Minggu, 05 September 2010

An-Nisyan (Lupa)

Orang yang makan atau minum karena lupa padahal sedang berpuasa, maka puasanya tetap sah namun jika dirinya ingat maka wajib atasnya memuntahkan ataupun mimunan yang berada di mulutnya. Nabi saw. bersabda:
مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَائِم فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمه , فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّه وَسَقَاهُ
“Barangsiapa yang lupa bahwa dia sedang berpuasa, kemudian dia makan atau minum, maka hendaknya dia menyempurnakan puasanya, karena sesungguhnya yang demikian adalah Allah SWT yang memberinya makan dan minum.” (Muttafaq alaih).
Lupa tidak perbuatan dosa, sebagaimana firman Allah SWT:
“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau azab kami jika kami lupa atau tersalah.” Al-Baqoroh:286. Maka Allah SWT  swt. berfirman: “Aku menerimanya.”
Jika ada orang yang melihatnya, maka orang tersebut wajib mengingatkannya, karena itu bagian dari mencegah kemungkaran. Rasulullah saw bersabda:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ , فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ
“Barangsiapa yang melihat kemungkaran maka rubahlah dengan tangannya, namun jika tidak mampu maka dengan lisannya dan jika tidak mampu juga maka dengan hatinya.” (Muslim)

Etika Timbal-balik Antara Pemimpin & Bawahan Menurut Al-Qur’an & As-Sunnah yang Shahih

Assalamu ‘alaykum,
Segala puji adalah hanya layak bagi ALLAH, kami memuji-NYA, meminta pertolongan kepada-NYA & meminta ampunan, dan kami berlindung dari keburukan hawa nafsu kami dan dari kejelekan amal-amal kami, barangsiapa diberi hidayah oleh ALLAH maka tiada yang dapat menyesatkannya & barangsiapa yang disesatkan ALLAH maka tiada yang dapat memberinya hidayah…
Dan kami bersaksi bahwa tiada Ilah kecuali ALLAH, Yang Maha Esa & tiada sekutu bagi-NYA, dan kami bersaksi bahwa Muhammad adalah Nabi & rasul-NYA. Kamipun bersaksi sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabuLLAAH & sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi SAW, dan seburuk-buruk urusan adalah yang dibuat-buat, dan semua yang dibuat-buat itu adalah bid’ah & semua bid’ah adalah sesat & semua kesesatan adalah di neraka…
Ikhwah wa akhwat fiLLAAH a’anakumuLLAAHa jami’an,
Menyambut mulai masuknya sebagian du’at ke marhalah daulah & makin banyaknya ikhwah wa akhwat yang menduduki posisi-posisi penting dalam pemerintahan (baik eksekutif maupun legislatif), dan semakin hari semakin banyak amanah kekuasaan yang diujikan oleh ALLAH SWT untuk dipegang oleh para du’at dari harakah ini, maka ada beberapa dhawabith kepemimpinan Islam yang merupakan ashalah da’wah kita, yang hendaknya selalu dijaga & diperhatikan..
Agar dijadikan sebagai Ma’alim Fi Thariq (Rambu-rambu dalam Perjalanan), demikian kata Sayyid Quthb -ja’alahuLLAAHu syahidan- atau sebagai Nurun ‘ala Darb (Cahaya dalam Perjalanan), demikian kata Syaikh Ibni Baaz -rahimahuLLAAH-; sehingga kita tidak menjadi ghurur (lupa diri), ataupun terjadi tamyi’ (pengenceran) terhadap nilai-nilai dakwah ini saat mengemban amanah memimpin ummat ini insya ALLAH, aamiin ya RABB…
Oleh sebab itu ana berusaha membuat tulisan ini untuk mencoba menjelaskan secara singkat Etika Kepemimpinan dalam Islam, serta Etika yang Saling Timbal-Balik, apa yang harus dilakukan & dipenuhi oleh seorang qiyadah (baik qiyadah dakwah maupun qiyadatul ummah), dan apa saja yang wajib dipenuhi oleh seorang jundiyyah (baik junudu dakwah maupun junudu daulah), sehingga mudah-mudahan kita selalu berada di dalam jalur yang benar & berhak mengharapkan ridha ALLAH & Jannah kelak, sebagai pemimpin ummat yang adil yang paling pertama akan diberi naungan oleh ALLAH SWT di yaumil Mahsyar kelak, aamiin ya RABB…
Wa ufawwidhu amrii ilALLAAH innaLLAAHa bashiirun bil ‘Ibaad,
Abi AbduLLAAH

AL-ADAAB AL-MUTABAADILAH BAYNA AL-QIYAADAH WAL JUNDIYYAH FII DHAU’IL KITAABI WAS SUNNAH
(Etika Timbal-balik Antara Pemimpin & Bawahan Menurut Al-Qur’an & As-Sunnah yang Shahih)

“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan diminta pertanggungjawaban atas orang-orang yang dipimpinnya di Hari Kiamat kelak.[1]”
1. KEPEMIMPINAN DALAM LUGHAH:
a. Imam: Asal katanya ‘Amama’ karena ia: Berada di depan (amam), mengasuh (ummah), menyempurnakan (atammah), menenangkan (yanamma). Berkata Imam Al-Jauhary : Imam adalah orang yang memberi petunjuk (yuqtada)[2].
b. Amir: Yang memberi perintah (seperti dalam ayat : Amarna mutrafiha), juga sesuatu yang mengagumkan (seperti dalam ayat : laqad ji’ta syai’an imra)[3].
c. Waliyy: Dekat, akrab (Jalasa mimma yali=duduk dengan orang didekatnya); tempat memberikan loyalitas (ALLAHumma man waliya min amri ummati)[4].
d. Qadah/qiyadah: Penggiring ternak, orang yang memberi petunjuk, pemandu atau penunjuk jalan[5].
e. Khalifah: Para fuqaha’ mendefinisikannya sbg suatu kepemimpinan umum yg mencakup urusan keduniaan & keagamaan, sbgm yg dilakukan oleh Nabi SAW yg wajib dipatuhi oleh seluruh ummat Islam. Menurut Imam Al-Mawardi sama dengan al-Imamah, karena inilah asal dari kepemimpinan di masa Nabi SAW, yaitu untuk memimpin agama & keduniaan[6]. Menurut Ibnu Khaldun yaitu penanggungjawab umum dimana seluruh urusan kemaslahatan syari’at baik ukhrawiyyah maupun dunyawiyyah kembali kepadanya[7].
2. KEPEMIMPINAN DALAM AL-QUR’AN:
a. Memiliki Loyalitas yang Mutlak: “Sesungguhnya pemimpin kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi Pemimpinnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang.[8]”
b. Kuat & Amanah: “Berkata salah seorang diantara anaknya (Syu’aib) : Wahai ayahanda, jadikanlah ia sebagai pegawai, karena sebaik-baik pegawai adalah yang kuat lagi bisa dipercaya.[9]”
c. Sehat & Berilmu: “…Sesungguhnya ALLAH SWT telah memilihnya (Thalut) sebagai rajamu, karena ia memiliki kekuatan fisik dan berilmu. Sesungguhnya ALLAH memberikan kekuasaan-NYA kepada siapa yang dikehendaki-NYA, sesungguhnya IA Maha Luas (ilmu-NYA) lagi Maha Mengetahui.[10]”
d. Merupakan Ujian ALLAH SWT: “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: Sesungguhnya AKU akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia. Ibrahim berkata: (Dan saya mohon juga) dari keturunanku. Allah berfirman: Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zhalim.[11]“
e. Merupakan Tanda Ketaqwaan: “Dan orang-orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.[12]”
3. KEPEMIMPINAN DALAM AS-SUNNAH:
a. Jujur dan Tidak Menipu: Nabi SAW melaknat pemimpin yang dipercaya untuk mengurus urusan ummat lalu ia malah menipu atau menyengsarakan mereka, sebagaimana dalam sabdanya SAW : “Ya ALLAH, siapa saja yang diberikan kekuasaan untuk mengurusi ummatku lalu ia menyengsarakan mereka, maka persulitlah ia. Dan siapa saja yang diberi kekuasaan lalu ia mempermudah mereka, maka mudahkanlah ia.[13]” Dan Islam menyatakan bahwa pemimpin yang tidak memperhatikan kebutuhan, kedukaan dan kemiskinan ummat maka ALLAH SWT tidak akan memperhatikan kebutuhan, kedukaan dan kemiskinannya pada Hari Kiamat kelak[14].
b. Adil & Amanah: Islam menempatkan pemimpin yang adil dan amanah dalam derajat manusia yang tertinggi, yang memperoleh berbagai penghargaan dan kehormatan. Diantaranya ia termasuk kelompok pertama yang dinaungi oleh ALLAH SWT diantara 7 kelompok utama yang dinaungi-NYA pada Hari Kiamat kelak[15]; Iapun akan berada di atas mimbar dari cahaya nanti di Hari Kiamat[16]; Dan pemimpin yang demikianlah yang akan senantiasa dicintai dan didoakan oleh rakyatnya karena kebijaksanaannya memimpin rakyatnya[17]; Sehingga dalam salah satu haditsnya, nabi SAW sampai menyatakan bahwa pemimpin yang demikian termasuk 3- golongan manusia yang paling utama dan paling berhak masuk Jannah, disamping orang yang lembut dan penyayang pada keluarganya dan orang miskin yang menjaga dirinya dari meminta-minta[18].
c. Tidak Wajib Taat pada Pemimpin yang Memerintahkan Maksiat: Oleh karena itu di dalam Islam pemimpin yang memiliki sifat-sifat sebagaimana disebutkan diataslah yang berhak dan wajib untuk ditaati (Tafsir QS An-Nisaa’, 4:59), syarat taat pada pemimpin dalam ayat tersebut adalah mu’allaq/tergantung pada apakah ia taat pada ALLAH SWT dan Rasul SAW atau tidak, dimana cirinya adalah ia senantiasa kembali kepada ALLAH SWT dan rasul-NYA SAW jika terjadi perbedaan pendapat ataupun perselisihan) dan bukan pemimpin yang memiliki sifat sebaliknya, jika ia memiliki sifat sebaliknya maka tidak wajib sama sekali untuk didengar dan ditaati[19].
d. Tidak ada Batasan Ras/Kebangsaan: Tentang siapa pemimpin itu Islam tidak membatasi ia dari ras dan kelompok apapun, asal mengikuti dan menegakkan syariat maka wajib ditaati, sekalipun ia adalah seorang yang berkulit sangat hitam yang kepalanya bagaikan kismis (saking hitamnya)[20]. Kendatipun demikian, afdhal memilih pemimpin disesuaikan dengan suku/kebangsaan rakyat yg dipimpinnya[21].
e. Pemimpin Wajib Memilih Bawahan yang Jujur: Seorang pemimpin yang adil tentunya akan memilih pembantu-pembantu, wakil-wakil dan menteri-menteri yang adil pula. Tidak mungkin seorang yang baik (tanpa keterpaksaan) akan mengangkat atau memilih wakil dan menteri yang merupakan para musuh ALLAH SWT, seperti para koruptor, kaum oportunis apalagi para kolaborator asing[22]. Benarlah pernyataan pemimpin abadi kita nabi Muhammad SAW : “Jika ALLAH SWT menghendaki kebaikan kepada seorang penguasa, maka IA akan memberikan untuknya menteri-menteri yang jujur, (yaitu) yang jika ia khilaf maka selalu mengingatkan dan jika ia ingat maka selalu dibantu/didorong. Dan jika ALLAH SWT menghendaki keburukan kepada seorang penguasa, maka IA akan memberikan untuknya para menteri yang jahat. Jika penguasa itu lupa, maka tidak diingatkan dan jika ia ingat maka tidak didorong/dibantu.[23]”
4. KEWAJIBAN TAAT PADA PEMIMPIN YANG ISLAMI:
a. Wajib Taat pada Pemimpin yang Islami: Bersabda Nabi SAW : “Barangsiapa yg taat kepadaku maka ia telah taat kepada ALLAH, dan barangsiapa yg tidak taat kepadaku maka berarti tidak taat kepada ALLAH. Barangsiapa yg taat kepada Pimpinan (yg nyunnah) maka berarti ia telah taat kepadaku, dan barangsiapa yg tidak taat kepada pimpinan (yg nyunnah) maka berarti ia telah tidak taat kepadaku.[24]”
b. Ketaatan tersebut tetap Berlaku Walaupun Di Satu Sisi Seolah Mengorbankan Kepentingan sebagian Rakyatnya: Dari Abu Hunaidah, Wa’il bin Hajar ra berkata : Bertanya Salmah bin Yazid al-Ju’fiy pd Rasulullah SAW : Wahai Nabi Allah … bgm pendptmu jk ada seorg pemimpin yg selalu meminta ketaatan dari kami tapi tidak memberikan hak kami, apa yg anda perintahkan pd kami ? Maka Rasulullah SAW memalingkan wajahnya, mk Salmah bertanya lagi yg kedua kali, maka jawab Rasulullah SAW : Dengarlah oleh kalian semua dan taatilah ia, karena bagi kalian pahala ketaatan kalian dan baginya dosa ketidakadilannya.[25]”
c. Dosanya Memisahkan Diri dari Ketaatan pada Pimpinan yang Islami: Bersabda Nabi SAW : “Barangsiapa yang melepaskan tangannya dari ketaatan, maka ia kelak akan bertemu dengan ALLAH SWT tanpa dapat mengemukakan argumentasi apapun.[26]” Dalam hadits lainnya: “Barangsiapa meninggalkan ketaatan lalu memisahkan dirinya dari Jama’ah lalu ia meninggal maka ia mati Jahiliyyah.[27]” Perhatikan baik-baik dalam hadits tersebut disebutkan Al-Jama’ah, yg maksudnya Jama’ah Islam, bukan sembarang pemerintahan, (lihat pula judul bab pada takhrij hadits tersebut di dalam Shahih Muslim).
5. BENTUK-BENTUK KETAATAN:
a. Mendengarkan dan memahami perintah dengan sebaik-baiknya, memohon penjelasan sampai jelas kemudian melaksanakannya dengan tidak menunda-nunda dan dengan sebaik-sebaiknya. Lihat kisah Ali bin Abi Thalib ra dalam perang Khaibar dalam Shahih Bukhari[28].
b. Melipatgandakan kesabaran saat melaksanakan perintah tersebut, ikhlas dan tidak menguranginya atau menambahinya sedikitpun. Lihat kisah Jundub bin Makits al-Juhni saat dalam Sariyah[29].
c. Melaksanakan dengan segera perintah tersebut, walaupun tidak sesuai dengan pendapatnya atau berbeda dengan keinginannya, lihat kisah Hudzaifah bin Yaman saat perang Ahzab[30].
d. Saling memberi dan menerima nasihat. Lihat kisah Umar bin Khattab ra saat perjanjian Hudhaibiyyah dengan Nabi SAW & Abubakar ra[31].
e. Meminta izin dalam setiap urusan pentingnya atau sebelum mengambil keputusannya[32].
WaLLAAHu a’lamu bish Shawaab…

