yang mengumpulkan harta lagi menghitung-hitung, ia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya, Sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Huthamah”. (surah al-Humazah:1-5).
Dengan demikian, dapat dilihat betapa Islam mengajarkan dan mendidik ummat ini untuk mencari rizqi yang bersih dan halal, yang bukan didapat dari hasil korupsi, membuat laporan keuangan yang ditinggikan, atau dengan jalan menipu sana-sini dalam berbisnis.
Dan benarlah apa yang digambaran oleh Rasulullah Saw dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah:
(يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يُبَالِي الْمَرْءُ مَا أَخَذَ مِنْهُ، أَمِنَ الْحَلاَلِ أَمْ مِنَ الْحَرَامِ؟)
“Akan datang suatu zaman, di mana seseorang tidak mempedulikan lagi sumber harta yang didapat, halal atau haram?” (Shahih Bukhari).
Kesemua perilaku ini tidak akan mendatangkan keberkahan sama sekali, bahkan di penghujung hidupnya kebinasaan akan menantinya, baik di dunia ataupun di akhirat.
Tanggung Jawab Muslim Terhadap Lingkungan Sosialnya
Merupakan suatu keadilan Allah, Dia jadikan manusia berbeda-beda. Baik dari segi keinginan, kecenderungan dan kecerdasan. Dengan semua perbedaan tersebut, tentunya mempunyai konsekwensi perbedaan juga dalam hal rizki. Sebagaiman yang diindikasikan oleh firman Allah swt:
(وَاللّهُ فَضَّلَ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الْرِّزْقِ)
“Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebahagian yang lain dalam hal rezki”. An-Nahl: 71.
Ayat di atas menjelaskan bahwa Islam mengakui adanya perbedaan rizki di antara manusia. Kesemuanya itu disebabkan oleh saling berbedanya potensi, kemahiran serta usaha manusia itu sendiri. Seperti etos kerja yang tinggi, skill yang handal, usaha yang kuat. Oleh karena itu, Islam mengakui adanya kepemilikan atau usaha pribadi, dengan catatan hendaknya usaha tersebut diperoleh dan dicapai secara legal (sah). Jika diperoleh dengan cara yang sebaliknya, ilegal (tidak sah), maka Islam tidak pernah mengakui kepemilikan tersebut. Sebagaimana sabda Rasulullah saw:
(إِنَّ اللهِ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا)
“Sesungguhnya Allah swt bersih, dan tidak menerima sesuatu kecuali bersumber dari hal-hal yang bersih”[5].
Dalam Islam manusia bukanlah pemilik hakiki dan mutlak terhadap hartanya, sehingga dia bebas berbuat apa saja terhadap hartanya, akan tetapi pada hakikatnya Allah-lah yang memiliki harta tersebut. Lalu Allah mewakilkan dan menitipkan penggunaan dan pengembangan harta tersebut kepada hamba-Nya. Seperti terlihat dengan jelas dalam firman Allah swt:
(وَأَنفِقُوا مِمَّا جَعَلَكُم مُّسْتَخْلَفِينَ فِيهِ فَالَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَأَنفَقُوا لَهُمْ أَجْرٌ كَبِيرٌ)
“Dan nafkahkanlah sebahagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya”[6]. Al-Hadid: 7.
Salah seoran ahli tafsir kenamaan Imam Zamakhsyari, menafsirkan ayat di atas, beliau berkata:
“Harta-harta yang engkau miliki, sebenarnya adalah harta Allah, dan sesungguhnya engkau hanyalah sebagi wakil Allah dalam menggunakan harta tersebut, oleh karena itu nafkahkanlah harta tersebut pada hak-hak Allah”[7].
Dari uraian di atas, dapat dilihat sejauh mana tanggung jawab seorang muslim terhadap lingkungan sosialnya, di mana seorang muslim mempunyai dua kewajiban terhadap orang-orang miskin, yaitu:
Pertama: Apabila ia mampu atau mempunyai harta lebih, maka hendaklah menafkahkan sebagian hartanya atau memberi makan kepada orang miskin.
Kedua: Menganjurkan orang lain untuk memberikan makan terhadap mereka, sebagaimana yang diindikasikan oleh firman Allah swt:
(وَلَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ)
“Dan ia juga tidak mendorong orang lain untuk memberi makan orang miskin”. Al-Haaqqah: 34.
Dengan demikian, seorang muslim diwajibkan memperhatikan lingkungan sosialnya, dengan mengulurkan pertolongan kepada sesamanya terutama orang yang memerlukan pertolongan. Sebab lingkungan muslim adalah lingkungan yang dilandasi oleh persaudaraan, solidaritas, saling kasih mengasihi. Dan tidak membiarkan saudaranya kelaparan sementara ia mampu untuk memberikannya makan, pakaian dan berbagai bentuk pertolongan lainnya.
Bentuk Kegiatan Sosial Dalam Ibadah Ramadhan.
Dalam hubungannya dengan bulan puasa Ramadhan, bentuk-bentuk aktiviti sosial hendaknya digalakkan dan digandakan dari bulan-bulan lainnya. Sebab bulan puasa dalam Islam merupakan bulan kebaikan, rahmat dan pengampunan (maghfirah). Oleh karena itu bulan puasa hendaknya dijadikan sebagai bulan sosial yang bisa menyelesaikan problematika sosial umat Islam terutama pengentasan kemiskinan.
Sudah menjadi naluri seorang muslim, ketika akan memasuki bulan puasa, benih-benih kesosialan akan muncul sendiri dari batin insan mukmin. Perasaan peka ini timbul tanpa diundang ataupun dipaksakan. Oleh karena itu, dalam bulan puasa ini kita akan menyasikan berbagai kegiatan sosial.
Di antara bentuk kegiatan sosial dalam bulan puasa adalah menyediakan buka puasa bersama, menyedekahkan harta, mempererat hubungan silaturrahim antara keluarga dan lain-lain.
Dari kegiatan sosial ini akan kelihatan jelas hakikat puasa bagi seorang muslim. Jika seorang muslim membiasakan diri memberi bantuan pada bulan puasa, maka hendaknya kebiasaan itu dilanjutkan pada bulan-bulan berikutnya. Dengan sikap seperti ini, sudah dapat dipastikan tercipta kebersamaan dan persatuan umat Islam untuk mengentaskan kemiskinan. Hal ini telah diindikasikan oleh sabda Rasulullah saw yang berbunyi:
(مَثَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ فِي تَوَادّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى شَيْئًا تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهْرِ وَالْحُمَى)
“Kaum Muslimin dalam sikap saling kasih mengasihi, saling sayang menyayangi dan berlemah lembut antara mereka, bagaikan satu tubuh, jika salah satu anggota tubuhnya merasa sakit, maka anggota tubuh yang lainnya ikut juga merasakan sakit”[8]
Dengan demikian, seorang muslim dalam bulan puasa Ramadhan dapat memberikan harapan kehidupan yang optimis pada jiwa saudaranya yang hidup dalam kemiskinan.
Dalam konteks sosial umat islam saat ini, zakat perlu ditingkatkan, sebab zakat merupakan instrumen penting seorang mu’min. Karena zakat itu sendiri berada pada posisi kedua dari rukun Islam. Dan ini menandakan betapa pentingnya peranan zakat dalam Islam. Dan ini terbukti dari beberapa firman Allah swt, manakala perkataan shalat selalu bergandengan dengan perkatan zakat. Sebagai contohnya, di dalam al-Qur’an disebutkan:
(وَأَقِيمُواْ الصَّلاَةَ وَآتُواْ الزَّكَاةَ وَارْكَعُواْ مَعَ الرَّاكِعِينَ)
Yang artinya: “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku'lah bersama orang-orang yang ruku'.”. Al-Baqarah: 43.
(الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ)
Yang artinya: “(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka”. Al-Baqarah: 3.
(وَقُولُواْ لِلنَّاسِ حُسْناً وَأَقِيمُواْ الصَّلاَةَ وَآتُواْ الزَّكَاةَ ثُمَّ تَوَلَّيْتُمْ إِلاَّ قَلِيلاً مِّنكُمْ وَأَنتُم مِّعْرِضُونَ)
Yang artinya: “Dan ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling“. (al-Baqarah: 83).
Dan masih banyak lagi ayat lain seperti: al-Baqarah: 110. an-Nisa’: 77. at-Taubah: 5, 11. al-Hajj: 41, 78. an-Nur: 56. al-Mujadilah: 13. al-Muzammil: 20. al-Anbiya: 73.
Dari sekian ayat di atas, pesan yang dapat ditangkap adalah bahwa zakat merupakan media komunikasi hamba dengan Allah. Di sampng itu zakat merupakan instrumen Allah kepada hambanya untuk memanusiawikan manusia.
Pada permulaan tulisan ini disebutkan bahwa salah seorang tokoh orientalis bernama Ricardo de Monte Croce, mengakui kemapanan dan kemampuan zakat dalam mengentaskan kemiskinan. Dan zakat merupakan bukti bahwa Islam sangat memperhatikan nasib orang miskin. Sebab zakat ini merupakan sarana pemerataan hidup dengan target meminimalkan angka kemiskinan.
Betapa tidak, seorang mukmin tatkala mengingkari kewajiban zakat ini akan digolongkan sebagai orang kafir. Sebab seorang muslim akan diukur nilai ketaatannya dalam mengamalkan Islam dari aspek zakat. Dalam artian, iman seseorang belum mencapai tahap kesempurnaan kalau belum mengeluarkan kewajiban zakatnya.
Kesimpulannya, bulan buasa ini adalah tempat mengasah kepedulian sosial umat Islam. Selama satu bulan menahan lapar dan dahaga dengan tujuan beribadah kepada Allah. Di samping itu, tersirat makna dan i’tibar kepada semua umat islam untuk ikut merasakan kehidupan orang lain yang tidak berkecukupan, sakit, pedih dan berbagai macam kesusahan hudup yang dihadapi oleh orang lain. Dan pada gilirannya, pengamalan zakat ini adalah dari umat untuk umat.
Wallahu A’lam.

Mensya'biyahkan al-Qur'an di bulan Sya'ban

Saat ini kita sudah berada di pekan terakhir bulan Sya'ban 1431 H. Dan sebentar lagi kita akan memasuki bulan suci Ramadhan 1431 H. Mungkin Ramadhan yang akan kita jelang nanti sudah menjadi Ramadhan yang ke sekian kalinya dalam hidup kita. Persiapan demi persiapan pun kita rancang dan program demi program pun kita buat. Semua itu kita lakukan dalam rangka untuk mengoptimalkan bulan suci ini dengan harapan ibadah shaum kali ini lebih baik, diterima oleh Allah dan memberikan atsar (pengaruh) yang awet dan mendalam setelah kita berpisah dengannya.

Namun, di balik rasa harap akan berjumpa Ramadhan nanti, ada beban yang tidak sedikit kita rasakan. Ini terutama ketika kita di bulan Sya'ban ini. Bagi orang muslim, persiapan bulan Ramadhan harus sudah dipikirkan matang-matang sejak bulan Rajab sebagai amal shaleh. Sabda Rasulullah saw yang berbunyi:

اللهم بارك لنا فى رجب وشعبان وبلغنا رمضان

"Ya Allah, berkahilah kami pada bulan Rajab dan Sya'ban, dan sampaikanlah kami ke bulan Ramadhan." (HR. Baihaqi).

Hadits ini secara tersurat menyiratkan tentang tarhib Ramadhan agar kita mempersiapkan segala sesuatunya. Baik itu persiapan fisik, materi, pengetahuan, keluarga dan lain sebagainya. Karena untuk memanen pahala yang sangat besar itu, persiapan demi persiapan harus dipikirkan dengan matang dan jauh-jauh hari. Tidak usahlah kita mengukur diri dengan persiapan para sahabat menyambut bulan suci ini. Untuk urusan tarhib, para sahabat sudah terbiasa mempersiapkan diri jauh-jauh hari 6 bulan sebelum bulan Ramadhan. Subhanallah. Padahal kesibukan mereka sebagai penyebar dinul Islam dan dakwah demikian padat. Namun setidaknya suri tauladan mereka patut kita contoh melalui hadits tarhib di atas.

Ada satu hal yang mengagetkan kita dalam bulan Sya'ban ini. Mungkin hal ini memang sudah lumrah terjadi di setiap tahunnya di negara kita. Momentum menyongsong bulan Ramadhan di bulan Sya'ban ini malah menjadi 'hantu' yang menakutkan sekaligus memprihatinkan. Betapa tidak?!

Belum lagi kita memasuki bulan suci dengan segala keutamaan di dalamnya ini, kebutuhan hidup sudah mengusik kita. Terutama untuk urusan dan kebutuhan rumah tangga. Lihat saja, bagaimana harga-harga kebutuhan pokok sudah mulai merangkak naik. Dan naiknya pun tidak tanggung-tanggung, sampai 100 persen lebih. Begitu pula dengan TDL (Tarif Dasar Listrik) tidak kalah hebat kenaikannya. Dan seabrek harga kebutuhan asasi kita mengalami kenaikan yang nampaknya kurang logis dan tidak patut. Seakan semua kenaikan itu mencekik sebagian besar masyarakat yang berada pada taraf kehidupan ekonomi rendah dan pas-pasan.

Nampaknya, keindahan bulan Ramadhan yang gambarannya sudah ada dipelupuk mata akan tercoreng dengan bayang-bayang kenaikan kebutuhan ekonomi itu. Bayang-bayang yang terus menghantui kocek kebutuhan hidup, khususnya menjelang Ramadhan yang kita rindukan itu.

Yang pasti, Ramadhan akan menyapa kita. Siap ataupun tidak siap. Suka ataupun tidak suka. Karena kita adalah seorang muslim, yang bagi kita tamu agung ini merupakan tamu spesial untuk masa depan hidup kita di sisi Allah swt. Maka apapun yang akan kita hadapi berupa melambungnya kebutuhan pokok untuk memenuhi jahat kita, jangan sampai itu melemahkan semangat kita untuk tetap melakukan amal terbaik sepanjang Sya'ban ini.

