Kamis, 07 Oktober 2010

Teman Hidup

Teman hidup adalah teman yang senantiasa menjadikan hidup lebih hidup. Ia seperti bahan bakar buat nyala api pada sebuah lampu. Cahayanya akan terus menerangi gelapnya malam. Terus dan selalu terus, selama bahan bakar tetap bersisa. Seperti itulah, kira-kira, idealnya suami isteri. Seperti Khadijah binti Khuwailid yang menenteramkan hati Rasulullah saw. ketika pertama kali bertemu Jibril. Seperti Hajar yang mengokohkan hati Ibrahim a.s. ketika harus meninggalkan isteri dan bayinya di bukit tandus tak berpenghuni karena perintah Allah. Juga, seperti Rasulullah yang menyejukkan hati Aisyah ketika fitnah besar memburunya.
Nikmatnya berpasangan hidup seperti itu. Baiti jannati, rumahku surgaku. Rumah menjadi tempat yang paling menyenangkan sekaligus menyehatkan. Seperti halnya bengkel, mesin-mesin diri yang semula nyaris rusak tiba-tiba seperti baru setelah keluar dari sana. Karena di tempat itulah suami isteri bisa saling menenteramkan dan menyegarkan.
Begitulah mungkin angan-angan Bu Rara. Ibu satu anak ini merasakan ada sesuatu yang lain dalam bahtera rumah tangganya. Lain, karena ia merasa kurang terbuka dengan suaminya. Begitu pun yang ia tangkap tentang suaminya. Suaminya agak kaku kalau cerita tentang banyak hal. Soal pribadi, pekerjaan, anak-anak, dan aktivitas lain.
Entah apa yang salah. Rasa-rasanya semua rutinitas rumah tangga berjalan lancar-lancar saja. Hubungan suami isteri tak ada masalah. Ekonomi keluarga lumayan cukup. Anak juga sehat dan menggemaskan. Semuanya biasa. Tak ada masalah. Cuma, yang tadi itu. Ia kok agak canggung dengan suaminya.
Beda betul kalau dibandingkan dengan keluarga teman-temannya. Bisa ngobrol sambil berjalan santai. Kemana-mana selalu berdua. Nggak canggung kalau bercanda. Senyum mereka begitu lepas. Tanpa dibuat-buat.
Pernah temannya nanya ke Rara. “Kamu kok kalau jalan berdua saling cuek. Seperti belum nikah aja. Kikuk, gitu,” ucap sang teman suatu kali. Pertanyaan itu seolah mengkritik Rara yang terlalu kaku mengamalkan ajaran Islam. Tapi, buat Rara lain. Ia bukan nggak ingin luwes dengan suami. Tapi, nggak bisa.
Buat ukuran normal, dua tahun pernikahan bukan waktu yang sebentar. Teramat cukup buat saling mengenal, memahami, dan tentu saja mencintai. Memang sih, Rara mengakui kalau perkenalannya dengan suami hanya dua minggu sebelum pernikahan. Sebelumnya, “Boro-boro kenal, ketemu aja belum pernah.” Begitulah komentar Rara ketika adiknya nanya-nanya soal calon suaminya waktu itu.
Buat Rara, justru itulah kebanggaan dirinya. Ia ingin buktikan kepada bapak ibu dan adik-adiknya kalau pernikahan bisa berlangsung tanpa proses pacaran. Yang penting, sama-sama punya niat ikhlas karena Allah. Ikhlas demi melahirkan generasi Islam pilihan. Itu saja.
Tapi, kok sekarang seperti ada yang nggak beres. Apa, ya? Rara bukan tidak mau membicarakan itu ke suami. Berkali-kali ia coba. Tapi, selalu saja mandeg ketika sudah saling bertatapan. Semua kata-kata yang sudah disiapkan lenyap. Yang keluar cuma kalimat, “Mau minum, Mas?”
Ibu yang semasa gadisnya terkenal sebagai aktivis masjid ini mencoba melihat ke belakang. Menoleh apa yang salah pada dirinya. Bisa-bisa saja ia menyalahkan suami. Tapi, masalah nggak pernah selesai kalau cuma bisa saling menyalahkan.
“Ada banyak sebab,” ucap Bu Rara membatin. Ia seperti mengingat-ingat sesuatu. Semasa gadis, ia memang nyaris tak pernah ngobrol sama laki-laki kecuali bapak. Semua adiknya perempuan. Dan ia anak sulung. Di kampus lebih ketat lagi. Ia seperti tak peduli dengan dunia laki-laki. Ruang kampus bagi Rara cuma tiga: kelas, masjid, dan perpustakaan. Ia benar-benar kuper soal laki-laki.
Itulah mungkin kenapa ada rasa takut saat Rara diperkenalkan calon suami. Rara masih ingat betul momen itu. Jantungnya berdetak kencang. Peluh keringatnya bercucuran. Ucapannya terbata-bata seperti orang gagap. Bingung, grogi, takut, malu jadi satu dalam hati Rara. Jangankan bicara luwes, melihat calon suami saja nggak berani. Ia cuma berani menjadi pendengar setia.
Anehnya, rasa-rasa nggak enak itu masih melekat. Semula Rara yakin itu masih adaptasi. Tapi, kok lambat amat. Entah kenapa, ia merasa nyaman kalau sendiri. Dan, tiba-tiba kikuk kalau suami pulang dari kantor. Seolah, ada orang asing yang akan masuk rumahnya. Kalau bukan karena sadar bahwa ia sudah bersuami isteri, mungkin Rara sudah kabur dari rumah. Astaghfirullah!