Mengkritik Ikhwan; Antara Mubah (boleh), Mutah (Peluang) dan Munakh (Suasana)

Oleh: DR. Anwar Hamid Kritik, dalam keadaan apa pun, berguna, termasuk kalaupun tendensius. Ia menjadi pertanda sehat, termasuk kalaupun tidak obyektif. Pernyataan ini bukan ajakan untuk tidak obyektif dalam mengkritik, atau untuk memberikan justifikasi kepada orang-orang yang mempunyai tendensi, namun, pernyataan ini adalah seruan untuk menerima kritik sebagai prinsip dan tidak memerangi serta menyerangnya saat terjadi cacat dalam cara mengkritik atau aib dalam pelaksanaannya atau karena di salah gunakan oleh orang yang tendensius
Kemestian Kritik
Kritik merupakan ciri masyarakat, apa pun budayanya. Dan wanita-wanita di kota berkata: “Istri Al-Aziz menggoda bujangnya untuk menundukkan dirinya (kepadanya)! Sesungguhnya cintanya kepada bujangnya itu adalah sangat mendalam …” (Yusuf: 30). Ciri ini lalu ter transformasi ke masyarakat yang mapan dan keluarga-keluarga besar di desa-desa dan kampung-kampung, terwujud dalam bentuk kritik terhadap perilaku dan tindakan yang tidak lurus, dan terkadang ada intervensi tendensi, hawa nafsu, dendam dan dengki yang merubah kritik menjadi isu tendensius. “Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat … (An-Nur: 19). “…sedang di antara kamu ada orang-orang yang menjadi telinga bagi mereka… (At-Taubah: 47). Tidak diragukan lagi bahwa kritik ini dengan seluruh kebaikan dan keburukannya:
- Mendorong manusia untuk berhati-hati dalam bertindak.
- Mencegah mereka untuk meninggalkan banyak perilaku karena takut terkena kritikan.
Terkadang kritik dilakukan terhadap segala hal yang baru dalam masyarakat, meskipun hal yang baru itu bermanfaat. Termasuk dalam hal ini adalah penentangan kepada para rasul dan risalah yang dibawanya. “Dan mereka berkata: “Mengapa rasul ini memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar?…” (Al-Furqan: 7). Dan mereka berkata: “Mengapa Al-Qur’an ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua negeri (Mekah dan Thaif) ini?”. (Az-Zukhruf: 31). Termasuk dalam hal ini juga adalah penentangan terhadap para pembawa perubahan dan manhaj-manhaj mereka. Mereka berkata: “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka”. (Az-Zukhruf: 22). Mereka mengatakan: “Usirlah mereka (Luth dan pengikut-pengikutnya) dari kotamu ini, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura menyucikan diri”. (Al-A’raf: 82). (An-Naml: 56)
Demikianlah setiap pemilik manhaj perbaikan (reformasi), termasuk di antara mereka adalah Al-Ikhwan dan seluruh gerakan Islam dan pembaharuan.
Jadi, kritik dan penentangan kepada mereka adalah kemestian, tidak bisa tidak dan tidak dapat dipisahkan darinya.
Dengan adanya kritik, berbagai pemikiran menjadi berbeda. Serangan kelompok tendensius terhadap sebuah fikrah (gagasan) adalah bukti dari keabsahan dan ke-istiqamah-an fikrah ini. Betapa banyak gerakan Islam secara umum, dan Al-Ikhwan secara khusus mengambil pelajaran dari adanya “serangan” dan kritikan kaum tendensius itu, sebab, “jika Allah swt. menghendaki sebuah keutamaan yang tersembunyi agar tersebar luas, maka Dia bukakan peluang untuk keutamaan itu mulut dari orang-orang yang iri”.
Karena kritikan, pergerakan menjadi naik, maju, itqan dan memperbaiki produknya, sebagaimana kata seorang penyair:
Mereka mencelaku, maka aku mengetahui kehinaan ku #
Mereka menyaingi ku, maka aku bersungguh-sungguh dalam meraih nilai-nilai tinggi
Kritik yang diperbolehkan
Tidak diragukan dan tidak diperdebatkan lagi bahwa kemestian kritik tidak berarti diperbolehkan secara mutlak.
Kritik yang diperbolehkan adalah kritik membangun yang berkenaan dengan hal-hal umum dan bukan hal-hal khusus (privacy), policy umum dan bukan lembaga atau perseorangan.
Dan inilah manhaj Islam yang melarang untuk mencari-cari aurat (aib, kesalahan), sebab, siapa saja yang mencari-cari aurat orang lain, niscaya Allah swt. akan mencari-cari auratnya, dan hampir saja membuka kedoknya.
Dan inilah yang oleh Imam Al-Banna dijadikan syiar umum dan satu dari sekian banyak prinsip-prinsip Al-Ikhwan saat beliau melarang “melukai” lembaga dan perseorangan. Dan sikap beliau saat mengkritik buku DR. Toha Husain adalah bukti paling kuat dalam hal ini.
Dan inilah yang didorong oleh Al-Qur’an: “dan bantahlah mereka dengan cara yang baik …” (An-Nahl: 125)
Al-Qur’an juga mendorong kita untuk bertutur kata yang terbaik. Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku: “Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya setan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka …”. (Al-Isra’: 53)
Al-Qur’an melarang berkata-kata kotor, sebab Rasulullah saw. bersabda: “Bukan seorang muslim orang yang suka “menusuk”, melaknat, berkata kotor dan hina”.
Mengkritik perilaku perseorangan atau kelompok diperbolehkan dengan tanpa memberi isyarat kepada nama atau posisi, kecuali jika ia adalah publik figur yang memanfaatkan posisinya untuk berbuat kotor dan kerusakan. Ia lakukan perbuatannya itu secara terbuka di hadapan publik dan berbangga dengannya. Saat inilah tepat padanya hadits Nabi saw.: “Bongkar lah orang yang fajir itu sehingga dijauhi oleh manusia dan tidak diikutinya …”. (hadits daif). Padahal, dalam Islam, pada asalnya, tentang masalah ini adalah kewajiban untuk menutupi aib dan aurat, dan Allah swt. itu Zat yang Maha menutupi, memberi tempo, menutupi dan tidak membuka aib. Ya Allah, ampunilah dosa-dosa yang telah Engkau tutupi, dan tutupi lah aib-aib yang tidak diketahui oleh manusia dan Engkau ketahui”
Peluang Kritik
Pada asalnya –sebagaimana kami nyatakan di depan- adalah kewajiban kita untuk  menutup dan menahan mulut (untuk tidak berbicara). “Tahanlah mulutmu, hendaklah rumahmu menampung mu, dan tangisi lah kesalahanmu” (hadits shahih)
Dan tidak semua yang diketahui diucapkan. Juga, setiap posisi ada perkataan khas untuknya.
Di sini tampak jelas batasan dan adab amar ma’ruf nahi munkar.
Sesuatu yang diucapkan oleh seorang ayah kepada seorang anak berbeda dengan sesuatu yang diucapkan anak kepada bapak. Demikian halnya ucapan seorang anak yang lebih muda kepada yang lebih tua. Juga ucapan seorang pegawai kepada atasannya berbeda dengan ucapan seorang pegawai kepada sesamanya, demikianlah seterusnya.
Pada suatu hari, ada seorang ulama berkata kasar kepada Al-Hajjaj (40 – 95 H = 660 – 714 M) saat berbicara dan memberi nasihat kepadanya. Maka Al-Hajjaj memberi pelajaran kepadanya dengan pelajaran yang tidak akan terlupakan. Ia berkata: “Wahai sang alim, sungguh Allah swt. telah mengutus seseorang yang lebih bertaqwa daripadamu kepada orang yang lebih jahat dariku, Allah swt. telah mengutus nabi Musa as. kepada Firaun, lalu Allah swt. berfirman kepada nabi Musa: “Katakan kepadanya [Firaun] perkataan yang lembut, supaya dia ingat dan takut”. (Thaha: 44)
Tidak dibenarkan bagi siapa saja yang mempunyai mimbar (forum, majelis, dan sebagainya) untuk mengatakan apa saja yang ia kehendaki, sebab, sebuah kosa kata adalah amanah dan tanggung jawab, dan tidak ada seorang penulis pun kecuali akan binasa, sementara apa yang ditorehkan oleh kedua tangannya akan tetap ada sepanjang kehidupan, oleh karena itu, janganlah engkau menuliskan dengan kedua tanganmu selain tulisan yang kamu akan senang melihatnya pada hari kiamat.
Iklim atau Suasana Kritik
Seorang muslim hendaklah awas terhadap zaman dan tempatnya berada, memahami dengan baik apa yang terjadi di sekelilingnya, supaya kalimat-kalimatnya tidak disalahgunakan, sebagaimana ucapan sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib kepada kaum Khawarij: “Kalimat kebenaran tetapi yang dimaksud darinya adalah kebatilan”.
Rasulullah saw. pernah diserang harga diri dan kehormatannya, dan Allah swt. membongkar hakikat dari serangan itu, membuka kartu sang pembuat isu dan sang pemilik tendensi, namun pembukaan hakikat itu terjadi setelah berlalu masa 19 atau 20 tahun. Artinya setelah hukum dan syariat sempurna. Hanya saja, iklim atau suasana umum yang penuh dengan orang-orang munafik, para pemilik tendensi khusus, penurut hawa nafsu dan mereka-mereka yang berjiwa lemah dari kalangan kaum muslimin belum tepat. “dan di antara kamu ada telinga-telinga bagi mereka” (At-Taubah: 47). Maka beliau saw. bersabda dengan sabda yang sangat populer: “Adakah kamu menginginkan agar sesama orang Arab saling berkata: ‘Muhammad membunuh sahabatnya’”!