Semangat Sya'ban adalah semangat sya'biyah untuk Ramadhan

Sya'ban sebagai bulan sebelum Ramadhan bukan sekedar bulan biasa. Bagi kita yang mengerti ajaran Islam, bulan ini akan menjadi bulan pelatihan yang paling baik menyongsong Ramadhan nanti.

Seperti namanya, selain sebagai nama bulan, Sya'ban juga berasal dari patahan kata sya'bun yang berarti memiliki cabang dan sya'b yang bermakna masyarakat sosial. Dengan kata lain bisa kita tarik hikmah lain, yakni bagaimana dalam bulan Sya'ban ini kita bisa bersosialisasi diri dan berkiprah di tengah-tengah masyarakat. Dalam arti yang luas. Di antaranya:

1. Kita melatih diri melakukan amal yang bersifat individu, seperti mengkondisikan diri melakukan ketaatan yang lebih intensif dan banyak. 

Sebab bisa jadi selama sebelas bulan kemarin kita sudah lupa dan banyak kekurangan di sana-sini. Baik itu ibadah shaum itu sendiri, sedekah, zakat, tilawah al-Qur'an, melatih kesabaran ataupun amal sholeh lainnya. Rasanya sangat wajar apabila kita jauh-jauh hari sudah membiasakan semua kebaikan dan membuat jam terbang melakukan ketaatan yang utama, seperti tilawah al-Qur'an yang sangat diperintahkan oleh baginda Rasulullah saw. Karena bulan Ramadhan ini adalah bulan al-Qur'an. Pada bulan ini Allah menurunkan kitab suci-Nya kepada beliau saw. Wajar saja apabila kita memberikan porsi yang lebih untuk ibadah tilawah al-Qur'an dan memahaminya.

Allah berfirman:

شهر رمضان الذين أنزل فيه القرآن هدى للناس وبينات من الهدى والفرقان

Artinya: "Bulan Ramadhan adalah (bulan) diturunkannya al-Qur'an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan dari petunjuk dan (sebagai) furqon (yang baik dari yang buruk).."(Qs al-Baqoroh: 185).

2. Melatih diri untuk melakukan amal yang bersifat jama'i atau publik (sosial).

Karena bulan Ramadhan adalah bulan yang sangat istimewa, layak saja apabila kita isi ia dengan berbagai amal yang utama dan memberikan kemaslahatan dan kepentingan yang luas. Terutama amal yang kebaikan dirasakan langsung kepada orang lain.

Dan ini harus dilatih sejak dini dan dimulai dari sekarang. Buang jauh-jauh kita akan memperoleh kebaikan yang berlipat ganda dari bulan suci nanti jika kita tidak peduli dengan sekitar kita. Sebab amal sosial yang kebaikannya merata dan dirasakan khayalak lebih besar pahala di sisi Allah daripada amal individu. Demikian pula dengan keburukan yang dilakukan. Semuanya akan dihitung di sisi Allah swt.

Cukuplah dalam hal ini Rasulullah menjadi suri tauladan kita dalam mengisi bulan Ramadhan. Demikian pula potret amal ibadah para sahabat. Mereka sangat menanti bulan mulia itu dan menangis ketika harus berpisah dengannya.

Bulan Sya'ban untuk mensya'biahkan al-Qur'an

Akan lebih baik lagi jika kita sadar akan peran al-Qur'an dalam bulan Ramadhan nanti. Nah, untuk melatih diri mempersiapkan diri di bulan Sya'ban ini, maka ada baiknya setiap kita, muslim dan muslimah memperhatikan bekal apa yang ia sudah siapkan untuk menjadwalkan diri mengkhatamkan al-Qur'an nanti. Di sebagian masyarakat kita, tarhib Ramadhan dalam bentuk ceramah-ceramah biasanya 'mengkampayekan' upaya pengkajian al-Qur'an dalam bentuk amalan rill, seperti dauroh al-Qur'an (training) mempelajari al-Qur'an dan memahami isinya.

Namanya juga bulan Sya'ban yang berarti sya'biah (atau memasyarakat), maka amatlah pantas apabila kita bisa memulai memasyarakat pembelajaran al-Qur'an di tengah-tengah umat. Malah ibadah yang satu ini begitu mendapat perhatian lebih dari Rasulullah saw dan generasi para sahabatnya. Diriwayatkan dalam siroh, bahwa saat Ramadhan rumah-rumah para sahabat ramai dengan suara lantunan ayat-ayat al-Qur'an setiap saat. Betapa semangat mereka mengkhatamkan terlihat dari rumah-rumah mereka yang sederhana.

Demikian pula dengan kajian-kajian lainnya yang bersifat penambahan pengetahuan tentang Islam dan ajarannya. Kemudahan-kemudahan yang kita rasakan pada bulan Sya'ban saat ini Insya Allah menandakan kesiapan kita menyambut tamu agung itu.

Mari kita budayakan tradisi tilawah al-Qur'an, mengkaji isinya, memahami kandungannya dan mengamalkan ajarannya. Mari kita ganti kegiatan yang bersifat hura-hura dan membuang-buang waktu dengan membaca buku-buku yang berkenaan dengan amaliyah Ramadhan. Mumpung kita masih berada di bulan Sya'ban. Insya Allah, amal ibadah Ramadhan yang akan kita isi tidak sia-sia dan memberikan dampak kebaikan buat diri kita masing-masing, Amiin..

Sampaikanlah kami ke bulan Ramadhan, Ya Allah..Amiin Ya robbal a'lamin.

Wallahu a'lam bish-showab

(Hidayatullah, Lc al-Hafiz)

Menceritakan Nikmat yang didapat

Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu (Muhammad) siarkan“. (Ad-Dhuhaa: 11)
Tahadduts bin ni’mah merupakan istilah yang sudah lazim dipakai untuk menggambarkan kebahagiaan seseorang atas kenikmatan yang diraihnya. Atas anugerah itu ia perlu menceritakan atau menyebut-nyebut dan memberitahukannya kepada orang lain sebagai implementasi rasa syukur yang mendalam. Perintah untuk menceritakan dan menyebut-nyebut kenikmatan pada ayat di atas, pertama kali memang ditujukan khusus untuk Rasulullah saw. Namun, perintah dalam ayat ini tetap berlaku umum berdasarkan kaedah “amrun lir Rasul Amrun li Ummatihi” (perintah yang ditujukan kepada Rasulullah, juga perintah yang berlaku untuk umatnya secara prioritas).
Ibnu Katsir mengemukakan dalam kitab tafsirnya, berdasarkan korelasi ayat per ayat dalam surah Ad-Dhuha, “Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberimu petunjuk. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan. Oleh karena itu, siarkanlah segala jenis kenikmatan tersebut dengan memujinya, mensyukurinya, menyebutnya, dan menceritakannya sebagai bentuk i’tiraf (pengakuan) atas seluruh nikmat tersebut.”
Para ulama tafsir sepakat bahwa pembicaraan ayat ini dalam konteks mensyukuri nikmat yang lebih tinggi dalam bentuk sikap dan implementasinya. Az-Zamakhsyari, misalnya, memahami tahadduts bin ni’mah dalam arti mensyukuri segala nikmat yang dianugerahkan oleh Allah dan menyiarkannya. Lebih luas lagi Abu Su’ud menyebutkan, tahadduts bin ni’mah berarti mensyukuri nikmat, menyebarkannya, menampakkan nikmat, dan memberitahukannya kepada orang lain.
Dalam konteks itu, Ibnul Qayyim dalam bukunya Madrijus Salikin mengemukakan korelasi makna antara memuji dan menyebut nikmat. Menurut beliau, memuji pemberi nikmat bisa dibagikan dalam dua bentuk: memuji secara umum dan memuji secara khusus. Memuji secara umum adalah dengan memuji sang pemberi nikmat sebagai yang dermawan, baik dan luas pemberiannya. Sedangkan memuji yang bersifat khusus adalah dengan memberitahukan dan menceritakan kenikmatan tersebut. Sehingga tahadduts bin ni’mat merupakan bentuk tertinggi dari memuji Allah Zat Pemberi nikmat.
Berdasarkan makna ayat di atas, mayoritas ulama salaf menganjurkan agar memberitahukan kebaikan yang dilakukan oleh seseorang jika ia mampu menghindarkan diri dari sifat riya’ dan agar bisa dijadikan contoh oleh orang lain. Sehingga secara hukum, tahadduts bin ni’mah dapat dibagi kepada dua kategori: jika terhindar dari fitnah riya’, ujub, dan tidak akan memunculkan kedengkian pada orang lain, maka sangat dianjurkan untuk menyebut dan menceritakan kenikmatan yang diterima oleh seseorang.
Namun, jika dikhawatirkan akan menimbulkan rasa dengki, dan untuk menghindarkan kerusakan akibat kedengkian dan tipu muslihat orang lain, maka menyembunyikan nikmat dalam hal ini bukan termasuk sikap kufur nikmat. Lebih tegas Imam Asy-Syaukani berpendapat bahwa tahadduts bin ni’mah bukan termasuk bagian dari tafaakhur (berbangga-bangga) maupun takabbur yang sangat dibenci oleh Allah swt. seperti dalam firmanNya, “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri”. (Luqman: 18)
Tahadduts bin ni’mah dalam konteks yang lebih luas, tidak hanya atas kenikmatan materi yang diterima seseorang. Atas kesungguhan beribadah dan taufiq untuk menjalankan amal shalih juga layak dan tidak ada salahnya untuk diceritakan dan diberitahukan kepada orang lain. Ini sebagai sebuah ungkapan rasa syukur dan agar bisa ditiru serta dijadikan contoh. Namun, tentu kepada mereka yang diharapkan mengikuti kebaikan dan amal shalih tersebut.
Al-Hasan bin Ali mengemukakan pernyataannya tentang hal itu, “Jika engkau mendapatkan kebaikan atau melakukan kebaikan, maka sebutlah dan ceritakanlah di depan saudaramu yang kamu percayai bahwa ia akan mengikuti jejak yang baik tersebut.” Kebiasaan seperti ini pernah dilakukan oleh Abu Firas, Abdullah bin Ghalib, seperti yang dituturkan oleh Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya, “Setiap kali aku bangun pagi, aku biasa menyebut amal yang aku lakukan di malam hari; aku sholat sekian, berdzikir sekian, membaca Al-Qur’an sekian dan sebagainya.” Ketika para sahabatnya mempertanyakan yang dilakukan oleh Abu Firas termasuk dalam kategori riya’, dengan tenang ia menjawab, “Allah memerintahkan dalam ayat-Nya untuk menceritakan kenikmatan, sedangkan kalian melarang untuk menyebut kenikmatan?”
Di sini sangat jelas bahwa tahadduts bin ni’mah merupakan salah satu kendali agar tidak terjerumus ke dalam kelompok yang dikecam oleh Allah karena menyembunyikan nikmat dan mengingkarinya serta tidak mengakui anugerah tersebut berasal dari Allah swt. Allah berfirman, “Mereka mengetahui nikmat Allah, kemudian mereka mengingkarinya dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang kafir.” (An-Nahl: 83).
Tentang penduduk Negeri Saba’ yang ingkar dan enggan mensyukuri nikmat, Allah menggambarkan akhir kehidupan mereka yang mendapat azab. “Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka, yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun. Tetapi mereka berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon Sidr. Demikianlah Kami memberi balasan kepada mereka karena kekafiran mereka. Dan Kami tidak menjatuhkan azab (yang demikian itu), melainkan hanya kepada orang-orang yang sangat kafir.” (Saba’: 15-17)
Dalam beberapa hadits Rasulullah dinyatakan bahwa Tahadduts dengan kenikmatan yang diraih merupakan salah satu dari impelemtasi syukur seorang hamba kepada Sang Pemberi nikmat, yaitu Allah. Dalam hal ini, At-Tirmidzi menukil sebuah hadits yang diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah bahwa ia berkata, “Barangsiapa yang diberi kebaikan (kenikmatan), hendaklah ia membalasnya; Jika ia tidak punya sesuatu untuk membalasnya, hendaklah ia memuji pemberinya. Karena sesungguhnya apabila ia memuji berarti ia telah mensyukuri dan berterima kasih kepadanya. Akantetapi, jika ia menyembunyikannya, berarti ia telah mengingkari kebaikannya.” Dalam hadits lain dijelaskan masing-masing bentuk implementasi syukur secara lebih terperinci:
عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ :قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ مَنْ لَمْ يَشْكُرْ الْقَلِيلَ لَمْ يَشْكُرْ الْكَثِيرَ وَمَنْ لَمْ يَشْكُرْ النَّاسَ لَمْ يَشْكُرْ اللَّهَ التَّحَدُّثُ بِنِعْمَةِ اللَّهِ شُكْرٌ وَتَرْكُهَا كُفْرٌ وَالْجَمَاعَةُ رَحْمَةٌ وَالْفُرْقَةُ عَذَابٌ
Dari An-Nu’man bin Basyir berkata, “Rasulullah saw. berkhutbah di atas mimbar menyampaikan sabdanya: ‘Barangsiapa tidak mensyukuri yang sedikit, berarti tidak bisa mensyukuri yang banyak. Barangsiapa tidak berterima kasih kepada manusia, berarti ia tidak bersyukur kepada Allah. Sesungguhnya menyebut-nyebut nikmat Allah adalah bersyukur dan meninggalkannya adalah kufur. Bersatu akan membawa rahmat dan bercerai-berai akan mendatangkan adzab’.” (Musnad Imam Ahmad, no. 17721)
Adalah anugerah Allah jika kita diberi kemampuan dan taufiq untuk senantiasa mensyukuri segala nikmatNya. Al-Hasan Al-Basri pernah berpesan, “Perbanyaklah oleh kalian menyebut-nyebut nikmat, karena sesungguhnya menyebut-nyebutnya sama dengan mensyukurinya.” Memang memperlihatkan kenikmatan merupakan sesuatu yang sangat dipuji oleh Allah karena Allah sangat cinta kepada hambaNya yang diberi nikmat lantas ia menampakkan atau memperlihatkan nikmat tersebut dalam sikap atau penampilan.
Rasulullah pernah menegur seorang sahabat yang berpenampilan jauh dan bertentangan dengan kenikmatan yang diterimanya. Seperti yang dikisahkan oleh Imam Al-Baihaqi bahwa salah seorang sahabat pernah datang menemui Rasulullah saw. dengan berpakaian lusuh dan kumal serta berpenampilan yang membuat sedih orang yang memandangnya. Melihat keadaan demikian, Rasulullah bertanya, “Apakah kamu memiliki harta?” Sahabat tersebut menjawab, “Ya, Alhamdulillah, Allah melimpahkan harta yang cukup kepadaku.” Maka Rasulullah berpesan, “Perlihatkanlah nikmat Allah tersebut dalam penampilanmu.” (Syu’abul Iman, Al-Baihaqi)
Mudah-mudahan kenikmatan yang semakin banyak mengalir mewarnai kehidupan kita, mampu kita jadikan sebagai modal untuk memperkuat dan memperbaiki semangat pengabdian kita kepada Allah dalam bentuk amal sholeh yang diridhoiNya. Tahadduts bin ni’mah yang kita lakukan semata untuk mendapatkan perhatian Allah, bukan perhatian dan pujian dari manusia. Namun begitu, harapan dari tahadduts bin ni’mah tersebut semoga akan bisa membangkitkan semangat orang lain untuk sama-sama menghadirkan kebaikan dan kemaslahatan pada bangsa tercinta ini.

