Kamis, 16 September 2010

Lomba

Dalam sebuah lomba gerak jalan lintas desa, hampir semua murid sekolah dasar yang ikut menampakkan wajah ceria. Pasalnya, lomba yang diselenggarakan oleh guru mereka tidak cuma menjanjikan hadiah istimewa, tapi juga bonus.
Hadiah istimewanya berupa uang yang cukup buat beli seragam dan buku. Selain itu, murid-murid yang berhasil di garis finis akan dapat makanan dan minuman gratis di warung makan yang menjadi titik tujuan lomba.
Sebelum peserta diberangkatkan, sang guru mengingatkan peserta untuk tidak berlaku curang. “Ini hanya lomba anak-anakku, kelak kamu akan merasakan manfaatnya!” ucap sang guru penuh perhatian.
Menariknya, sebelum lomba yang bisa memakan waktu tiga jam itu, sang guru membagi-bagikan uang dua ribu rupiah kepada setiap peserta. “Uang ini bonus untuk kalian semua! Tapi, jangan digunakan untuk makan dan minum, karena kalian akan dapat makanan dan minuman yang lezat di tempat tujuan!” jelas sang guru mengingatkan peserta.
Semua peserta pun menjadi lebih bersemangat. Ada hadiah utama, makanan dan minuman lezat di tempat tujuan, dan dapat uang saku yang lumayan. Mulailah peserta lomba yang tidak diawasi ini diberangkatkan.
Ternyata, gerak jalan yang berlangsung di tengah terik matahari ini, tidak semudah yang mereka bayangkan. Anak-anak pun memperlihatkan watak asli mereka. Ada yang jajan minuman di sebuah warung desa, ada yang mencari jalan pintas di luar rute yang ditetapkan, ada juga yang menumpang ojek motor.
Setibanya di garis finis, anak-anak pun dipersilakan menikmati makanan dan minuman istimewa secara gratis di sebuah warung desa. Setelah itu, pemenang pun diumumkan.
Menariknya, pengumuman itu mengatakan hal yang agak aneh. ”Anak-anakku,” ucap sang guru. ”Silakan di antara kalian yang pantas menjadi pemenang untuk maju kedepan!”
Mendengar itu, beberapa anak pun berebut untuk maju. Kepada yang maju ini, sang guru mengatakan, ”Bapak tidak bisa menyaksikan apa benar kalian berlomba dengan jujur. Bapak tidak mampu memastikan apa kalian benar-benar tidak curang. Bapak juga tidak tahu apa kalian benar-benar tidak jajan! Tapi, ada Allah yang selalu bersama kalian!”
Setelah ucapan sang guru, suasana pun menjadi hening. Mereka yang mengaku pemenang karena tiba lebih awal di garis finis ini pun saling berpandangan satu sama lain. ”Siapa yang berani jujur, akan Bapak kasih hadiah khusus!” ucap sang guru penuh perhatian.
Saat itulah, satu per satu anak-anak yang mengaku pemenang mundur. Hingga, tak seorang pun yang ada di depan. Mereka tampak menahan malu.
”Anak-anakku, kalian semua adalah pemenang karena telah berani jujur walaupun ada hadiah yang menggiurkan,” jelas sang guru sambil menatap anak-anak dengan senyum.
++
Hidup ini tak ubahnya seperti lomba maraton tentang kejujuran. Siapkanlah hati dan jiwa kita seperti anak-anak yang masih polos, yang berani menahan malu demi kejujuran. Dan, berani tidak memperoleh ’hadiah’ duniawi karena yakin Allah Maha Mengawasi kita. (muhammadnuh@eramuslim.com)

Pahala

Seorang balita tampak memperhatikan ibunya yang masih sibuk di dapur. Tangannya begitu cekatan mempermainkan alat-alat dapur untuk disusun rapi. Sesekali, sang ibu kembali sibuk mengaduk-aduk masakan yang berada tak jauh dari tempatnya berdiri.
Sang balita tak tahu persis, sejak kapan bunda tercintanya itu terbangun dari tidur. Yang ia tahu, ketika terbangun, ibunya sudah mondar-mandir di dapur. Padahal, baru tiga jam yang lalu, ia masih ingat betul bagaimana ibunya telah direpotkan dengan ompol dan buang air besar sang adik di TKP, alias tempat tidur.
“Mbok Iyem masih di kampung, ya, Ma?” ucap sang balita ke ibunya.
Sang ibu hanya menoleh dengan senyum, kemudian mengangguk pelan. “Kamu kangen, ya?” ucap sang ibu agak membungkuk.
“Aku cuma heran, Ma. Kok, kerja Mama sama Mbok Iyem beda sih?” tanya sang balita serius.
“Iya beda, sayang. Mbok Iyem kerja di sini karena ada gaji dan kewajiban mengurus rumah kita,” ucap sang ibu singkat.
“Kalau Mama, karena apa?” tanya sang balita lagi.
”Cinta!” jawab sang ibu sambil mengecup pipi balitanya.
**
Dalam tafsiran yang lebih khusus, tidak sedikit dari kita yang ’berkerja’ dalam ibadah kepada Yang Maha Pencipta, Pemberi rezeki, dan Penguasa alam raya; hanya sebatas pada kewajiban seorang hamba kepada Khaliqnya. Di situlah ada harapan mendapatkan balasan berupa gaji yang bernama pahala.
Walaupun masih tergolong wajar, tapi itu akan menggiring sang hamba pada hitung-hitungan antara kewajiban dan pahala. Seolah, kepuasan dari menunaikan kewajiban adalah berlimpahnya pahala. Persis seperti seorang pembantu yang rajin dan malasnya sangat bergantung pada gaji dari majikan.
Tidakkah sang hamba menekuri lebih dalam bahwa nilai surga yang dijanjikan tidak akan sebanding dengan seberapa pun banyaknya pahala seseorang. Yang Maha Sayang semata-mata memasukkan hambaNya ke surga karena limpahan cintaNya kepada hamba-hambaNya yang juga beramal karena cinta. Persis seperti seorang ibu yang melakoni lautan kewajiban dengan samudera cinta. (muhammadnuh@eramuslim.com)

Rabu, 15 September 2010

Makna Ujian : oleh AA Gym

Bulan suci Ramadlan bulan istimewa. Hari-hari di dalamnya hari-hari istimewa. Saat-saat di dalamnya, saat isitimewa. Bulan dibukakannya segala pengampunan, pintu surga, dan ijabahnya do’a-do’a. Bulan ditebarkannya harapan bagi mereka yang berharap kepada-Nya. Bulan diangkatnya segala kesulitan hidup bagi yang meminta bantuan-Nya. Kalau kita dililit utang piutang, maka Allah adalah Dzat Mahakaya yang menjanjikan terkabulnya doa: Dia dengan mudah akan melunasinya. Di bulan inilah pula sebagai wahana memohon pertolongan Allah atas segala kebutuhan hidup kita.
Ujian hidup tidak bisa kita elakkan dari kehidupan ini; ujian senantiasa menyertai. Dari sejak kecil, kita dibesarkan oleh ujian. Baik itu ujian sekolah, organisasi, dan sebagainya. Sesugguhnya itu ujian yang kecil. Di samping itu, ada ujian hidup yang sesungguhnya dapat mematangkan diri kita.
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga padahal belum datang kepadamu seperti yang dialami orang-orang sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan serta digoncangkan sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: ‘Bilakah pertolongan Allah?’ Ingatlah sesungguh pertolongan Allah itu sangat dekat.” (QS. Al-Baqarah:214)
Jika Allah SWT menyentuhkan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak kurnia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. QS. Yunus (10) : 107
Allah SWT dalam menyebut istilah ujian dalam ayat itu menggunakan kata ‘menyentuhkan’. Musibah kepada kita itu hanya sentuhan bukan pukulan. Adapun ternyata kita merasa sakit, sebabnya kita tidak mau menerima musibah ini. Padahal, jelas-jelas musibah ini sarat dengan berbagai pahala dan hikmah, misalnya bisa menggugurkan dosa, mengangkat derajat keimanan di hadapan Allah SWT. Sehingga, jika saja kita mengetahui dan meyakini tatkala diuji dengan penghinaan sebagai penggugur dosa, maka kita tidak akan merasa demikian perih ketika menerimanya.
Dan juga jangan pernah merasa kita sendirian kapan pun dalam melalui berbagai ujian Allah SWT.
“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS. Qoof: 16).
Karena Allah-lah yang mengurus kita setiap saat. Yang menyayangi diri kita sendiri, bahkan lebih daripada kita sendiri. Andai kita mengetahui betapa Allah yang menyayangi hamba-Nya, pasti kita tidak akan mengkhianatinya, karena saking malunya. Andai saja kita tahu kekuasaan Allah SWT yang mutlak sempurna, pasti tidak akan ada lagi harapan atau bergantung dan bersandar kepada selain Allah. Andai saja kita tahu perlindungan Allah Maha Sempurna Maha Kokoh, tentunya kita tidak akan minta tolong pada siapa pun, karena meminta kepada seseorang bisa menyebabkan hina harga diri kita. Meminta kepada Allah, akan meningkatkan harga diri kita, dan tidak akan pernah sedikit pun dikecewakannya.

Allah pun demikian menyangi orang beriman, sebagaimana tersurat dalam sirah nabawiyah: Ketika itu, dalam suatu peperangan, pasukan muslimin mendapat banyak tawanan perang. Di antaranya terlihat seorang perempuan yang menggendong bayi dengan menunjukkan kasih sayangnya melalui pelukan, belaian, disusuinya dan sebagainya. Lalu Rasul saw bertanya kepada para sahabatnya, “Bagaimana kiranya menurutmu, ibu tersebut, akan tegakah melemparkan anaknya ke dalam api yang menyala?” “Demi Allah tidak mungkin,” kata para sahabat. “Ketahuilah, Allah mencintai orang yang beriman lebih daripada ibu tersebut mencintai anaknya. Allah tidak mungkin melemparkan yang beriman ke neraka.”
Jadi, sesungguhnya yang mengantarkan kita ke neraka itu kelakuan kita sendiri. Kita diuji dengan sakit, difitnah, dijauhi, kehilangan sesuatu, supaya kita bersih dari dosa-dosa; dosa kita bisa terkikis habis; supaya hati tidak bersandar dan tidak merasa nyaman dengan selain Allah; supaya tatkala pulang ke akhirat kita bisa berjumpa dengan Allah dalam keadaan diridhainya.
Mudah-mudahan Allah SWT menyingkapkan hijab di hati kita, sehingga iman tidak hanya di mulut, melainkan menghujam hingga ke dalam pori-pori hati kita. Setiap saat kita sibuk dengan Allah Yang Maha Gagah. Allah SWT tidak akan pernah mengecewakan hamba-Nya yang hatinya selalu ingat pada-Nya.
"Dan pastilah Allah akan menolong siapa saja yang mau menolong (Dien)-Nya" (QS Al-Hajj : 40)
Tidak ada yang menginginkan kita ke surga kecuali Allah SWT Sang Pencipta. Maka jangan pernah bersuudzon (berburuk sangka) kepada Allah SWT tatkala diuji dari berbagai masalah. Itu semua menunjukkan bahwa kita diuji dan terbukti kita layak masuk surga.