Hal ini terjadi saat beliau diminta untuk menegakkan hukuman atas pembuat dan pengobral isu.
Pelajaran yang dapat diambil dari sini adalah menjadi kewajiban bagi semua orang yang memiliki kemampuan menulis dan menyampaikan pendapat untuk memahami bahwa
1. Hendaklah ia tidak berhenti dari mengkritik, sebab kritik itu kehidupan bagi fikrah (gagasan), ke-istiqamah an manhaj, dengannya yang buruk menjadi jelas di antara yang baik, berbagai keutamaan menjadi tersebar, dan berbagai keburukan dapat dikenali
2. Namun, jangan menyerang pribadi atau lembaga, juga jangan membuka hal-hal privacy terlebih lagi melanggarnya
3. Hendaklah berupaya semaksimal mungkin untuk komitmen dengan batasan, adab dan hal-hal yang diperbolehkan dalam mengkritik. Juga hendaklah memperhatikan iklim atau suasana umum yang ada di sekelilingnya, agar pendapatnya tidak disalahgunakan, apatah lagi dimaknai dengan selain dari yang dimaksud oleh sang pemilik pendapat, dan agar kritikan nya tidak dimanfaatkan oleh pemilik tendensi tertentu atau oleh penurut hawa nafsu
Komentar Ar-Ridha atas Makalah
Saya berpendapat: hendaklah seorang pengeritik selalu menempatkan ucapan Ibnu Taimiyah ini selalu ada di hadapan kedua matanya
Agar ia menyuguhkan kritikan demi memperbaiki, dan agar dapat menghindari aib dan sisi-sisi negatif … jadi bukan mengkritik dengan tujuan mengkritik
Ibnu Taimiyah berkata: “Sebagian orang, selalu terlihat olehmu sebagai pengeritik, ia melupakan berbagai kebajikan berbagai kelompok dan berbagai jenis, ia hanya mengingat sisi-sisi keburukannya saja. Orang seperti ini seperti lalat, ia tinggalkan tempat yang sehat dan tidak sakit, dan mencolok pada luka dan tempat yang sakit. Hal ini pertanda jiwa yang buruk dan pribadi yang rusak
Kemudian, ketahuilah wahai saudaraku bahwa kata kritik mempunyai dua kemungkinan makna, yaitu:
a. Menampakkan berbagai sisi positif untuk kita kembangkan, dan
b. Menampakkan berbagai sisi negatif untuk kita hindari dan kita minimalisir …
Dan inilah yang disebut dengan istilah kritik membangun (konstruktif)
Kemudian … sungguh mengherankan seorang muslim yang sebelum mempelajari satu masalah agama sudah mempelajari bagaimana mencaci saudaranya sesama muslim!
Kemudian ia menginginkan keselamatan dan keberuntungan … kapan dia akan beruntung?
Kapan beruntung jika seseorang “melukai” suatu kaum, padahal bisa jadi mereka yang “dilukai” itu telah menempati tempatnya di surga semenjak beberapa tahun yang lalu?
Kapan beruntung seseorang yang memuaskan dada orang-orang kafir melalui cercaan yang ia tujukan kepada saudaranya sesama kaum muslimin?
Hanya saja, pada asalnya, kritik itu hendaklah membangun dan ikhlas semata karena Allah … supaya sebuah fikrah (gagasan) atau proyek yang menjadi sasaran kritik itu menjadi sempurna, dan dapat disuguhkan kepada publik dalam bentuknya yang paling sempurna
Komentar Raji al-Jannah Terhadap Makalah
Kritik membangun adalah hak asasi setiap aktivis pergerakan, tidak boleh ditinggalkan atau dibuat sembrono, sebagaimana kita juga berkewajiban untuk melatih diri kita terhadap kritikan itu … sehingga kita bisa menjadi sandaran bagi qiyadah kita dan penolong baginya. Sementara itu mata kita yang lain kita pergunakan untuk melihat keputusan qiyadah yang telah dibuat dan untuk menimbang berbagai urusan … kita berkewajiban untuk mendorong sang pengeritik yang bertujuan meluruskan, dan bukan yang bertujuan tasykik (menanamkan keraguan), kita dukung kritik yang bermaksud membetulkan, dan bukan yang bertujuan “melukai”, termasuk walaupun kita berbeda pendapat dalam masalah cara menyampaikannya, dan tampak jelas salahnya. Hanya saja, kita wajib mensyukuri, serta meminta kepadanya agar berkali-kali membolak-balik berbagai urusan supaya sampai kepada titik terdekat dari kebenaran …
Kritik bukanlah sebuah tujuan, dan tidak harus menjadi tujuan. Agar kritik bersifat membangun, terlebih dahulu harus ada satu langkah penting, yaitu: a. tabayyun (mencari titik terang), b. istidhah ar-ru’yah (meminta penjelasan tentang sebuah cara pandang), c. at-ta’arruf ‘ala mulabasat ittikhadz al-qarar mahall an-naqdi wa bawa’itsihi wa asbabihi (berupaya untuk mengetahui berbagai situasi dan kondisi keluarnya sebuah keputusan yang menjadi sasaran kritik, motivasi dan sebab-sebabnya).
Saat memenuhi prasyarat inilah kritik itu dapat diterima yang mampu menentukan posisi penyakit dengan tepat, dan memberikan deskripsi terapi secara professional … dan kita berkewajiban untuk segera membetulkan jalur yang kita tempuh serta meluruskan tujuan yang hendak kita tuju.
Sebagian saudara kita yang mulia, saking cinta dan kasmaran-nya kepada dakwah dan pergerakan, dan karena saking banyaknya berhadapan dengan berbagai serangan kritik yang destruktif, at-tasykik al-mutawashil (upaya penciptaan keraguan yang berkesinambungan), serta at-tajrih al-ladzi la yatawaqqaf (upaya “melukai” yang tiada henti), mereka terkena satu penyakit yang disebut hassasiyyah an-naqd (sensitifitas kritik), yaitu kepekaan yang menempatkan para pemberi nasihat bersama dengan orang-orang yang benci, menempatkan para kritikus yang membangun sejajar dengan para pengobral syubhat dan orang-orang  yang gemar memperburuk citra, mereka itu menempatkan semuanya dalam satu keranjang, padahal seharusnya harus dipilah dan dibedakan. Dan pada firman Allah swt yang artinya: “Tidaklah mereka [ahli kitab] itu sama” (Ali Imran: 113) terdapat keteladanan dan contoh ideal …
Kita berkewajiban untuk melepaskan diri dari penyakit ini, dan menerima kritik – selama bersifat konstruktif- dengan dada lapang, serta mencari hikmah di mana pun berada, sebab ia adalah barang yang hilang dari kita, dan dia itu adalah sesuatu yang kita kehendaki.
Termasuk perkara penting dan mesti bagi mereka yang telah rela untuk ber-’amal jama’i adalah tidak ada lagi pendapat perseorangan setelah adanya qarar qiyadah … dalam arti, siapa saja yang ber-intima’ (bergabung) kepada sebuah jamaah hendaklah komitmen dengan berbagai qarar politik (policy) serta arah kebijakan yang dibuat oleh qiyadah … dan bukan hanya komitmen dengan qarar saja, namun, ia jadikan qarar itu sebagai milik dirinya dan ia membelanya … sebab, syura itu bersifat mengikat, dan ragam pendapat, setelah syura menjadi satu pendapat saja … jika seseorang melihat adanya kekurangan atau kesalahan dalam qarar yang dibuat; Hendaklah ia mencari titik kejelasan dan melakukan dan jika berkelanjutan dalam melihat ke tidak benaran qarar, maka ia berkewajiban untuk komitmen dengan ushul tanzhimiyah (pokok-pokok organisasi) dan dhawabith harakiyah (patokan-patokan pergerakan), serta menempuh kanal-kanal syar’i (legal) untuk memperjelas pendapat dan pandangannya … dan tidak ada sesuatu selain kanal-kanal syar’i (legal)
DR. Munir Al-Ghadhban mempunyai pernyataan yang sangat berharga dalam kitabnya yang berbobot: al-Manhaj al-Haraki fi as-Sirah al-Nabawiyah, beliau berkata: “Sering sekali para pemuda suatu jamaah yang bersemangat terdorong untuk melakukan kritik pedas dan tajam kepada qiyadah, di mana qiyadah mempergunakan hikmah dan tuadah (penuh perhitungan) dan menyelesaikan orang-orang yang menyimpang dari barisan dakwah dan orang-orang yang memberontak terhadapnya … akibat kritik pedas dan tajam ini, qiyadah berada dalam posisi di antara dua api; api mereka-mereka yang terlalu bersemangat yang menilai para qiyadah lamban dan meremehkan urusan, dan api para musuh yang selalu menunggu-nunggu kesempatan untuk menjatuhkan tipu dayanya kepada jamaah. Jadi, para pemuda yang berada dalam barisan jamaah tidak memberikan udzur (alasan) kepada qiyadah dan musuh yang ada di luar pun tidak memberi belas kasihan kepadanya …
Betapa perlunya kita untuk membiarkan adanya kebebasan bagi qiyadah dalam berinteraksi dengan para pemudanya dan bersama para musuhnya, sebab, dia (qiyadah) itu lebih tahu tentang berbagai situasi yang dihadapi olehnya daripada kita, dan di antara hak kita adalah memperjelas pendapat kita, akan tetapi bukan termasuk hak kita untuk memaksakan pendapat yang kita miliki, dan bukan hak kita pula untuk menuduh qiyadah dalam suatu sikap yang diambilnya, sebab itu adalah haknya, dan bagus juga untuk kita ingat dan jangan sampai terlupakan dari pikiran kita bahwa di dalam qiyadah harakah terdapat ilmu dan ulama’ yang menjadikannya memiliki bashirah dalam tindak tanduknya …