Dr. Attabiq Lutfi, MA

Kamis, 05 Agustus 2010

Mengenal Dr. Sayyid Nuh

Beliau adalah pengarang silsilah buku Afat ala Toriq (halangan di jalan dakwah) dan banyak lagi karangan-karangan lain yang berharga di dalam bidang dakwah. Beliau adalah seorang ulama’ hadis dan aktivis dakwah jemaah Ikhwan Muslimin kelahiran Mesir. Lahir di Mahallah Kubra dari keluarga petani dan menuntut di al-Azhar sehingga ke peringkat PhD.
Ulama’ lulusan Kuliah Usuluddin, Universiti al-Azhar ini mendapat ijazah pertamanya pada tahun 1971. Pada tahun 1973 beliau berjaya meraih kejayaan cemerlang mendapat ijazah Sarjana dengan tesis bertajuk ‘Perkahwinan Rasulullah s.a.w. dengan Zainab binti Jahsy; menolak tohmahan sekitar perkahwinan itu berdasarkan manhaj golongan muhadissin’. Seterusnya berjaya mendapat ijazah Doktor Falsafah dengan tesis bertajuk ‘Al-Hafiz Abu al-Hajjaj Yusof al-Mazzi dan kesungguhannya di dalam penulisan Tahzib al-Kamal’.
Menjadi pensyarah ilmu hadis di Universiti al-Azhar sebelum bertugas sebagai pensyarah pelawat di Universiti Qatar pada 1981-1982. Selepas itu beliau bertugas di Emirate di Universiti Emirate mulai tahun 1982 sehingga 1991. Subjek yang diajarnya pada kali ini adalah tafsir dan hadis. Pada tahun 1991-1993 bertugas di Kuliah Perubatan Dubai. Pada 1993 pula beliau berpindah ke Kuwait, menjadi pensyarah di Kuliah Syariah dan mengajar subjek hadis sebelum menjadi Ketua Jabatan Tafsir dan Hadis di Universiti Kuwait. Menyelia banyak tesis Master dan PhD.
Aktif dengan tugasannya di universiti selain aktif menjadi khatib di masjid-masjid. Aktif juga menyampaikan pengajian bersiri di radio Kuwait bertajuk ‘Usaha ulama’ Islam di dalam bidang hadis’. Selain dari itu beliau adalah salah seorang penulis yang aktif untuk majalah Mujtama’ dan Wa’yu Islami (kedua-dua majalah ini adalah antara majalah yang paling luas pasarannya di negara-negara Arab). Banyak kali dijemput untuk memberikan ucapan dan membentangkan kertas kerja di dalam mu’tamar dan nadwah. Mengajar secara tetap di beberapa buah pertubuhan bukan kerajaan di Kuwait.
Dr. Sayyid Nuh sememangnya seorang penulis yang hebat yang menghasilkan lebih dari 20 buah buku. Di antara buku tulisannya yang menjadi rujukan penting anggota Ikhwan Muslimin adalah silsilah ‘Halangan-halangan di jalan dakwah’, silsilah ‘Petunjuk Nabi di jalan dakwah’, ‘Peribadi muslim di antara sifat fardiah dan sifat jama’ieah’ dan ‘Dakwah fardiah berdasarkan manhaj Islam’.
Pada 30 Julai 2007 yang lepas, Dr. Sayyid Nuh telah meninggalkan kita semua setelah menderita sakit selama beberapa tahun. Pemergian Dr. Sayyid Nuh sama seperti yang digambarkan oleh hadis Rasulullah s.a.w.: “Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan cara menghilangkannya dari manusia. Sebaliknya Allah mencabut ilmu dengan cara mematikan para ulama’.”
Di akhir hayatnya Allah menguji beliau dengan penderitaan bengkak hati dan kanser. Beliau menceritakan kepada kita kisahnya dengan kata-katanya:
“Pada satu malam daripada malam-malam kesakitan, saya berdoa kepada Allah agar Allah melepaskan saya dari penderitaan ini dan memberikan saya kerehatan tidur. Ketika saya berdoa, tiba-tiba mengantuk menguasai saya. Beberapa orang datang kepada saya. Saya mendengar suara mereka tetapi tidak dapat melihat mereka. Mereka berkata kepada saya: “Tidurlah.” Saya benar-benar tertidur selama setengah jam. Apabila saya bangun kembali, saya berasa seolah-olah saya sudah tidur selama beberapa hari. Ini adalah pemberian Allah dengan keberkatan doa di tengah malam.
Saya berada di ICU selama seminggu. Apa yang menggusarkan saya adalah ‘apa yang akan saya katakan kepada Allah esok. Saya cuai menjaga tubuh badan dan kesihatan sehingga membawa kepada keadaan yang menakutkan ini. Bahkan saya amat takut jika Allah menghukum saya sehingga saya tidak mampu mengucapkan dua kalimah syahadah ketika di ambang maut, lalu saya akan kerugian dunia dan akhirat.
Beberapa kali saya merayu Allah agar mengampunkan saya dan mengakhiri hayat saya dengan iman. Saya memberikan satu janji kepada Allah bahawa jika saya disembuhkan pada kali ini, saya akan menjadikan penjagaan tubuh badan dan kesihatan saya di tempat-tempat utama di samping perkara-perkara lain di dalam hidup saya. Dengan itu saya akan melaksanakan keseimbangan dan penyempurnaan yang diseru oleh syariat.
Saya teringat kembali bahawa saya pernah menyeru manusia betapa perlunya mereka mencurahkan sehabis tenaga untuk memenuhi tuntutan sunnah alam dan jiwa. Allah akan memberikan alam kepada sesiapa yang menuntutnya dengan sungguh-sungguh. Orang bukan Islam telah menuntutnya. Manakala hanya sebahagian kecil sahaja dari orang Islam yang menuntutnya. Allah memberikan dunia kepada orang bukan Islam. Majoriti umat Islam hanya berdiam diri maka Allah tidak memberikan dunia kepada mereka. Mereka bergantung kepada orang bukan Islam di dalam urusan dunia. Allah memberi hidayah kepada sesiapa yang dikehendakiNya dan menyesatkan sesiapa yang dikehendakiNya. KepadaNyalah kembali semua urusan.
Saya mendapatkan rawatan di Pusat Rawatan Hati di Mesir. Ia dipilih kerana pusat itu mempunyai kerjasama dengan doktor-doktor pakar dari Jepun dan Eropah. Sebuah pusat rawatan membina nama dan kedudukannya melebihi pusat rawatan yang lain dengan kerjasama doktor-doktor asing!!! Alangkah ruginya dan alangkah menyayat hati ketika melihat umat pemimpin kemanusiaan sampai di tahap ini, sedangkan doktor-doktor asing itu sebenarnya mempelajari ilmu perubatan dari Andalus.
Adakah Mesir mandul? Adakah negara Arab juga mandul? Adakah seluruh negara Islam mandul dan tidak mampu melahirkan pakar-pakar perubatan gergasi di dalam bidang pembedahan hati? Adakah ini semua berpunca dari kedunguan anak-anak umat ini? Adakah ini berpunca dari kekurangan peralatan dan material untuk melakukan pembedahan? Bayangkan! Ia tidak berpunca dari itu atau ini.
Ianya berpunca dari perpecahan yang menimpa umat pada peringkat antarabangsa dan tempatan, pada peringkat kerajaan dan rakyat. Ditambah dengan kelemahan iman dan penguasaan cinta dunia pada sebahagian besar umat ini. Setiap orang berkata: “Diriku. Diriku.” Ia juga berpunca daripada kelemahan pimpinan dan kesibukan mereka dengan dunia mereka. Dunia melalaikan mereka dari menjaga maslahat umat dan memberikan penghormatan kepada ulama’ serta memberikan galakan kepada mereka.”
Beliau amat mengambil berat isu-isu umat Islam. Di akhir hayatnya di Kuwait, beliau telah memberikan wasiat kepada anak-anaknya dan rakan-rakan dakwah yang menziarahinya di saat-saatu akhir kehidupannya. Topik yang menjadi pilihan beliau untuk diisi di dalam wasiat ini adalah al-Quds menunjukkan betapa isu umat menjadi kerunsingannya sehingga ke saat akhir hayatnya.
“Saya berlindung dengan Allah dari syaitan yang direjam. Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Mengasihani. Segala puji bagi Allah, Tuhan sekelian alam. Saya naik saksi bahawa tiada tuhan melainkan Allah, Penolong orang-orang soleh. Saya naik saksi bahawa Muhammad adalah penghulu para Nabi dan ketua golongan muttaqin. Ya Allah, selawat dan salam dan berkatilah Muhammad, Nabi yang buta huruf, seluruh keluarganya, seluruh sahabatnya, orang-orang yang melalui jalannya dan para pendakwah sehingga ke hari kiamat.
Saya mengalu-alukan salam Islam kepada kamu semua wahai saudara-saudaraku. Ia adalah salam dari Allah. Ia adalah salam yang baik dan diberkati. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Saya menasihatkan diri saya dan diri kamu. Marilah kita memuji Allah atas kemuliaan yang Allah kurniakan kepada kita dan kedudukan yang Allah letakkan kita di atasnya.
Beruntunglah kita kerana Allah menjadikan kita saksi kepada keesaan dan kesempurnaanNya selepas persaksianNya dan persaksian malaikatNya.
“Allah menjadi saksi (kepada sekalian makhlukNya dengan dalil-dalil dan bukti), bahawasanya tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, yang sentiasa mentadbirkan (seluruh alam) dengan keadilan, dan malaikat-malaikat serta orang-orang yang berilmu (mengakui dan menegaskan juga yang demikian); tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan dia; Yang Maha Kuasa, lagi Maha Bijaksana.” (Aali Imran: 18).
Beruntunglah kita kerana hanya kita sahaja yang diikiraf oelh Allah sebagai golongan yang takutkanNya.
“…sebenarnya yang menaruh bimbang dan takut (melanggar perintah) Allah dari kalangan hamba-hambaNya hanyalah orang-orang yang berilmu. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa, lagi Maha Pengampun.” (Fathir: 2 8)
Beruntunglah kita “… Allah meninggikan darjat orang-orang yang beriman di antara kamu, dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan agama (dari kalangan kamu) - beberapa darjat. dan (ingatlah), Allah Maha mendalam pengetahuannya tentang apa yang kamu lakukan.” (Al-Mujadilah: 11)
Ini semua kita perolehi kerana kita menunaikan amanah yang Allah campakkan ke atas kita.
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan dari keterangan-keterangan dan petunjuk hidayah, sesudah Kami menerangkannya kepada manusia di dalam Kitab suci, mereka itu dilaknat oleh Allah dan dilaknat oleh sekalian makhluk. Kecuali orang-orang yang bertaubat, dan memperbaiki (amal buruk mereka) serta menerangkan (apa yang mereka sembunyikan); maka orang-orang itu, Aku terima taubat mereka, dan Akulah Yang Maha Penerima taubat, lagi Maha Mengasihani.” (Al-Baqarah: 159-160)
Al-Aqsa adalah amanah di atas leher umat ini bermula sejak peristiwa Rasulullah s.a.w. isra’ dan mikraj. Ia adalah amanah yang kita tanggung dan kita masih menanggungnya. Sebarang kecuaian di dalam amanah ini akan membuka pintu kejahatan yang tiada batasnya di dunia. Ada pun di akhirat kita akan ditanya oleh Tuhan, Empunya segala kemuliaan tentang ilmu yang kita ketahui dan kewajipan kita terhadap al-Aqsa.
“Demi Tuhanmu! Kami akan menyoal mereka semuanya (pada hari kiamat kelak) terhadap apa yang mereka ketahui.” (Al-Hijr: 92).
Sabda Rasulullah s.a.w.: “Tidak akan berganjak kedua-dua kaki seorang hamba di hari kiamat sehingga ditanya tentang empat perkara; Tentang umurnya ke mana dihabiskan? Tentang masa mudanya ke mana dihabiskan? Tentang hartanya dari mana hasilnya dan ke mana dibelanjakan? Tentang ilmunya apa yang diamalkan dari ilmu itu.” (Riwayat Tobroni)
Saya berharap agar kamu meletakkan perhitungan terhadap apa yang akan saya katakan. Saya tahu kamu mengetahuinya tetapi saya hanya ingin mengingatkan sahaja.
Saya mengingatkan kamu semua tentang kewajipan menerangkan kepada manusia nilai al-Aqsa, kedudukannya di dalam jiwa umat dan kewajipan umat terhadapnya. Jangan jemu jika kamu terpaksa memberikan ceramah sekali atau dua kali atau tiga kali, khutbah sekali atau dua kali atau tiga kali dan kelas pengajian sekali atau dua kali atau tiga kali. Apa yang penting adalah kamu mesti bersungguh-sungguh menerangkan isu ini sehingga manusia mengetahui nilai al-Aqsa.
Kamu mesti menerangkan kepada manusia bahaya yang menunggu jika kita kehilangan al-Aqsa dan Palestin. Pintu kejahatan akan terbuka. Negara, harta, jiwa dan maruah umat Islam akan dicabuli di hadapan musuh perampas yang tidak akan merahmati sesiapa pun. Umat Islam mesti memahami bahaya tersebut. Selagi mana mereka tidak memahaminya, mereka tidak akan bergerak dan tidak akan bangun menunaikan tanggungjawab mereka.
Perlu disedarkan para pemerintah. Mereka adalah orang-orang yang bertanggungjawab sepenuhnya terhadap diri mereka dan diri anak-anak umat ini dan terhadap bumi yang suci. Tanggungjawab mereka berat di hari kiamat nanti. Mereka perlu bersegera menunaikan tanggungjawab ini. Kita perlu mengingatkan mereka bahawa walau pun mereka berlembut dan berdiplomasi dengan musuh dan mengorbankan agama ini, akhirnya mereka akan dipijak juga oleh kaki musuh. Itu yang akan berlaku selagi mana mereka tidak kembali kepada agama Allah dan tidak berusaha untuk memelihara bumi yang suci ini.
Saudara-saudara kita mesti berkata kepada umat Islam: “Tunjukkan kemarahan anda sekarang.” Jika kemarahan ini tidak ditunjukkan sekarang, bila ianya akan ditunjukkan? Demonstrasi adalah hak yang dibenarkan bagi semua bangsa di dunia. Umat Islam mesti menunjukkan kemarahan mereka. Bukan sekadar emosi yang akan mati selepas sehari dua, tetapi kemarahan yang didasari oleh hujah dan bukti. Kita akan terus teguh begini sehinggalah para pimpinan sedar dan akan bangkitlah orang-orang yang tidur, pemalas dan manusia yang lalai dari kalangan umat ini memainkan peranan mereka. Demi Allah jika kita berterusan menunjukkan pendirian kita dan berdiri teguh, tidak ada jalan lain bagi musuh selain dari mengubah pendirian mereka. Musuh ini tidak akan mampu dikalahkan kecuali dengan kekuatan. Inilah kekuatan yang terbesar. Kekuatan ini melebihi kekuatan peluru berpandu dan bom. Umat mesti berdiri teguh. Musuh akan tahu dengan siapa mereka berhadapan dan berinteraksi jika umat menunjukkan kemarahannya.
Kita juga perlu mengingatkan umat tentang kewajipan mereka memberikan sumbangan kewangan untuk membangunkan kawasan ini dan sebagai duit sara hidup pejuang-pejuang yang mempertahankannya. Di sana terdapat sekelompok manusia yang mana bangun dan tidur mereka tidak ada perkara lain yang mereka fikirkan kecuali untuk mempertahankan al-Aqsa dengan jasad dan ruh mereka. Kepentingan peribadi mereka terabai. Tiada apa yang mereka lakukan untuk anak-anak dan keluarga mereka. Semua ahli keluarga bersabar menanggungnya dan berkorban untuk itu. Mereka memerlukan wang. Kita perlu mengingatkan umat tentang kewajipan mereka untuk memberi sumbangan kewangan. Bahkan sebenarnya ia bukan sumbangan, sebaliknya ia adalah kewajipan kewangan. Sesungguhnya setiap orang Islam wajib mempertahankan agama Allah dengan dua perkara; nyawanya dan hartanya. Jika dia tidak mampu mempertahankan dengan nyawanya, lakukanlah denga hartanya dan gantikanlah bahagian nyawa tersebut dengan sumbangan tambahan harta yang lain. Dengan itu wajib ke atasnya dua bahagian; bahagian harta yang sepatutnya dan bahagian harta yang menggantikan bahagian nyawanya.
Mereka perlu mengingatkan semua orang Islam agar berdoa. Ambillah satu malam dari seminggu. Duduklah dan berdoa kepada Allah. Samada kanak-kanak atau orang tua. Samada orang-orang yang sihat atau orang-orang yang sakit, orang tua dan uzur. Berkumpullah selepas berbuka puasa. Selepas itu mereka solat dan berdoa moga Allah mengeluarkan umat dari bencana ini dan moga musuh Allah yang menyangka bahawa mereka raja dunia dan segala isinya serta lupa kekuatan Allah akan menerima balasannya
“Dan bahawa sesungguhnya, Dialah yang membinasakan kaum Aad yang pertama (kaum Nabi Hud).” (Al-Najm: 50).
Ayat ini menunjukkan adanya kaum Aad kedua, ketiga dan keempat. Allah maha berkuasa atas segala sesuatu.
“Adapun kaum Aad, maka mereka berlaku sombong takbur di muka bumi dengan tiada sebarang alasan yang benar, serta berkata: “Siapakah yang lebih kuat dari kami?” dan (mengapa mereka bersikap demikian?) tidakkah mereka memerhatikan bahawa Allah yang menciptakan mereka (dari tiada kepada ada) adalah lebih besar kekuatanNya dari mereka? dan sememangnya mereka sengaja mengingkari tanda-tanda kekuatan Kami (sedang mereka sedia mengetahuinya).” (Fushilat: 15)
Saya berdoa kepada Allah wahai saudara-saudara sekelian agar kalimat ini memberikan manfaatnya. Moga-moga Allah menerima amalan kita, memaafkan kesalahan dan mengampunkan segala dosa.
Saya sudahi kata-kata ini dan saya memohon ampun dari Allah bagi diri saya dan kamu semua. Selawat dan salam ke atas Muhammad, keluarga dan sahabatnya. Segala puji bagi Allah. Moga-moga Allah membalas kebaikan kepada kamu semua.”