Seperti itulah suasana awal adaptasinya dengan suami. Betapa Rara ingin seperti isteri-isteri lain yang begitu hangat terhadap suami. Senyum, sapaan, dan lain-lain. Sepertinya tak ada cara lain buat dirinya. “Ya, mungkin saya mesti mengikis kekhawatiran masa lalu. Harus,” tegas Rara tersadar.
Ada satu lagi yang mungkin jadi sebab. Dan itu datang dari suami Rara. Rara khawatir sekali kalau dugaannya itu memang benar. Memang, ada kesenjangan status pendidikan antara Rara dan suaminya. Ia sarjana, sementara suaminya cuma sampai di tingkat tiga fakultas ekonomi. Dan ini sempat jadi bahan penolakan orang tua Rara ketika proses lamaran. Syukurnya, Rara mampu menjelaskan ke orang tua.
Buat Rara, beda pendidikan bukan jadi masalah. Yang penting suaminya seorang aktivis Islam. Itu saja. Tapi, entahlah. Rara masih ragu kalau suaminya sudah tak masalah dengan soal itu. Pasalnya, kata-kata orang tuanya saat lamaran dulu memang cukup telak. “Apa anak tidak menganggap masalah menikah dengan wanita yang pendidikannya lebih tinggi?” ucap bapak Rara waktu itu.
Rara yakin suaminya bukan orang cengeng. Tapi, ia lagi-lagi bingung mengolah keadaan. Paling tidak, ia bisa tunjukkan kalau soal beda titel tak masalah. Dari dua kemungkinan sebab itu, Rara masih menakar-nakar mana yang lebih dominan. Pada titik ini, Rara ingin memulai apa yang bisa ia lakukan. Dan masalah itu ada dalam dirinya sendiri. “Gimana mungkin mengharapkan perubahan dari suami, kalau diri sendiri belum berubah,” tekad Rara pada dirinya sendiri.
Nikmatnya hidup didampingi teman. Teman yang bukan hanya mampu menjaga dan melindungi. Tapi, juga mampu menampilkan diri apa adanya. Sebagaimana nyala lampu yang tak pernah pura-pura. (muhammadnuh@eramuslim.com)

Argumentasi, Lelaki Shalih, dan Cinta

dakwatuna.com – “Bila seorang laki-laki yang kamu ridhai agama dan akhlaqnya meminang,” kata Rasulullah mengandaikan sebuah kejadian sebagaimana dinukil Imam At Tirmidzi, “Maka, nikahkanlah dia.” Rasulullah memaksudkan perkataannya tentang lelaki shalih yang datang meminang putri seseorang.
“Apabila engkau tidak menikahkannya,” lanjut beliau tentang pinangan lelaki shalih itu, “Niscaya akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang meluas.” Di sini Rasulullah mengabarkan sebuah ancaman atau konsekuensi jika pinangan lelaki shalih itu ditolak oleh pihak yang dipinang. Ancamannya disebutkan secara umum berupa fitnah di muka bumi dan meluasnya kerusakan.
Bisa jadi perkataan Rasulullah ini menjadi hal yang sangat berat bagi para orangtua dan putri-putri mereka, terlebih lagi jika ancaman jika tidak menurutinya adalah fitnah dan kerusakan yang meluas di muka bumi. Kita bisa mengira-ngira jenis kerusakan apa yang akan muncul jika seseorang yang berniat melamar seseorang karena mempertahankan kesucian dirinya dan dihalang-halangi serta dipersulit urusan pernikahannya. Inilah salah satu jenis kerusakan yang banyak terjadi di dunia modern ini, meskipun banyak di antara mereka tidak meminang siapapun.
Mari kita belajar tentang pinangan lelaki shalih dari kisah cinta sahabat Rasulullah dari Persia, Salman Al Farisi. Dalam Jalan Cinta, Salim A Fillah mengisahkan romansa cintanya. Salman Al Farisi, lelaki Persia yang baru bebas dari perbudakan fisik dan perbudakan konsepsi hidup itu ternyata mencintai salah seorang muslimah shalihah dari Madinah. Ditemuinya saudara seimannya dari Madinah, Abud Darda’, untuk melamarkan sang perempuan untuknya.
“Saya,” katanya dengan aksen Madinah memperkenalkan diri pada pihak perempuan, “Adalah Abud Darda’.”
“Dan ini,” ujarnya seraya memperkenalkan si pelamar, “Adalah saudara saya, Salman Al Farisi.” Yang diperkenalkan tetap membisu. Jantungnya berdebar.
“Allah telah memuliakannya dengan Islam dan dia juga telah memuliakan Islam dengan amal dan jihadnya. Dia memiliki kedudukan yang utama di sisi Rasulullah, sampai-sampai beliau menyebutnya sebagai ahli bait-nya. Saya datang untuk mewakili saudara saya ini melamar putri Anda untuk dipersuntingnya,” tutur Abud Darda’ dengan fasih dan terang.
“Adalah kehormatan bagi kami,” jawab tuan rumah atas pinangan Salman, ”Menerima Anda berdua, sahabat Rasulullah yang mulia. Dan adalah kehormatan bagi keluarga ini bermenantukan seorang sahabat Rasulullah yang utama. Akan tetapi hak jawab ini sepenuhnya saya serahkan pada putri kami.” Yang dipinang pun ternyata berada di sebalik tabir ruang itu. Sang putri shalihah menanti dengan debaran hati yang tak pasti.