Daurah An Naqib fi Mihwar Mu’assasy (Peran Naqib Dalam Kancah Politik

Seperti yang kita pahami bahwa perubahan menuju perbaikan diri dan masyarakat melalui lembaga-lembaga strategis menjadi bagian dari kerja dakwah pada mihwar mu’assasi ini. Melalui pemberdayaan lembaga tersebut berikut instrumentnya dapat mengokohkan dakwah dan perluasannya.
Imam Hasan Al Banna dalam Muktamar Keenam menjelaskan tentang berbagai media dan sarana untuk menjadi wasilah bagi tegaknya dakwah: “Bahwa sarana dan cara yang kita pakai secara umum adalah memberikan kemantapan dan menyebarkan dakwah dengan berbagai sarana. Sehingga bisa mudah dipahami oleh masyarakat umum lalu menjadi opini publik. Kemudian menyeleksi pribadi-pribadi yang baik untuk menjadi pendukung dakwah yang kokoh. Juga perjuangan secara konstitusional agar dakwah ini memiliki suara di lembaga pemerintahan dan didukung oleh kekuatan eksekutif. Dengan dasar ini calon-calon ikhwah akan menjadi khatibul jamahiri dan apabila datang waktu yang tepat akan tampil mewakili umat di Parlemen. Percayalah akan pertolongan Allah SWT. selama tujuan kita adalah meraih keridhaan-Nya”.
Ini akan sangat membutuhkan peran dan potensi dari seluruh kader yang dapat digunakan sebagai mediator untuk mewujudkan amaliyah tersebut. Sehingga seluruh potensinya tidak ada yang nganggur. Bahkan bila demikian, tidak boleh ada kader yang tidak menjadi bagian dari kerja besar ini. Kader yang beragam perannya harus menjadi batu bata dari tugas ini. Salah satu peran yang sangat signifikan dalam mengusung tugas perubahan ini adalah peran naqib. Posisi dan perannya teramat penting. Karena naqib merupakan tulang punggung yang amat strategis dalam perjalanan tarbiyah ini. Ia menjadi simpul perubahan yang asasi. Minimal dalam komunitas terkecil di masyarakat ini melalui tarbiyah atau pembinaan kader.
Posisi dan peran inilah yang digerakkan generasi terdahulu untuk memperluas manuver dakwah demi perubahan masyarakat. Mereka menjadi titik tolaknya. Sebab pribadinya merupakan parameter perubahan. Komunitas suatu masyarakat akan mudah diarahkan bila parameternya jelas dan benar. Dapat menjadi cerminan dalam merealisasikan perubahan diri untuk selanjutnya menjadi perubah masyarakat. Karena itu Allah SWT. telah mengingatkan akan peran ini. Sebagaimana umat terdahulu yang menjadikan naqib sebagai munthalaqnya.
“Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian (dari) Bani Israil dan telah Kami angkat di antara mereka 12 orang pemimpin dan Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku beserta kamu, sesungguhnya jika kamu mendirikan shalat dan menunaikan zakat serta beriman kepada rasul-rasul-Ku dan kamu bantu mereka dan kamu pinjamkan kepada Allah pinjaman yang baik sesungguhnya Aku akan menghapus dosa-dosamu. Dan sesungguhnya kamu akan Kumasukkan ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai. Maka barangsiapa yang kafir di antaramu sesudah itu, sesungguhnya ia telah tersesat dari jalan yang lurus”. ( Al-Maidah: 12)
Demikian pula saat perjalanan dakwah Rasulullah SAW. di masa-masa pertumbuhan. Beliau mengangkat sahabat yang memiliki kapasitas untuk mengemban amanah dakwah ini menjadi naqib. Dari para naqib yang ditunjuk, umat dapat belajar dan berkoordinasi merefleksikan amal Islam sehari-hari. Mereka menjadi ukuran sejauh mana tingkat dan kualitas suatu masyarakat yang akan diajak kepada perubahan. Begitu pula saat orang-orang Madinah menjumpai Rasulullah SAW. kemudian beliau mengelompokannya lalu menetapkan pemimpinnya sebagai naqib yang menjadi pengarah bagi kabilahnya.
Ternyata peran naqib yang dijalankan oleh para sahabat Anshor itu dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Itu dapat terlihat pada antusiasme masyarakat Madinah yang menyambut seruan Islam dan mereka menjadi pengikut setia Nabi Sang Junjungan. Perkembangan ajaran Islam dan entitas muslim sangat pesat di sana. Sehingga mereka siap untuk menerima kedatangan Rasulullah SAW. sebagai pemimpin mereka di dunia dan di akhirat. Kemudian beliau membinanya hingga terjadilah perubahan budaya dan perabadan umat manusia di antara kegelapan perilaku insaniyah waktu itu.
Menjalankan peran naqib seperti kaum muslimin di masa lalu memang tidaklah semudah membicarakannya. Karena banyak unsur yang terkait. Namun kita tidak dibenarkan bersikap pesimis lantaran tidak mudahnya merealisasikan peran tersebut. Akan tetapi upaya untuk bisa mencontoh sedikit demi sedikit hingga akhirnya sempurna harus tetap terkobar. Dalam kaedah ushul fiqhpun disebutkan bahwa
Maala yudraku kulluhu la yutroku kulluhu
“bila tidak dapat menjangkau seluruhnya maka janganlah meninggalkan keseluruhannya”.
Oleh karena itu para naqib kiranya dapat memahami peran yang mampu dilaksanakan agar cita-cita yang didambakan dapat terwujud. Seperti kondisi yang pernah dibangun generasi masa lalu.
Adapun peran yang perlu dijalankan oleh para naqib untuk mencapai perubahan diri dan masyarakat pada mihwar mu’assasi ini diantaranya sebagai berikut:
A. Raf’u Mustawal Afrad (Meningkatkan level personal)
Sesungguhnya Allah SWT. telah menyerahkan urusan umat ini kepada naqib. Kemashlahatan mereka di hari ini dan masa mendatang merupakan amanah Allah yang harus ditunaikan. Naqib bertanggung jawab di hadapan Allah SWT. pada akhirat kelak.
Jika generasi hari ini adalah kekuatan bagi naqib maka generasi esok merupakan tanaman. Alangkah mulianya seseorang jika bersikap amanah, bertanggung jawab dan mau memikirkan binaannya. Sebagaimana yang diingatkan Rasulullah SAW.
“Bahwa setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawabannya”. (Bukhari dan Muslim).
Karena naqib sebagai murabbi dalam lingkaran pembinaannya maka meningkatkan level personal dalam pembinaannya ini menjadi peran yang mesti dijalankan dengan baik.
Pertama, Tahqiq Ma’any Tawazun yakni untuk merealisasikan aspek-aspek tawazun dalam diri kader yang dibinanya. Baik secara Ma’nawi, Nafsi dan Amaly. Sehingga kader yang dibinanya dapat mempresentasikan ajaran Islam yang syamil secara ruhani, pemikiran, jiwa dan amal dalam kesehariannya.
Kedua, Izharul Azmi, yaitu memunculkan azam yang kuat dan tawakkal pada Allah SWT. membuat mereka selalu memiliki tekad yang tak pernah kendur dalam memperjuangkan Islam.
Ketiga, Tarqiyatu as Syaja’ah wal Buthulah, adalah meningkatkan sifat syaja’ah dan kepahlawanan dalam diri mereka. Berani untuk menyatakan kebenaran dan patriotis dalam membelanya.
Keempat, Mas’uliyatud Da’wah yaitu memunculkan rasa mas’uliyyah (tanggungjawab) pada binaanya terhadap kerja da’wah agar medreka dapat menjadi pelopor dakwah sehingga dakwah berkesinambungan dan melahirkan generasinya yang lebih baik.
Sasaran utama untuk meningkatkan personal yang dibina oleh para naqib adalah untuk mempuyai sikap puas dan tenang pada manhaj dakwah dan structural. Sasaran inilah yang perlu diperhatikan oleh para naqib dalam menjalankan tugas mulianya ini. Dalam diri naqib hanya rasa cinta pada kader yang dibinanya agar selalu bisa lebih baik sehingga selalu gembira dan senang dalam menjalani tugasnya.
Imam Muhammad ibnu Ahmad yang dikenal dengan julukan Ibnu Razquwaih menyatakan pada murid-muridnya yang ia cintai. Karena ia ingin murid-murid lebih baik kualitas dan kepribadiannya dari yang kemarin. ‘Demi Allah, aku menyukai kehidupan di dunia bukan karena usaha dan bukan pula karena perniagaan, akan tetapi karena dzikir pada Allah bersama kalian dan membacakan hadits kepada kalian sehingga kalian lebih baik’.
Kiranya para naqib perlu merenungi ungkapan Sang Syeikh ini agar amanah ini dapat tertunaikan di pundak kita sehingga ia menjadi amal perberat timbangan kebaikan kita di akhirat nanti. Sekaligus mampu mengimplementasikan firman Allah SWT. bahwa pemimpin dan pengarah yang baik laksana pohon yang mengakar dan berdiri tegak memberikan buah yang tak pernah henti.
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka ruku` dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mu’min). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar”. (Al Fath: 29)
B. Tathwir Qudrah Al Ahliyyah (Pengembangan kemampuan keahlian atau ekspert)
Begitu beratnya tugas naqib maka ia perlu meningkatkan kemampuan dirinya. Sehingga tugas-tugas tersebut dapat diselesaikan secara bertanggung jawab. Kemampuan itu adalah:
Pertama, Wudhuhut-tashawwur,
yakni memperoleh kejelasan wawasan dan pandangan tentang dakwah dan arah gerak dakwah pada mihwar mu’assasy ini sehingga naqib tidak bingung atau ragu dalam menjalankan tugas dakwahnya. Kejelasan wawasan juga dapat mengusir keragu-raguan sikap baik dirinya maupun orang lain.
Jiwa yang yakin akan dapat mempengaruhi orang lain pada fikrahnya terutama kader yang ia bina sehingga mereka berada dalam barisan dakwah di belakang naqibnya. Agar tidak ada lagi tasykik (keraguan) tentang langkah dakwah dan program yang sedang dicanangkan lalu dapat ikut terlibat di dalamnya.
Kedua, Tarqiyyatudz Dzaka’,
yaitu meningkatkan kecerdasan yang paripurna agar naqib dapat menjadi referensi dan rujukan masalah sekaligus mampu memberikan solusinya. Kecerdasan naqib selayaknya selalu meningkat dari hari perhari karena naqib sebagai orang yang akan mengarahkan binaannya. Naqib yang cerdas dapat memberikan nilai lebih pada binaannya sehingga muncul kepuasan tarbawi yang mereka ikuti.
Ketiga, Al Qudrah ‘alal Ibda’ wal ibtikar,
Yakni kemampuan kreasi dan inovasi. Dalam mengelola tarbiyah untuk ikut terlibat dalam kerja dakwah di mihwar mu’assasi ini naqib tidak boleh kehabisan kreasi apalgi mati kreasinya. Karena musuh-musuh dakwah pun penuh kreasinya. Untuk menandingi mereka tentu bukan dengan kemampuan material yang kita punya. Melainkan dengan mengembang kemampuan kreatifitas yang kita miliki. Kreatifitas yang hidup membuat peluang-peluang besar bagi dakwah dan pelakunya. Seorang punjangga memaparkan
“siapapun tidak akan mampu mematikan lawannya selama kreatifitas mereka tetap hidup”.
Keempat, Quwwatul Mubadarah Cepat tanggap terhadap sesuatu.
Naqib yang cepat tanggap mengindikasikan kepeduliannya amat besar. Baik tanggap terhadap siatuasi, para binaannya mapun tugas yang diamanahkan kepadanya.
Upaya ini untuk menjaga asset dakwah yang amat mahal. Ia menginginkan kebaikan dan keselamatan bagi kadernya.. kekuatan rasanya begitu besar sehingga ia ingin dapat memberikan hal lebih pada binaannya. Sebagaimana firman Allah SWT.:
“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mu’min”. (At Taubah: 125)
Bila demikian -naqib meningkatkan kemampuan dan keahliannya- maka keahlian dan kafa’ahnya semakin kuat dan berarti. Hal ini akan sangat berguna untuk kelanggengan dakwah dan kekokohannya. Keahlian yang seperti itu amat diperlukan untuk menjadi pintu-pintu masuknya dakwah di seluruh elemen masyarakat saat ini. Sehingga instrument dalam masyarakat dapat menerima dan berhimpun didalamnya.
Keahlian apapun dalam ajaran Islam amat dihargai. Ia tidak boleh diabaikan atau melupakan kemampuan yang dimiliki seorang muslim. Apalagi hingga mencampakkan begitu saja keahliannya. Sang Nabi Junjungan telah mengingatkatkan,
“Barang siapa yang telah memiliki keahlian melempar kemudian melupakannya maka ia bukanlah golonganku”. (Muslim)
Naqib untuk merealisasikan perannya mesti menjaga cita-citanya agar selalu hidup. Sekalipun cita-cita itu belum terwujud pada saat menjalankannya. Sebab cita-cita tersebut kadang lebih cepat atau lambat. Seperti guratan seorang pujangga,
‘Peliharalah cita-citamu, karena sesungguhnya cita-citamu mendahului segala sesuatu. Barang siapa yang baik cita-citanya dan dia jujur padanya niscaya pekerjaan yang dilakukannya akan melahirkan hasil yang baik pula’.
Iqbalpun dalam untaian bait syairnya memaparkan,
‘Cita-cita orang yang merdeka dapat menghidupkan yang telah hancur, dan tiupan orang-orang yang bertaqwa dapat menghidupkan umat. Dan semua penyakit itu bersumber dari pudarnya cita-cita’.
Untaian syair tersebut mengumpamakan bahwa naqib sebagai nadinya kader dakwah ini. Oleh karena itu seyogyanya para naqib tetap menjaga kesehatan nadinya agar tidak pernah berhenti dan diam.
C. Tathwirul Qudrah At-Tanzhimiyyah (Pengembangan kemampuan struktural)
Naqib adalah amanah struktural karenanya ia menjadi orang yang terdepan dalam pengembangan struktural. Agar tidak mengalami ashirul marhalah dalam perjalanan dakwah ini maka naqib mesti memahami prasyarat untuk dapat menjalakan peran tersebut. Yaitu:
Pertama, Isti’abuts-Tsawabit wal mutaghayyirat.
Menguasai hal-hal yang permanent dan berubah-ubah pada jalan dakwah ini. Dari situ ia tahu mana-mana yang memang sudah baku dalam dakwah ini dan mana-mana yang berubah-ubah sesuai dengan situasi dan kondisinya sehingga dapat menggunakan kebijakan yang tepat untuk kepentingan dakwah.
Kedua, Al Qudrah ‘alat-takhthith at Tanzhimy, menguasai perencanaan struktural.
Perencanaan yang dipahami oleh naqib dapat mempermudah merealisasikannya serta mempercepat ke arah yang digariskannya. Karena naqib dapat melibatkan langsung kader-kadernya sebagai ujung tombak dakwah ini.
Ketiga, Al Qudrah ‘alat-ta’biah, kemampuan mengkoordinasikan elemen dakwah.
Keempat, Muhafazhah matanah at tanzhim, Membangun soliditas struktural.
Karena naqib, peran dan kedudukannya amat strategis dalam struktur dakwah ini diharapkan merekalah garda terdepan dalam menjaga soliditas struktural. Ia dapat mengarahkan kadernya akan kekeliruannya. Ia pun dapat meluruskan gossip internal yang berkembang. Ia pun dapat memberikan jawaban atas tuduhan dan fitnah yang dilontarkan pada struktur dari siapapun. Sehingga naqib amat berwenang untuk membina soliditas struktural terutama pada kader yang dikelolanya. Bahkan para naqib menjadi kekuatan komitmen pada dakwah ini.
Abul ‘Ala Al Maududi mengingatkan bahwa naqib merupakan amanah struktural yang harus mampu menjadi penggerak dakwah ini kepada seluruh lapisan masyarakatnya dengan mengerahkan seluruh potensinya. ‘Sangat ironis sekali bila orang-orang yang dianugerahi intelgensia yang unggul dari kalangan individu umat kita ini, tergila-gila meraih kedudukan duniawi dengan mencurahkan segenap kemampuannya tanpa kenal lelah sepanjang siang dan malam. Di bursa kerja mereka tidak mau menerima kecuali pihak yang mau menawar mereka dengan bayaran yang tinggi. Sedangkan keterlibatan mereka dengan dakwah ini tidak sampai pada tingkat mengorbankan kepentingan mereka untuk kepentingan dakwah, bahkan tidak pula sekedar mengorbankan jasa yang mereka miliki. Jika kalian berharap dengan mengandalkan pengorbanan yang mandul ini untuk dapat meraih kemenangan melawan orang-orang yang menimbulkan kerusakan di muka bumi ini yang rela mengorbankan jutaan uangnya setiap hari demi mencapai tujuan mereka yang batil maka harapan ini tiada lain hanyalah suatu tindakan yang bodoh’.
D. Tathwirul Qudrah Asy-Sya’biyah (Pengembangan kemampuan bermasyarakat)
Naqib juga bagian dari masyarakat. Karenanya ia harus dapat melakukan pengembangan kemampuan bermasyrakat. Karena masyarakat akan menjadi bagian dari kerja dan obyek dakwah pada mihwar ini. Masyarakat yang mendukung dakwah akan sangat mengokohkan eksistensi dakwah dan akhirnya dapat berdiri tegak. Maka naqib perlu menyadari akan perannya di tengah-tengah masyarakatnya. Yakni:
pertama, Bina al Ittishal as Sya’by, yaitu membangun hubungan dengan masyarakat.
Kedua, Mir’atul Ishlah lil mujtama’, yakni mampu tampil dan menjadi representasi dari masyarakat.
Ketiga, Tashawwurul ‘Am, Membangun public opinion.
Keempat, As Syakhshiyah Barizah, Mampu tampil sebagai pemimpin public.
Pada akhirnya naqib dapat membangun perubahan yang mendasar pada masyarakat. Dan dialah yang memulainya sehingga masyarakat dapat mencontohkan langsung.
Imam Hasan Al Banna mengingatkan seluruh kadernya untuk menjadi penggerak perubahan dan menjadi kekuatan yang hidup mengusung perbaikan dan kemashlahatan. Katanya, ‘Kita adalah ruh baru yang mengalir ke seluruh jasad umat umat ini’.
Wallahu ‘alam bishshawwab.