Mewaspadai Riya

Abdulah Gimnastiar ( AA Gym) Sumber : Eramuslim ;Ramadan ini adalah latihan kita tidak hanya menahan lapar dan haus, itu merupakan standar keumuman yang lainnya. Apakah Allah SWT hanya mengawasi yang masuk ke mulut? Tentunya lintasan hati pun akan diawasi pula. Di bulan mulia ini, saat yang tepat kita lebih sungguh-sungguh mengawasi gerak-gerik hati kita, termasuk mewaspadai penyakit riya atau pamer.
Penyakit riya/pamer itu seperti semut hitam yang berjalan di atas batu hitam di dalam gelapnya hutan di kegelapan malam. Apabila tidak berhati-hati, kita akan melakukan perbuatan riya. Riya termasuk perbuatan syirik Ashghor (syirik kecil). Adakah orang yang ingin meminum susu murni, tapi dicampur dengan darah? pasti tidak ada yang mau. Seperti itulah penyakit hati bernama riya, hal yang dapat mencemari kemurnian.
Allah yang menciptakan dan mengurus kita, kita tinggal di bumi milik Allah, segala sesuatu yang kita butuhkan ada dalam genggaman Allah. Segala yang kita cemaskan, semuanya ada dalam genggaman kekuasaan Allah.
Mau apa mencari muka, pengakuan, penghargaan, di hadapan manusia, sedangkan manusia itu sendiri menumpang di bumi Allah, tidak memiliki apa-apa, dan apa yang diinginkannya pun tetap dari Allah. Jadi sejenis pengkhianatan, jika kita berharap pada selain Allah, padahal Allah yang memiliki, mencukupi, menjamin, segala hal dalam hidup kita. Tetapi kenapa hati kita berpaling dan berharap kepada makhluknya yang tidak bisa berbuat apa-apa?
Ada orang yang berbuat baik, namun berbeda dalam rasa dan hasilnya. Secara sederhana dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu: Ada orang berbuat baik karena ingin kelihatan baik; dan ada pula orang yang berbuat baik, karena memang harus baik karena Allah menyukai orang yang baik. Hal tersebut menjadi berbeda, kalau bagi orang yang pertama, yang bekerja adalah pikirannya. Ia terus berpikir mencari cara, bersiasat, supaya orang mengakuinya baik. Selama bebuat baik itu, bukan hati yang menjadi dasarnya, melainkan otak. Semuanya penuh rekayasa, padahal Allah tahu persis apa yang ada dalam hatinya, tidak bisa dibohongi. Orang yang riya ini selalu ada niat lain dalam setiap kebaikannya.
Sedangkan orang kedua berbeda. Jika bertemu dengan orang kedua ini, nyaman rasanya. Orang kedua ini dalam berbuat baik, yang sibuk itu bukanlah pikirannya, melainkan hatinya. Tidak ada di dalam pikirannya ingin dibalas. Nah, orang seperti inilah orang baik asli. Keikhlasannya melakukan kebaikan membuatnya nyaman dan orang lain pun dibuat nyaman bersamanya. Karena Allah lah yang membuatnya nyaman. Boleh jadi itu adalah hadiah dari Allah karena berusaha ikhlas. Sedangkan yang rekayasa Allah membuatnya tidak nyaman.Karena hati hanya penuh dengan kepalsuan rekayasa belaka.
Ada yang belajar ingin dekat dengan Allah, ia ingin mengetahui apa yang disukai oleh Allah. Walaupun nampak seperti kebenaran tapi jika itu palsu, hanya omongan belaka, Allah pasti tahu persis niatnya. Jadi tidak bisa bohong. Allah tidak membutuhkan banyak omongan yang palsu. Asli dari hati. Tidak perlu menceritakan kepada orang lain bahwa kita ingin dekat Allah. (Lihat QS Al Arof 29)
Dari segi mana pun keikhlasan itu menjadi kehidupan kita yang prioritas. Mau apa hati kita sibuk bergantung kepada selain Allah?
Ketika ditanya oleh sahabatnya, Rasul SAW berkata, “Iman itu ikhlas. Orang yang beriman itu adalah orang yang ikhlas. Makin kurang iman maka makin kurang ikhlas. Makin kurang ikhlas makin kurang iman. Walaupun sehebat apa pun mengatakan saya beriman, tapi bila ia amalnya tidak ikhlas, berarti ia punya tuhan-tuhan lain, sehingga amal-amalnya ditujukan kepada selain Allah.
Dalam berbicara, janganlah berlebihan. Tidak usah merekayasa nada yang tidak proporsional. Tidak perlu dengan gaya yang teatrikal. Kata kuncinya adalah proporsional. Semuanya alamiah. Tidak usah menjadi seorang pembicara yang ingin dikagumi. Cukup saja diterima oleh Allah. Allah SWT yang menguasai hati manusia. Bila ada yang mengagumi dan memuji itu ujian rejeki dari Allah. Haruslah tahu diri.
Orang yang riya dan ujub akan terasa oleh hati. Bagaikan teko, teko pasti selalu mengeluarkan isi yang ada di dalamnya. Berhati-hatilah dengan riya dan ujub, banyaklah bertaubat, banyak bertafakur. Periksa terus hati kita, jangan sampai ternodai oleh dosa riya ini. Karena setiap hari kita akan bisa terkontaminasi dengan riaya.
Rasulullah saw bersabda, Allah berfirman: Aku sekutu yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa yang melaukan suatu amal, dan di dalamnya dia menyekutukan-Ku dengan selain-Ku, niscaya aku dan sekutunya akan Aku tinggalkan