”Maafkan kami atas keterusterangan ini”, kata suara lembut itu. Ternyata sang ibu yang bicara mewakili putrinya. ”Tapi, karena Anda berdua yang datang, maka dengan mengharap ridha Allah, saya menjawab bahwa putri kami menolak pinangan Salman.”
Ah, romansa cinta Salman memang jadi indah di titik ini. Sebuah penolakan pinangan oleh orang yang dicintainya, tapi tidak mencintainya. Salman harus membenturkan dirinya dengan sebuah hukum cinta yang lain, keserasaan. Inilah yang tidak dimiliki antara Salman dan perempuan itu. Rasa itu hanya satu arah saja, bukan sepasang.
Salman ditolak. Padahal dia adalah lelaki shalih. Lelaki yang menurut Ali bin Abi Thalib adalah sosok perbendaharaan ilmu lama dan baru, serta lautan yang tak pernah kering. Ia memang dari Persia, tapi Rasulullah berkata tentangnya, “Salman Al Farisi dari keluarga kami, ahlul bait.” Lelaki yang bertekad kuat untuk membebaskan dirinya dari perbudakan dengan menebus diri seharga 300 tunas pohon kurma dan 40 uqiyah emas. Lelaki yang dengan kecerdasan pikirnya mengusulkan strategi perang parit dalam Perang Ahzab dan berhasil dimenangkan Islam dengan gemilang. Lelaki yang di kemudian hari dengan penuh amanah melaksanakan tugas dinasnya di Mada’in dengan mengendarai seekor keledai, sendirian. Lelaki yang pernah menolak pembangunan rumah dinas baginya, kecuali sekadar saja. Lelaki yang saking sederhana dalam jabatannya pernah dikira kuli panggul di wilayahnya sendiri. Lelaki yang di ujung sekaratnya merasa terlalu kaya, padahal di rumahnya tidak ada seberapa pun perkakas yang berharga. Lelaki shalih ini, Salman Al Farisi, ditolak pinangannya oleh perempuan yang dicintanya.
Salman ditolak. Alasannya ternyata sederhana saja. Dengarlah. “Namun, jika Abud Darda’ kemudian juga memiliki urusan yang sama, maka putri kami telah menyiapkan jawaban mengiyakan,” kata si ibu perempuan itu melanjutkan perkataannya. Anda mengerti? Si perempuan shalihah itu menolak lelaki shalih peminangnya karena ia mencintai lelaki yang lain. Ia mencintai si pengantar, Abud Darda’. Cinta adalah argumentasi yang shahih untuk menolak.
Ada juga kisah cinta yang lain. Abu Bakar Ash Shiddiq meminang Fathimah binti Muhammad kepada Rasulullah. Ia ingin mempererat kekerabatannya dengan Sang Rasul dengan pinangan itu. Saat itu usia Fathimah menjelang delapan belas tahun. Ia menjadi perempuan yang tumbuh sempurna dan menjadi idaman para lelaki yang ingin menikah. Keluhuran budi, kemuliaan akhlaq, kehormatan keturunan, dan keshalihahan jiwa menjadi penarik yang sangat kuat.
“Saya mohon kepadamu,” kata Abu Bakar kepada Rasulullah sebagaimana dikisahkan Anas dalam Fatimah Az Zahra, “Sudilah kiranya engkau menikahkan Fathimah denganku.” Dalam riwayat lain, Abu Bakar melamar melalui putrinya sekaligus Ummul Mukminin Aisyah.
Mendapat pinangan dari lelaki shalih itu, Rasulullah hanya terdiam dan berpaling. “Sesungguhnya, Fathimah masih kecil,” kata beliau dalam riwayat lain. “Hai Abu Bakar, tunggulah sampai ada keputusan,” kata Rasulullah. Yang terakhir ini diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d dalam Ath Thabaqat. Maksud Rasulullah dengan menunggu keputusan adalah keputusan dari Allah atas kondisi dan keadaan itu, apakah menerima pinangan itu atau tidak.
Ketika Umar bin Khathab mendengar cerita ini dari Abu Bakar langsung, ia mengatakan, “Hai Abu Bakar, beliau menolak pinanganmu.”
Kemudian Umar mengambil kesempatan itu. Ia mendatangi Rasulullah dan menyampaikan pinangannya untuk menikahi Fathimah binti Muhammad. Tujuannya tidak terlalu berbeda dengan Abu Bakar. Bahkan jawaban yang diberikan Rasulullah kepada Umar pun sama dengan jawaban yang diberikan kepada Abu Bakar. “Sesungguhnya, Fathimah masih kecil,” ujar beliau. “Tunggulah sampai ada keputusan,” kata Rasulullah.
Ketika Abu Bakar mendengar cerita ini dari Umar bin Khathab langsung, ia mengatakan, “Hai Umar, beliau menolak pinanganmu.”
Kita bisa membayangkan itu? Dua orang lelaki paling shalih di masa hidup Rasulullah pun ditolak pinangannya. Abu Bakar adalah sahabat paling utama di antara seluruh sahabat yang ada. Kepercayaannya kepada Islam dan kerasulan begitu murni, tanpa reverse ataupun setitis keraguan. Karena itulah ia mendapat julukan Ash Shiddiq. Ia adalah lelaki yang disebutkan Al Qur’an sebagai pengiring jalan hijrah Rasulullah di dalam gua. Ia adalah dai yang banyak memasukkan para pembesar Mekah dalam pelukan Islam. Ia adalah pembebas budak-budak muslim yang senantiasa tertindas. Ia adalah lelaki yang menginfakkan seluruh hartanya untuk jihad, dan hanya menyisakan Allah dan Rasul-Nya bagi seluruh keluarganya. Ia adalah orang yang ingin diangkat sebagai kekasih oleh Rasulullah. Ia adalah salah satu lelaki yang telah dijamin menginjakkan tumitnya di kesejukan taman jannah. Namun, lelaki shalih ini ditolak pinangannya secara halus oleh Rasulullah.