Kesiapan Menjadi Naqib/Murabbi

QUALITY PRODUCTS begin with QUALITY PERSON and QUALITY THINKING Materi Pembahasan
1. Quality Person
Motivasi
1. Apakah antum benar-benar bersedia menjadi Murabbi/naqib?
2. Apakah antum memiliki keinginan untuk posisi ini?
3. Bagaimana perasaan antum jika tidak terpilih menjadi Murabbi/naqib?
4. Sebutkan hal-hal apa yang menyebabkan antum menginginkan posisi itu? Apa yang paling utama?
5. Atau bahkan apa yang menyebabkan antum menghindar dari penunjukan menjadi Murabbi/naqib?
Pertanyaan-pertanyaan di atas hanya sebatas simulasi untuk mendapatkan kejelasan intima’ kita pada tugas mulia ini. Mengapa kita melakukan apa yang kita lakukan? Menguji apa yang menyebabkan kita melakukan sesuatu adalah sangat penting. Penting bukan hanya bahwa motivasi sangat menentukan keberhasilan kepemimpinan, namun karena Allah mengetahui setiap hati dan senantiasa mengawasi detak hati kita. (Qs.40:19).
Allah mengikuti arah langkah hati kita, kemana saja hati itu diarahkan (Qs.53:45). Hanya dengan motivasi yang benar, ikhlas karena Allah maka segala sesuatu yang dikerjakan hamba-Nya menjadi berharga di sisi Allah. Maka menjadi keharusan bagi setiap naqib untuk selalu mengontrol hatinya agar terhindar dari jebakan-jebakan setan.
a. Hati-hati terhadap Posisi yang mendorong kita menjadi GHURUR.
- keinginan untuk menguasai
- keinginan untuk dihormati/diakui.
- keinganan untuk menjadi dikenal
b. Hati-hati dengan Perasaan TERPAKSA.
Seseorang menjadi MURABBI/NAQIB bisa jadi karena terpaksa, disebabkan tuntutan lapangan, kekurangan SDM, desakan yang terus-menerus dari MURABBI/NAQIBnya. Maka untuk menghindari rasa bersalah dan dipersalahkan maka seorang al akh berpikir kalau dia tidak mau maka akan mengecewakan MURABBI/NAQIBnya, dll.
c. Hati-hati terhadap “SINDROM KESUKSESAN”.
Beberapa pemimpin, memimpin hanya untuk memenuhi hasrat dan ambisi saja. Tujuan dan sasarannya adalah hanya mengukur kekuatan, inilah yang menjadi motivasi utama di dalam hidup mereka. Cita-cita itu memang baik, tetapi akan menjadi tidak patut jika dikendalikan oleh sindrom “lebih”. Pemimpin puas jika telah melakukan lebih baik daripada pemimpin tahun lalu atau dia merasa gagal.
Contoh kepemimpinan khalid bin walid. Uraikan tentang sikap pemecatan dan sikap umar ra.
MURABBI/NAQIB SEBAGAI Qiyadah
Dalil-dalil tentang fungsi qiyadah sebagai pengayom sekaligus pembina ummat, Seorang MURABBI/NAQIB dalam fungsinya sebagai pembina ummat, Memimpin dan membimbing, Membina dan mengajar dengan benar, Merawat, melindungi dan melayani, Bertanggung jawab terhadap usrah.
Seorang MURABBI/NAQIB adalah orang yang Allah beri kepercayaan untuk memimpin umat binaannya. Pemimpin harus kembali mempertanggung jawabkan segala perbuatannya kepada Allah. Seorang MURABBI/NAQIB harus konsisten dan komitmen dan menyelesaikan tugasnya dengan optimal. Lihat tentang hadits-hadits berkaitan dengan amanah dan tanggung jawab.
MURABBI/NAQIB SEBAGAI Syuyukh
Kematangan rohani adalah menyadari diri belum dewasa atau matang. Kedewasaan/kematang an rohani adalah proses yang sedang dijalani, bukan tingkat yang telah dicapai. Belajar seumur hidup bukanlah suatu hal yang alamiah. Berikut adalah sikap yang diperlukan untuk dapat belajar seumur hidup.
BERSEDIA DIAJAR.
Kita belajar karena mengasumsikan bahwa ada hal-hal yang kita tidak tahu dan ada sumber-sumber yang dapat mengajar kita. Sayangnya kita sering bersikap, ” Saya suka belajar tetapi saya tidak suka diajar !” Sikap ini mungkin disebabkan oleh rasa tidak suka mengakui bahwa orang lain tahu lebih banyak daripada kita. Baik harga diri maupun rasa takut mengakui kesalahan dapat menghalangi kita bersikap mau diajar. Surat AnNajm:53
INISIATIF.
Murid sejati tidak hanya bersikap terbuka terhadap mereka yang berinisiatif untuk mengajar, tetapi juga berinisiatif untuk belajar pada saat tidak ada orang yang mengajar.
MURABBI/NAQIB SEBAGAI Ustadz
Seorang MURABBI/NAQIB adalah ibarat seorang petani. Setiap hari ia menaburkan rupa-rupa benih: benih kepribadian, disiplin, perilaku, iman, ilmu, pelayanan, kejujuran, keuletan, kemandirian, moral, benih kasih dll. seorang MURABBI/NAQIB harus memiliki titik berangkat sikap optimisme dan pengharapan. Petani menabur benih karena optimis bahwa benih itu akan jadi. Seorang MURABBI/NAQIB mendidik karena mempunyai optimisme bahwa tiap A’DHO bisa belajar dan berkembang.
Optimisme tentunya juga perlu disertai dengan sikap realitis. Tidak semua benih tumbuh subur. Ada benih yang jatuh di tanah yang keras dan berbatu, ada pula yang jatuh di tanah yang gembur. Demikian juga tidak semua bahan didikan tumbuh subur dalam diri A’DHO. Sebab itu untuk mendapatkan hasil yang optimal lahan perlu diolah dan disuburkan. Benih pendidikan akan tumbuh subur bila lahannya kondusif (bersifat mendukung, memberi peluang untuk hasil yang mau dicapai).
Menabur benih pun perlu banyak tindak lanjutnya. Setiap hari tanaman itu perlu disiram. Tanahnya perlu digemburkan. Rumput liar di sekitarnya di cabut. Hama pengganggu disingkirkan. Secara periodik perlu diberi pupuk dan lain sebagainya. Semua itu perlu dilakukan secara teliti, tekun dan sinambung. Seorang petani memang berjerih lelah. Ia mau berlelah dan bersusah.
Seorang MURABBI/NAQIB perlu sabar. Tidak mungkin hari ini menabur lalu besok menuai. Perlu waktu yang cukup lama untuk memperoleh hasil. Pendidikan selalu terjadi dalam proses jangka panjang. Tidak ada pendidikan yang bisa terjadi secara mendadak. Tidak bisa kita mengubah sifat malas dalam satu minggu atau memperbaiki kepribadian dalam satu hari. Oleh karena itu diperlukan komitmen dan disiplin yang kuat dari seorang MURABBI/NAQIB.
MURABBI/NAQIB SEBAGAI Ayah
Seorang NAQIB harus menciptakan suasana yang paling menguntungkan agar A’DHO dapat tumbuh dengan wajar seperti :
- Memberi semangat dengan menonjolkan segi-segi terbaik dari masing-masing A’DHOnya,
- Membangun rasa percaya diri A’DHO dan mendorong A’DHO menggunakan kemampuan-kemampuan dengan cara memberi kesempatan kepada mereka untuk berkhidmat di usrah atau merekomendasi A’DHO untuk program-program khidami.
- Mendengarkan secara aktif dengan memusatkan perhatian pada A’DHO yang sedang berbicara sambil mengajukan pertanyaan-pertanya an yang memperjelas isi pembicaraan.
- Bersikap terbuka terhadap usul A’DHO, dan menolong A’DHO untuk mengungkapkan apa yang mereka pikirkan dan rasakan.
- Peka menilai hubungan antar A’DHO, membangun keharmonisan dan kesepakatan, menyelesaikan konflik-konflik dan ketidak sesuaian pendapat di antara anggota dengan cara menganalisa perbedaan-perbedaan itu secara obyektif dan berusaha mencari titik temu.
Seorang petani (MURABBI/NAQIB) adalah orang yang optimis dan idealis, namun juga tidak lepas dari rasa cemas dan was-was. Ia khawatir apakah benihnya akan bertumbuh dengan baik, soalnya ia tidak dapat berdaya apa-apa untuk menumbuhkan benih itu. Memang tiap hari ia sudah mencangkul dan menyuburkan lahan . Memang tiap hari ia menyiram. Tetapi pertumbuhan benih itu betul-betul berada diluar batas kemampuannya. Pertumbuhan benih bukan tergantung pada petani, melainkan dari faktor lain. Namun justru adanya faktor lain itulah yang menyebabkan seorang petani optimis dan idealis. Baca Ma’alimun fit thariq bab ‘Generasi Qurani yang Unik’
II. QUALITY THINKING
Seorang pemain catur yang baik adalah pemain yang tahu pembukaan dan strategi apa yang akan dijalankan, tahu bagaimana dia akan mengakhiri pertandingan (babak akhir yang akan dicapai), serta kreatif di babak tengah guna mengarahkan permainan ke babak akhir yang telah di tetapkan.
Demikian pula seorang MURABBI/NAQIB yang baik adalah mereka yang tahu langkah awal yang harus dilakukan, dan kreatif selama proses tarbiyah untuk mengarahkan pengkaderan itu ke sasaran akhir sesuai dengan visi tarbiyah. Seorang MURABBI/NAQIB yang baik bukan hanya memiliki tsaqofah yang kuat, tetapi juga dituntut untuk mampu berfikir dengan teliti (quality thinking) dan membuat perencanaan ke depan. Setiap pertemuan adalah moment yang berharga — yang Allah berikan kepada kita. Seorang MURABBI/NAQIB harus menghargai setiap kesempatan yang Tuhan berikan dengan mempersiapkan diri secara optimal dan merencanakannya secara bertahap dan berkesinambungan. Semuanya ini membutuhkan kerja keras dan waktu yang disediakan untuk mengayomi.
Wallahu a’lam

Tafsir Al-Baqarah ayat 183 : Aspek-Aspek Ruhaniyyah dari Puasa

Oleh : Abu AbduLLAH
“Hai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al Baqarah, 2:183)

“Wahai orang-orang yang beriman…” : Kata ini bermakna takhshish (pengkhususan) dari Sang Maha Pencipta langit dan bumi kepada sedikit di antara makhluk-NYA yang dicintai-NYA. Maka panggilan itupun begitu lembut dan penuh kasih, dengan menyebutkan aspek kedekatan dan keakraban-NYA dengan kelompok tersebut. “Wahai orang-orang yang telah beriman…” Pantaslah bahwa diriwayatkan jika para sahabat RA ketika mereka sedang berbicara atau melakukan suatu kegiatan jika mereka mendengar kata “wahai orang-orang yang telah beriman…” maka mereka seketika terdiam dengan khusyu’ mendengarkan apa kelanjutan firman-NYA, jika mereka telah melaksanakan perintah tersebut maka mereka bersyukur dan jika belum maka mereka berusaha untuk segera melaksanakannya.
“telah diwajibkan atasmu berpuasa” : Kata “kutiba” bermakna “furidha ‘alaykum” (telah diwajibkan atas kalian semua yang telah beriman) untuk berpuasa. Kewajiban tersebut dijelaskan oleh ayat ini dan juga oleh beberapa hadits shahih, di antaranya yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar ra : “Islam itu dibangun atas 5 hal, bersaksi bahwa tiada Ilah kecuali ALLAH, menegakkan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan dan berhaji ke BaituLLAH jika memiliki kemampuan.” Demikian pula bahwa para ulama salaf (terdahulu) dan khalaf (kontemporer) yang shalih telah ijma’ (bersepakat) tentang wajibnya puasa Ramadhan, sehingga jika ada yang menyatakan bahwa puasa Ramadhan tidak wajib maka perkatannya itu tertolak.
“sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian” : Puasa adalah juga merupakan syariat para nabi-nabi sebelum Muhammad SAW dan iapun juga merupakan syariat orang-orang shalih dimasa terdahulu. Puasa mereka semua adalah jauh lebih berat dari puasa kita (ummat Muhammad SAW). Lihatlah bagaimana puasa nabi yang shalih Zakariyya AS yang selain tidak makan dan minum juga TIDAK BOLEH BERBICARA (QS. Maryam, 19:10) kecuali hanya boleh memberikan isyarat saja (QS Ali Imran, 3:41), demikian pula Maryam AS yang sezaman dengannya (QS Maryam, 19:26). ALLAH SWT pun menjelaskan kepada kita tentang puasanya Thaluth AS yang hanya dibolehkan berbuka hanya dengan seteguk air saja dan tidak boleh lebih (QS al-Baqarah, 2:249). Atau juga puasa nabi Daud AS yang disebut sebagai sebaik-baik puasa oleh nabi Muhammad SAW, yaitu sehari puasa dan sehari berbuka seumur hidupnya.
“mudah-mudahan kalian menjadi orang yang bertaqwa” : Puasa yang ikhlas dan benar akan mengantarkan pelakunya kepada sifat taqwa. Tidaklah setiap amal dalam Islam kecuali memiliki faidah kepada yang melakukannya, tentang shalat ALLAH SWT menyebutkan bahwa ia dapat mencegah pelakunya dari perbuatan yang keji dan munkar (QS al-Ankabut, 29:45), tentang zakat ALLAH SWT menyebutkannya sebagai untuk membersihkan (harta) dan mensucikan (hati) mereka (QS at-Taubah, 9:103), dst. Taqwa bukanlah sebuah perhentian tapi ia adalah sebuah proses yang tidak akan pernah berhenti sampai kita menghadap ALLAH SWT, hal ini digambarkan dalam hiwar (diskusi) antara 2 orang sahabat mulia yaitu Umar bin Khattab ra dan Ubay bin Ka’ab ra, kata Umar ra : “Wahai Ubay apakah taqwa itu menurutmu?” Jawab Ubay ra : “Wahai Amirul Mu’minin pernahkah anda melalui suatu jalan yang penuh dengan duri?” Maka jawab Umar ra : “Pernah.” Kata Ubay ra : “Lalu apa yang anda lakukan ketika itu?” Jawab Umar ra : “Aku bersungguh-sungguh dan berhati-hati (IJTAHADTU WA SYAMMARTU).” Maka kata Ubay ra : “Itulah yang disebut taqwa.”
Puasa sempurna adalah puasa orang-orang yang shalih, yaitu dengan melakukan :
1. Menahan pandangan dan menjaganya dari sembarangan memandang hal yang dilarang, dan dari segala sesuatu yang melalaikan hati dari dzikrullah. Hadits:
“Sekali memandang itu adalah satu anak panah dari anak-anak panah Iblis, maka barangsiapa yang meninggalkannya karena takut kepada Allah, maka Allah akan memberinya manisnya keimanan yang dapat ia rasakan dalam hatinya.” (HR al-Hakim dan shahih isnad-nya).
2. Menjaga lidah dari berkata kotor, berdusta, menggunjing, mengadu domba, berkata keji, menyindir, marah, bergurau yang mengandung dosa dan memperbanyak diam serta menyibukkannya dengan dzikrullah dan membaca al-Qur’an. Hadits :
“Puasa itu benteng, maka jika salah seorang diantaramu berpuasa janganlah ia berkata kotor atau menipu dan jika ada yang mengajaknya berkelahi atau mencacinya, maka katakanlah : Saya sedang berpuasa! Saya sedang berpuasa!” (HR Bukhari dan Muslim).
3. Menjaga pendengaran dari segala sesuatu yang dilarang, karena segala sesuatu yang dilarang mengucapkannya maka dilarang pula mendengarkan-nya. Karena itulah Allah SWT menyamakan antara mendengarkan berita bohong (pekerjaan telinga) dengan memakan harta yang haram (pekerjaan mulut) dalam firman-Nya :
“Mereka itu suka mendengarkan berita bohong dan memakan harta yang haram…” (QS 5/42).
4. Menahan semua anggota badan dari dosa, baik tangan, kaki, perut, dari segala yang syubhat apalagi yang haram. Karena tiada artinya berpuasa dari makanan yang halal kemudian berbuka dengan yang syubhat apalagi yang haram. Makanan yang haram itu merusak agama seseorang, sementara makanan yang halal memberikan manfaat tetapi juga ada bahayanya, maka diperintahkan untuk berpuasa. Hadits nabi SAW :
“Berapa banyak orang yang berpuasa, tetapi tiada mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali sekadar lapar dan haus.” (HR an-Nasa’I dan Ibnu Majah).
5. Agar tidak makan berlebihan pada saat berbuka, karena ruh dari puasa serta rahasianya adalah melemahkan kekuatan syetan yang mengarahkannya kepada keburukan. Dan tidak akan tercapai hal tersebut kecuali dengan menyedikitkan memakan makanan yang biasa dimakannya saat tidak berpuasa. Termasuk juga menyedikitkan tidur siang supaya fisik benar-benar merasakan dampak puasa tersebut (lapar, haus, lemah) sehingga akan melembutkan juga hati kita.
6. Agar hati kita pada saat berbuka berada dalam kondisi antara harap dan takut, demikian pula pada saat selesai melakukan ibadah di bulan ini. Hadits nabi SAW :
“Jika seorang mu’min mengetahui hukuman yang disediakan Allah SWT, maka mereka takkan sempat mengharapkan jannah. Dan seandainya seorang kafir mengetahui ampunan yang disediakan Allah SWT, maka mereka takkan putus asa atas rahmat dan ampunan Allah SWT.” (HR Muslim).