Ujian Futur dan Cara Merawatnya

Futur adalah perkataan dari bahasa Arab asalnya ia bermakna terputus, berhenti, malas dan lambat, setelah sebelumnya konsisten dan rajin. Dalam konteks amal dakwah, ia adalah satu penyakit yang menimpa aktivis dakwah dalam bentuk rasa malas, menunda-nunda, berlambat-lambat dan yang paling buruk ialah berhenti dari melakukan amal dakwah. Sedangkan sebelumnya ia adalah seorang yang aktif dan beriltizam.
Fenomena ini adalah satu perkara yang biasa berlaku dan dihadapi oleh ramai mereka yang bertangungjawab dalam mentarbiyah para aktivis dakwah. Hakikat ini adalah kerana futur merupakan sifat semula jadi manusia. Rasulullah s.a.w bersabda dalam sebuah hadits yang bermaksud;

“Sesungguhnya bagi setiap amalan adalah masa-masa rajin dan tiap-tiap masa rajin ada futur. Namun barangsiapa yang futurnya menjurus kepada sunnahku, maka sesungguhnya ia telah memperoleh petunjuk. Barangsiapa pula yang futurnya menjurus kepada selain sunnahku, maka ia telah tersesat.” (Riwayat Al-Bazzar)

Bahaya Futur
Walau pun futur adalah sesuutu yang lumrah berlaku dalam diri manusia tetapi ia mestilah diurus, sebagaimana yang diajarkan oleh hadits di atas dengan memalingkan perasaan itu kepada sesuatu yang sejajar dengan sunnah. Jika tidak ia akan mengkibatkan kesan buruk.

Antara kesan buruk itu ialah;

1. Pengabaian kepada amanah.
Futur menyebabkan seorang aktivis dakwah bermalas dalam menunaikan tugas dakwahnya. Ini kadangkala sehingga menyebabkan tugas berkenaan lewat disempurnakan atau terbengkalai sehingga mengganggu keseluruhan projek yang hendak dilaksanakan. Apa jua pengabaian kepada kewajiban adalah pelanggaran amanah yang akan dipertanggungjawabkan oleh Allah taala.

2. Gugur dari jalan dakwah.
Sekiranya futur tidak ditangani atau dibiarkan tanpa dirawat, ia akan menjadi satu tabiat. Lama-lama, perasaan ini menjadi sebati dan aktivis berkenaan menjadi semakin jauh dari amal dakwah. Akhirnya, ia terus tidak lagi terbabit dalam amal dakwah. Apabila seorang itu gugur dari jalan dakwah, maka ia telah hilang banyak kebaikan dari usaha dakwah. Lebih buruk lagi, ia telah mengabaikan kewajiban dakwah yang ditaklifkan ke atasnya sebagai seorang Muslim.

3. Mengakhiri kehidupan dalam keadaan yang futur.
Apabila seseorang itu berlama-lama dalam keadaan futur sehingga menjadi kebiasaannya, maka ia menanggung risiko besar untuk mati dalam keadaan sedemikian kerana dia tidak tahu akan masa kematiannya. Adalah ditakuti, jika Allah taala mengambil nyawanya sedangkan dia dalam keadaan futur, sedangkan Allah taala menghisab amal manusia berdasarkan akhir hayatnya. Maka sebab itulah, Rasulullah s.a.w mengajar umatnya agar sentiasa berdoa dengan doa;

“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon perlindungan kepadaMu dari kesusahan dan kesedihan, aku berlindung kepadaMu dari penyakit lemah dan malas...” (Riwayat Abu Daud)
Di dalam sebuah hadits, Rasulullah s.a.w bersabda yang bermaksud;
“Sesungguhnya seorang hamba itu ada yang melakukan amalan ahli neraka padahal ia termasuk ahli syurga, dan ada pula yang mengamalkan amalan ahli syurga padahal ia termasuk ahli neraka. Sesungguhnya amal itu tergantung pada kesudahannya.” (Riwayat Al-Bukhari)

Kenapa Futur Berlaku?

Sebahagian dari langkah untuk menangani futur ialah memahami sebab ia berlaku. Dengan itu, kita dapat berusaha mencegah, menjangkakan atau mendiagnosnya, setelah itu merawatnya dengan preskripsi yang betul. Futur berlaku disebabkan oleh faktor-faktor berikut;

1. Melakukan amalan agama secara berlebihan, melampau atau memaksa diri.
Ramai aktivis dakwah begitu bersemangat pada mulanya untuk melakukan pelbagai perkara sehingga tidak memerhatikan aturan alam, anjuran Islam dan keupayaan diri. Akhirnya apabila naluri semulajadi futur muncul, ia menjadi lemah, jenuh dan bosan sebagaimana yang dinyatakan oleh hadits di atas. Maka sebab itulah Rasulullah s.a.w menganjurkan dalam sabdanya yang bermaksud;

“Jangan kamu memberat-beratkan diri. Nanti akan diberatkan ke atasmu.” (Riwayat Abu Daud)

“Tidaklah seseorang memberatkan diri dalam bergama, melainkan ia akan dikalahkan olehnya.” (Riwayat Al-Bukhari)

Oleh itu, pembimbing tarbiyah mestilah mendidik aktivis dakwah untuk mengikuti anjuran Rasulullah s.a.w dalam hadits yang bermaksud;

“Lakukanlah amal sesuai dengan kemampuanmu kerana sesungguhnya Allah tidak merasa bosan sehingg akamu sendiri merasa bosan. Sesungguhnya amalan yang paling disukai oleh Allah ialah yanag dilakukan secara rutin walau pun sedikit.” (Riwayat Al-Bukhari & Muslim)

2. Suka berlebih-lebih dalam perkara yang mubah.
Satu contoh ialah berlebihan dalam pemakanan. Walau pun makan adalah satu keharusan tetapi apabila seseorang itu berlebihan dalamnya, ia akan memberi kesan kepada tubuh dan rohaninya. Badannya menjadi gemuk dan berat untuk aktif yang menatijahkan rasa malas.
Contoh lain ialah tabiat melunsur internet atau berchat. Apabila seseorang berlebihan dalamnya, ia akan merasa ketagihan sehingga banyak masa yang digunakan untuk melunsur dan berchat. Akibatnya masa untuk dakwah menjadi kurang dan ia sering merasa konflik antara menggunakan masa untuk amal dakwah dengan tabiat melunsur dan berchat.
Untuk menjauhi futur, perlulah aktivis dakwah ditarbiyah agar berpada dalam perkara yang mubah.

3. Suka bersendiri dan berjauhan dari berjamaah.
Apabila seorang aktivis suka bersendiri, maka dia telah hilang satu benteng pertahanan dari syaitan kerana Rasulullah s.a.w bersabda bahawa syaitan itu lebih dekat kepada seorang dari kepada dua orang dan lebih dekat kepada dua orang dari kepada tiga orang. Syaitan ibarat serigala yang sentiasa mengintai kambing yang terasing dari kumpulannya. Pastinya syaitan akan sentiasa berbisik agar seseorang itu meninggalkan amal dakwah.

Oleh itu, aktivis dakwah mestilah dididik untuk melazimi teman-teman aktivis seorganisasi bagi mengelakkan futur. Pembimbing tarbiyah pula mestilah berusaha untuk sentiasa membina kemesraan aktivis dakwah dengan organisasinya dan memastikan kemesraan yang berterusan sesama aktivis.

4. Kurang mengingati mati dan Akhirat.
Antara faktor pendorong kuat dalam amal dakwah ialah hasrat mendapat pahala, rasa rindu dengan syurga, takut akan dosa dan siksa neraka. Kesemua ini berkaitan dengan mengingati akhirat. Oleh itu, apabila mengingati akhirat berkurangan, ia akan diganti dengan ingatan kepada benda-benda lain. Natijahnya faktor pendorong menjadi lemah dan futur menguasai diri.

Maka sebab itulah penting bagi aktivis dakwah untuk ditarbiyah agar mempunyai rutin ibadah tertentu yang akan terus mengingatkannya akan akhirat, bukan hanya bercakap mengenai fikrah atau menumpu pada kemahiran semata-mata.