Sementara, siapa tidak mengenal lelaki shalih lain bernama Umar bin Khathab. Ia adalah pembeda antara kebenaran dan kebathilan. Ia dan Hamzah lah yang telah mengangkat kemuliaan kaum muslimin di masa-masa awal perkembangannya di Mekah. Ia lelaki yang seringkali firasatnya mendahului turunnya wahyu dan ayat-ayat ilahi kepada Rasulullah. Ia adalah lelaki yang dengan keberaniannya menantang kaum musyrikin saat ia akan berangkat hijrah, ia melambungkan nama Islam. Ia lelaki yang sangat mencintai keadilan dan menegakkannya tatkala ia menggantikan posisi Rasulullah dan Abu Bakar di kemudian hari. Ia pula yang di kemudian hari membuka kunci-kunci dunia dan membebaskan negeri-negeri untuk menerima cahaya Islam. Namun, lelaki shalih ini ditolak pinangannya secara halus oleh Rasulullah.
Mari kita simak kenapa pinangan dua lelaki shalih ini ditolak Rasulullah. Ketika itu, Ali bin Abi Thalib datang menemui Rasulullah. Shahabat-shahabatnya dari Anshar, keluarga, bahkan dalam sebuah riwayat termasuk pula dua lelaki shalih terdahulu mendorongnya untuk datang meminang Fathimah binti Muhammad kepada Rasulullah. Ia menemui Rasulullah dan memberi salam.
“Hai anak Abu Thalib,” sapa Rasulullah pada Ali dengan nama kunyahnya, ”Ada perlu apa?”
Simaklah jawaban lugu yang disampaikan Ali kepada Rasulullah sebagaimana dinukil Ibnu Sa’d dalam Ath Thabaqat. “Aku terkenang pada Fathimah binti Rasulullah,” katanya lirih hampir tak terdengar. Dengar dan rasakan kepolosan dan kepasrahan dari setiap diksi yang terucap dari Ali bin Abi Thalib itu. Kepolosan dan kepasrahan seorang pecinta akan cintanya yang demikian lama. Ia menggunakan pilihan kata yang sangat lembut di dalam jiwa, “Terkenang.” Kata ini mewakili keterlamaan rasa dan gelora yang terpendam, bertunas menembus langit-langit realita, transliterasi rasa.
“Ahlan wa sahlan!” kata Rasulullah menyambut perkataan Ali. Senyum mengiringi rangkaian kata itu meluncur dari bibir mulia Rasulullah. Kita tidak usah sebingung Ali memahami jawaban Rasulullah. Jawaban itu bermakna bahwa pinangan Ali diterima oleh Rasulullah seperti yang dipahami rekan-rekan Ali.
Mari kita biarkan Ali dengan kebahagiaan diterima pinangannya oleh Rasulullah. Mari kita melihat dari perspektif yang lebih fokus untuk memahami penolakan pinangan dua lelaki shalih sebelumnya dan penerimaan lelaki shalih yang ini. Kita boleh punya pendapat tersendiri tentang masalah ini.
Ketika Rasulullah menjelaskan alasan kepada Abu Bakar dan Umar berupa penolakan halus, kita tidak bisa menerimanya secara letter lijk. Sebab bisa jadi itu adalah bahasa kias yang digunakan Rasulullah. Misalnya ketika Rasulullah mengatakan bahwa Fathimah masih kecil, tentu saja ini tidak bisa diterjemahkan sebagai kecil secara harfiah, sebab saat itu usia Fathimah sudah hampir delapan belas tahun. Sebuah usia yang cukup matang untuk ukuran masa itu dan bangsa Arab. Sementara Rasulullah sendiri berumah tangga dengan Aisyah pada usia setengah usia Fathimah saat itu. Maka, kita harus memahami kalimat penolakan itu sebagai bahasa kias.
Saat Rasulullah meminta Abu Bakar dan Umar bin Khathab untuk menunggu keputusan, ini juga diterjemahkan sebagai penolakan sebagaimana dipahami dua lelaki shalih itu. Jadi, pernyataan Rasulullah itu bukan pernyataan untuk menggantung pinangan, sebab jika pinangan itu digantung, tentu saja Umar dan Ali tidak boleh meminang Fathimah. Pernyataan itu adalah sebuah penolakan halus.
Atau bisa jadi, saat itu Rasulullah punya harapan lain bahwa Ali bin Abi Thalib akan melamar Fathimah. Beliau tahu sebab sejak kecil Ali telah bersamanya dan banyak bergaul dengan Fathimah. Interaksi yang lama dua muda mudi sangat potensial menumbuhkan tunas cinta dan memekarkan kuncup jiwanya. Ini dibuktikan dari pernyataan Rasulullah untuk meminta dua lelaki shalih itu menunggu keputusan Allah tentang pinangannya. Jadi, dalam hal ini kemungkinan Rasulullah mengetahui bahwa putrinya dan Ali telah saling mencintai. Sehingga Rasulullah pun punya harapan pada keduanya untuk menikah. Rasulullah hanya sedang menunggu pinangan Ali. Di masa mendatang sejarah membuktikan ketika Ali dan Fathimah sudah menikah, ia berkata kepada Ali, suaminya, “Aku pernah satu kali merasakan jatuh cinta pada seorang pemuda.” Saya yakin kita tahu siapa yang dimaksud oleh Fathimah. Ini perspektif saya.