Untuk Misi Inilah Kita Ditarbiyah Selama Ramadhan

Diambil dari : Khutbah Idul Fitri  4/9/2010 | 25 Ramadhan 1431 H Mochamad Bugi
dakwatuna.com – Alhamdulillah, hari ini kita kembali merayakan Idul Fitri. Sebagaimana tahun-tahun yang lalu, hari ini adalah hari yang menandakan berakhirnya bulan Ramadhan, berakhirnya hari-hari penuh berkah, berakhirnya tarbiyah Rabbaniyah kepada kita. Sebulan lamanya kita melakukan tarbiyah Ramadhan dengan  menunaikan puasa, shalat, qiyam, tilawah,  dzikir, doa, mengeluarkan zakat, infak dan shadaqah. Kita sangat berharap pada hari ini kita bisa menjadi orang yang bertaqwa, orang yang dijanjikan oleh Allah mendapat kemenangan.  Menang atas binalnya hawa nafsu kita, menang atas lemahnya godaan setan, menang atas semua kegelisahan yang mempermainkan perasaan kita, dan menang atas ketidakberdayaan dan kemalasan yang senantiasa ada dalam diri kita.
Sudah selayaknya pada hari ini kita semua bergembira. Berbahagia. Gembira karena telah berhasil menunaikan semua kewajiban ibadah Ramadhan. Bahagia karena kita menjadi manusia baru, kembali kepada fitrah. Insya Allah, kita semua bersih kembali seperti bayi yang baru lahir.
Islam selalu memandang bahwa manusia adalah makhluk suci. Dilahirkan dalam keadaan suci dan bisa kembali lagi pada kesuciannya. Karena itu, Islam selalu memandang positif dan  optimistik kepada manusia.
Bahkan Allah swt. menyatakan sendiri dalam Al-Quran bahwa manusia adalah makhluk yang paling baik dan paling sempurna.
 “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia itu dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” [Q.S. At-Tin (95): 4]
Allah swt. juga menyebut bahwa manusia adalah makhluk yang diberi kemuliaan.
 “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah kami ciptakan.” [Q.S. Al-Isra’ (17): 70]
Salah satu contoh aplikasi pandangan positif dan optimistik Islam tentang manusia adalah penyebutan hati (qalbu) dengan istilah nurani (nuuraaniyyun) yang berasal dari kata ‘nuur’ yang artinya cahaya. Jadi, nurani berarti memiliki sifat cahaya. Dengan begitu ketika kita menyebut ‘hati nurani’ sesungguhnya terkandung maksud bahwa hati kita itu memiliki kemampuan untuk ‘mencahayai’ atau ‘menerangi’ jalan hidup kita. Karena itulah Rasulullah saw. ketika ditanya seseorang tentang cara membedakan mana perbuatan yang baik dan mana perbuatan buruk, beliau menjawab, “Sal dhamiraka, tanyalah kepada hatimu!”
Atas jawaban Rasulullah tersebut, kaum sufi sering menyebut hati sebagai “ad-diin” (agama). Maksudnya, agama yang ditanam di dalam diri manusia (ad-diin al-majbuulah) dan sangat klop dengan agama yang diturunkan dari langit (al-diin al-munazzalah), yaitu Al-Islam.
Namun, Islam juga memberi catatan tentang kelemahan manusia. “… dan manusia dijadikan bersifat lemah.” [Q.S. An-Nisa’ (4): 28].
Kelemahan manusia di sini adalah kelemahan jiwa. Manusia mudah tergoda untuk berbuat dosa dan mengotori kesucian jiwanya. Kelemahan inilah yang membuat manusia keluar dari kesejatiannya sebagai makhluk yang suci dan mulia.
Dalam kondisi jiwa yang kotor penuh dosa, derajat manusia lebih rendah dari binatang. Karena “… mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi….” [Q.S. Al-A’raf (7): 179].
Terhadap orang-orang yang “terpeleset” dari kesejatiannya, ternyata Allah swt. selalu memberi kesempatan dan memberi banyak sekali fasilitas untuk membersihkan diri dari segala kotoran yang melekati jiwa mereka. Mulai dari istighfar –ucapan “astaghfirullah al-azhim, aku mohon ampun kepada Allah Yang Mahatinggi– yang bisa digunakan kapan pun dan bersifat manasuka; fasilitas lima kesempatan dalam sehari melalui shalat wajib; hingga fasilitas pekanan dengan shalat Jum’at. Bagi yang menunaikan shalat Jum’at sesuai tuntunan Rasulullah saw., Allah swt. memberi ampunan dosa dari shalat Jum’at ke shalat Jum’at berikutnya.
Dan yang paling spektakuler adalah fasilitas tahunan: Ramadhan! Kata Rasulullah saw., “Man shaama ramadhaana iimaanan wahtisaaban ghufira lahu maa taqaddama min dzambiihi wa maa ta-akhkhara, siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan iman dan perhitungan, diampuni segala dosanya di masa lalu dan di masa yang akan datang.” (H.R. Ahmad).
Begitulah Ramadhan yang baru kemarin kita tinggalkan. Sesuai dengan arti namanya “pembakar”, Ramadhan membakar semua dosa-dosa seorang muslim sehingga ia kembali ke jati dirinya sebagai insan yang suci seperti ketika dilahirkan (fitrah).
Semua fasilitas ampunan yang Allah swt. berikan itu bukan hanya untuk orang yang punya dosa kecil saja. Allah berikan juga kepada para pembangkang sekelas Firaun. Lihat dalam Al-Qur’an surat Thaha ayat 42-43. Allah berfirman kepada Nabi Musa dan Nabi Harus,  “Pergilah kamu berdua kepada Firaun karena dia benar-benar telah melampaui batas; maka bicaralah kamu berdua kepadanya (Firaun) dengan kata-kata yang lembah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut.”
Bahkan Rasulullah saw. menggambarkan begitu luasnya terbentang pintu tobat. “Allah mengembangkan tangan-Nya pada waktu malam untuk memberi tobat kepada orang yang melakukan keburukan di waktu siang, dan mengembangkan tangan-Nya di waktu siang untuk memberi tobat kepada orang yang melakukan dosa di waktu malam. Hal itu terus berlangsung hingga matahari terbit dari barat (kiamat).” (H.R. Bukhari)
Bahkan, “Allah lebih senang mendapati hamba-Nya yang bertobat melebihi dari kegembiraan seseorang dari kalian yang kembali menemukan hewan kendaraannya yang penuh bekal makanan setelah ia kehilangannya di padang pasir.” Begitu sabda Nabi saw. (H.R. Bukhari).
Jadi, sebagai muslim, begitu jugalah kita seharusnya memandang kepada manusia, termasuk diri kita sendiri. Selalu berpandangan positif. Selagi belum bergelar “almarhum”, kita adalah makhluk suci, dilahirkan dalam keadaan suci, dan bisa kembali lagi pada kesuciannya.
Karena itu, mari kita ucapkan selamat kepada orang-orang yang kita temui pada hari ini dengan kalimat:
Semoga Allah menerima Amal ibadah kita semua, semoga kita kembali menjadi fitrah  dan meraih kesuksesan. Dan semoga setiap tahun kita selalu dalam kebaikan.
Ada satu hal yang harus kita ingat, bahwa Ramadhan sebagai bulan tarbiyah bukanlah program yang berdiri sendiri. Setelah lulus Madrasah Ramadhan, di depan kita, di bulan ini, telah terbentang program Allah yang lain, berupa tajdid al-fitrah, dan setelah itu ada program pembekalan ruhul badzl wa tadh-hiyah di bulan Dzulhijah nanti. Tiga rangkaian program ini memang Allah sediakan bagi kita kaum muslimin agar bisa menjadi pribadi yang total dalam beribadah dengan mengerahkan seluruh potensi yang ada.
Allah swt. menginginkan setiap diri kita memiliki syakhshiyah (karakter) seperti yang tersurat dalam ayat 207 Al-Baqarah dan ayat 111 At-Taubah.
Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya. (QS. Al-Baqarah: 207)
Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan Al-Quran. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual-beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar. (QS. At-Taubah: 111)
Karena itu, pada hari ini kita bukan bergembira karena memakai baju baru, tapi kita bersuka cita karena berhasil kembali kepada fitrah kita. Sebab, hanya dengan fitrah yang utuhlah, kita akan sanggup menjalani kehidupan ini secara benar sesuai dengan syariat Islam yang Allah turunkan sebagai way of life. Jika fitrah kita tidak utuh, maka daya serap dan aplikasi keislaman kita akan tidak sempurna.
Begitu pula nanti saat Idul Adha tiba. Ketika kebanyakan orang bergembira lantaran mendapat daging yang bisa disate dan digulai, kita justru bergembira dengan ikrar kesiapan untuk berkorban secara total dalam beribadah kepada Allah swt. dan menegakkan hukum-hukum Allah swt. dalam kehidupan kita di dunia ini.
Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. (Al-An’am: 162)
Semoga kebersihan fitrah yang kita dapat pada hari ini bisa kita jaga, dan bisa menyiapkan diri kita untuk menerima program Allah selanjutnya, hingga kita menjadi hamba-hambanya yang mukhlisin dan total dalam beribadah kepada-Nya. Amin.
Pada hari ini juga ada satu pertanyaan yang harus kita jawab: Untuk apa Allah swt. mentarbiyah kita selama bulan Ramadhan? Tentu kita tahu jawabannya: agar kita bertaqwa. Lantas, apa gunanya menjadi orang bertaqwa? Untuk memimpin manusia! Lihat surat Ali Imran ayat 110.
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.
Itulah fungsi kita, kaum muslimin. Umat terbaik yang ditugaskan Allah swt. untuk membimbing manusia agar mau tunduk kepada Allah swt. Umat yang ditugaskan Allah swt. untuk memimpin peradaban. Umat yang diutus untuk memakmurkan dunia.
Saudara-saudara sekalian, jika kampung kita masih belum nyaman untuk kita tinggali, kota yang kita cintai tidak memberi ketenangan hati untuk kita hidup di dalamnya, bahkan dunia yang saat ini kita ada di dalamnya masih dipenuhi dengan permasalahan kemanusiaan yang akut, itu semua adalah karena kampung kita, kota kita, dan dunia ini belum dipimpin oleh orang yang bertaqwa.
Peradaban yang sedang berlangsung saat ini bukanlah peradaban yang mengajak orang untuk tunduk dan patuh kepada Allah swt. Sebab, peradaban saat ini dibangun atas dasar paham materialisme, serba kebendaan. Penguasaan sumber daya (resources) menjadi tujuan. Setiap orang berlomba-lomba untuk bisa menjadi terkaya. Akibatnya, hubungan manusia satu sama lain bagaikan serigala yang saling mengintai. Kalau ada dua orang berdagang, maka salah satu mesti menangis karena diperlakukan curang, atau mendapat perlakuan paksa. Orang-orang yang termarginal mencoba meraih kekayaan dengan cara brutal: merampok; sementara orang-orang yang terpandang menggunakan cara korupsi dan manipulasi.
Masih perlukah kita paparkan secara panjang lebar bukti-bukti kerusakan yang dilakukan oleh tangan-tangan manusia? Televisi dan koran setiap hari memberitakan hal itu kepada kita. Keserakahan manusia telah membuat lubang ozon di langit kita. Es di Kutub Utara dan Kutub Selatan telah mencair. Udara menjadi begitu pengap untuk dihirup karena polusi yang akut. Hutan-hutan tidak lagi menjadi kantong-kantong cadangan air. Banjir bandang dan longsor sudah menjadi fenomena mondial. Belum lama ini kita saksikan banjir bandang menyapu areal yang begitu luas di Pakistan. Dua puluh juta orang harus kehilangan tempat tinggal dan menjadi papa dalam sekejap.