5. Lengah dengan syubhat dan dosa.
Manusia akan pasti melakukan silap dan dosa tetapi ia tidak boleh mempunyai sikap toleransi dengan dosa atau bertoleransi setelah melakukannya kerana dosa akan membina titik hitam. Jika titik itu tidak dibiarkan ia akan melemahkan semangat dan mengakibatkan futur.

6. Membataskan aktiviti pada aspek tertentu sahaja.
Antara punca rasa jemu ialah tiada kepelbagaian. Oleh itu, pembimbing tarbiyah hendaklah membimbing para aktivis dakwah untuk mempelbagaikan segala tidakannya. Ia mesti mempelbagaikan ibadah mereka agar apabila mereka jemu pada satu ibadah, mereka masih melazimi satu ibadah yang lain. Ia mesti mempelbagaikan corak amal dakwah mereka agar mereka tidak mudah jemu dan bosan. Dengan itu, kemungkinan futur menjadi rendah.

7. Melupakan sunnah alam.
Futur berlaku juga apabila seseorang itu dalam melakukan amal dakwahnya tanpa mengikut aturan alam seperti mahu satu perubahan yang segera dan cepat, tidak realistik dengan harapannya, sehingga apabila usahanya selalu gagal, ia menjadi putus asa.
Termasuk dalam memelihara sunnah alam ialah menunaikan hak badan, keluarga dan hak-hak lain. Sedangkan Rasulullah s.a.w bersabda yang bermaksud;


“Sesungguhnya Tuhanmu mempunyai hak atasmu, dirimu mempunyai hak atasmu, keluargamu jug amempunyai hak atasmu. Oleh itu, berikan setiap yang punya hak, akan haknya.” (Riwayat Al-Bukhari)

Selain pembimbing tarbiyah sentiasa memerhatikan aspek ini dalam diri para aktivis, dia hendaklah memastikan agar tidak menjadi punca para aktivis mengabaikan hak-hak yang lain dengan memberi tugas-tugas atau tuntutan yang berlebihan.

8. Tidak ada persiapan menghadapi cabaran di jalan dakwah.
Jalan dakwah sentiasa dipenuhi oleh ujian. Seseorang yang tidak bersedia atau mempunyai persiapan akan pasti ditewaskan oleh ujian ini. Maka sebab itulah penting bagi aktivis dakwah untuk melalui program tarbiyah yang sistematik sebagai salah satu mekanisme persiapan di jalan dakwah.

Pembimbing tarbiyah tidak boleh hanya seronok melihat kesibukan aktivis dakwah dengan
pelbagai projek sehingga tidak ada masa untuk tarbiyah.

9. Lebih banyak bercampur dengan teman-teman.
Rasulullah s.a.w bersabda yang bemaksud;

“Seseorang itu mengikut agama temannya kerana itu hendaklah kamu melihat orang yang kamu jadikan teman.” (Riwayat Abu Daud)

Maka sebab itu penting bagi pembimbing tarbiyah untuk membina kemesraan dengan para aktivis dan kemesraan sesama mereka. Dengan kemesraan itu, mereka saling mengasihi dan menjadi teman yang terbaik antara satu sama lain. Dengan itu juga, mereka tidak condong kepada golongan-golongan lain untuk dijadikan teman. Ini adalah cara yang lebih baik dari cuba control atau halang seseorang aktivis dari berkawan dengan yang lain.

10. Bekerja untuk dakwah tanpa bersistem.
Apabila seseorang bekerja tanpa ikut sistem dan perancangan yang baik, ia akan memenatkan diri sendiri dan kurang mendapat hasil yang baik. Ini pastinya akan menjejas semangat dan komitmennya.
Menjadi tanggungjawab pembimbing tarbiyah untuk menyepadukan pembinaan kemahiran yang betul sebagai sebahagian dari program tarbiyah bag imengelakkan faktor ini. Di samping itu, pembimbing tarbiyah sendiri mestilah menjadi contoh yang baik.

Merawat Futur
Setelah memahami punca-punca futur, maka merawatnya boleh dilakukan melalui perkara-perkara berikut;

1. Jauhi maksiat yang kecil, apatah lagi yang besar.

2. Mewujudkan rutin amalan dan ibadah, waktu siang dan malam.

3. Jauhilah segala sikap berlebihan, samada dalam menikmatai yang mubah atau dalam beribadah.

4. Membina kemesraan dengan organisasi dan rakan-rakan aktivis.

5. Mendidik aktivis untuk memahami aturan alam dan meraikannya dalam amal dakwah.

6. Menyemai budaya hidup yang teratur, sistematik dan terancang.

7. Berikan tempoh rehat (break) bagai para aktivis, sebelum timbul rasa lemah.

8. Benarkan sedikit perkara mubah bagi aktivis seperti bergurau, berehat, beriadah dll.

9. Berikan kisah-kisah para sahabat dan orang-orang soleh dan perjuangan mereka untuk diambil iktibar dan memperbaharui semangat.

10. Memberi peingatan yang menimbulkan ingatan terhadap mati dan akhirat.

11. Menggalakkan aktivis untuk melazimi majlis ilmu di luar program tarbiyah yang biasa kerana ia akan membantu proses pembinaan kefahaman yang betul dan menambah keberkatan.

Artikel ini ditulis berdasarkan buku Afat `Ala Tariq oleh Dr. Sayyid Muhammad Nuh dan terjemahannya bertajuk Terapi Mental Aktivis Harakah, terbitan Pustaka Mantiq, Indonesia, 1995.