Hal ini diperkuat oleh pernyataan singkat Ali, “Aku terkenang pada Fathimah binti Rasulullah.” Satu kalimat itu sudah mewakili apa yang diinginkan Ali. Rasulullah sangat memahami ini. Beliau adalah seseorang yang sangat peka akan apa-apa yang diinginkan orang lain dari dirinya. Beliau memiliki empati terhadap orang lain dengan demikian kuat. Beliau memahami bentuk sempurna keinginan seseorang seperti Ali dengan beberapa kata saja.
Dan jawaban Rasulullah pun menunjukkan hal yang serupa, “Ahlan wa sahlan!” Ungkapan sambutan selamat datang atas sebuah penantian.
Jadi, dengan perspektif ini, kita akan memahami bahwa lelaki shalih yang datang untuk meminang bisa ditolak pinangannya, tanpa akan menimbulkan fitnah di muka bumi ataupun kerusakan yang meluas. Wanita shalihah yang dipinang Salman Al Farisi telah menunjukkan kepada kita, bahwa ia mencintai Abud Darda’ dan menolak pinangan lelaki shalih dari Persia itu. Rasulullah pun telah menunjukkan pada kita bahwa ia menolak pinangan dua lelaki tershalih di masanya karena Fathimah mencintai lelaki shalih yang lain, Ali Bin Abu Thalib. Di sini, kita belajar bahwa cinta adalah argumentasi yang shahih untuk menolak, dan cinta adalah argumentasi yang shahih untuk mempermudah jalan bagi kedua pecinta berada dalam singgasana pernikahan.
Mari kita dengarkan sebuah kisah yang dikisahkan Ibnu Abbas dan diabadikan oleh Imam Ibnu Majah. Seorang laki-laki datang menemui Rasulullah. “Wahai Rasulullah,” kata lelaki itu, “Seorang anak yatim perempuan yang dalam tanggunganku telah dipinang dua orang lelaki, ada yang kaya dan ada yang miskin.”
“Kami lebih memilih lelaki kaya,” lanjutnya berkisah, “Tapi dia lebih memilih lelaki yang miskin.” Ia meminta pertimbangan kepada Rasulullah atas sikap yang sebaiknya dilakukannya. “Kami,” jawab Rasulullah, “Tidak melihat sesuatu yang lebih baik dari pernikahan bagi dua orang yang saling mencintai, lam nara lil mutahabbaini mitslan nikahi.”
Cinta adalah argumentasi yang shahih untuk menolak. Di telinga dan jiwa lelaki ini, perkataan Rasulullah itu laksana setitis embun di kegersangan hati. Menumbuhkan tunas yang hampir mati diterpa badai kemarau dan panasnya bara api. Seakan-akan Rasulullah mengatakannya khusus hanya untuk dirinya. Seakan-akan Rasulullah mengingatkannya akan ikhtiar dan agar tiada sesal di kemudian hari.
“Cinta itu,” kata Prof. Dr. Abdul Halim Abu Syuqqah dalam Tahrirul Ma’rah fi ‘Ashrir Risalah, “Adalah perasaan yang baik dengan kebaikan tujuan jika tujuannya adalah menikah.” Artinya yang satu menjadikan yang lainnya sebagai teman hidup dalam bingkai pernikahan.
Dengan maksud yang serupa, Imam Al Hakim mencatat bahwa Rasulullah bersabda tentang dua manusia yang saling mencintai. “Tidak ada yang bisa dilihat (lebih indah) oleh orang-orang yang saling mencintai,” kata Rasulullah, “Seperti halnya pernikahan.” Ya, tidak ada yang lebih indah. Ini adalah perkataan Rasulullah. Dan lelaki ini meyakini bahwa perkataan beliau adalah kebenaran. Karena bagi dua orang yang saling mencintai, memang tidak ada yang lebih indah selain pernikahan. Karena cintalah yang menghapus fitnah di muka bumi dan memperbaiki kerusakan yang meluas, insya Allah.
Cinta adalah argumentasi yang shahih untuk menolak, dan cinta adalah argumentasi yang shahih untuk mempermudah jalan bagi kedua pecinta berada dalam singgasana pernikahan.

Fiqhut Thaharah: Tayamum

Kirim Print
1. Ta’rif
Ilustrasi (inet)
dakwatuna.com – Tayamum adalah menggunakan tanah yang suci dengan cara tertentu disertai niat untuk kebolehan shalat. Firman Allah:
وَإِن كُنتُم مَّرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِّنكُم مِّنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا ﴿٤٣﴾
“Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (QS. An-Nisa: 43).
Tayamum dapat menggantikan wudhu dan mandi.