Kita juga masih menyaksikan darah berceceran sia-sia. Perang masih terjadi di mana-mana. Entah peradaban apa namanya yang sedang kita jalani. Yang pasti sesama anak Adam masih saling membunuh tanpa alasan yang benar. Fenomena ini masih kita lihat di Irak, Afghanistan, Kashmir, Palestina, dan belahan dunia lainnya.
 “Telah nampak kerusakan di darat dan di lautan disebabkan karena perbuatan tangan (maksiat)  manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS Ar Ruum:41).
Begitulah jika dunia ini tidak dipimpin oleh orang-orang yang saleh. Tidak ada keberkahan terpancar dari langit dan dari dalam bumi. Padahal, Allah swt. telah menyampaikan perihal ini di dalam Al-Quran dan kita pun telah membacanya.
Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (Al-A’raf: 96)
Sampai kapan segala kerusakan ini terus terjadi? Belumkah waktunya bagi orang-orang yang bertaqwa untuk tergerak hatinya mengambil alih tanggung jawab memimpin dunia? Saudara-saudara, kaum muslimin, untuk tugas itulah Allah swt. mentarbiyah kita dari Ramadhan ke Ramadhan. Kita dipersiapkan Allah swt. untuk mengaplikasikan Risalah-Nya, Al-Islam, agar rahmat bagi seluruh alam semesta menjadi nyata, ada di muka bumi ini. Bumi yang kita pijak saat ini sangat merindukan hadirnya orang-orang yang bertaqwa untuk memperbaiki apa-apa yang telah dirusak manusia.
Saudara-saudaraku seiman, mari kita lakukan gerakan perbaikan dan penyelamatan. Kita bisa memulainya dari lingkungan terkecil kita: Keluarga. Bimbing keluarga kita untuk menjadi keluarga yang Islami. Seluruh anggota keluarga kita punya tujuan yang sama: tidak ingin tersentuh api neraka. Kita wujudkan keluarga kita menjadi keluarga yang sakinah mawahdah wa rahmah.
Itulah wujud aplikasi dari doa-doa yang kita panjatkan kepada Allah swt.
“Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka”
 “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa.
Ternyata tidak cukup hanya menyelamatkan keluarga kita dari api neraka. Dalam doa kita juga minta dijadikan pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa. Saudara-saudaraku yang dirahmati Allah, itulah misi kita selanjutnya: kita wajib mengambil peran aktif di masyarakat. Bimbing masyarakat kita menuju masyarakat yang mengaplikasikan nilai-nilai Islam dalam kehidupannya.
Sungguh, kita satu sama lain saling berhajat untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan bagus untuk membesarkan anak-anak kita. Jika Anda Ketua RT, Anda punya kewajiban mengarahkan warga Anda untuk lebih bertaqwa kepada Allah. Jika Anda Ketua RW, inilah saatnya Anda memberi warna positif bagi semua warga Anda. Sungguh besar pahala yang Allah swt. janjikan bagi pemimpin-pemimpin masyarakat yang bisa memberi dampak positif bagi keimanan warganya. Sabda Rasulullah saw., “Man dalla ‘ala khairin kafa’ilihi, siapa yang menunjuki kebaikan, maka mendapat pahala sebagaimana orang yang melakukannya.” Jadi, jika Anda tokoh masyarakat atau pemangku struktur dan pengelola infrastruktur masyarakat, gunakan pengaruh dan kekuasaan Anda untuk melakukan perbaikan dan menciptakan lingkungan yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur Islam.
Namun, perjuangan kita tidak berhenti hanya sampai di situ. Nilai-nilai luhur Islam dan perilaku takwa haruslah menjadi shibghah (pewarna) negara dan para penyelenggara lembaga-lembaga kenegaraan. Kita kaum muslimin Indonesia yang ingin hidup dalam jalan takwa dan mati dalam ketakwaan, sangat berhajat dipimpin oleh orang-orang yang bertaqwa, yang bisa membimbing dan menjaga iklim ketakwaan di negeri ini. Kita butuh dipimpin Presiden yang hanya takut kepada Allah swt., kita butuh wakil-wakil rakyat yang yakin betul bahwa amanah rakyat yang diembannya akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah kelak di yaumil hisab, kita butuh hakim-hakim yang bukan hanya punya hati nurani, tetapi juga takut pada api neraka yang bahan bakarnya batu, jin, dan manusia.
Ya, kita sangat berhajat negeri ini bisa mendapat keberkahan dari langit dan dari bumi. Negara yang baldatun thayyibatun wa rabbul ghafur.  Negeri yang aman, tenteram, dan mendapat ampunan dari Allah swt. Karena itu, sudah menjadi tanggung jawab kita untuk hanya memilih dan mengangkat orang-orang yang bertaqwa dan memiliki kemampuan untuk menjadi pengelola negeri ini. Dan, menjadi kewajiban kita untuk terus mengawal kesalehan mereka dengan menasihati jika berbuat salah. Begitulah agama ini mengajarkan kepada kita. Al-Islamu diinun-nashihah. Islam itu agama nasihat. Buat siapa? Buat Allah, dalam bentuk kita taat kepadanya; buat Rasulullah, dalam bentuk kita mencontoh dirinya; buat sesama kaum muslimin, dalam bentuk dakwah.
Kita di dunia ini tidak tinggal sendiri. Bumi ibarat sebuah kapal yang sedang berlayar di samudra luas. Dan, Indonesia hanyalah salah satu kabin di dalam kapal besar itu. Saudara-saudaraku seiman, bagaimana jika di kabin lain kita saksikan ada orang-orang yang sedang membuat api unggun yang bisa mengakibatkan kapal besar itu terbakar, apakah kita diamkan? Jika di kabin di dek paling bawah ada orang yang sedang melubangi kapal, apakah kita biarkan? Tentu saja tidak!
Itulah yang sedang terjadi di Afghanistan, terjadi juga di Irak dan Palestina. Ada sebagian anak Adam membantai anak Adam yang lain. Haruskan kita berpangku tangan? Ketidakadilan, kejahatan kemanusiaan, dan perbuatan-perbuatan yang membuat bumi ini rusak, tidak bisa kita biarkan. Itulah tugas kita selanjutnya. Dan, memang itu tugas umat Islam seharusnya. Kuntum khairu ummah ukhrijat linnaas, kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk memimpin manusia. Jadi, itulah tugas kita: menjadi guru bagi manusia. Melanjutkan tugas kenabian Rasulullah saw. hingga kiamat datang. Menegakkan nilai-nilai Islam, sehingga tidak ada lagi orang di dunia ini yang tidak merasakan nikmatnya hidup di bawah naungan Islam.
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah
Mungkin bagi sebagian orang, apa yang kita cita-citakan itu sebuah utopia. Tapi, Rasulullah saw. sudah membuktikan. Beliau dari hanya seorang diri yang beriman kepada Allah swt. ketika Islam diturunkan Allah swt., kini telah 1,5 miliar orang penduduk dunia beriman kepada Allah swt. Islam bermula dari Mekah dan berkembang pesat di Madinah, kini hampir di setiap pelosok dunia, di setiap negara telah ada orang Islam. Rasulullah saw. telah menjanjikan kepada kita bahwa sebelum kiamat datang, Islam akan berjaya lagi dan pengaruhnya melingkupi seluruh dunia. Insya Allah. Semoga Allah swt. menggerakkan hati-hati kita untuk mau mengambil peran dalam proyek peradaban ini: proyek menegakkan nilai-nilai Islam sehingga bisa menjadi rahmat bagi alam semesta. Amin.
Akhirnya marilah kita berdoa, menundukkan kepala, memohon kepada Allah Yang Maha Rahman dan Maha Rahim untuk kebaikan kita dan umat Islam dimana saja berada:
Ya Allah, sesungguhnya kami memuji-Mu, meminta tolong kepada-Mu, dan memohon petunjuk dari-Mu, kami berlindung dan bertawakal kepada-Mu, kami memuji-Mu dengan segala kebaikan, kami bersyukur atas semua nikmat-Mu, kami tidak mengingkari-Mu, kami berlepas diri dari siapa pun yang durhaka kepada-Mu. Ya Allah, hanya kepada-Mu kami menyembah, hanya untuk-Mu shalat dan sujud kami, dan hanya kepada-Mu kami berusaha dan bergegas, kami sangat mengharapkan rahmat-Mu dan takut akan siksa-Mu, sesungguhnya azab-Mu benar-benar ditimpakan kepada orang-orang kafir.
Ya Allah, segala puji hanya bagi-Mu atas nikmat Islam, nikmat Iman, nikmat Al-Qur’an, nikmat bulan Ramadhan, nikmat keluarga, harta dan kesehatan. Segala puji bagi-Mu atas semua nikmat yang telah Engkau anugerahkan kepada kami.
Maha Suci Engkau, kami tidak akan sanggup menghitung dan membatasi pujian bagi-Mu. Keagungan-Mu hanya dapat diungkapkan dengan pujian-Mu kepada diri-Mu sendiri, segala puji hanya bagi-Mu (dari kami) sampai Engkau ridha (kepada kami) dan segala puji bagi-Mu setelah keridhaan-Mu.
Ya Allah, sampaikanlah shalawat, salam, dan keberkahan kepada hamba, nabi dan rasul-Mu Muhammad saw beserta seluruh keluarga dan sahabatnya.
Ya Allah, ampunilah kami dan ampuni pula kedua orang tua kami dan sayangilah mereka seperti kasih sayang mereka saat mendidik kami di waktu kecil.
Ya Tuhan kami, kami telah menzhalimi diri sendiri, jika Engkau tidak mengampuni dan merahmati kami pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.
Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan dosa saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dalam keimanan, dan janganlah Engkau jadikan di hati kami kedengkian terhadap orang-orang yang beriman, ya Tuhan kami sesungguhnya Engkau Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Ya Allah, kami memohon kepada-Mu ridha dan surga-Mu serta semua ucapan maupun perbuatan yang dapat mendekatkan kami kepadanya, dan kami berlindung kepada-Mu dari murka dan neraka-Mu serta semua ucapan maupun perbuatan yang dapat mendekatkan kami kepadanya.
Ya Allah, berikan kepada kami dari rasa takut kami kepada-Mu sesuatu yang akan membentengi kami dari maksiat kepada-Mu, anugerahkan kami dari ketaatan kami kepada-Mu sesuatu yang akan mengantarkan kami ke surga-Mu, dan berikan untuk kami dari keyakinan kami kepada-Mu sesuatu yang akan meringankan kami dalam menghadapi musibah dunia. Berikan kenikmatan pada pendengaran, penglihatan dan semua kekuatan dan potensi kami selama Engkau hidupkan kami, jadikan semua itu sebagai peninggalan kami. Jadikan pembalasan kami hanya kepada orang yang telah menzhalimi kami, tolonglah kami atas orang-orang yang memusuhi kami, jangan Engkau jadikan musibah menimpa kami dalam agama dan iman kami, jangan Engkau jadikan dunia ini sebagai puncak cita-cita dan ilmu kami, dan jangan Engkau kuasakan kami kepada orang-orang yang tidak takut kepada-Mu dan tidak menyayangi kami.