Naqib : Jantung dan Qudwah

Dalam tanzhim jamaah muslimah, naqib menempati posisi tiang utama dalam struktur dan bangunan jamaah.
Naqib juga merupakan jantung yang terus berdenyut yang memompakan al-hayah (kehidupan), al-hayawiyah (spirit) dan al-harakah (gerakan).
Naqib adalah munaffidz (pelaksana) asasi bagi berbagai proses:
  1. Tarbawi (tarbiyah).
  2. Tanzhimi (struktural), dan
  3. Idari (manajerial).
Pada saat yang sama, naqib ibarat pusat tata surya harakah, padanya terpusat rotasi:
  1. Taujih/khithab qiyadi (pengarahan pemimpin), dan
  2. Amal tanfidzi (amal pelaksanaan).
Pada saat yang sama pula, naqib ibarat qanat (terusan, kanal) asasi yang antara qiyadah dan afrad, melalui kanal inilah:
  1. Berbagai awamir (perintah) dan taujihat (pengarahan) turun, dan
  2. Berbagai berita dan iqtirahat (usulan) naik.
Karena inilah, sesungguhnya dengan membina naqib, membina qudrah (kemampuan)-nya dan membina berbagai karakteristiknya, baik yang bersifat bawaan, maupun yang bersifat empiris merupakan pembinaan terhadap kemampuan berbagai perangkat jamaah dan terhadap kafa-ah-nya untuk berharakah dan melakukan intaj (produktivitas). Sesuai dengan kadar yang diperoleh oleh naqib, baik yang berupa sifat-sifat asasi, maupun tarbiyah yang sukses, sesuai kadar itu pula terletak:
  1. Kekuatan bangunan tanzhimi.
  2. Produktivitas ada’ idari (pelaksanaan manajerial).
  3. Kesuksesan amaliyah tarbawiyah (proses tarbiyah), dan
  4. Keberkahan ansyithah da’awiyah (berbagai aktivitas dakwah).
Mungkin posisi naqib dalam jamaah muslimah itu seperti titik ordinat sebuah lingkaran, dimana posisi qiyadah berada di bagian atas, posisi afrad berada di posisi bawah, sementara berbagai aktivitas yang berada di dalam lingkaran itu lewat melalui sang naqib yang menghubungkan antara qiyadah dengan afrad tadi, tidak mungkin bagian-bagian dari lingkaran itu sampai kepada arah yang berlawanan, di manapun posisinya, kecuali melalui titik ordinat itu. Maksudnya: apapun arah sebuah kegiatan, baik dari qiyadah kepada afrad atau sebaliknya, maka naqib merupakan titik ordinat kegiatan itu, dan ia adalah pusat tata surya gerakan ini, dan darinyalah keberadaan berbagai macam aktivitas.
Berikut ini adalah sebagian dari aktivitas-aktivitas jamaah muslimah yang asasi -yang dalam gambaran di atas merupakan isi dari lingkaran- yang tidak bisa tidak naqib pasti menjadi pusat siklus asasi dan pusat penghubungnya:
1. Al-‘Amaliyah At-Tarbawiyah (proses tarbiyah).
Hal ini mencakup:
  1. Dirasah Mabadi’ Jama’ah (kajian prinsip-prinsip jamaah).
  2. Ta’allumul Fiqhid Da’awi (pembelajaran fiqih dakwah).
  3. Thuruqud Da’wah wal Ittishal (metode dakwah dan komunikasi).
  4. As-Siyasat Al-’Ammah lil Harakah (siyasat umum harakah).
  5. Lawaihul Jama’ah (undang-undang jamaah).
  6. Al-Mafahim At-Tarbawiyah (konsep-konsep tarbiyah).
  7. Al-‘Ilmu bitarikhid da’wah al-islamiyah (pengetahuan sejarah dakwah Islam).
  8. Ma’anil Badzli wat Tadh-hiyah (nilai-nilai infaq dan pengorbanan).
  9. Tahammulul Masyaq (daya tahan dalam memikul berbagai kesulitan).
  10. Membaca Al-Qur’an, dan mengkaji makna-maknanya.
    Semua itu berjalan sesuai dengan manhaj jamaah, dan ta’limat qiyadah yang tidak mungkin sampai kepada afrad kecuali melalui naqib.
  11. At-Tarbiyah bis-Suluk (tarbiyah dengan tindak laku), dan
  12. Al-Qudwah al-‘Amaliyah (teladan amali), yang memang menjadi kewajibannya.
Pada satu sisi, seorang naqib mengambil qudwah (teladan) yang baik dari para qiyadah, pada saat yang sama ia adalah teladan bagi saudara-saudaranya.
Dengan demikian, ia menjadi pihak yang menerima kebaikan, sekaligus menjadi penebar kebaikan tadi.
Karena gerakan Ikhwan adalah haqiqatun shufiyah (hakikat kesufian), maka naqib merupakan asas hakikat ini.
Di depan para qiyadah ia adalah seorang murid yang belajar, mempraktekkan dan meneladani, dan di hadapan saudara-saudaranya ia adalah seorang syekh yang menjadi teladan.
Dengan demikian, naqib merupakan inti tarbiyah sulukiyah, penukil tarbiyah ini dan tali pengait yang menyambungkan hubungan antar generasi dakwah.
Dan jamaah dengan izin Allah terbebas dari berbagai bid’ah tasawuf, dan manhajnya yang nyalafi mu’tadil (salafi moderat) sudah amat dikenal, dan hal ini telah disebutkan oleh Imam Asy-Syahid dengan gamblang, hanya saja, beliau meminjam istilah tasawuf dalam rangka memberikan isyarat kepada tawajjuh tarbawi al-akhlaqi (orientasi tarbiyah ke-akhlaq-an) yang sangat memperhatikan tazkiyatul qulub wal arwah (pensucian hati dan ruhani).
***
2. Al-Ansyithah Al-Idariyah (berbagai aktivitas manajerial).
Yang demikian ini karena jamaah sebagai hizb dan tanzhim memiliki berbagai aktivitas yang beraneka ragam, dengan segala konsekuensinya yang berupa:
  • Pengeluaran berbagai perintah dan penerapannya, dan
  • Pengambilan berbagai keputusan dan pelaksanaannya.
Sebagaimana lazimnya sebuah lembaga sosial kemanusiaan mempunyai manajemen dan anggota, ada ketua dan ada anak buah, ada pimpinan dan ada pengikut, demikian juga halnya dengan jamaah muslimah, para qiyadah-nya tercermin pada para pimpinan manajerialnya, sementara personel jamaah ibarat anggota sebuah lembaga yang menunaikan kewajiban-kewajibannya dalam menjalankan berbagai qararat (keputusan), melaksanakan berbagai rencana serta komitmen terhadap berbagai taujihat (arahan).
Mereka juga berkewajiban menyampaikan berbagai berita, mengamati berbagai fenomena dan menulis taqrir (membuat laporan).
Termasuk dalam hal ini pula bahwa masing-masing dari qiyadah dan atba’ (anggota) mempunyai berbagai hak dan kewajiban, dimana pihak yang satunya berkewajiban melaksanakan hak-hak itu, adakalanya hal itu adalah kewajiban syar’i, dan bisa pula hal itu adalah ekspresi dari ibadah, semua itu bergantung kepada berbagai kemaslahatan yang menjadi titik tujuan didirikannya tanzhim yang membantu tercapainya kemaslahatan-kemaslahatan diniyah.
Dalam aktivitas idariyah ini harus ada titik central dan titik ordinat yang menjadi penghubung antara pimpinan puncak dengan basis massanya. Titik central ini ada pada naqib yang merupakan pusat nadi mengalirnya harakah idariyah (gerakan manajerial). Ia ibarat pengikut di hadapan qiyadah, dan ia ibarat imam di hadapan afrad. Atau dengan bahasa lain, ia adalah pimpinan dan yang dipimpin sekaligus.
Masalah ini tetap akan benar sampaipun saat nasyath idari (aktivitas manajerial) berubah menjadi nasyath askari (aktifitas kemiliteran), atau tanfidz siyasi (pelaksanaan politik).
Jadi, Naqib adalah seorang jundi yang taat, dan pada saat yang sama ia adalah qaid (pimpinan) yang mengeluarkan perintah kepada saudara-saudaranya.
***
3. Al-Ansyithah Ats-Tsaqafiyah (berbagai aktivitas tsaqafiyah).
Jamaah muslimah sebagai harakah salafiyah (gerakan salaf) mengimani bahwa al-‘ilmu asasul ‘amal (ilmu adalah pondasi amal).
Jadi, di dalam usrah terdapat madrasah tsaqafiyah mutakamilah (sekolah terpadu tempat mengasah wawasan). Melalui usrah jamaah muslimah bersemangat untuk mengadakan:
  • At-tastqif asy-syar’i (pengasahan wawasan syari’ah) dengan keanekaragamannya, seperti:
  • Belajar Al-Qur’an dan melakukan kajian terhadapnya.
  • Ilmu hadits.
  • Kajian dasar-dasar fiqih.
  • Prinsip-prinsip aqidah, dan lain-lain.
  • At-tastqif bist-tsaqafah al-‘ammah (pengasahan wawasan umum), seperti:
  • Sejarah manusia.
  • Sejarah Islam.
  • Keanekaragaman skill kehidupan, dan lain-lain.
‘Amaliyah tsaqafiyah (proses pengasahan wawasan) ini –walaupun masih banyak tempat-tempat yang bisa dipilih- namun, intinya, atau minimal pelurusan dan penentuan alurnya dilakukan dalam ‘amaliyah tsaqafiyah yang diselenggarakan di usrah. Hal ini mendorong –mau tidak mau- bagi:
Berjalannya fungsi naqib sebagai ustadz dan mu’allim di hadapan saudara-saudaranya.
Keharusan untuk selalu mendapatkan bekalan-bekalan secara kontinyu dari para qiyadah da’wah dan para pemikirnya dalam menuntut ilmu, dan jadilah dia di hadapan mereka sebagai seorang siswa yang belajar.
Dengan demikian, secara otomatis, naqib juga menjadi:
Markaz wa jauhar al-‘amaliyah at-tarbawiyah (center dan inti dari proses tarbiyah),
Dia adalah titik sambung antara mengambil dan memberi.
Pihak yang secara istimrar (berkelanjutan) berkewajiban menjadi siswa yang belajar yang terus menyerap ilmu dari pihak lainnya, dan pada saat yang sama
Ia menjadi seorang yang aktif yang mampu memberi sebagai seorang mu’allim dan ustadz.
***
Salah satu kewajiban naqib yang sangat banyak itu, di samping perannya sebagai murabbi (pendidik), munazhzhim (pengorganisir), dan mudir (manajer), ia juga berperan sebagai mu’allim (guru) yang menjalankan ‘amaliyatut-ta’lim ad-da’awi wal fikri (proses pengajaran dakwah dan fikrah) dalam lingkup jamaah, melalui usrah atau di luar usrah melalui berbagai ceramah, kajian rutin dan pertemuan-pertemuan. Dan dia, saat menjalankan proses ini, berarti sedang menjalankan kewajiban syar’i yang sangat besar, sesuai dengan kemampuan dan daya dukungnya. Di hadapan saudara-saudaranya, ia adalah seorang guru, walaupun yang ia sampaikan hanya satu ayat dari Al-Qur’an, bagaimana halnya kalau dia menjadi guru pertama mereka dalam ilmu-ilmu syari’ah yang beraneka ragam itu. Ditambah lagi bahwa saudara-saudaranya juga mengambil darinya pelajaran fikr islami untuk pertama kalinya, bahkan, darinya terambil berbagai manhaj jamaah, pokok-pokoknya, prinsip-prinsip dakwah dan tradisi-tradisi dakwah. Karena inilah, peran naqib sangatlah besar dalam al-‘amaliyah at-ta’limiyah (proses pengajaran) dalam jamaah muslimah.
Karena perannya yang besar inilah, seorang naqib membutuhkan pengetahuan dan komitmen terhadap tata krama dalam al-‘amaliyah at-ta’limiyah (proses pengajaran) ini.
Terkait dengan hal ini, kita bisa mengambil pelajaran dari aadabul muhaddits (tata krama seorang ahli hadits) yang layak bagi seorang murabbi atau naqib, khususnya dalam usrah.
“… Seorang muhaddits (baca: murabbi atau naqib) berkewajiban meluruskan niat, membersihkan hatinya dari tujuan-tujuan duniawi … dan jangalah ia menolak melakukan tahdits atau proses periwayatan hadits (baca: tarbiyah dalam arti proses pembinaan) kepada seseorang dengan alasan seseorang itu tidak lurus niatnya, sebab, seseorang itu bisa diharapkan –melalui tahdits (baca: tarbiyah) kelurusan niatnya, dan hendaklah ia (muhaddits, baca: murabbi) bersemangat menyebar luaskan hadits (baca: materi tarbiyah) dengan mengharapkan besarnya pehala yang akan didapat … hendaklah ia (muhaddits, baca: murabbi) membuka dan menutup majlisnya dengan hamdalah, shalawat kepada nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dan doa yang tepat, hendaklah ia menyiapkan seorang pembaca Al-Qur’an yang bagus suaranya untuk membaca sedikit ayat-ayat Al-Qur’an. Dalam meriwayatkan hadits (baca: menyampaikan materi tarbiyah) janganlah meluncur saja yang menyebabkan tidak difahaminya hadits (baca: materi tarbiyah) itu atau sebagiannya … dan hendaklah ia memohon kepada Allah -subhanahu wata’ala- agar mendapatkan taufiq (ketepatan), tasdid (pelurusan) dan taisir (kemudahan), dan hendaklah ia komitmen terhadap berbagai akhlaq dan tata kerama mulia, kemudian, hendaklah ia mengerahkan seluruh jerih payahnya dalam rangka menguasai hadits (baca: materi tarbiyah) itu dan mengoptimalkan pemahamannya …”.
(Taqribun-Nawawi, silakan periksa pada tadribur-rawi syarah taqribun-nawawi, juz: 2 hal. 127 – 141)
Begitu pula garis besar tata kerama seorang da’i dalam kapasitasnya sebagai mu’allim bisa dikutip dari adabul muhaddits (tata kerama seorang ahli hadits) yang disebutkan oleh Imam Al-Ghazali –rahimahullah. Beliau menyebutkan bahwa adab seorang muhaddits adalah:
“… Bertujuan shidiq (benar), menjauhi dusta, meriwayatkan hadits yang masyhur serta meriwayatkan dari orang-orang tsiqat (terpercaya) … tidak menyebutkan khilaf yang ada di antara sesama salaf, ma’rifatuz-zaman (mengenali zaman), menjaga diri agar tidak terpeleset dan salah tulis, lahn (kesalahan baca ) dan tahrif (perubahan) … tetap komitmen dengan pekerti tawadhu’ dan sebagian besar hadits yang diriwayatkannya membawa manfaat bagi kaum muslimin … dan tidak meriwayatkan hadits yang pada asalnya tidak diamalkan …”.
(Al-Adab fid-diin, karya Al Ghazali hal. 5)
Harap diperhatikan bahwa termasuk dalam pengertian al hadits al masyhur dalam perkataan Imam Al-Ghazali (dengan menggunakan metode qiyas (analogi) adalah segala hal yang bermanfaat dan dikenal oleh masyarakat, bukan:
  • Masalah-masalah yang aneh-aneh.
  • Hadits-hadits fitnah.
  • Mencari berita-berita yang meresahkan.
Termasuk dalam pengertian komitmen untuk tidak menyebutkan khilaf antar sesama salaf –meskipun hal ini merupakan tuntutan- adalah:
  • Menceritakan hal-hal yang masih khilaf.
  • Hadits-hadits fitnah.
  • Khilaf dan pertikaian antar sesama qiyadah da’wah.
Sedangkan yang dimaksud dengan ma’rifatuz-zaman adalah:
  • Memperhatikan al-wa’yu al-hadhari al-‘am (kesadaran peradaban umum).
  • Mengenali berbagai peristiwa yang sedang terjadi.
  • Mengikuti berbagai perkembangan berita politik dan sosial.
Seorang naqib hendaklah selalu mengingat bahwa dia adalah seorang mu’allim murabbi (guru yang mendidik) yang menjalani peran sebagai ad-da’iyah al-qudwah (dai teladan), yang mentarbiyah dengan suluk (prilaku), sebagaimana mentarbiyah dengan kata-kata, bukan sekedar mentarbiyah dengan ilmu yang melaksanakan risalatul ‘ilmi (misi ilmu) tanpa disertai hararatur-ruh (kehangatan ruhani), dan melepaskan kendali tadris (pengajaran) tanpa disertai hati.
Perlu diketahui bahwa al-’amaliyah at-tarbawiyah (proses tarbiyah) dalam jama’ah muslimah adalah ‘amaliyah tarbawiyah yang menuntut adanya iltizam biqawa’idi rabbaniyyatit-ta’lim (komitmen terhadap kaidah-kaidah ke-rabbaniyan dalam ta’lim, yang di antara kandungannya adalah:
  • Ta’allumul mawazin wal qawa’id (mempelajari timbangan-timbangan dan kaidah-kaidah).
  • Al-Bidayah bil ahamm la bil ashal (memulai dengan yang terpenting, bukan yang termudah).
  • Tathbiqul mumarasat ash-shahihah wal badzli la jam’ul ma’lumat (pengamalan praktek yang benar dan semangat memberi, bukan menginventasisasi informasi atau pengetahuan).
  • At-Tamassuk bil jawahir la bil qushur (berpegang teguh kepada inti bukan kulit).
  • Al-Iltizam bil auwlawiyat ‘inda tazahumidh-dharurat (komitmen dengan prioritas saat terjadi desakan atau kepadatan berbagai kebutuhan primer).
  • Daf’ul mafasid ‘ala maqadiri rutabiha (menolak kerusakan sesuai dengan tingkatannya).
  • Istihshalil mashalih hasba darajatiha (mengupayakan tercapainya berbagai kemaslahatan sesuai dengan derajatnya).
  • Mura’atul isti’dadat an-nafsiyah (memperhatikan potensi-potensi kejiwaan).
  • Akhdzul ‘ulum hasba maratibiha wa ahammiyyatuha (mengambil ilmu berdasarkan tingkatan dan urgensinya).
  • Dan lain-lain yang telah dijelaskan panjang lebar di tempat lain.
***
Tidak diragukan lagi bahwa termasuk akhlaq seorang da’i yang obyektif, dalam kapasitasnya sebagai mu’allim murabbi hendaklah ia menisbatkan ilmu kepada yang memilikinya, dalam rangka:
  • Menolak dugaan kesombongan.
  • Mengembalikan keutamaan kepada pemiliknya.
  • Memberikan irsyad (bimbingan) kepada para da’i untuk kembali kepada sumber-sumber ilmu.
  • Al-wafa’ (kesetiaan) kepada ahlul ‘ilmi.
  • Tatsbitul haqq (mengokohkan kebenaran), dan
  • Menolak dan menghindari bahaya hasad (iri).
Dalam hal ini Al-Imam As-Suyuthi berkata:
“… Di antara keberkahan ilmu dan syukur kepadanya adalah menisbatkan ilmu kepada yang mengatakannya, demikianlah perkataan Al-Hafizh Abu Thahir As-Salafi … (kemudian Imam Suyuthi menukil perkataan Abu Ubaid yang mengatakan): Di antara bentuk menyukuri ilmu adalah engkau mengambil manfaat dari sesuatu, jika ada sesuatu disebutkan kepadamu engkau berkata: “Tidak jelas bagiku masalah ini dan ini, dan saya tidak memiliki pengetahuan dalam hal ini, sehingga si fulan memberikan faedah dalam hal ini begini dan begini” inilah bentuk mensyukuri ilmu … karena inilah engkau tidak melihat diriku menyebut sesuatu dalam tulisan-tulisan saya satu huruf pun kecuali dalam keadaan tersandarkan kepada yang mengatakannya dari para ulama’ dengan menjelaskan nama kitab yang menyebutkan hal itu …”.
(Al-Muzhir fi ‘ulumi al-lughah, karya As-Suyuthi, juz: 2 hal. 164)
Al-Imam Al-Fasi menukil sebagian kalam ini setelah memberikan prolog demikian:
“… Tidak tersamar lagi bahwa termasuk dalam al-madarik al-muhimmah fi bab ast-tashnif (pemahaman pentng dalam menulis kitab) adalah menisbatkan berbagai faedah dan masalah serta nukat (masalah penting yang tidak semua orang bisa melihat dan mengetahuinya) kepada para pemiliknya dalam rangka membebaskan diri dari mengakui sesuatu yang bukan miliknya dan dalam rangka menjauhkan diri dari labisi tsaubai az-zur (memakai dua baju kepalsuan) … inilah kaidah kami yang berhasil kami himpun …”.
(Qawa’id ast-tahdits, karya Al-Qasimi, hal. 40)
Kaidah atau akhlaq yang dulunya menjadi komitmen para ulama’ ini, sekarang mulai meredup, dan sudah menjadi semacam kebanggaan saat seseorang menyebutkan berbagai masalah indah tanpa menisbatkannya kepada para pemiliknya, atau sudah menjadi kepelitan dan kekikiran ilmiah kepada para pemiliknya, atau umumnya karena kebodohan terhadap kaidah ini. Karena inilah menjadi sebuah kemestian untuk mengingatkan hal ini sebagai salah satu akhlaq murabbi (dan naqib) saat ia menjalani al-‘amaliyah at-ta’limiyah (proses pengajaran), baik saat berbicara maupun saat berdiskusi, atau saat menulis dan mengarang buku.
***
Sebagaimana naqib berperan sebagai titik fokus dalam al-‘amaliyyah at-tarbawiyah, karenanya ia juga menjadi markazul ‘amaliyah at-ta’limiyah (pusat proses pengajaran) dalam jama’ah, yang berarti ia berperan sebagai mu’allim (guru) bagi orang lainnya, pada saat yang sama, ia adalah muta’allim (siswa) bagi orang lainnya, baik yang dimaksud dengan “orang lain” ini adalah orang-orang yang berada di dalam grup yang ia manaj, ataupun orang-orang yang berada di bawah ke-amir-annya, ataupun para ulama’, da’i dan fuqaha yang sama sekali tidak ada ikatan tanzhimi dengannya, bahkan sampai pun mereka mereka berasal dari luar jama’ah, dan “persiswaan” ini ada dalam salah satu cabang pengetahuan, atau salah satu bagian dari syari’ah, bahkan sampaipun hanya dalam satu masalah tertentu saja, mengingat bahwa ijtihad memang bisa juz’i. Intinya bahwa sang naqib atau murabbi belajar dalam satu bidang studi tertentu, atau salah satu ilmu dari orang-orang yang berada di bawah ke-amir-annya, dan tidak ada malu dalam ilmu dan semua dimudahkan kepada apa yang ia dicipta untuknya.
Di atas semua itu, sang naqib atau murabbi juga berkewajiban mencari pengetahuan dan mengambilnya, dari wadah yang manapun juga, selama ia telah terbekali dengan barometer-barometer yang cukup yang mampu mencegahnya dari penyimpangan pemikiran, atau inhiraf aqidi (penyimpangan aqidah), atau al-iltiwa’ al-haraki (pembelokan harakah). Bahkan, seorang naqib atau da’i yang sukses dan kokoh, dari sela-sela belajarnya, sekaligus ia bisa menjadi guru dan murabbi terhadap guru dan syekh-nya, atau teman-teman sebayanya, melalui:
  • Dialog konstruktif.
  • Dan diskusi yang sukses.
Bahkan ia dapat mempengaruhi melalui perilakunya yang “beda” dan akhlaqnya yang komplit.
Ditambah lagi bahwa proses belajar dari para masyayikh dan ulama’ di luar jama’ah akan membuka kesempatan kepada para da’i untuk berinteraksi dengan mereka, mengulas fikrah mereka, bahkan menarik simpati orang lain terhadap mereka, mempengaruhi mereka dan pandangan-pandangan mereka, dan otomatis juga mengambil manfaat dari majlis dan murid-murid mereka dalam hal penyebaran fiqih da’wah, publikasi pemikiran haraki, penyiapan perluasan dukungan publik kepada da’wah dan menarik simpati unsur-unsur yang mengarah ke sana.
Sesungguhnya, proses belajarnya sang naqib dan sebagian da’i kepada para masyayikh dan ulama’ sangatlah penting, bukan saja karena adanya:
  • Faedah-faedah ilmiah, dan
  • Interaksi dengan banyak orang, bahkan hal ini juga merupakan
Memberikan saving tenaga besar jamaah dalam proses ilmiah, sebab, biasanya, para masyayikh itu lebih banyak mempunyai waktu, terlebih lagi bahwa mereka lebih itqan terhadap sebagian ilmu, misalnya: tajwid, tafsir, fiqih, hadits dan ilmu-ilmu bahasa, yang bisa jadi itqan seperti itu tidak dimiliki oleh personel jama’ah, dan jika ada sebagian personel jama’ah yang menguasainya secara itqan, namun, kewajibannya yang sangat banyak akan menghalanginya untuk melakukan proses pengajaran.
Belajar kepada masyayikh di luar jama’ah juga akan berdampak kepada kasbuts-tsiqah (menggapai tsiqah) mereka secara pribadi dari satu sisi dan pada sisi lain, jama’ah juga akan mendapatkan shibghah ijtima’iyah yang akan mencegah terisolisirnya jama’ah serta menjauhnya masyarakat umum dari jama’ah.
Belajar kepada masyayikh di luar jama’ah juga berdampak kepada adanya dukungan para masyayikh dan ulama’ itu kepada jama’ah, bahkan bisa jadi mereka juga akan bergabung dengan jama’ah yang berarti akan semakin menambah kokohnya jama’ah itu, serta mampu menolak berbagai isyu dan syubhat, dan pada saat yang sama akan mencegah ekploitasi gerakan-gerakan bid’ah, dan tasawuf yang menyimpang, atau salafi yang berlebihan untuk kepentingan dan tujuan mereka yang bisa jadi tidak sesuai dengan tujuan-tujuan amal islami yang lurus.
***
Akan tetapi, di sini ada sejumlah adab yang menjadi kewajiban para da’i untuk komitmen dengannya saat ia duduk di hadapan orang-orang yang memberikan pengajaran kepadanya.
“… Hendaklah ia mengagungkan gurunya dan orang-orang yang ia mendengar darinya, sebab hal ini termasuk pengagungan terhadap ilmu dan sebab-sebab mendapatkan manfaat dari ilmu, hendaklah ia meyakini keagungan dan keunggulan gurunya, berusaha meraih ridhanya, dan janganlah berlama-lama dengannya yang sekiranya menjadikannya tidak enak hati. Hendaklah ia berkonsultasi dengannya dalam berbagai urusan dan kesibukannya dan bagaimana cara mengoptimalnya berbagai hal tadi. Dan jika ia mendengar satu hadits, hendaklah ia membertahukan orang lain, sebab, menyembunyikan hal itu adalah sifat tercela, yang tidak terjerumus kepadanya selain para penuntut ilmu yang bodoh, dan jika menyembunyikan ilmu dikhawatirkan menjadi ilmu yang tidak bermanfaat, sebab, termasuk keberkahan sebuah hadits adalah jika ia disampaikan kepada orang lain, dan mempublikasikannya adalah keberkahan. Dan berhati-hatilah jangan sampai rasa malu dan rasa besar menghalanginya untuk berupaya secara maksimal dalam belajar dan mengambil ilmu dari orang yang lebih rendah darinya, baik dalam hal nasab maupun usia maupun dalam hal lainnya. Hendaklah ia bersabar atas kekasaran urusan. Hendaklah ia memperhatikan yang penting dan janganlah menyia-nyiakan waktu dalam memperbanyak guru hanya sekedar memperbanyak saja…”.
(At-Taqrib, karya Imam An-Nawawi, silahkan periksa Tadrib Ar-Rawi fi Syarh Taqrib An-Nawawi juz: 2 hal. 145)
Demikian.
(Terjemahan Majalah Al-‘Ain, juz: 2, hal. 166- 172)