2. Sebab Kebolehan Tayamum
Sebab utama diperbolehkan tayamum adalah karena ketiadaan air, seperti dalam firman Allah, “… kemudian kamu tidak mendapat air (An-Nisa: 43)
Ketiadaan air itu bisa hakiki atau hukmi, dan masing-masing memiliki kondisi yang sangat beragam, kami ringkas berikut ini:
a. Ketiadaan hakiki: yaitu dengan tidak ditemukan air setelah melakukan pencarian baik dilakukan oleh musafir yang jauh ari perkampungan sejauh satu mil, atau di perkampungan yang tidak ada air. Kewajiban awalnya adalah mencari air, jika ada yang dekat,[1] atau dugaan kuat ada air di suatu tempat. Demikianlah pendapat mazhab Hanafi. Sedang menurut mazhab Syafi’i dan Hambali kewajiban mencari itu berlaku jika yakin ada air.
Atau mendapatkan air yang tidak cukup untuk bersuci, atau lebih dibutuhkan untuk minum sendiri atau minum makhluk lain, manusia atau hewan, atau lebih dibutuhkan untuk makan. Imam Ahmad berkata: Beberapa orang sahabat melakukan tayamum dan menyimpan air untuk minumnya.
Ketiadaan Hukmi: yaitu keberadaan air yang cukup tetapi ia tidak dapat menggunakannya karena sakit dan menambah sakitnya atau memperlambat kesembuhannya. Atau karena air sangat dingin yang membahayakan manusia jika memakainya dan tidak mampu menghangatkannya. Sahabat Amr bin Ash RA shalat Subuh dengan tayamum karena takut celaka jika mandi dengan air dingin dalam perang Dzatussalasil, dan Rasulullah mengiyakannya. (Ahmad, Abu Dawud, dan dishahihkan oleh Al-Hakim dan Ibnu Hibban, Al-Bukhari memberikan catatan hadits ini, Al-Mundziri menilainya hadits Hasan, dan Al-Hafizh Ibnu Hajar menguatkannya).
Atau air berada di dekat, tetapi tidak dapat mengambilnya karena ada musuh atau tidak ada alat untuk mengeluarkannya dari sumur.
c. Kehabisan waktu. Jika seseorang merasa takut kehabisan waktu shalat jika menggunakan air, dan cukup waktu jika tayamum lalu shalat, maka tidak wajib mengulang menurut mazhab Maliki, wajib mengulang menurut mazhab Hanafi. Tidak boleh tayamum meskipun kehabisan waktu menurut mazhab Hambali dan Syafi’i.
3. Tanah Sebagai Alat  Tayamum
Tanah yang digunakan adalah yang berada di permukaan bumi. Dari itulah diperbolehkan bertayamum dengan debu dan seluruh benda suci sejenisnya yang ada di muka bumi seperti pasir, batu, semen, dan kapur. Tetapi menurut mazhab Syafi’i, tayamum hanya diperbolehkan dengan debu atau pasir yang mengandung debu.
4. Cara Tayamum
Seorang yang hendak bertayamum berniat dahulu, kemudian membaca basmalah, lalu menepukkan telapak tangannya ke atas tanah yang suci dengan sekali atau dua kali tepukan, kemudian diangkat tangannya dan ditiup sehingga tidak ada debu yang membekas di tangan, kemudian mengusapkan dua tangan itu ke muka dan dua telapak tangannya sampai ke pergelangan, seperti yang disebutkan dalam hadits Ammar bin Yasir RA berkata,
بَعَثَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَاجَةٍ فَأَجْنَبْتُ فَلَمْ أَجِد الْمَاءَ فَتَمَرَّغْتُ فِي الصَّعِيدِ كَمَا تَمَرَّغُ الدَّابَّةُ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيكَ أَنْ تَصْنَعَ هَكَذَا فَضَرَبَ بِكَفِّهِ ضَرْبَةً عَلَى الْأَرْضِ ثُمَّ نَفَضَهَا ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا ظَهْرَ كَفِّهِ بِشِمَالِهِ أَوْ ظَهْرَ شِمَالِهِ بِكَفِّهِ ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ
“Rasulullah saw mengutusku dalam satu hajat, lalu saya junub dan tidak menemukan air untuk mandi, kemudian saya berguling-guling di tanah seperti hewan. Dan ketika saya bertemu Nabi saya ceritakan peristiwa itu. Lalu Nabi bersabda, ‘Sebenarnya kamu cukup dengan memukulkan kedua tanganmu ke tanah dengan sekali pukulan, kemudian tangan kiri mengusap yang kanan dan punggung telapak tangan dan wajahnya.” (Muttafaq Alaih).
Demikianlah mazhab Hambali dan Maliki. Sedangkan dalam mazhab Hanafi dan Syafi’i, mereka berpendapat pengusapan tangan harus sampai ke dua siku. Mereka berpegang dengan beberapa hadits dhaif yang tidak sampai menandingi hadits Ammar di atas. Imam Nawawi, penulis kitab Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab, dan Ash Shan’ani penulis kitab Subulussalam, mentarjih/menguatkan pendapat pertama, padahal keduanya bermazhab Syafi’i
5. Hal-Hal Yang Diperbolehkan Dengan Tayamum
Tayamum adalah pengganti wudhu dan mandi, maka dengan tayamum itu diperbolehkan apa saja yang diperbolehkan oleh keduanya, seperti: Shalat, thawaf, dan memegang mushaf. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa orang yang bertayamum dapat shalat dengan tayamumnya itu berapa saja shalat fardhu maupun sunnah yang dia mau, sehingga hilang penyebab pembolehan tayamum. Sedangkan menurut mazhab Syafi’i tayamum hanya bisa dipakai untuk sekali shalat fardhu dan shalat sunnah tidak terbatas.