Ya Allah, ampunilah dosa-dosa kaum mukminin yang telah wafat dan telah bersaksi atas keesaan-Mu dan kerasulan nabi-Mu (Muhammad saw) dan mereka meninggal dalam keadaan demikian. Ya Allah, ampuni dan rahmatilah mereka, maafkan semua kesalahan mereka, muliakan tempat tinggalnya, luaskan kediamannya, sucikan mereka dengan air, salju, dan embun, bersihkan mereka dari berbagai dosa dan kesalahan sebagaimana pakaian putih dibersihkan dari kotoran. Dan balaslah amal kebaikan mereka dengan kebaikan pula, dan amal buruk mereka dengan maaf dan pengampunan.
Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf dan suka memberi maaf, maka maafkanlah (kesalahan-kesalahan) kami.
Ya Allah, bantulah kami dalam berdzikir dan bersyukur serta beribadah kepada-Mu dengan baik, wahai Yang Maha Hidup lagi Berdiri Sendiri, Pemilik segala keagungan dan kemuliaan.
Ya Allah, kami adalah hamba-hamba-Mu, anak dari hamba-hamba-Mu laki-laki dan perempuan, ubun-ubun kami berada dalam tangan-Mu, telah berlaku atas kami hukum-Mu, adil pasti atas kami keputusan-Mu, kami memohon kepada-Mu dengan menggunakan semua nama yang menjadi milik-Mu dan Engkau namakan diri-Mu dengannya, atau nama yang Engkau turunkan dalam kitab suci-Mu, atau yang Engkau ajarkan kepada salah satu di antara hamba-Mu, atau dengan nama yang Engkau simpan dalam rahasia ghaib di sisi-Mu, jadikanlah Al-Qur’an yang agung ini taman bunga sepanjang musim di hati kami, jadikan ia cahaya di dada-dada kami, pelipur lara dan penghapus gulana, jadikan pula ia pembimbing kami menuju surga-Mu yang penuh kenikmatan.
Ya Allah, bersihkan dan sucikan hati dan jiwa kami dengan Al-Qur’an yang mulia.
Ya Allah, ingatkan kami ayat Al-Qur’an yang terlupa, ajarkan kami darinya apa yang  tidak kami ketahui, berikan rezki kepada kami berupa kenikmatan membacanya malam dan siang, jadikan ia hujjah bagi kami jangan jadikan ia hujjah atas kami.
Ya Allah, jadikanlah kami termasuk ahli Al-Qur’an yang menjadi keluarga-Mu dan hamba-hamba istimewa di sisi-Mu wahai Dzat Yang Maha Penyayang.
Ya Allah, jadikanlah kami termasuk orang-orang yang menegakkan huruf-huruf Al-Qur’an dan hukum-hukumnya, dan jangan Engkau jadikan kami golongan orang yang menegakkan huruf-hurufnya namun mengabaikan hukum-hukumnya, dengan rahmat-Mu wahai Dzat Yang Maha Penyayang.
Ya Allah, berikan kepada jiwa-jiwa kami ketakwaan kepadamu, dan sucikan dia, Engkaulah sebaik-baik Zat Yang Menyucikan jiwa, Engkaulah Pelindung dan Penolongnya.
Ya Allah Yang Maha Hidup lagi Berdiri Sendiri, Pemilik segala keagungan dan kemuliaan, Yang Maha Mengabulkan doa orang yang berada dalam kesulitan, kami memohon kepada-Mu berbagai penyebab turunnya rahmat-Mu, tekad dan kekuatan untuk meniti jalan yang lurus, limpahan segala kebajikan, keselamatan dari segala dosa, kemenangan meraih surga dan keselamatan dari azab neraka.
Ya Allah Yang Maha Hidup lagi Berdiri Sendiri, Pemilik segala keagungan dan kemuliaan, kami memohon kepada-Mu petunjuk, ketakwaan, kesucian diri dan kekayaan.
Ya Allah, kami memohon kepada-Mu segala kebaikan di dunia dan akhirat yang kami ketahui maupun yang tidak kami ketahui, dan kami berlindung kepada-Mu dari semua keburukan di dunia dan akhirat yang kami ketahui maupun yang tidak kami ketahui.
Ya Allah, kami memohon kepadamu segala kebaikan yang telah diminta hamba dan rasul-Mu Muhammad saw dan hamba-hamba-Mu yang shalih, dan kami berlindung kepadamu dari segala keburukan yang mereka telah berlindung darinya kepada-Mu.
Ya Allah, perbaikilah agama kami yang merupakan penjaga urusan kami, perbaikilah dunia kami yang menjadi tempat hidup kami, dan perbaikilah akhirat kami karena dialah tempat kembali kami.  Jadikan kehidupan ini sebagai penambah segala kebaikan bagi kami, dan jadikan kematian sebagai kebebasan kami dari segala keburukan.
Ya Allah, kami berlindung kepada-Mu dari sulitnya bencana, beratnya penderitaan, buruknya takdir, dan tepuk tangan musuh.
Ya Allah, kami berlindung kepada-Mu dari siksa Jahanam, dari siksa kubur, dari fitnah kehidupan dan kematian, serta dari fitnah Dajjal.
Ya Allah, hanya rahmat-Mu yang kami harapkan, maka janganlah Engkau sandarkan kami kepada diri kami sendiri walau sekejap, dan perbaikilah seluruh urusan kami, tiada Tuhan yang benar selain Engkau.
Ya Allah, jadikanlah baik akibat semua urusan kami, dan lindungilah kami dari kehinaan dunia dan siksa akhirat.
Ya Allah, bersihkanlah hati kami dari kemunafikan, amal kami dari riya, lisan kami dari dusta, dan bersihkan mata kami dari khianat, sesungguhnya Engkau mengetahui pengkhianatan mata dan apa yang disembunyikan dalam dada.
Ya Allah, cukupkan diri kami dengan yang halal dari yang haram, dengan ketaatan kepada-Mu dari maksiat kepada-Mu,  dan dengan karunia-Mu dari selain-Mu, wahai Yang Maha Hidup lagi Berdiri Sendiri, Pemilik segala keagungan dan kemuliaan.
Ya Allah, bebaskan diri kami dari api neraka, lapangkan untuk kami rezki yang halal, dan jauhkan kami dari jin dan manusia yang fasik, wahai Yang Maha Hidup lagi Berdiri Sendiri, Pemilik segala keagungan dan kemuliaan.
Ya Allah, rahmatilah keterasingan kami di dunia ini, rahmati kesendirian kami di dalam kubur, dan rahmati pula saat kami berdiri di hadapan-Mu di akhirat nanti.
Ya Allah, jadikanlah amal kami yang terbaik adalah akhirnya, dan umur kami yang terbaik adalah penghujungnya, dan hari terbaik kami adalah hari bertemu Engkau.
Ya Allah, hiburlah kami ketika sendirian dalam kubur, hilangkan ketakutan kami ketika dibangkitkan dari kubur, dan mudahkan semua urusan kami, Ya Tuhan kami, wahai Yang Maha Hidup lagi Berdiri Sendiri, Pemilik segala keagungan dan kemuliaan.
Ya Allah, perbaikilah (akhlaq) para pemimpin kaum muslimin, bimbinglah mereka dalam menegakkan keadilan, menyayangi, dan memperhatikan kepentingan rakyat. Tumbuhkan kecintaan rakyat kepada mereka dan kecintaan mereka kepada rakyat.
Ya Allah, bimbinglah mereka ke jalan-Mu yang lurus, agar bekerja demi agama-Mu yang benar, jadikan mereka teladan yang mendapat petunjuk-Mu, dengan rahmat-Mu wahai Dzat Yang Maha Penyayang.
Ya Allah, bimbinglah mereka agar bekerja sesuai kitab-Mu, sunnah Nabi-Mu, memutuskan dengan syariat-Mu, dan menegakkan hukum-hukum-Mu.
Ya Allah, tuntunlah mereka untuk memberantas kemunkaran dan menampilkan segala bentuk kebaikan.
Ya Allah, jadikanlah mereka para penyeru kebaikan yang melaksanakannya, penghalang kemunkaran yang meninggalkannya.
Ya Allah, perbaikilah keadaan kaum muslimin, murahkanlah harga-harga kebutuhan hidup mereka, dan jadikanlah mereka aman sentosa di tanah air mereka.
Ya Allah, perbaikilah keadaan para pemuda kaum muslimin, jadikan mereka para pencinta keimanan dan jadikan iman itu indah dalam hati mereka, bencikan mereka terhadap kekafiran, kefasikan dan kemaksiatan, dan jadikan mereka orang-orang yang lurus, dengan rahmat-Mu wahai Dzat Yang Maha Penyayang.
Ya Allah, ampunilah kaum muslimin dan muslimat, mukminin dan mukminat, eratkan hati mereka, perbaiki hubungan sesama mereka, menangkan mereka atas musuh-Mu dan musuh mereka, tunjuki mereka jalan-jalan keselamatan, keluarkan mereka dari berbagai kegelapan menuju cahaya iman, berkahilah pendengaran, penglihatan, pasangan, dan keturunan mereka selama Engkau hidupkan mereka, jadikan mereka orang-orang yang mensyukuri semua nikmat-Mu dan memuji-Mu karenanya, dan sempurnakanlah nikmat-nikmat itu untuk mereka, dengan rahmat-Mu wahai Dzat Yang Maha Penyayang.
Ya Allah Yang Maha Hidup lagi Berdiri Sendiri, Pemilik segala keagungan dan kemuliaan, Yang Maha Mengabulkan doa orang yang berada dalam kesulitan, kami memohon kepadamu agar Engkau memuliakan Islam dan kaum muslimin, menghinakan kemusyrikan dan orang-orang musyrik, menghancurkan musuh-musuh agama, dan menjadikan negeri ini dan negeri-negeri kaum muslimin lainnya aman dan tenteram.
Ya Allah, hancurkanlah orang-orang Yahudi, kafir, musyrik, dan atheis yang menghalangi manusia dari jalan-Mu, mengganti agama-Mu, dan memerangi orang-orang yang beriman. Ya Allah, cerai-beraikan kesatuan mereka, porak-porandakan ideologi mereka, dan kepung mereka dengan keburukan.
Ya Allah, turunkan azab-Mu kepada mereka, azab yang tidak akan ditarik dari orang-orang yang banyak berbuat dosa.
Ya Allah, tolonglah dan menangkanlah saudara-saudara kami kaum muslimin para mujahidin di jalan-Mu di mana pun mereka berada. Tolonglah saudara-saudara kami kaum muslimin para mujahidin Palestina, bebaskan Masjid Aqsha dan tanah Palestina dari perampok Yahudi, tolonglah saudara-saudara kami kaum muslimin para pejuang Hamas. Ya Allah, bantulah pula saudara-saudara kami kaum muslimin para mujahidin di Afghanistan, Kasymir, Irak, Chechnya, dan negeri-negeri kaum muslimin yang lain, wahai Penguasa alam semesta.
Ya Allah, berikan kesabaran kepada mereka, teguhkan pendirian mereka, dan tolonglah mereka atas musuh-Mu dan musuh mereka.
Ya Allah, tetapkan kesyahidan bagi yang gugur di antara mereka, dan berikan keselamatan kepada yang masih hidup.
Ya Tuhan kami, jauhkan azab jahannam dari kami, sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal.
Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu, sesungguhnya Engkau lah Maha Pemberi (karunia).
Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah beriman, maka ampunilah dosa kami dan peliharalah kami dari siksa neraka.
Ya Tuhan kami, berikan rahmat kepada kami dari sisi-Mu, dan sempurnakan bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami.
Ya Allah, sesungguhnya kami berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyu’, dari nafsu yang tidak pernah kenyang, dan dari doa yang tidak dikabulkan.
Ya Tuhan kami, kami telah menzhalimi diri sendiri, jika Engkau tidak mengampuni dan merahmati kami pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.
Ya Tuhan kami, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan akhirat, dan peliharalah kami dari api neraka.
Ya Tuhan kami, terimalah dari kami (amal dan doa kami), sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui, dan ampunilah kami, sesungguhnya Engkau Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.
Semoga shalawat senantiasa tercurah kepada pemimpin kami Muhammad saw, keluarga dan sahabatnya semua. Maha suci Tuhanmu Pemilik kemuliaan dari apa yang mereka persekutukan. Semoga salam sejahtera selalu tercurah kepada para rasul dan segala puji hanya bagi Tuhan semesta alam.