Intima Lil Islam

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ

Mutiara Ayat:

Ibnu Abbas RA saat menafsirkan ayat ini mengatakan, “Allah Taala memerintahkan melalui ayat ini kepada orang-orang mukmin untuk bersabar saat ia marah, bersikap santun saat bertemu orang jahil, dan memaafkan saat diperlakukan dengan buruk, dan jika mereka melakukan yang demikian ini maka Allah Taala akan menjaga mereka dari tipu daya Setan, serta lawan-lawan mereka akan tunduk kepada mereka seakan-akan sahabat yang amat akrab.” (Tafsir Ibnu Katsir, VII/181)

Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkomentar tentang ayat ini, “Inilah para kekasih Allah, inilah para wali Allah, inilah orang-orang yang disucikan di sisi Allah, inilah orang-orang terbaik di sisi Allah, inilah makhluk yang paling dicintai Allah, karena mereka menyambut seruan Allah dengan dakwahnya, lalu mereka mengajak orang-orang lain untuk bersama-sama menyambut seruan-NYA dan beramal shalih dalam rangka taat kepada-NYA, lalu setelah itu mereka berkata: Sungguh kami adalah orang-orang yang menyerahkan diri. Maka inilah para Khalifah Allah!” (Tafsir At-Thabari, XXI/469)

Sifat-Sifat Dai:

1. Tarbiyah Yang Matang

Hal yang pertama dilakukan oleh harakah ini adalah membangun al-mihwar at-tanzhimi, yang dicirikan dengan memperkuat hubungan para kader dengan Allah Taala, sehingga kader memiliki aqidah yang mendalam (al-iman al-amiq), pemahaman yang utuh (al fahmu ad-daqiq) dan amal yang berkelanjutan (al-amal al-mutawashil), sehingga mereka mampu memikul bagaimanapun beratnya beban dakwah ini karena:

1. Mengukur berat dan ringannya beban dakwah ini dengan timbangan Iman, bukan dengan perasaan dan logika manusia semata, sehingga sesuatu yang dianggap berat di sisi manusia menjadi ringan saja jika menggunakan aqidah dan iman, dan sebaliknya sesuatu yang dianggap remeh di sisi manusia bisa jadi amat besar di sisi Allah Taala:

إِذْ تَلَقَّوْنَهُ بِأَلْسِنَتِكُمْ وَتَقُولُونَ بِأَفْوَاهِكُمْ مَا لَيْسَ لَكُمْ بِهِ عِلْمٌ وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمٌ

“Kamu menganggapnya sesuatu yang ringan saja padahal ia di sisi Allah dosanya adalah amat besar.”(An-Nur:15)

2. Tiada tugas dakwah yang berat bersama keimanan seorang kader, dan tiada tugas dakwah yang ringan jika bersama kemunafikan:

لَوْ كَانَ عَرَضًا قَرِيبًا وَسَفَرًا قَاصِدًا لَاتَّبَعُوكَ وَلَكِنْ بَعُدَتْ عَلَيْهِمُ الشُّقَّةُ وَسَيَحْلِفُونَ بِاللَّهِ لَوِ اسْتَطَعْنَا لَخَرَجْنَا مَعَكُمْ يُهْلِكُونَ أَنْفُسَهُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ

“Seandainya yang kamu serukan itu keuntungan yang cepat dan perjalanan yang dekat saja pastilah mereka semua mengikutimu, tetapi tempat yang kamu tuju itu terasa amat jauhnya oleh mereka.” (At-Taubah:42)

مِنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ فَمِنْهُمْ مَنْ قَضَى نَحْبَهُ وَمِنْهُمْ مَنْ يَنْتَظِرُ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيلًا

“Dan di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati janjinya kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur, dan di antara mereka adapula yang menunggu-nunggu tetapi mereka tidak sedikit pun mengubah janjinya.”(Al-Ahzab:23)

3. Tujuan seorang kader yang benar dalam dakwahnya adalah mardhatillah dalam melaksanakan kewajiban dakwahnya, tidak peduli apapun yang diminta oleh Sang Pemilik kita:

وَمَا لِأَحَدٍ عِنْدَهُ مِنْ نِعْمَةٍ تُجْزَى إِلَّا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِ الْأَعْلَى

“Padahal tiada seorang pun yang memberikan suatu nikmat kepadanya sehingga harus dibalasnya, tetapi ia memberikan itu semata-mata karena mencari keridhaan RABB-nya Yang Maha Tinggi.” (Al-Lail:19-20)

إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا

“Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu ini hanyalah karena mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan darimu dan tidak pula ucapan terima kasih.”(Al-Insan:9)

4. Sebaliknya tujuan seorang munafik adalah agar amalnya terlihat oleh manusia, sementara ia selalu berusaha menghindari tugas-tugas yang tidak kelihatan orang lain, memberatkan dan tidak disukainya:

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu (bermaksud) menipu Allah dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan jika mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas dan riya’ di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka berdzikir kepada Allah kecuali sedikit sekali.”(An-Nisa:142)

يَعْتَذِرُونَ إِلَيْكُمْ إِذَا رَجَعْتُمْ إِلَيْهِمْ قُلْ لَا تَعْتَذِرُوا لَنْ نُؤْمِنَ لَكُمْ قَدْ نَبَّأَنَا اللَّهُ مِنْ أَخْبَارِكُمْ وَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ ثُمَّ تُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

“Mereka mengemukakan uzurnya kepadamu, apabila kamu telah kembali kepada mereka dari berperang. Katakanlah: Janganlah kalian mengatakan uzur , kami tidak percaya lagi kepadamu, karena Allah telah memberitahukan pada kami beritamu yang sebenarnya.”

Demikianlah wahai ikhwah ash shadiq wa akhawat ash shadiqah, kematangan tarbiyah ini tersirat dalam ayat yang kita bahas yaitu dalam ayat ke-30 dari surah Fush-shilat (2 ayat sebelum ayat di atas) yang ditunjukkan dengan terbentuknya aqidah yang shahih yaitu menyatakan bahwa رَبُّنَا اللَّهُ [1], lalu istiqamah[2] dalam hal tersebut sampai wafat[3] dan jaminan akan dimasukkan ke dalam Jannah Allah Taala[4]. Berkata Sayyid Quthb rahimahullah, “Istiqamah dalam ayat ini bermakna dalam perasaannya ke dalam dan dalam perilakunya ke luar, istiqamah dan bersabar dalam istiqamah tersebut, adalah sebuah hal yang berat dan sulit, sehingga barangsiapa yang mampu melakukannya akan mendapatkan pahala yang besar, yakni turunnya malaikat menghiburnya saat menjelang kematian, pernyataan kasih-sayang mereka, persahabatan mereka dan kabar gembira dari mereka dengan Jannah, dan diakhiri dengan bahwa semua kabar gembira itu disampaikan dari Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang kepadamu. Maka nikmat mana lagi yang lebih besar dari nikmat ini?”[5]

2. Memiliki Basis Sosial Yang Kuat

Hal kedua yang dilakukan oleh harakah Islam adalah membangun al-mihwar asy-sya’biy, yaitu membentuk basis sosial yang kuat di masyarakat melalui dakwahnya, baik di tempat tinggalnya maupun dimana pun dia berada. ini dicirikan oleh ayat ke-33 di atas melalui makna مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ [6], yaitu dengan segala kegiatan dakwah yang dilakukannya. Maka bagaimana bisa disebut seorang kader, jika masyarakat di daerah tersebut tidak berubah dengan dakwahnya.? Bahkan –naudzubillah- ia bahkan tidak dikenal sama sekali di tempatnya.? Lalu bagaimana kelak ia jika di Yaumil Qiyamah kelak dihadapkan dengan ayat-ayat dan hadits-hadits shahih tentang tetangga, baik yang dekat maupun yang jauh الْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ (An-Nisa:36)

Selain di daerah sekitarnya, iapun hendaknya pandai bergaul dan merangkul orang ke pangkuan dakwahnya, karena Nabi SAW bersabda:

“Yang terbaik di antara kalian adalah yang terbaik akhlaqnya” (H.R. Bukhari Muslim)

Artinya kebaikan budi pekerti seseorang merupakan ciri orang terbaik dalam syariah, baik budi pekertinya kepada manusia maupun tentunya budi pekertinya kepada Allah Taala. Dalam hadits lainnya disebutkan:

“Orang mukmin itu mudah akrab dan mudah diakrabi, dan tidak ada kebaikan bagi orang yang tidak bisa akrab dan tidak bisa diakrabi.”[7] Jadi pandai bergaul, mudah akrab, cepat menarik simpati dalam berinteraksi, sepanjang dilakukan dengan menetapi adab-adab syar’iyah dan tidak melanggar larangan berinteraksi dengan orang lain, maka semua itu adalah tanda kebaikan seorang muslim di sisi Allah Taala.