6. Hal-Hal Yang Membatalkan Tayamum
Segala yang membatalkan wudhu, membatalkan tayamum. Tayamum batal jika hilang penyebab pembolehan, seperti sudah mendapati air atau sudah mampu menggunakan air. Akan tetapi jika sudah shalat dengan tayamum kemudian menemukan air maka ia tidak wajib mengulanginya[2]. Sedangkan orang yang tayamum karena junub maka ia harus mandi ketika sudah menemukan air.[3]

Catatan Kaki:
[1] Keberadaan air dianggap jauh ketika berjarak lebih dari satu mil (1847 m) menurut mazhab Hanafi, atau setengah farsakh sekitar satu setengah  mil menurut mazhab Syafi’i (2771 m) atau dua mil  menurut mazhab Maliki (3694 m)
[2] Menurut mazhab Maliki dan Syafi’i karena hadits Rasulullah saw. terhadap orang yang tidak mengulang shalat setelah menemukan air: “Kamu sesuai dengan sunnah dan shalatmu sudah boleh” (Abu Dawud dan An Nasa’i).
[3] Karena hadits Imran RA berkata, “Rasulullah saw. shalat bersama dengan kaum muslimin. Ketika usai shalat, tiba-tiba ada seorang laki-laki yang menyendiri dan tidak ikut shalat bersama kaum muslimin. Nabi menegurnya: Mengapa kamu tidak shalat bersama kaum muslimin? Orang itu menjawab: Saya junub dan tidak ada air. Sabda Nabi: Kamu bisa gunakan tanah, itu cukup. Kemudian Imran menyebutkan bahwa setelah mereka menemukan air, Rasulullah memberikan air kepada orang yang junub tadi dengan mengatakan,’ bawalah dan gunakan mandi.” (Al-Bukhari).

As Syakhshiyah Al Jundiyah (Kepribadian Kader Dakwah)

Hidup merupakan perjuangan, berjuang untuk menunaikan tugas dakwah yang mulia. Tugas yang tak pernah usai seiring perjalanan waktu. Malah semakin bergulirnya waktu semakin bermunculan tugas baru. Sebagaimana komentar seorang pujangga, ‘terbitnya fajar, merekahkan harapan cerah dan membawa sekelumit beban’. Akan tetapi bagi seorang aktivis dakwah waktu menjadi jalannya kehidupan. Sehingga kader dakwah selalu menata waktunya demi kehidupan yang ia jalani agar senantiasa siap menyongsong tugas yang ada dihadapannya.
Bukanlah sesuatu yang dipungkiri bahwa tugas dakwah memang bukanlah tugas yang ringan. Ia banyak liku dan kendala yang rumit. Baik dari pihak eksternal ataupun dari internal sendiri. Terkadang tugas dakwah menjadi beban berat untuk dipikul. Terlebih lagi bagi mereka yang berkepribadian rentan dan rapuh. Tugas itu menjadi tembok besar yang teramat sulit untuk dilewati. Mereka akan berkecil hati menatap tugas demi tugas. Terasa berat untuk menggerakan kaki dan tangan menerima tugas tersebut.
Namun tidak demikian bagi kader pilihan. Mereka akan berupaya maksimal untuk dapat menunaikan tugas mulia itu dengan sebaik-baiknya. Bahkan kader yang berkepribadian amal da’awy akan menyongsongnya dengan gembira. Tidak ada dalam diri mereka, kamus lelah dan ciut menyambut tugas. Karena tugas itu akan menjadi momen untuk mengukir sejarah hidupnya dengan tinta emas bagi kemenangan dakwah ini. Ia menjadi mulia bersama dakwah atau mati dengan keharuman sikap perilakunya dalam amal Islam.
Ketika Syaikh Mutawalli Sya’rawi menyampaikan pidatonya dalam suatu acara, bahwa amanah umat ini teramat berat. Karena kompleksitas masalah yang dihadapinya. Dan disertai penghalangnya dari musuh-musuh umat yang tidak pernah henti untuk menghancurkannya. Disamping itu kader dakwah yang memandu amanah ini sulit untuk didapatkan. Maka kepada siapa amanah umat ini diserahkan?. Hasan Al Banna bergumam dalam hatinya ketika mendengar ceramah sang Syaikh, ‘aku ingin, akulah orangnya yang akan mengemban amanah itu. Beginilah sikap kader dakwah yang brilian dalam menyambut tugasnya.
Menyikapi kenyataan ini bahwa tugas dakwah dan kepribadian kader merupakan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan dimana keduanya saling mempengaruhi. Maka perlu disadari pada seluruh kader untuk membangun dirinya agar menjadi kader-kader pilihan yang sanggup memikul tugas dakwah ini dengan hati lapang. Sehingga tugas demi tugas dapat tertunaikan dengan baik. Bila kader dakwah tidak lengah dalam masalah ini dan selalu berusaha untuk meningkatkan kepribadian dirinya dalam mengemban amanah ini maka ia dapat menaklukan dunia sebagaimana obsesi Imam Hasan Al Banna Rahimahullah. Sang Imam pernah mengungkapkan obsesinya dalam Risalahnya Kepada Pemuda, bahwa ia bisa menaklukan dunia dengan kader-kader pilihan dibawah binaannya. ‘Siapkan 12 ribu kader, aku akan bina mereka dan aku akan taklukan dunia dengan bersama mereka’.
Melalui pemahaman ini upaya untuk meningkatkan kepribadian diri dalam mengemban tugas dakwah ini menjadi perilaku harian bagi kader dakwah.