Melenyapkan Kesombongan dengan Jalan Kesederhanaan

Kadang tak bisa kita pungkiri sampai saat ini ada sebersit cahaya sombong lagi angkuh dalam diri kita. Suatu saat, kita pernah terjebak merasa menjadi individu paling hebat. Ada kalanya, mulut kita pun tanpa sadar kerap berucap, tahu apa seseorang tentang sesuatu yang kita bicarakan. Tak jarang sesekali kita pun turut jua memakai jalur menghina pengetahuan orang di sekeliling kita, merendahkan derajat status sosialnya, padahal kita tahu orang-orang itu dalam hatinya terluka walau sepetik ucap yang sudah terlontar dari bibir kita. Sadarkah ego kita bahwa mereka sebenarnya adalah saudara, teman, dan orangtua kita sendiri yang disaat bersamaan menahan tangisnya melihat perangai takabur buah hati tercintanya tumbuh menjadi dewasa. Naudzubillah. Semoga kita selalu diampuni oleh Allah dari segala tumpukan dosa.
Betapa Sombong Dapat Menjatuhkan Kita
Jika kita mau menyisakan ruang berfikir bijak sejenak saja, kita akan terhantar pada satu pertanyaan, apakah segala intan permata lengkap dengan kesempunaan fisik dan aqli kita berada pada wilayah penguasaan kita sendiri? Apakah sempat melintas dalam keheningan kalbu kita untuk menjiwai bahwa segala atribut yang kita sombongkan berada pada genggaman mutlak jiwa kita? Jika iya, bukankah kita hidup awalnya dari setetes mani hina yang kemudian diangkat derajatnya oleh Allahu ta’ala. Bukankah sekiranya kita jua lahir dari rahim seorang bunda, tanpa setitik andil cahaya kejumawaan yang kita banga-banggakan saat ini. Jika itu yang sedang kuatnya tertanam dalam kepribadian kita, hati-hati saudaraku, teramat mungkin kita sedang berada pada fase takabur, baik pada diri sendiri, lingkungan, dan bahkan Allahuta’ala. Naudzubillah.
Allah telah menunjukkan betapa segala yang kita miliki bisa luluh lantah diambil oleh Sang Maha Pencipta walau sekuat-kuatnya menahan. Kisah Fir’aun dan jasadnya yang masih tampak hingga detik ini adalah bukti Allah ingin memberi filosofi sederhana namun langka bagi pecintaNya. Betapa glamoritas dunia amatlah sempit dan niscaya tak dapat diperthankan barang secuilpun. Sebab itu, renungilah ketika Allah menjatuhkan sebuah ayat sebagai pengingat agar hambaNya tidak ikut lupa
“Maka pada hari ini, Kami selamatkan badanmu (fir’aun) supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan Kami.”(QS.Yunus:92).
Lalu, Rasulullah SAW pun senantiasa menyertakan sifat takabur umatnya dalam sorotan hadis-hadis menyentuh beliau. Dalam salah satu ucapan Nabiyullah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abdullah bin Mas’ud RA, Beliau menarik bentuk penyakit hati seperti takabur dalam ganjaran yang menjauh dari cicipan surga,
”Tidaklah masuk surga orang yang di dalam hatinya ada penyakit kibr (takabbur) meskipun hanya seberat dzarroh (terdapat seberat atom dari kesombongan).
Bayangkan, demi sebuah untaian hikmah bagi manusia sampai akhir zaman, Allah pun sampai-sampai harus mengawetkan jasad Fir’aun agar kita berfikir bahwa kesombongan diri terhadap Allah memiliki ganjaran yang tidaklah sedikit. Begitu jua dengan Rasulullah yang hingga begitu haru membirunya menyeret pengandaian takabur walau sekecil biji sawi.
Namun sebenarnya apakah arti dari takabur (sombong) tersebut? Dr. Amin An-Najar mengutip perkataan Al-Raghib Al-Isfahani bahwa kata كبر تكبر, danاستكبر adalah tiga kata yang memiliki kesamaan makna. كبر (takabbur) adalah keadaan seseorang yang merasa takjub dengan dirinya sendiri. Ketakjuban tersebut adalah memandang bahwa dirinya lebih besar dan lebih agung dari dirinya sendiri.
Dari pengertian di atas kita dapat disimpulkan bahwa sombong ialah sikap berlebih karena merasa diri kita mempunyai banyak kelebihan dan menganggap orang lain mempunyai banyak kekurangan. Memandang diri dari kaca mata kebesaran dan kemuliaan dunia serta memandang orang lain dari kaca mata kerendahan dan kehinaan.
Semakin kita merasa diri sempurna, semakin kita akan lupa esensi bahwa akhirat adalah tujuan semata dan dunia adalah gelas durhana. Semakin kita menggangap diri adalah Sang Juara, niscaya semakin sulit kita untuk ikhlas saat kekalahan menyapa. Jika hal tersebut langgeng dalam sela batin kita, yang timbul hanyalah rasa capek, letih, cemas, gelisah, karena sejatinya kita ini terpenjara. Terpenjara oleh nafsu fatamorgana. Terpenjara atas pengharapan aliran tepuk tangan manusia. Kalau saudah begitu, kita tak ubahnya akan selalu diperbudak hawa nafsu dunia untuk tampil paripurna dengan apapun caranya. Padahal yang selama ini yang kita pakai adalah topeng, topeng untuk menutup kelemahan kita, bukan diri sejatinya.
Untuk itu, ingatkah saudaraku sebuah kisah percakapan iblis dengan Allahuta’ala yang dikemudian saat bersamaan iblis jatuh hina dengan perkara yang serupa: sombong merasa asal usul kejadiannya dari bahan yang mulia. Allah berfirman: "Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?" Menjawablah iblis "aku lebih baik daripadanya, Engkau ciptakan aku dari api sedang Dia Engkau ciptakan dari tanah"(QS, al-A’raf [7]: 12.).
Melenyapkan Sifat Sombong dengan Kesederhanaan
Pada dasarnya mengentaskan sikap sombong butuh keberanian dalam diri kita. Tidak perlu merasa gengsi, keki, apalagi malu. Ingatlah dampak yang akan kita rasakan saat detik pertama sombong hilang dalam jiwa kita, diganti kehangatan Allah yang memeluk jantung kalbu kita.
Rumus sederhana menjadi kaya adalah dengan melaksanakan lawan katanya, yakni kesederhanaan. Seorang ulama bisa menjadi pribadi yang dihiasi ilmu, karena selalu menganggap ilmu yang dikuasai belumlah seberapa. Seorang pelari dapat mencapai garis finish, sebab ia sadar kakinya belum menyentuh batas akhir. Kholifah Umar Bin Khathtab RA mampu tampil memikat umat di Jabiah saat menemui Abu Ubaidah sebab karena kedatangannya yang justru hanya bermodalkan pribadi sederhana: berbaju kasar, bahkan berjalan dibawah unta yang sedang diduduki pelayannya.
Hal itu sontak membuat para masyarakat Jabiah terkejut sekaligus terpukau. Bagaimana mungkin seorang Kholifah Umat Islam berlevel dunia berjalan kaki sedang pelayannya asyik menunggangi unta. Apakah pelayan itu kurang ajar? Tentu tidak, hal itu dapat terlaksana karena sistem pergantian jam menaiki unta yang dilakukan keduanya saat menuju kota. Padahal kalau kita berfikir nyaman, amat mungkin Kholifah Umar dengan segenap kuasanya merasa diri besar dan menindas pelayan itu untuk selalu mengawasinya mengendarai unta selama waktu perjalanan. Namun Kholifah Umar tahu betul esensi jabatan sejati, yakni dengan merapatkan makna amanah yang kecil di mata Allah didekatkan dengan sikap tawadhu yang mampu menembus ulu tawadhu.
Oleh karena itu, kesederhanaan Kholifah Umar pun selalu dikaitkan dengan itikad takwa penuh rasa syukur. Saat tiba di Jerusalem pasca perjalanan dari Jabiah, beliau dengan pakaian teramat sahaja dihadapan materialisme Bizantium lalu mendirikan shalat pada tempat dimana Nabi Daud dipercaya melaksanakan ibadah tersebut sebelumnya. Hal itu kemudian menusuk hati masyarakat Romawi Bizantium dengan kekaguman luar biasa lantas berucap bahwa “Kami tidak akan menyesali untuk menyerahkan kunci kota Jerusalem kepada kaum yang memang taat pada Tuhannya”. Tahukah engkau saudaraku, karena sikap sahaja itulah rakyat Jerusalem berubah menjadi sangat yakin bahwa Umat Islam-lah yang memang layak menduduki wilayah suci yang terkenal sakral tersebut. Dan kita juga tidak boleh lupa, Kholifah Umar bin Khaththab RA lah yang pernah bertutur dan ucapannya itu akan dikenang selamanya, “Jika ada dua umat Nabi Muhammad, salah satu yang masuk nereka adalah aku” Padahal justru Kholifah Umar-lah yang dijamin masuk surga. Subhanallah.
Cerita lain jua turut dilukis oleh keteladanan Rabbani Baginda Nabi Muhammad SAW. Pada suatu ketika baginda Rasulullah menjadi imam solat. Para sahabat merasa aneh jika melihat pergerakan Rasulullah antara satu rukun ke satu rukun yang lain teramat sukar sekali. Sesekali mereka mendengar suara menggerutup yang tak lazim seolah-olah sendi-sendi pada tubuh baginda yang mulia Rasulullah bergeser antara satu sama lain. Sayidina Umar yang menaruh curiga perihal keadaan baginda tersebut langsung bertanya setelah selesai sholat, “Ya Rasulullah, kami melihat seolah-olah tuan menanggung penderitaan yang amat berat, tuan sakitkah ya Rasulullah?”. Rasulullah lantas menjawab “Tidak, ya Umar. Alhamdulillah, aku sehat dan segar” Umar lantas mengejar, “Ya Rasulullah… mengapa setiap kali tuan menggerakkan tubuh, kami mendengar seolah-olah sendi bergesekan di tubuh tuan? Kami yakin engkau sedang sakit…” desak Umar penuh cemas.
Dan para sahabat amat terkejut tatkla menyaksikan perut Rasulullah yang kempis seraya dililiti sehelai kain yang berisi batu kerikil buat menahan rasa lapar. Ternyata batu-batu kecil itulah yang menimbulkan bunyi-bunyi halus setiap kali bergeraknya tubuh baginda.
Bayangkan seorang Nabi rela menahan lapar dengan lingkaran batu kerikil yang mendekap tubuhnya demi sebuah nilai amanah kepemimpinan yang tak terkira. Kita dapat belajar bahwa beliau bukanlah tipe yang takabur meratapi dirinya adalah seorang pembesar agama Islam. Beliau berkembang menjadi tipikal bagaimana sebuan nafas kesederhanaan mampu menaklukan rimba takabur dalam satu kibasan kesahajaan.
Hingga Umar bin Khattab tidak tega melihat kholifahnya dalam kondisi yang tidak sepatutnya, “Ya Rasulullah! Adakah bila tuan menyatakan lapar dan tidak punya makanan, kami tidak akan mendapatkannya buat tuan?” Lalu baginda menjawab dengan lembut, “Tidak para sahabatku. Aku tahu, apa pun akan engkau korbankan demi Rasulmu. Tetapi apakah akan aku jawab di hadapan Allah nanti, apabila aku sebagai pemimpin, menjadi beban kepada umatnya? Biarlah kelaparan ini sebagai hadiah Allah buatku, agar umatku kelak tidak ada yang kelaparan di dunia ini lebih-lebih lagi tiada yang kelaparan di Akhirat kelak.” Subhanallah
Bagi kita yang selalu merasa jijik dan malu bersanding dengan orang yang berada dua-tiga level dibawah kita, mungkin kisah ini mampu menaklukan ego kotor itu. Dalam catatan lain, kesahajaan Baginda Rasulullah pernah mengemuka pada setting dimana beliau tanpa canggung, gengsi, keki dan malu sedikitpun makan di sebelah seorang tua yang penuh kudis, miskin dan kotor. Tidak ada sumpah serapah menyeringai, beliau malah turut nikmat menyantap rezeki Allah yang turun kepadanya. Lalu beliau pun pernah penuh rasa kehambaan membasuh tempat yang dikencingi orang Badui di dalam masjid sebelum menegur dengan lembut perbuatan itu. Kecintaannya yang tinggi terhadap Allah SWT dan rasa kehambaan dalam diri Rasulullah SAW menolak sama sekali rasa egositis meski status tidak lagi dibawah.
Terapi Kesombongan menurut Al Ghazali
Sebab itu, Ulama besar Abdul Hamid Al-Ghazali akhirnya merumuskan sebuah pendekatan agar sebongkah kesombongan mampu lenyap dalam hati kita. Caranya tidaklah sulit yakni dengan pertama-tama menumbangkan pohon kesombongan dari akarnya yang tertancap di dalam hati, yakni dengan jalan mengenal diri sendiri dan Allah sebagai Sang Pencipta. Jika kita sudah mengenal diri dan Allah, kita akan menyadari betapa manusia itu tidak selayaknya memiliki sifat sombong. Kita ditakdirkan menghamba dan lebih tinggi dari makhluk lainnya, jadi tidak perlu memaksakan diri untuk memulia-muliakan pribadi dan memaksa tampil untuk terlihat jumawa di hadapan khalayak.
Lalu langkah kedua adalah dengan mencegah supaya kesombongan yang sudah terkikis tidak kembali menghantui jiwa kita. Dengan secara praktis kita juga dapat menerapkan disiplin kepatuhan dan tunduk secara nyata kepada Allah SWT. Oleh, karena itu, Al Ghazali merumuskan beberapa hal yang bisa kita tempu, sebagaimana sebagai berikut:
  • Jika kita sombong karena keturunan hendaknya mengobati diri dengan senantiasa mengenali kembali keturunan sejati kita, yaitu debu dan air mani.
  • Andai bangkai sombong karena kecantikan menerpa, hendaklah kita lebih banyak melihat kepada apa yang terkandung dalam batin kita bukan pada lahirnya saja.
  • Apabila kita digerogoti rasa sombong karena kekuatan, dapat diobati dengan pengetahuan bahwa penyakit akan membuat kita sekejap terkulai lemah.
  • Lalu jika kita selalu terkait akan kesombongan karena harta dan kekayaan dapat diobati dengan menumbuhkan kesadaran bahwa harta kekayaan, pendukung dan pengikut itu suatu saat akan meninggalkan. Itu pasti bukan? Dan kita tidak membawa apa-apa.
  • Lantas, pada suatu kita sombong akan ilmu yang kita miliki, dapat diobati dengan cara pertama-tama menumbuhkan kesadaran pada pribadi kita bahwa Allah SWT memaklumi orang yang bodoh dan sama sekali justru tidak memaklumi orang yang mempunyai pengetahuan. Kedua dengan menyadari segenap diri bahwa kesombongan itu hanya pantas dimiliki oleh Allah SWT saja. Dan Allah saja yang Maha Pencipta tidak sombong, Ia selalu meluakan lapangan ilmu bagi setiap hambanya yang mau mengejar.
  • Terakhir apabila kita sombong karena titel ketekunan ibadah kita, dapat diobati dengan cara mengharuskan diri kita supaya dapat bersikap rendah hati pada semua orang. Bukankah iman dan amal selalau berkaitan dengan amal? Sudah seharusnya karena begitulah Rasulullah menampakkan keteladanannya.
Semoga dengan ini kita selalu dijauhkan dari prasangka sombong yang hanya akan menyebabkan bertambahnya deretan penyakit hati yang sudah menumpuk dalam jiwa kita. Lagipula, buat apa kita sombong, toh kita masih menumpang di bumi Allah dan jika tidak hati-hati, kesombongan jualah yang memakan kita di akhirat nanti. Semoga kita diselamatkan dari ganasnya siksa Allah kelak.
"Kecuali orang yang bertobat dan beramal saleh, maka mereka akan Allah gantikan keburukannya dengan kebaikan. Adalah Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang (QA, al-Furqân: 70)
Muhammad Pizaro Novelan Tauhidi, Konselor Muslim