Bahagia Dapat Menggapai Derajat Taqwa Pasca Bulan Ramadhan

Menggapai derajat taqwa adalah cita-cita tertinggi bagi setiap muslim saat usai menunaikan ibadah; derajat paling mulia disisi Allah. Allah menjadikan seluruh perintah dan kewajiban bermuara pada derajat yang mulia ini; baik ibadah secara umum yang diperintahkan oleh Allah kepada umat manusia secara keseluruhan, seperti yang termaktub dalam perintah Allah pada surat Al-Baqarah ayat 21:
يا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertaqwa”
atau ibadah-ibadah khusus yang diperintahkan kepada golongan khusus yaitu orang-orang beriman, termasuk ibadah puasa yang ada pada bulan Ramadhan. Sebagaimana firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمْ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa”. (Al-Baqarah:183)
dan lain sebagainya dari ibadah yang diperintahkan oleh Allah  yang bertujuan untuk menggapai derajat taqwa.

Makna taqwa.
Dalam al-Quran disebutkan kurang lebih 251 kali kata “taqwa”, dimana taqwa sangat mempunyai makna agung dan mendalam, terutama dalam memahami peraturan dan perintah Allah serta larangan-larangan-Nya, sehingga dapat mempengaruhi jalan kehidupan manusia sehari-hari.
Para ulama banyak memberikan makna yang berbeda akan makna taqwa, walaupun perbedaan tersebut hanyalah sebatas kata, karena ujungnya tetap sama yaitu bermuara pada ketaatan kepada Allah.
1. Taqwa adalah mentaati segala perintah Allah dan menjauhi seluruh larangan-larangan-Nya.
2. Taqwa adalah mentaati perintah Allah dengan berharap pahala dan surga-Nya dan menjauhi larangan Allah dengan berharap terhindar dari azab dan api neraka-Nya.
3. Taqwa adalah hendaknya Allah tidak pernah absen menemukanmu dalam beribadah kepada-Nya, dan tidak pernah menemukan dirimu berada dalam kemaksiatan.
4. Taqwa adalah mengamalkan kitab yang diturunkan (Al-Qur’an), takut kepada Al-Jalil (Allah SWT), Ridha pada rezki walau sedikit, dan bersiap diri menuju hari akhir (kematian).
Dan banyak lagi makna taqwa yang disebutkan oleh para ulama, yang intinya adalah wujud ketaatan hamba kepada Allah yang diaplikasikan dalam menunaikan segala perintah Allah, dan menjauhkan diri dari segala larangan dan perbuatan yang dimurkai Allah.
Ciri-ciri orang yang bertaqwa
Ketahuilah bahwa hanya Allah mengetahui sosok manusia yang bertaqwa dari setiap muslim, karena Dialah Zat yang mengetahui isi hati manusia, dan taqwa merupakan ibadah qalbu dan letaknyapun di dasar hati yang paling dalam, seperti yang disampaikan oleh Rasulullah saw;
التقوى هاهنا .. التقوى هاهنا .. التقوى هاهنا كررها ثلاثاً وهو يشير إلى صدره فداه أبي وأمي وفيه إشاره على أن منبع التقوى من القلب
Taqwa itu disini.. taqwa itu disini… taqwa itu disini... beliau mengulanginya tiga kali sambil menunjuk ke dadanya dan menginsyaratkan bahwa sumber taqwa adalah di dalam hati
Namun demikian, untuk mengetahui orang yang telah mendapat derajat mulia (taqwa) dalam kehidupannya terutama pasca Ramadhan adalah dengan memperhatikan beberapa ciri sebagai berikut :
1. Tingkat keimanannya meningkat dibanding hari-hari sebelumnya, baik secara batin yaitu iman kepada Allah, hal gaib, Al Quran dan hari akhir, dan juga secara lahir yaitu mendirikan Shalat lebih rajin, menunaikan zakat/infak/sedekah lebih ikhlas dan lebih sering, membaca Al-Quran lebih rajin dan lain-lainnya, seperti terdapat dalam surat (Al Baqarah:2-4, Al-Anfal : 2-4)
2. Tawadhu’ (rendah hati)
Tawadhu’ atau rendah hati merupakan kesempurnaan ketaqwaan seseorang, ia tidak sombong ataupun angkuh atas apa yang diberikan Allah kepada nya, dia penyayang, pemaaf dan tidak membalas perbuatan buruk orang dengan keburukan namun dengan kebaikan. Allah berfirman:
وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا
Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata keselamatan” (Al-Furqan : 63).
3. Qana’ah
Qanaah yaitu sikap Menerima atau mencukupkan apa adanya nikmat yang diberikan Allah kepadanya, dia tidak mengumpat apalagi mencela rezki yang diperolehnya, tidak merasa kurang dan tidak takut akan kekurangan rezki, namun hanya selalu mensyukuri segala nikmat Allah yang ada. Dia yakin bahwa Allah akan selalu mencukupi kebutuhan semua hamba-Nya. Allah SWT berfirman:
و ما من دابة في الأرض إلا على الله رزقها
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya” (Huud :6).
4. Wara’
Wara’ adalah sikap selalu menjaga dan menghindarkan diri dari perbuatan dosa. Dengan sikap ini seorang yang bertaqwa akan takut untuk melakukan dosa karena ia selalu merasa di pantau dan diawasi oleh Allah. Karena Allah itu sangat dekat dan memantau segala perbuatan hambanya. Orang seperti ini telah memiliki sifat Ihsan. Allah SWT berfirman:
ألم يعلم بأن الله برى
“Tidaklah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya? (Al-‘Alaq : 14).
5. Yakin
Yaitu keyakinan yang bersumber dari keimanannya bahwa Allah SWT akan memberikan balasan dan kenikmatan di dunia, tidak gentar dengan berbagai halangan yang menghadang, dan juga yakin akan adanya ganjaran pada hari akhirat berupa surga dan segala kenikmatannya.
Keuntungan orang yang mendapat gelaran taqwa
Adapun orang yang mendapat gelaran taqwa maka Allah pasti akan memberikan berbagai kenikmatan dan balasan yang menjadi bagian terbesar dalam kehidupan manusia baik di dunia dan di akhirat kelak. Adapun keuntungan yang di dapat bagi orang bertaqwa adalah sebagai berikut
1. Mendapat peningkatan derajat. (Al-Anfal:4).
2. Mendapat ampunan dosa dan kesalahannya.
3. Mendapatkan furqan, ia dapat membedakan antara yang hak dan bathil dan diberi kekuatan untuk menegakkannya. (Al-Anfal : 29).
4. Mendapat kasih sayang Allah di dunia dan di Akhirat
5. Mendapat cahaya dari Allah dalam kehidupan. (Al-Hadiid : 28).
6. Diberi jalan keluar bagi urusannya.
7. Mendapat rezki dari sumber yang tidak disangka-sangka. (At-Talak : 2-3).



Penutup
Sungguh sulit digambarkan akan kebahagiaan seseorang yang diberikan kesempatan untuk mengikuti ibadah dan amaliyah pada bulan Ramadhan; hal tersebut merupakan anugerah terbesar yang dilimpahkan Allah kepada orang yang dikehendaki-Nya.
Bahagia bukan berarti dengan meluapkannya pada perbuatan yang sia-sia, namun bahagia di sini adalah dengan selalu menyadari bahwa hal tersebut merupakan kesempatan emas yang tidak boleh terbuang dan hilang tanpa ada manfaat. Karena Nabi saw bersabda:
من حسن إسلام المرء تركه ما لا يعنيه
“Di antara kebaikan seorang muslim adalah meninggalkan sesuatu yang tidak berguna”.
Dan Ramadhan adalah kesempatan emas dan berharga untuk meraih dan menggapai banyak hal; rahmat, ampunan, pembebasan dari api neraka, pahala yang berlipat ganda, surga yang khusus, dan lain sebagainya, bahkan niscaya menggapai derajat paling mulia di sisi Allah yaitu Taqwa.
Karena itu, berbahagialah orang yang mendapat kesempatan untuk meraihnya, berbahagialah orang yang mendapatkan kesempatan untuk menggapainya, dan marilah untuk melengkapi kebahagiaan diisi dengan menunaikan ibadah dan menjalankan aktivitas dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Allah berfirman:
لئن شكرتم لأزيدنكم ولئن كفرتم إن عذابي لشديد
“Jika kalian bersyukur terhadap nikmat-nikmat-Ku maka Aku tambah (nikmat tersebut) untuk kalian, namun jika kalian ingkar, maka ketahuilah azab-Ku sangatlah pedih”.
Dan kita hanya berharap dan memohon kepada Allah, semoga kita termasuk orang-orang yang mendapatkan kesempatan mengarungi hidup pada bulan Ramadhan i masa yang akan datang, dan kita berharap pula dianugerahkan oleh kesehatan sehingga dapat menunaikan berbagai ibadah dan amaliyah secara maksimal dan optimal, sebagaimana pula kita berharap Allah berkenan melimpahkan kepada kita rahmat dan hidayah-Nya sehingga kita dalam menunaikan ibadah dan amaliyah dengan penuh keimanan dan keikhlasan, jauh dari melakukan perbuatan dosa dan maksiat sehingga dapat mengurangi nilai dan pahala puasa, dan harapan terakhir bagi kita semua adalah semoga Allah melalui ibadah Ramadhan yang kita laksanakan dan tunaikan dengan sungguh-sungguh, berlandaskan iman dan keikhlasan kita dapat menggapai derajat yang paling disisi-Nya yaitu taqwa.
رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنْ الْمُسْلِمِينَ
“Ya Allah, anugerahkanlah kekuatan kepada kami untuk mampu mensyukuri seluruh nikmat yang telah limpahkan kepada kami, dan kepada kedua orang tua kami, dan berikanlah kemampuan kepada kami untuk beramal shalih seperti yang Engkau ridhai, dan berikanlah kebaikan kepada keluarga kami, sesungguhnya kami kembali (bertobat) kepada Engkau, dan sesungguhnya kami termasuk orang yang berserah diri”. (Al-Ahqaf:15)
رَبَّنَا أَوْزِعْنَا أَنْ نَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيْنَا وَعَلَى وَالِدَيْنَا وَأَنْ نَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَدْخِلْنَا بِرَحْمَتِكَ فِي عِبَادِكَ الصَّالِحِيْنَ
“Ya Allah, anugerahkanlah kekuatan kepada kami untuk mampu mensyukuri seluruh nikmat yang telah limpahkan kepada kami, dan kepada kedua orang tua kami, dan berikanlah kemampuan kepada kami untuk beramal shalih seperti yang Engkau ridhai, dan masukkanlah kami dengan rahmat-Mu, termasuk golongan orang-orang yang shalih”. (An-Naml:19)
أللهم أعنا على ذكرك وشكرك وحسن عبادتك
“Ya Allah, tolonglah kami untuk dapat berdzikir dan bersyukur dan beribadah yang sebaik-baiknya”. (Abu Daud, Ahmad dan Nasai)
“Ya Allah, terimalah segala permohonan kami, ampunilah dosa-dosa kami, dan maafkanlah segala kekurangan kami, dan hanya kepada Engkaulah, kami memohon, berserah diri dan kembali”.
Amin ya mujibassailin.