Dalam hadits lainnya disebutkan:

“Manusia yang paling dicintai Allah Taala adalah yang paling bermanfaat di antara mereka, dan amal yang paling dicintai Allah Taala adalah membuat muslim lainnya bergembira, atau menghilangkan kesulitannya, atau melunasi utangnya, atau mengenyangkan laparnya, dan sungguh seorang muslim itu berjalan untuk memenuhi kebutuhan saudaranya muslim itu lebih dicintai Allah Taala daripada i’tikaf sebulan di masjidku ini, barangsiapa yang menahan marahnya maka Allah Taala akan menutupi aibnya, dan barangsiapa yang menahan amarahnya padahal ia mampu melampiaskan amarahnya maka Allah Taala akan memenuhi hatinya di Hari Kiamat kelak dengan harapan, dan barangsiapa yang berjalan memenuhi kebutuhan saudaranya sampai sempurna terpenuhi kebutuhannya maka Allah Taala akan meneguhkan berdirinya pada Hari dimana tersungkur kaki-kaki manusia di akhirat, dan ketahuilah bahwa keburukan akhlaq itu menghancurkan amal kalian sebagaimana cuka menghancurkan madu.” (H.R. At-Thabari dalam Al-Kabir, III/209; Ibnu Asakir dalam At-Tarikh, XVIII/1; di-shahih-kan oleh Albani dalam Ash-Shahihah, II/608)

Demikianlah seorang kader tidak pernah bersikap sombong dan senantiasa penuh pengertian dan kelembutan kepada semua orang, karena mereka ingat ketika Nabi mereka telah menjadi penguasa Arab, dan seorang Arab Badui dibawa ke hadapannya dengan tubuh gemetar ketakutan maka beliau SAW bersabda, “Tenangkan dirimu, aku ini bukanlah Raja, aku ini hanya anak seorang wanita Quraisy, yang biasa makan daging kering.” (H.R. Ibnu Majah, Ibnu Sa’ad, Al-Hakim dan Al-Haitsami)

3. Melakukan Ekspansi ke Semua Lini

Berikutnya adalah membentuk al-mihwar al-mu’assasi, yang dalam ayat ke-34 di atas disebutkan secara tersirat sebagai sikap: Membalas kejahatan dengan kebaikan, berdiplomasi dengan cara yang terbaik, sehingga bahkan bisa membuat musuh kita menjadi teman setia. Perlu ditegaskan di sini bahwa politik dan dakwah tidak bisa dipisahkan, bahkan turunnya syariat tertinggi dalam Islam yaitu shalat, salah satu bentuknya –yaitu shalat Khauf- adalah karena sebab urusan politik (peperangan). Nabi SAW menunaikan shalat di tengah-tengah pertempuran bersama para sahabatnya di daerah Asfan[8], yaitu ketika beliau SAW mengetahui posisi kaum musyrikin di bawah pimpinan Khalid bin Walid sudah amat dekat dengan mereka[9]. Dalam kitab Al-Imta’ ada tambahan sebagai berikut[10]:

Saat pasukan Khalid sampai ke dekat posisi kaum muslimin, maka ia menempati posisi antara kaum muslimin & arah Kiblat, saat datang waktu shalat Zhuhur maka seluruh kaum muslimin melakukan shalat berjamaah di belakang Nabi SAW, setelah selesai mereka kembali menempati posisinya, maka berkatalah Khalid dalam hatinya, “Sungguh mereka tadi lalai, jika kita serang tadi, niscaya mereka akan dapat dikalahkan.” Saat tiba waktu shalat Ashar -karena bagi kaum muslimin shalat lebih mereka cintai dari nyawa mereka dan anak-anak mereka- maka mereka semua bersiap akan shalat, lalu datanglah Jibril membawa ayat 102 surat An-Nisa sehingga mereka melakukan shalat dengan aturan shalat Khauf, melihat perubahan cara tersebut berkatalah Khalid dalam hatinya, “Tahulah aku bahwa orang-rang ini ada pembelanya, karena siapakah yang memberi tahu orang-orang ini tentang taktik yang aku baru rencanakan dalam hatiku untuk menyergap mereka saat mereka lalai?”

4. Memimpin Negara dan Dunia

Terakhir adalah membangun al-mihwar ad-daulah, dimana para kader dakwah dipersiapkan untuk memimpin di semua bidang kehidupan, menjadi khalifah Allah di muka bumi, memimpin dunia dengan keadilan dan membawa manusia menuju kesejahteraan dunia dan akhirat. Dalam ayat ke-35 di atas dicirikan dengan ciri bahwa tsabat dan istimrar dalam berdakwah yang hanya dimiliki orang-orang yang sabar, dan dalam ayat ini disebutkan sebagai akan mendapatkan kemuliaan yang amat besar, baik di dunia maupun di akhirat.

1. Menjaga orisinalitas ajaran Islam:

وَلَا يَصُدُّنَّكَ عَنْ آَيَاتِ اللَّهِ بَعْدَ إِذْ أُنْزِلَتْ إِلَيْكَ وَادْعُ إِلَى رَبِّكَ وَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُشْرِكِين

“Dan janganlah sekali-kali mereka dapat menghalangimu dari menyampaikan ayat-ayat Allah setelah ayat-ayat itu diturunkan padamu, dan serulah mereka ke jalan RABB-mu, dan janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang musyrik.”(Al-Qashas:87)

2. Mengembalikan ibadah para hamba Allah kepada Allah, yang seharusnya diibadahi dalam setiap aspek kehidupan mereka, setelah sekian lama mereka disibukkan kepada selain-NYA.

قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ

“Katakanlah: Wahai para ahli kitab, marilah berpegang kepada suatu kalimat (ketetapan) yang sama di antara kami dan kalian, yaitu agar kita tidak beribadah selain kepada Allah saja dan agar kita tidak menyekutukan-NYA sedikitpun, dan agar tidak pula kita menjadikan sebagian yang lain sebagai ILAH selain Allah. Dan jika mereka tetap berpaling, katakanlah: Saksikan bahwa kami adalah orang yang berserah diri kepada Allah.”(Ali Imran:64)

3. Mengembalikan apa-apa yang hilang dari kaum muslimin, baik berupa ‘harga-diri’ serta ‘kehormatan’ akibat mereka (kaum muslimin) meninggalkan amanah Allah dan tongkat kekhalifahan-nya atas umat manusia.

إِلَّا تَنْفِرُوا يُعَذِّبْكُمْ عَذَابًا أَلِيمًا وَيَسْتَبْدِلْ قَوْمًا غَيْرَكُمْ وَلَا تَضُرُّوهُ شَيْئًا وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

“Jika kalian tidak berangkat untuk berjihad, maka nanti Allah akan menyiksa kalian dengan adzab yang pedih, dan digantinya kalian dengan kaum yang lain, dan kalian tidak memudaratkan Allah sedikit pun. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”(At-Taubah:39)

لُعِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَى لِسَانِ دَاوُودَ وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ كَانُوا لَا يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوهُ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَ

“Telah dilaknat orang-orang kafir dari Bani Israel melalui lisan Daud dan Isa bin Maryam. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak saling melarang tindakan munkar yang mereka lakukan. Sungguh amat buruklah apa yang selalu mereka lakukan itu.”(Al-Maidah:78-79)

وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ بَلْ أَتَيْنَاهُمْ بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَنْ ذِكْرِهِمْ مُعْرِضُونَ

“Andaikan kebenaran itu adalah menurut hawa nafsu mereka, pasti binasalah seluruh langit dan bumi dan semua yang ada di dalamnya.”(Al-Mu’minun:71)

4. Mengembalikan kejayaan kaum muslimin, melalui ketinggian iman, sehingga melampaui dan mengungguli kerendahan moral umat lainnya.

وَلَا تَهِنُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

“Janganlah kamu merasa lemah dan janganlah pula kamu bersedih hati, karena kamulah orang-orang yang paling tinggi derajatnya jika kamu orang-orang yang beriman.”(Ali Imran:139)

وَلَا تَهِنُوا فِي ابْتِغَاءِ الْقَوْمِ إِنْ تَكُونُوا تَأْلَمُونَ فَإِنَّهُمْ يَأْلَمُونَ كَمَا تَأْلَمُونَ وَتَرْجُونَ مِنَ اللَّهِ مَا لَا يَرْجُونَ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا

“Janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar mereka. Jika menderita kesakitan, maka sesungguhnya mereka pun menderita kesakitan pula sebagaimana kemu menderitanya, sedang kamu mengharap (pahala) dari Allah yang mereka tidak mengharapkannya. Dan Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”(An-Nisa:104)

5. Berdakwah tersebut merupakan pemenuhan kewajiban syar’i.

وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

“Dan hendaklah ada di antaramu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (Ali Imran:105)

مَا مِنْ نَبِىٍّ بَعَثَهُ اللَّهُ فِى أُمَّةٍ قَبْلِى إِلاَّ كَانَ لَهُ مِنْ أُمَّتِهِ حَوَارِيُّونَ وَأَصْحَابٌ يَأْخُذُونَ بِسُنَّتِهِ وَيَقْتَدُونَ بِأَمْرِهِ ثُمَّ إِنَّهَا تَخْلُفُ مِنْ بَعْدِهِمْ خُلُوفٌ يَقُولُونَ مَا لاَ يَفْعَلُونَ وَيَفْعَلُونَ مَا لاَ يُؤْمَرُونَ فَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِيَدِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِلِسَانِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِقَلْبِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَيْسَ وَرَاءَ ذَلِكَ مِنَ الإِيمَانِ حَبَّةُ خَرْدَلٍ

“Diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda: Tidaklah seorang Nabi-pun yang diutus oleh Allah Taala sebelumku, melainkan ada di antara umatnya para penolong dan sahabat yang mengambil sunnahnya dan melaksanakan perintahnya, lalu umat tersebut digantikan setelahnya oleh orang-orang yang mengatakan apa yang tidak mereka lakukan dan mengerjakan apa yang tidak diperintahkan, maka barangsiapa yang berjihad terhadap mereka dengan tangannya maka dia mukmin, dan barangsiapa yang berjihad terhadap mereka dengan hatinya maka iapun mukmin dan barangsiapa yang berjihad terhadap mereka dengan lisannya maka mereka pun mukmin dan tiada lagi keimanan tanpa salah satu dari ketiga perbuatan itu walaupun sebesar biji Sawi.” (H.R. Muslim)

Wallahu a’lam bis shawab

——————————–

[1] Yaitu menyatakan tauhid dan tidak syirik kepada Allah sedikitpun, ini adalah pendapat Abu Bakar RA dan Mujahid RA, lih. At-Thabari, XXI/464; juga pendapat Utsman RA (lih. Bahrul Muhith, VII/496)

[2] Umar RA berpendapat bahwa makna istiqamah di sini dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan (HR At-Thabrani, XXIV/115; diperkuat oleh As-Suyuthi dalam Ad-Durrul Mantsur, VII/322); Sementara Ali RA dan Ibnu Abbas RA berpendapat bahwa maknanya istiqamah dalam menjalankan yang difardhukan Allah Taala (HR At-Thabrani, XXIV/115; lih juga At-Thabari, XXIV/115 yang diperkuat oleh As-Suyuthi dalam Ad-Durrul Mantsur, VII/322)

[3] Pendapat ini berdasarkan hadits Nabi SAW dari Anas RA (HR Abu Ya’la, VI/213 dan An Nasa’i dalam Al-Kubra, no. 11470), lih. Juga Ibnu Katsir, VII/175

[4] Makna “turunnya malaikat” dalam ayat ini yakni: Di saat wafat, ini adalah pendapat Ibnu Abbas RA, sementara Al-Waki’ RA berpendapat: Saat wafat, saat di dalam kuburnya, dan saat ia dibangkitkan kembali (lih. Bahrul Muhith, VII/496 dan Zadul Masir, VII/257); sementara makna, “jangan takut”, yaitu terhadap urusan akhirat yang menunggumu, dan makna “jangan sedih” yaitu terhadap keluarga yang kamu tinggalkan, demikian menurut Mujahid RA (lih. At-Thabari, XXIV/116; juga Ibnu Katsir, IV/100)

[5] Lih. Azh-Zhilal, VI/295

[6] Maknanya menurut para mufassir ialah: Rasulullah SAW, lalu para muadzin yang menyeru orang untuk mengerjakan shalat, lalu orang-orang yang menyeru orang lain namun ia juga memulainya dari diri mereka sendiri (lih. At-Thabari, XXI/469; Ibnu Katsir, VII/179)

[7] HR Al-Haitsami dalam Al-Majma’, X/273-274; di-shahih-kan oleh Albani dalam Ash-Shahihah, I/425 no. 426

[8] HR Abu Daud, Kitabu Shalah, hal. 215, haditsnya shahih (lih. Al-Mustadrak, III/338; Sunan Al-Kubra, III/257; Tafsir Ibnu Katsir, I/548; Al-Ishabah, VII/294). Ibnu Hajar menyebut secara pasti bahwa hal ini terjadi di Hudhaibiyah (Al-Fath, VII/423)

[9] Ini berdasarkan pendapat yang menyatakan perang Dzatu Riqa’ setelah perang Khaibar & inilah yang lebih shahih, wallahu a’lam

[10] Imta’ul-Asma’, Al-Muqrizi, I/380

(Sumber Al-Ikhwan Net : 25 Muharram 1430 H)