Sombong karena Ilmu: Juhala’ Mengaku Fuqaha’

Di dalam kitab-kitab salaf, terutama dalam studi hadits dan akhlaq, bab yang pertama kali diulas adalah bab ilmu. Ini mengindikasikan urgensi (fadhilah) ilmu dalam Islam. Islam dan segala aspeknya dibangun atas dasar ilmu. Oleh sebab itu, para penganutnya didorong untuk selalu belajar dan mengambil pelajaran. Allah sendiri menegaskan: “Katakanlah: Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (QS. Az-Zumar: 9)
Membangun pribadi dalam Islam adalah membangun semangat keilmuan. Namun seorang penuntut ilmu wajib mempelajari adab dan akhlak telebih dahulu. Tujuannya agar jiwanya ditanamkan etika kepantasan dan batinnya terjaga dari penyakit hati. Bila penuntut ilmu langsung terjun menggeluti halal-haram misalnya tanpa mendalami akhlak, perangainya cenderung keras tak beretika. Itulah sebabnya kenapa para salaf menganjurkan belajar adab dan akhlak sebelum menuntut ilmu tertentu. Begitulah seharusnya. Isilah hati dengan adab, baru mengisi otak dengan ilmu.
Orang yang berilmu rentan dihinggapi penyakit sombong apalagi dengki. Dia sombong memandang rendah kemampuan orang lain. Yang bertitel Doktor meremehkan lulusan S2 dan S1. Pejabat Rektor menganggap para dekan dan dosen berkualitas di bawahnya. Bila sudah sombong sudah pasti dengki. Setiap orang pintar dianggap saingan. Bila salah satu rekan mengeluarkan buku baru, dia kaget bagai tersengat listrik. Tak lama kemudian bukunya pun terbit. Alasannya supaya dianggap tidak kalah produktif menulis.
Kini prilaku sombong tidak saja menjangkiti para dosen atau guru besar, tetapi juga para mahasiswa. Termasuk sebagian mahasiswa studi Islam. Akibat salah ajaran dan salah baca, mereka jadi sok pinter. Mereka yang ilmunya masih sedikit sudah besar kepala. Membaca Arab gundul saja belum becus sudah merasa master dalam bahasa Arab. Hobbi mereka berdebat tanpa ilmu. Semua hal diperdebatkan dan dikritisi. Masih juhala’ mengaku sudah fuqaha’. Masih payah berlagak ’allamah. Sungguh sayang bila ilmu tidak diimbangi dengan pembersihan jiwa. Ilmu malah jadi benalu, alat kesombongan. Jangan heran, bila mahasiswa sekarang dengan fasih mengeritik Imam Syafi’i atau Imam Al-Ghazali. Tepat sekali apa yang disampaikan Oleh Syaikh Zainuddin Abdul Madjid dalam wasiatnya,
Aduh sayang,
Pemuda sekarang berlenggak lenggok
Berasa diri gagah dan elok
Ulama Aulia diolok-olok
”Belum bertaji sudah berkokok”
Para mahasiswa itu tidak takut mengucap kata-kata kasar terhadap para ulama salaf. Para sahabat pun tidak jarang dilecehkan kehormatannya. Contoh kasus, mereka mengekor para Orientalis yang meragukan orisionalitas Al-Qur’an dan Al-Hadits. Oleh karena itu mereka sangat mendukung ide ”Dekonstruksi Al-Qur’an” atau ide pembacaan dan penafsiran ulang kitab-kitab klasik. Mereka membeo para orientalis yang menentang segala hal yang absolut. Betapa sangat lucu, mereka mengapresiai kaum Kuffar dengan menghina ulama-ulama Islam. Padahal kaum orientalis itu berusaha keras untuk meruntuhkan keyakinan kaum Muslim, bahwa al-Quran adalah Kalamullah, bahwa al-Quran adalah satu-satunya Kitab Suci yang suci, yang bebas dari kesalahan.
Aduh sayang,
Baru saja mendapat ijazah
Menyangka diri sudah ’allamah
Tidak menghirau guru dan ayah
”Mencabik mudah menjahit susah”
DR. Adian Husaini, MA merasa miris melihat fenomena ini. ”Semestinya, sebagai orang yang mengaku Muslim, tentu ayat-ayat al-Quran itu menjadi pegangan hidup dan pedoman berpikirnya. Sebab, al-Quran adalah landasan utama keimanan seorang Muslim. Jika tidak mau mengakui kebenaran al-Quran, untuk apa mengaku Muslim! Konsistensi berpikir semacam ini sangat penting, sehingga tidak memunculkan kerancuan dan ketidakjujuran dalam beragama. Bagi kaum Kristen yang percaya Injil, tentu akan menolak al-Quran. Itu sudah normal dan wajar. Aneh, kalau seorang tetap mengaku Kristen, tetapi pada saat yang sama juga mengaku percaya kepada kenabian Muhammad saw dan kebenaran al-Quran.” rilisnya dalam sebuah artikel beliau di Hidayatullah.com
Ilmu itu menurut Wahb bin Munabbih bagai air hujan. Ia turun dari langit manis dan suci. Lalu ia dihisap oleh akar-akar banyak pohon hingga berubah sesuai dengan rasa buahnya. Bila pahit, maka akan bertambah pahit. Bila manis, akan semakin manis. Demikian juga ilmu, tergantung motivasi dan perangai orang yang menuntutnya. Orang yang sombong bertambah sombong. Yang tawadhu’ semakin tawadhu’. Ini karena orang yang dulunya bodoh lalu termotivasi oleh kesombongan, ketika memperoleh ilmu, dan ternyata dapat diandalkan sebagai prestisenya, semakin sombonglah ia. Adapun yang berhati-hati dengan ilmunya, ketika ilmunya bertambah dan ia sadar hajatnya pada ilmu telah terpenuhi, ia makin berhati-hati. Mau’izhatul Mukminin 175
Ilmu yang hakiki adalah ilmu yang sejauh mana ia diraih, semakin mendekatkan kepada Allah, bukan malah menjauh. Semakin dalam diteliti, makin dalam pula cintanya pada-Nya. Semakin berhasil mengidentifikasi hal-hal yang baru, semakin besar kekaguman pada-Nya. Goresan tangannya mengajak mengenal Allah. Uraian kata-katanya menggambarkan ketawadhuan.
Ilmu yang hakiki merupakan kendaraan pribadi menuju taqwa. Ia seolah payung pelindung dari derasnya godaan dunia yang fana. Ia melahirkan keberanian terhadap kebatilan penguasa namun melahirkan ketakutan kepada Sang penguasa sejati. ” Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama” (QS. Fatir: 28)
Habib Ziadi, Mahasiswa Ma'had Aly An-Nu'aimy Jakarta