Bahagia Saat Menunaikan Puasa 6 Hari di Bulan Syawal

Dari Abu Ayyub al-Anshari ra, Nabi saw bersabda,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْر
“Barangsiapa berpuasa penuh di bulan Ramadhan lalu menyambungnya dengan (puasa) enam hari di bulan Syawal, maka (pahalanya) seperti ia berpuasa selama satu tahun.” (Muslim).
Dalam hadits lain juga disebutkan dari imam Ahmad dan an-Nasa’I berkata: Nabi saw bersabda:
“Puasa Ramadhan ganjarannya sebanding dengan (puasa) sepuluh bulan, sedangkan puasa enam hari (di bulan Syawal, pahalanya) sebanding dengan (puasa) dua bulan, maka bagaikan berpuasa selama setahun penuh.” (Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dalam “Shahih” mereka)
Alangkah senang dan bahaginya kita, setelah mampu menunaikan ibadah puasa selama sebulan penuh di bulan Ramadhan dan diberikan kesempatan untuk menunaikan puasa 6 hari pada bulan Syawal, sehingga Allah menghitungnya seakan puasa dalam satu tahun penuh.
Kenapa demikian:
1. Puasa syawal akan menggenapkan ganjaran berpuasa setahun penuh.
Nabi saw bersabda,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.”
Para ulama mengatakan bahwa berpuasa seperti setahun penuh asalnya karena setiap kebaikan semisal dengan sepuluh kebaikan yang semisal. Bulan Ramadhan (puasa sebulan penuh, -pen) sama dengan (berpuasa) selama sepuluh bulan (30 x 10 = 300 hari = 10 bulan) dan puasa enam hari di bulan Syawal sama dengan (berpuasa) selama dua bulan (6 x 10 = 60 hari = 2 bulan).[2] Jadi seolah-olah jika seseorang melaksanakan puasa Syawal dan sebelumnya berpuasa sebulan penuh di bulan Ramadhan, maka dia seperti melaksanakan puasa setahun penuh. Hal ini dikuatkan oleh sabda Rasulullah saw:
مَنْ صَامَ سِتَّةَ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ كَانَ تَمَامَ السَّنَةِ (مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا
“Barangsiapa berpuasa enam hari setelah Idul Fitri, maka dia seperti berpuasa setahun penuh. [Barangsiapa berbuat satu kebaikan, maka baginya sepuluh kebaikan semisal]
Satu kebaikan dibalas dengan sepuluh kebaikan semisal dan inilah balasan kebaikan yang paling minimal.[5] Inilah nikmat yang luar biasa yang Allah berikan pada umat Islam.
2. Puasa syawal seperti halnya shalat sunnah rawatib yang dapat menutup kekurangan dan menyempurnakan ibadah wajib.
Yang dimaksudkan di sini bahwa puasa syawal akan menyempurnakan kekurangan-kekurangan yang ada pada puasa wajib di bulan Ramadhan sebagaimana shalat sunnah rawatib yang menyempurnakan ibadah wajib. Amalan sunnah seperti puasa Syawal nantinya akan menyempurnakan puasa Ramadhan yang seringkali ada kekurangan di sana-sini. Inilah yang dialami setiap orang dalam puasa Ramadhan, pasti ada kekurangan yang mesti disempurnakan dengan amalan sunnah.
3. Melakukan puasa syawal merupakan tanda diterimanya amalan puasa Ramadhan.
Jika Allah SWT menerima amalan seorang hamba, maka Dia akan menunjuki pada amalan sholih selanjutnya. Jika Allah menerima amalan puasa Ramadhan, maka Dia akan tunjuki untuk melakukan amalan sholih lainnya, di antaranya puasa enam hari di bulan Syawal.
Hal ini diambil dari perkataan sebagian salaf:
مِنْ ثَوَابِ الحَسَنَةِ الحَسَنَةُ بَعْدَهَا، وَمِنْ جَزَاءِ السَّيِّئَةِ السَّيِّئَةُ بَعْدَهَا
“Di antara balasan kebaikan adalah kebaikan selanjutnya dan di antara balasan kejelekan adalah kejelekan selanjutnya.
Ibnu Rajab menjelaskan hal di atas dengan perkataan salaf lainnya, “Balasan dari amalan kebaikan adalah amalan kebaikan selanjutnya. Barangsiapa melaksanakan kebaikan lalu dia melanjutkan dengan kebaikan lainnya, maka itu adalah tanda diterimanya amalan yang pertama. Begitu pula barangsiapa yang melaksanakan kebaikan lalu malah dilanjutkan dengan amalan kejelekan, maka ini adalah tanda tertolaknya atau tidak diterimanya amalan kebaikan yang telah dilakukan.”
4. Melaksanakan puasa syawal adalah sebagai bentuk syukur pada Allah.
Yaitu nikmat ampunan dosa yang begitu banyak di bulan Ramadhan. Bukankah kita telah ketahui bahwa melalui amalan puasa dan shalat malam selama sebulan penuh adalah sebab datangnya ampunan Allah, begitu pula dengan amalan menghidupkan malam lailatul qadr di akhir-akhir bulan Ramadhan?!
Ibnu Rajab mengatakan, “Tidak ada nikmat yang lebih besar dari pengampunan dosa yang Allah anugerahkan.”
Sampai-sampai Nabi saw pun yang telah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan akan datang banyak melakukan shalat malam. Ini semua beliau lakukan dalam rangka bersyukur atas nikmat pengampunan dosa yang Allah berikan. Ketika Nabi saw ditanya oleh istri tercinta beliau yaitu ‘Aisyah ra mengenai shalat malam yang banyak beliau lakukan, beliau pun mengatakan,
أَفَلاَ أُحِبُّ أَنْ أَكُونَ عَبْدًا شَكُورًا
“Tidakkah aku senang menjadi hamba yang bersyukur?”
Begitu pula di antara bentuk syukur karena banyaknya ampunan di bulan Ramadhan, di penghujung Ramadhan (di hari Idul fitri), kita dianjurkan untuk banyak berdzikir dengan mengangungkan Allah melalu bacaan takbir “Allahu Akbar”. Ini juga di antara bentuk syukur sebagaimana Allah SWT:
وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu bertakwa pada Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (Al Baqarah: 185)
Begitu pula para salaf seringkali melakukan puasa di siang hari setelah di waktu malam mereka diberi taufik oleh Allah untuk melaksanakan shalat tahajud.
Ingatlah bahwa rasa syukur haruslah diwujudkan setiap saat dan bukan hanya sekali saja ketika mendapatkan nikmat. Namun setelah mendapatkan satu nikmat, kita butuh pada bentuk syukur yang selanjutnya. Ada ba’it sya’ir yang cukup bagus: “Jika syukurku pada nikmat Allah adalah suatu nikmat, maka untuk nikmat tersebut diharuskan untuk bersyukur dengan nikmat yang semisalnya”.
Ibnu Rajab Al Hambali menjelaskan, “Setiap nikmat Allah berupa nikmat agama maupun nikmat dunia pada seorang hamba, semua itu patutlah disyukuri. Kemudian taufik untuk bersyukur tersebut juga adalah suatu nikmat yang juga patut disyukuri dengan bentuk syukur yang kedua. Kemudian taufik dari bentuk syukur yang kedua adalah suatu nikmat yang juga patut disyukuri dengan syukur lainnya. Jadi, rasa syukur akan ada terus sehingga seorang hamba merasa tidak mampu untuk mensyukuri setiap nikmat. Ingatlah, syukur yang sebenarnya adalah apabila seseorang mengetahui bahwa dirinya tidak mampu untuk bersyukur (secara sempurna).”
5. Melaksanakan puasa syawal menandakan bahwa ibadahnya kontinu dan bukan musiman saja.
Amalan yang seseorang lakukan di bulan Ramadhan tidaklah berhenti setelah Ramadhan itu berakhir. Amalan tersebut seharusnya berlangsung terus selama seorang hamba masih menarik nafas kehidupan.
Sebagian manusia begitu bergembira dengan berakhirnya bulan Ramadhan karena mereka merasa berat ketika berpuasa dan merasa bosan ketika menjalaninya. Siapa yang memiliki perasaan semacam ini, maka dia terlihat tidak akan bersegera melaksanakan puasa lagi setelah Ramadhan karena kepenatan yang ia alami. Jadi, apabila seseorang segera melaksanakan puasa setelah hari ‘ied, maka itu merupakan tanda bahwa ia begitu semangat untuk melaksanakan puasa, tidak merasa berat dan tidak ada rasa benci.
Ada sebagian orang yang hanya rajin ibadah dan shalat malam di bulan Ramadhan saja, lantas dikatakan kepada mereka,
بئس القوم لا يعرفون لله حقا إلا في شهر رمضان إن الصالح الذي يتعبد و يجتهد السنة كلها
“Sejelek-jelek orang adalah yang hanya rajin ibadah di bulan Ramadhan saja. Sesungguhnya orang yang sholih adalah orang yang rajin ibadah dan rajin shalat malam sepanjang tahun.”
Ibadah bukan hanya di bulan Ramadhan, Rajab atau Sya’ban saja.
Asy Syibliy pernah ditanya, “Bulan manakah yang lebih utama, Rajab ataukah Sya’ban?” Beliau pun menjawab, “Jadilah Rabbaniyyin dan janganlah menjadi Sya’baniyyin.” Maksudnya adalah jadilah hamba Rabbaniy yang rajin ibadah di setiap bulan sepanjang tahun dan bukan hanya di bulan Sya’ban saja. Kami kami juga dapat mengatakan, “Jadilah Rabbaniyyin dan janganlah menjadi Romadhoniyyin.” Maksudnya, beribadahlah secara kontinu (ajeg) sepanjang tahun dan jangan hanya di bulan Ramadhan saja. Semoga Allah memberi taufik.
‘Alqomah pernah bertanya pada Ummul Mukminin ‘Aisyah mengenai amalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,“Apakah beliau mengkhususkan hari-hari tertentu untuk beramal?” ‘Aisyah menjawab,
لاَ. كَانَ عَمَلُهُ دِيمَةً
“Beliau tidak mengkhususkan waktu tertentu untuk beramal. Amalan beliau adalah amalan yang kontinyu (ajeg).”
Amalan seorang mukmin barulah berakhir ketika ajal menjemput. Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Sesungguhnya Allah SWT tidaklah menjadikan ajal (waktu akhir) untuk amalan seorang mukmin selain kematian.” Lalu Al Hasan membaca firman Allah,
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
“Dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu al yaqin (yakni ajal).” (Al Hijr: 99).
Ibnu ‘Abbas, Mujahid dan mayoritas ulama mengatakan bahwa “al yaqin” adalah kematian. Dinamakan demikian karena kematian itu sesuatu yang diyakini pasti terjadi. Az Zujaaj mengatakan bahwa makna ayat ini adalah sembahlah Allah selamanya. Ahli tafsir lainnya mengatakan, makna ayat tersebut adalah perintah untuk beribadah kepada Allah selamanya, sepanjang hidup.
Perhatikanlah perkataan Ibnu Rajab berikut, “Barangsiapa melakukan dan menyelesaikan suatu ketaaatan, maka di antara tanda diterimanya amalan tersebut adalah dimudahkan untuk melakukan amalan ketaatan lainnya. Dan di antara tanda tertolaknya suatu amalan adalah melakukan kemaksiatan setelah melakukan amalan ketaatan. Jika seseorang melakukan ketaatan setelah sebelumnya melakukan kejelekan, maka kebaikan ini akan menghapuskan kejelekan tersebut. Yang sangat bagus adalah mengikutkan ketaatan setelah melakukan ketaatan sebelumnya. Sedangkan yang paling jelek adalah melakukan kejelekan setelah sebelumnya melakukan amalan ketaatan. Ingatlah bahwa satu dosa yang dilakukan setelah bertaubat lebih jelek dari 70 dosa yang dilakukan sebelum bertaubat. … Mintalah pada Allah agar diteguhkan dalam ketaatan hingga kematian menjemput. Dan mintalah perlindungan pada Allah dari hati yang terombang-ambing.”
Cara melaksanakan puasa Syawal adalah:
1. Puasanya dilakukan selama enam hari.
2. Boleh dilaksanakan sehari setelah Idul Fithri, namun tidak mengapa jika diakhirkan asalkan masih di bulan Syawal.
3. Boleh dilakukan secara berurutan namun tidak mengapa jika dilakukan tidak berurutan.
4. Usahakan untuk menunaikan qodho’ puasa terlebih dahulu agar mendapatkan ganjaran puasa setahun penuh. Dan ingatlah puasa Syawal adalah puasa sunnah sedangkan qodho’ Ramadhan adalah wajib. Sudah semestinya ibadah wajib lebih didahulukan daripada yang sunnah.
Semoga Allah senantiasa memberi taufik kepada kita untuk istiqomah dalam ketaatan hingga maut menjemput. Hanya Allah yang memberi taufik. Semoga Allah menerima amalan kita semua di bulan Ramadhan dan memudahkan kita untuk menyempurnakannya dengan melakukan puasa Syawal.

Bahagia Saat Bersilaturahim Pasca Bulan Ramadhan

Kebersihan jiwa yang tercipta oleh ibadah puasa selama sebulan penuh akan lebih sempurna jika diiringi dengan pembersihan diri dari hak-hak orang lain. Dosa kepada Allah telah ditebus dengan ibadah dan tobat selama sebulan penuh, kini saatnya meleburkan dosa-dosa yang mungkin pernah melekat di tubuh teman dan saudara, dan hal tersebut tidak ada cara untuk menghapusnya kecuai dengan saling meminta maaf dan saling mendoakan.
Dalam sebuah hadits riwayat Salman al-Farisi Rasulullah saw bersabda:
إِنَّ الْمُسْلِمَ إِذَا لَقِيَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ فَأَخَذَ بِيَدِهِ تَحَاتَّتْ عَنْهُمَا ذُنُوبُهُمَا، كَمَا تَتَحَاتُ الْوَرَقُ مِنَ الشَّجَرَةِ الْيَابِسَةِ فِي يَوْمِ رِيحٍ عَاصِفٍ، وَإِلا غُفِرَ لَهُمَا، وَلَوْ كَانَتْ ذُنُوبُهُمَا مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ
“Seorang muslim ketika bertemu dengan saudaranya seiman, lalu diambilnya tangan saudara bersalaman, maka dosa-dosa keduanya berjatuhan laksana jatuhnya daun-daun dari pepohonan kering di saat angin berhembus, dosa-dosa keduanya diampuni meskipun sebanyak buih lautan” (Thabrani).
Banyak cara untuk meminta maaf kepada siapa saja yang dikenal, dan pada beberapa hari menjelang dan pasca Idul Fitri banyak orang disibukkan oleh kegiatan mengirim kartu lebaran, membalas sms yang berisi ucapan selamat idul fitri; dari saudara, teman, sahabat, mitra bisnis, bawahan atau bahkan atasan.
Bisa jadi sampai beratus dan bahkan ribuan sms masuk ke hand phone, tergantung pada keluasan jaringan silaturahim yang telah dibangun oleh masing-masing orang. Memang capek, letih kadang sampai bosan membaca dan menjawab ucapan selamat itu, namun semua itu menggambarkan betapa pentingnya kegiatan itu dan bahagianya dapat menjalin silaturahim yang dilakukan oleh saudara, kenalan, teman yang pada hari idul fitri tidak berkesempatan bertemu muka.
Namun sekalipun demikian, jalinan silaturahim melalui saling kunjung berkunjung terhenti atau sudah merasa cukup dengan saling berbalas sms. Namun hendaknya berkunjung dan silaturahim harus tetap dilaksanakan, sesuai dengan karena hal tersebut merupakan bagian yang sangat dianjurkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Ada juga sebagian anggota masyarakat yang melakukan acara kumpul bareng di salah tempat; Masjid, mushalla, hall dan yang lain-lain yang mana acara ini lebih dikenal dengan halal bi halal, boleh jadi maksud ini adalah satu sama lainnya saling menghalalkan (memaafkan) segala kesalahan, sehingga diantara mereka tidak ada lagi dosa.
Dalam hadits disebutkan, nabi saw bersabda:
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ أَوْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Barangsiapa yang bahagia dan senang, dimurahkan rezkinya dan dipanjangkan usianya, maka hendaklah menjalin silaturahim”.
Dalam hadits lainnya juga disebutkan, Nabi bersabda: “Tidak sempurna iman seseorang sehingga ia bersedia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri”. (Bukhari)
Begitupun dalam hadits disebutkan:
ارْحَمُوا أَهْلَ الْأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ
“cintailah mereka yang di bumi, maka engkau akan dicintai oleh Zat yang di langit”.
Dua hadits diatas adalah di antara sekian banyak hadits-hadits lainnya yang menganjurkan dan bahkan mendorong umat manusia untuk menjalin silaturahim ini. Hubungan antara sesama muslim dan mukmin dalam Islam digambarkan sebagaimana satu tubuh, maka jika bagian satu sakit maka yang lain akan merasakannya, begitu pula sebaliknya.
Dan yang lebih penting lagi untuk dipahami adalah bahwa Idul Fitri akan memberikan makna besar manakala dalam bersilaturahim; berkunjung ke saudara, famili, kolega atau kenalan. Bahkan juga tatkala mudik ke kampung halaman lalu melakukan silaturahim; mampu melahirkan kesadaran berta’aruf (saling berkenalan), lalu berlanjut pada tafahum (saling memahami), tadhammun (saling memberikan jaminan untuk membantu), tarohhum (saling mengasihi), takaful (saling bergotong-royong) dan berujung pada ta’awun (saling tolong menolong) di antara kelompok sosial yang berbeda itu; yang berada membantu yang kebetulan belum beruntung dari sisi ekonominya, yang berada dalam kelapangan memberikan solusi kepada saudaranya yang sedang diliputi kesusahan dan kesulitan, yang mengalami kegembiraan karena mendapat bonus atau lain sebagainya maka dapat memberikannya kepada orang yang sedang mengalami kesedihan dan lain-lainnya.
Setidak-tidak setelah idul fitri menyerukan berbagai gerakan untuk mengatasinya, maka itulah sesungguhnya yang dituntut oleh ajaran Islam, agar dijalankan oleh kita semua sebagai orang yang telah mendapatkan gelar mulia, yaitu taqwa. Silaturahim baru bermakna sosial jika, setidak-tidaknya hati kita menjadi merasa tersentuh tatkala menyaksikan sesama saudara kita sebangsa ini, sebatas memenuhi kebutuhan berteduh, berpakaian pantas dan makan bergizi saja setelah merdeka tidak kurang dari 60 tahun, belum terlaksana. Inilah sesungguhnya esensi ajaran kemanusiaan yang seharusnya kita dapatkan melalui ibadah puasa di bulan Ramadhan. Implementasi nilai-nilai sosial dalam Islam seperti itu, bukan berlebihan. Sebab, dalam suatu riwayat kita tatkala memasak yang dimungkinkan aromanya tercium ke rumah tetangga, maka dianjurkan untuk memperbanyak kuahnya, agar bisa dibagikan ke tetangga yang mencium aroma masakan itu.