Manusia Rabbani Pasca Ramadhan

Malam-malam kita tak lagi seperti dulu, yang syahdu di bawah lantunan kalam ilahi dari para imam-imam tarawih. Penghujung malam kita pun tak seperti dulu lagi, yang larut dalam tahajud panjang, lalu merengguh keberkahan sahur, sembari zikir dan istighfar di sela-sela sisa waktunya.
Saat Shubuh tiba, shof-shof di masjid terlihat lebih padat dibandingkan waktu shubuh di luar Ramadan. Selepas sholat, sebagian makmum lebih memilih duduk berzikir menanti syuruq, mereka berlomba-lomba meraup pahala haji dan umrah, yang disempurnakan dengan mengerjakan sholat sunah dua rakaat.
Sholat kita pun tak seperti dulu, yang lebih semangat memburu lima waktu jama’ah di masjid. Mengejar untuk mengkhatamkan Al Quran berulang kali, berlama-lama di masjid untuk satu, dua atau bahkan tiga juz Al Quran setiap hari.
Sore kita, tak lagi disibukkan dengan zikir petang dan doa. Dulu kita larut dalam detik mustajab di menjelang masuknya waktu Maghrib. Menikmati dua ganjaran kebahagiaan; bahagia karena berbuka, dan bahagia karena puasa kita menjadi wasilah bermuwajahah dengan Allah Swt. Tapi itu dulu, lantas bagaimana dengan hari ini, pasca Ramadan?
Bukankah Rabb yang menjanjikan ganjaran berlipat selama Ramadan, Ia juga Tuhan yang sama ketika di luar Ramadan?
Ada kata-kata menarik yang menyadarkan kita akan hal ini, "Kun rabbâniyyan, wa lâ takun ramadhâniyyan" Jangan menjadi manusia Ramadan, yang kuat ibadahnya karena berada di bulan Ramadan saja, karena setelah bulan itu berlalu, ia tak akan mengalami perubahan hidup untuk menjadi lebih bertakwa. Namun jadilah manusia pasca Ramadan yang memiliki nilai kepribadian diri, penghambaan kepada Allah yang tak kenal henti, menjadi manusia bertakwa tanpa batas, sesuai target yang diharapkan dari penggemblengan yang dilakukan selama sebulan. Dengan syaratnya, ia harus menjadi hamba Allah yang bobot ibadahnya terus meningkat, sekali pun ia telah berada di luar bulan Ramadan.
Para sahabat menyiapkan diri mereka selama enam bulan untuk menyambut kehadiran tamu agung bernama Ramadan. Pastinya mereka mati-matian untuk beribadah full time selama sebulan penuh itu. Layaknya bertemu dengan seorang yang dirindu, kita ingin berlama-lama bersama dengannya, menjamu, memberinya pelayanan sebaik mungkin. Dan tentunya kita akan merasakan kesedihan yang teramat dalam ketika harus berpisah dengannya.
Hal yang sama dirasakan oleh sahabat nabi di penghujung Ramadan, mereka tak gembira dengan baju baru, kue-kue dan makanan ala lebaran seperti umumnya kita. Tapi mereka justru bersedih, karena tamu agung itu sudah harus pergi meninggalkan mereka.
Mâ ba’da Ramadhân, inilah masa-masa yang paling mencemaskan bagi para sahabat nabi. Mereka takut akan amalan yang tertolak; puasa, qiyam yang panjang, tilawah yang berulang kali khatam, infak harta, pengorbanan jiwa raga dari satu medan perang ke perang lainnya, serta segudang amalan ibadah lainnya yang mereka lakukan selama Ramadan, semuanya itu telah menjadi sebuah kekhawatiran terbesar bagi diri mereka. Mereka lebih banyak berkontemplasi, dan bermuhasabah dalam sebuah tanda tanya, “Apakah amal ibadahku di bulan Ramadan kemarin diterima oleh Allah Swt.?”
Para sahabat merawat Ramadan dalam hati mereka dengan rasa khauf dan raja’. Sekuat tenaga berusaha istiqomah dalam amalan ibadah mereka. Lengah sedikit, akan memberikan indikasi amal ibadah mereka selama Ramadan telah sia-sia. Karena diantara ciri dari diterimanya amal ibadah seseorang dalam bulan Ramadan adalah; keringanannya dalam mengerjakan kebaikan dan ibadah, serta jauhnya mereka dari melakukan kemaksiatan kepada Allah Swt.
Enam bulan pasca Ramadan mereka masih bersedih memikirkan kepergian Ramadan. Mereka memohon dengan sungguh-sungguh agar amalan ibadah selama sebulan penuh itu diterima oleh Allah Swt. Sedangkan di paruh tahun sisanya, mereka kembali bergembira, bersiap diri menyambut kehadiran Ramadan, sang tamu agung yang selalu mereka rindu.
Begitulah siklus hidup para orang sholeh terdahulu, renggang waktu dari Ramadan ke Ramadan berikutnya diisi dengan taqarrub ilallâh. Seakan menutup semua celah untuk futur dalam beribadah. Rindu mereka adalah rindu keimanan, pun dengan kesedihan mereka, kesedihan karena iman. Sehingga hari-hari berjalan penuh kekhusyukan, hati mereka tenang, diisi dengan mengingat Allah dalam kondisi apa pun. Karena Allah telah memberikan jaminan, “Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar Ra’du:28).
Mereka memiliki kepribadiaan yang layak untuk diteladani. Lalu bagaimana dengan kita, sudahkan ibadah kita melebihi mereka sehingga lebih merasa hebat dan yakin kalau amalan Ramadan kita diterima? Ittaqullâh yâ ahibbâ’i, ibadah kita pastilah masih jauh dari kesungguhan para sahabat itu. Sehingga rasa khauf dan raja’ yang kita miliki seharusnya lebih besar ketimbang mereka.
Walhasil, sholeh pasca Ramadan bukanlah hal fiktif. Kita baru saja meninggalkan terminal ruhy, kita sudah men-charger diri kembali. Batery full yang kita miliki, ditargetkan bertahan untuk sebelas bulan berikutnya.
Ramadan memang sudah pergi, karena datang dan pergi sudah merupakan bagian dari sunatullah dalam kehidupan ini. Memang dalam sebelas bulan kedepan, tak ada puasa wajib seperti di bulan Ramadan lagi, tapi sekarang kita masih memiliki amalan puasa yang lain, puasa sunnah 6 hari Syawal misalnya,yang keutamaannya telah dijelaskan oleh Rasulullah Saw. dalam sebuah hadis, “Barangsiapa berpuasa penuh di bulan Ramadan lalu menyambungnya dengan (puasa) enam hari di bulan Syawal, maka (pahalanya) seperti ia berpuasa selama satu tahun.” (HR. Muslim).
Masih ada puasa lainnya, seperti puasa sunnah Senin dan Kamis, puasa ‘Arafah, ‘Asyura, puasa daud, dsb. Qiyamul lail juga masih tetap bisa kita lakukan. Sholat sunnah ini menempati posisi kedua setelah sholat fardhu sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah Saw., “Sholat yang paling utama sesudah sholat wajib adalah qiyamul lail.” (Muttafaqun ‘alaih). Beliau juga menyebutnya sebagai da’bu shâlihin, atau tradisi dari orang-orang sholeh.
Amal ibadah yang menjadi rutinitas kita selama sebulan Ramadan diharapkan memang sudah menjadi sebuah kebiasaan. Sehingga ketika Ramadan telah berakhir, kita tak mengalami kesulitan untuk memulainya kembali. Mumpung masih hangat aura Ramadan kita, mari bersama-sama kita hidupkan kembali rutinitas baik kita itu. Menjadikan amalan-amalannya sebagai sebuah kebiasaan, sekali pun sedikit, yang penting kita memiliki amalan andalan dan rutin menjalankannya. Karena barang siapa yang memiliki amalan rutin yang baik, selamanya ia tak akan mengalami kerugian, sekalipun ia terkena uzur, pahala tetap mengalir untuknya.
Dalam sebuah hadis yang dirawayat oleh Imam Bukhari dituliskan, bahwa Rasululullah Saw. telah bersabda, “Apabila seseorang menderita sakit atau sedang bepergian maka dicatat pahala untuknya amal yang biasa ia kerjakan di saat ia sehat dan tidak bepergian.” (HR. Bukhari).
Semoga kita tidak menjadi manusia Ramadan, yang optimal ibadahnya selama sebulan saja, dan free di sebelas bulan berikutnya. Tapi kita menjadi manusia rabbâniy, yang selalu mengingat Allah kapan dan dalam bagaimana pun kondisi kita, seperti karakter ulul albâb yang termaktub dalam Al Quran, “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring.” (QS. Al Imran: 191). Wallâhu al Musta’ân.oleh :
Muhammad Syarief, Mahasiswa Pascasarjana AOU Cairo, Wakil Direktur SINAI