Bahagia Saat Merayakan Idul Fitri

“Maha Besar Allah, Maha Besar Allah, Maha Besar Allah,  Tiada Tuhan selain Allah, Maha Besar Allah, dan segala puji hanya milik Allah.
Maha Besar Allah dan segala puji yang banyak hanya milik Allah dan maha suci Allah di pagi dan sore hari, tiada tuhan selain Allah, kami tidak menyembah kecuali kepadanya dengan penuh keikhlasan dan ketundukan walaupun orang-orang musyrik membencinya.
Tiada tuhan selain Allah, sungguh benar janjinya, dan telah memenangkan hamba-Nya, memuliakan prajurit-Nya dan menghancurkan musuh-musuh-Nya dengan sekejap
Tiada tuhan selain Allah dan Maha Besar Allah, Maha Besar Allah dan segala puji hanya milik Allah
Itulah penggalan takbir  yang menggema di seantero dunia menandai hari kemenangan, hari berbuka dan hari berakhirnya bulan suci Ramadhan.
Takbir, tahlil dan tahmid berkumandang sejak matahari terbenam hingga terbit kembali pada esok harinya, menandai selesainya hari-hari yang penuh rahmat dan ampunan, melengkapi waktu selama sebulan penuh dengan beribadah dan bertaqarrub kepada Allah; mensyukuri atas segala nikmat yang telah Allah anugerahkan, seperti yang disebutkan dalam firman Allah:
وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Dan hendaknya kalian menyempurnakan bilangan, dan mengagungkan Allah agar hidayah telah dianugerahkan dan agar supaya kalian bersyukur”. (Al-Baqarah:185)
Semua muslim pasti berbahagia menyambut hari idul fitri; baik laki-laki atau wanita, baik yang muda atau yang sudah lanjut usia, baik anak-anak maupun orang tua, semuanya merasakan kebahagiaan menyambut hari idul fitri. Karena pada hari ini merupakan simbol kemenangan umat Islam setelah selama sebulan penuh menunaikan ibadah puasa dan amalan-amalan baik lainnya; kemenangan meraih jiwa yang fitri, kemenangan meraih cinta ilahi, kemenangan meraih pahala surgawi dan kemenangan-kemenangan lainnya.
Kata idul Fitri terdiri dari dua kata, yaitu ied yang artinya hari raya, dari asal kata ‘aada-ya’udu-audatan yang artinya kembali. Sementara kata keduanya adalah fitri yang artinya berbuka, kesucian dan kebersihan jiwa. Ini karena pada hari itu seorang hamba diperbolehkan untuk makan dan haram untuk berpuasa, atau kembali kepada kesucian, dan juga karena umat Islam merayakan kebersihannya dari noda-noda dosa karena beribadah dan bortobat secara intensif selama sebulan penuh. Maka dari itu, ada yang menyebut hari idul fitri sebagai hari kemenangan karena berhasil mengalahkan hawa nafsu selama sebulan penuh.
Keutamaan idul fitri
Banyak keutamaan yang diturunkan Allah SWT pada hari idul fitri. Seperti yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik bahwa Rasulullah saw bersabda:
فإذا كانت ليلة الفطر سميت تلك الليلة الجائزة ، فإذا كان غداة الفطر يبعث الله عز وجل الملائكة فيمضون في الأرض ، فيقومون على أفواه السكك ، فينادون بصوت يسمعه جميع خلق الله تعالى إلا الجن والإنس ، يقولون : يا أمة محمد صلى الله عليه وسلم ، اخرجوا إلى رب كريم يعطي الجزيل ويغفر العظيم فإذا برزوا إلى مصلاهم يقول الله عز وجل للملائكة : يا ملائكتي ، ما جزاء الأجير إذا عمل عمله ؟ قال : تقول الملائكة : إلهنا وسيدنا ، جزاؤه أن يوفى أجره قال جل وعلا : فإني أشهدكم أني قد جعلت ثوابهم من صيامهم شهر رمضان وقيامهم رضاي ومغفرتي ويقول : يا عبادي ، سلوني ، فوعزتي وجلالي لا تسألوني اليوم شيئا في جمعكم لآخرتكم إلا أعطيتكموه ، ولا لدنياكم إلا نظرت لكم ، وعزتي لأسترن عليكم عثرتكم ما راقبتموني ، وعزتي لا أخزيكم ولا أفضحكم بين يدي أصحاب الحدود ، انصرفوا مغفورا لكم ، قد أرضيتموني ورضيت عنكم قال : فتفرح الملائكة وتستبشر بما يعطي الله هذه الأمة إذا أفطروا من شهر رمضان
“Pada malam Idul Fitri Allah membayarkan pahala orang-orang yang berpuasa Ramadhan, lalu Allah memerintahkan kepada malaikat-malaikat-Nya di pagi hari itu agar turun ke bumi, mereka berdiri di ujung-ujung jalan dan pintu-pintu masuk perkampungan seraya menyerukan kepada makhluk di bumi ini dengan suara lantang yang didengarkan oleh semua makhluk bumi kecuali manusia dan jin : wahai umat Muhammad keluarlah kepada Tuhanmu Yang Maha Besar, Menerima hal kecil, Membalas dengan kebesaran, Memaafkan dosa besar. Ketika mereka mulai berduyun-duyun ke masjid-masjid dan mendirikan shalat dan berdoa, maka Allah berkata kepada Malaikat: Wahai malaikat-Ku.. apa ganjaran pekerja setelah menunaikan pekerjaannya? malaikat berkata: Wahai Tuhanku dan pemimpinku, ganjarannya adalah memenuhi upahnya.  Allah berseru kepada malaikat-Nya: “Aku bersaksi wahai malaikat-Ku bahwa Aku telah memberikan pahala puasa hamba-hamba-Ku, pahala shalat-shalat mereka. Aku limpahkan kepada mereka ridha dan ampunan-Ku. Kemudian Allah berfirman “Wahai hamba-hamba-Ku, demi keagungan dan kemuliaan-Ku, apapun yang kalian minta untuk hari akhirmu pasti akan Ku kabulkan, apapun yang kalian minta untuk dunia kalian pasti akan Ku ikutkan, Aku akan tutupi kekuranganmu sejauh engkau mengingat-Ku, keluarlah dengan ampunan dan ridha-Ku, Maka Nabi bersabda: maka para malaikat bergembira dan memberikan kabar gembira apa yang diberikan Allah pada umat ini pada saat selesai dari bulan ramadha”. (Akhbar Mekah oleh Al-Fakihi)
Adab dan etika menjelang idul fitri
Sebelum hadirnya Idul Fitri ada baiknya seseorang memperhatikan  adab-adab dan etika yang diajarkan oleh Islam, sehingga pada saat yang penuh berkah dan bahagia dapat menggapai kesempurnaan rahmat Allah SWT.
Adapun adab dan etika yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Meneliti diri dan keluarga yang ada pada tanggungannya, apakah sudah  menunaikan dan membayar Zakat Fitrah atau belum. Karena hukum mengeluarkan zakat fitrah adalah wajib bagi setiap jiwa yang dimulai sejak awal bulan Ramadhan dan berakhir pada saat sebelum ditunaikannya shalat ied. Seperti yang ditegaskan oleh Ibnu Abbas:
زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنْ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلَاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلَاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنْ الصَّدَقَاتِ
“Zakat fitrah sebagai pembersih bagi orang yang puasa dari laghwu (kata-kata yang tidak bermanfaat dan rafats (ucapan kotor) dan sarana memberi makan untuk orang-orang miskin, Barangsiapa mengeluarkan Zakat Fitrah sebelum shalat Ied maka itu merupakan Zakat Fitrah yang diterima dan barangsiapa mengeluarkannya setelah shalat Ied maka itu seperti sedekah biasa” (Abud Daud).
2. Memperbanyak  takbir pada malam Idul Fitri. Karena disunatkan kepada kita mengucapkan takbir dengan mengangkat suara, yang waktunya dimulai dari terbenam matahari pada malam idul fitri dan berakhir hingga imam mengangkat takbiratul ihram pada shalat ied. Allah berfirman:
وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Dan hendaknya kalian menyempurnakan bilangan, dan mengagungkan Allah agar hidayah telah dianugerahkan dan agar supaya kalian bersyukur”. (Al-Baqarah:185)
“Dan agar kamu membesarkan Allah atas apa-apa yang telah Ia memberi petunjuk kepada kamu, dan agar kamu bersyukur (atas nikmat-nikmat yang telah diberikan”. (Al-Baqarah : 185)
3. Menghidupkan malam Idul Fitri dengan memperbanyak ibadah kepada Allah; baik dzikir, shalat atau membaca al-Qur’an, atau dengan melantunkan kalimat takbir, seperti yang disebutkan pada point kedua diatas. Dalam sebuah hadits riwayat Udah bin Shamit Rasulullah bersabda:
زينوا العيدين بالتهليل والتكبير والتحميد والتقديس
“Hiasilah dua hari ied dengan tahlil, takbir, tahmid dan taqdis”. (Ad-Dailami)
من أحيا ليلة الفطر وليلة الأضحى لم يمت قلبه يوم تموت القلوب
“Barang siapa menghidupkan malam fitri dan malam Adha dengan beribadah kepada Allah, niscaya hatinya tidak akan mati di hari dimana hati-hati manusia telah mati” (Thabrani).
4. Mandi, memakai wangi-wangian, memakai pakaian yang terbaik, memendekkan kuku yang panjang dan menghilangkan bau badan.
5. Bagi makmum disunnahkan agar datang ke masjid atau tempat shalat Ied dengan berjalan kaki dan berangkat pagi-pagi setelah shalat Subuh. Sedangkan bagi imam disunnahkan mengakhirkan kedatangannya ke masjid hingga menjelang shalat.
6. Disunnahkan sarapan pagi dengan bilangan kurma ganjil sebelum berangkat ke masjid untuk shalat Ied.
أَنَّهُ كَانَ يَأْكُلُ يَوْمَ عِيدِ الْفِطْرِ قَبْلَ أَنْ يَغْدُوَ
“Bahwasanya dia (Nabi saw) makan pada hari idul fitri sebelum pergi (menunaikan shalat)” (Muwattha Malik)
7. Menunjukkan rasa gembira dan bahagia kepada semua orang yang ditemui serta bersikap dermawan lebih dari hari-hari biasa.
8. Disunnahkan berangkat dan pulang dari masjid melalui jalan yang berbeda untuk syiar agama.
Menunaikan shalat Idul Fitri
- Menunaikan Shalat Idul Fitri hukumnya sunnah mu’akkadah menurut Syafi’iyah dan Malikiyah. Sedangkan menurut Hambali hukumnya Fardlu Kifayah dan menurut Hanafiyah hukumnya Wajib.
- Waktu Shalat Ied adalah setelah matahari terbit setinggi tombak hingga waktu tengah hari.
Sedangkan tempat dilaksanakan shalat Ied menurut mayoritas ulama adalah di lapangan luar kota kecuali kota Mekah dimana shalat Ied lebih utama dilaksanakan di Masjidil Haram. Mayoritas ulama juga berpendapat bahwa shalat Ied di masjid dengan tanpa sebab seperti hujan, hukumnya makruh. (Sesuai hadits Abu Dawud dll.). Hanya ulama Syafi’iyah yang mengatakan bahwa shalat Ied di masjid lebih utama dalam segala kondisi, dengan alasan dan dalil bahwa masjid merupakan tempat yang lebih mulia dari tempat apapun, terkecuali bila masjid sempit sehingga tidak menampung semua jamaah, maka disunnahkan di lapangan.
Pada hari Idul Fitri ini merupakan saat yang berharga untuk mempererat tali silaturahim yang sudah terjalin dan menyambung tali silaturahim yang terputus. Saling mengunjungi saudara dan sahabat merupakan cara untuk meningkatkan tali silaturahim tersebut.
Adapun ucapan yang sering digunakan pada saat merayakan idul firit adalah
- Minal Aidin Wal Faizin. (semoga termasuk orang yang kembali –kepada fitrah- dan orang yang mendapat keberuntungan). Mohon maaf lahir batin.
- Taqabbalallahu minna waminkum, taqabbal ya karim (semoga Allah menerima segala ibadah kita dan kalian semua, terimalah yang Allah, yang Maha Pemurah). Kullu Amin wa antum bi khairin (semoga sepanjang tahun kalian kebaikan).
- Selamat hari idul fitri mohon maaf lahir dan batin.
Berbahagialah, bagi siapa yang berhasil melewati hari-hari penuh berkah hingga dapat meraih idul fitri, berbahagialah, bagi siapa yang kembali kepada fitrah setelah menggapai ampunan dan rahmat serta ridha Allah SWT.
Semoga Amal Ibadah kita selama bulan Ramadhan diterima oleh Allah Yang Maha Agung, dan membersihkan jiwa kita yang kotor.