Tidak boleh ada kesempatan yang terbuang dan tidak terpakai untuk agenda ini. Agar kepribadiannya tidak melempem, tidak pula mendua tetapi kepribadian yang tangguh dan ulet dalam amal dakwah. Selayaknya setiap kader menata dirinya dengan sungguh-sungguh agar dapat merealisasikan obsesi sang Imam. Untuk itu para kader dakwah perlu menyiapkan diri agar memiliki kepribadian yang dapat menuntaskan tugas dakwah dan merealisaikannya:
1. Bina ruhil ghirah (Membangun Ruh Keghairahan)
Menyadari banyaknya tugas dakwah yang perlu diemban, kader dakwah harus membangun keghairahannya. Keghairahan untuk terus berbuat dan berjuang demi tegaknya dakwah. Sehingga semangatnya berkobar-kobar. Tidak pernah lemah sedikitpun dalam menghadapi rintangan. Tidak pernah layu dengan bergulirnya zaman. Tidak pernah gentar karena tantangan. Ia bagaikan batu karang di tengah lautan yang kokoh menghadapi terjangan ombak.
Abul ‘Ala Al Maududi mengingatkan kader-kadernya, ‘bila kalian menyambut tugas dakwah ini tidak sebagaimana sikap kalian terhadap tugas yang menyangkut urusan pribadi kalian maka dakwah ini akan mengalami kekalahan yang telak. Oleh karena itu sambutlah tugas ini dengan ghairah. Amatlah tepat taujih Abul ‘Ala Al Maududi ini bila melihat sederetan tugas dan harapan umat. Bila saja kader dakwah memahami dengan betul maka mereka akan berupaya untuk menjaga keghairahannya agar tidak pernah redup sedikitpun. Karena ia akan berakibat fatal dalam menunaikan tugas ini.
Sebaliknya jiwa yang berghairah dalam menyambut tugas-tugasnya akan mudah untuk menyelesaikannya. Ia bahkan dapat menemukan celah-celah sempit untuk menjadi peluang besar yang akan menjadi menyebab kemenangan dakwah ini. Ia tidak pernah mundur tatkala bahaya menghadang. Ia tidak lelah ketika peluh bercucuran. Yang ada dalam benaknya adalah kami siap mengembannya untuk sebuah kemenangan.
“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itu pun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zhalim”.. (Ali Imran: 139 – 140).
Karena itu sepantasnya bagi kader untuk selalu berusaha meningkatkan ghairahnya melalui amalan-amalan yang disunnahkan Rasulullah SAW. sehingga ghairahnya tidak kendur. Apakah dengan melaksanakan ibadah-ibadah sunnah, mengkaji sejarah kepahlawanan Islam, membayangkan pahala dan balasan yang dijanjikan Allah SWT., bercermin dari kehidupan kader-kader daerah terpencil yang sangat bersemangat untuk menyebarluaskan dakwah ini ataupun dengan kiat-kiat lainnya. Amalan tersebut menjadi bahan bakar untuk semangatnya agar selalu bergelora.
Syaikh Muhammad Ahmad Rasyid mengingatkan “gelorakan semangatmu wahai ikhwah dan jangan kendur sedikitpun marilah maju bersama kafilah dakwah ini. Siapa yang tidak lagi bersemangat maka janganlah ikut barisan kami”.
2. Tasyji’u ruhil mubadarah (Membangkitkan semangat inisiatif
Memahami tugas dakwah yang rumit maka setiap kader hendaknya selalu membangkitkan semangat berinisiatif. Agar dapat mensikapi dengan cepat apa yang sedang dihadapi dakwah ini. Tentu dengan mengacu pada kententuan syar’i. Sehingga aktivis dakwah tidak linglung dan bingung untuk segera berbuat atas sesuatu yang perlu segera disikapi. Selayaknya seorang kader tidak pernah mati inisiatifnya. Ia selalu berinisiatif untuk membela dakwah dengan berbagai potensi yang ada pada dirinya.
Seorang pujangga mengingatkan bahwa matinya inisiatif akan menutup banyak peluang. Malah ia melihat apa yang dihadapannya menjadi momok yang menakutkan. Ia akan menjadi orang yang penakut pada sesuatu yang belum terjadi bahkan ia sudah membayangkan dengan bayang-bayang hitam yang sangat mengerikan. Umat dan dakwah ini akan gembira terhadap kader yang kaya inisiatif. Sebagaimana gembiranya orang tua pada anaknya yang berinisiatif tinggi. Sang anak menyemirkan sepatu ayahnya ketika sang ayah hendak berangkat kerja. Ia suguhkan air minum hangat untuk ayahnya yang baru tiba. Ia rapikan belanjaan ibunya ketika datang dari pasar. Ia bersihkan alat-alat masaknya dan lain sebagainya. Orang tua akan sangat senang dengan perilaku anaknya dan ia akan banggakan dihadapan saudara dan tetangganya.
Syaikh Sayid Muhammad Nuh menceritakan murabbinya Syaikh Abbas Asisi yang selalu kaya inisiatif dalam berdakwah. Beliau bukan hanya kaya akan ide dan gagasan tetapi kaya pula dengan sikap dan perbuatannya. Hingga banyak orang yang tertautkan hatinya pada dakwah karena inisiatifnya yang teramat tinggi. Ada pemuda yang tertarik pada dakwah karena ia menyebut namanya yang telah ia hafal. Ada pula orang yang berjiwa kasar menjadi pengikut dakwah lantaran ia buka dengan dialog-dialog yang menarik. Dan masih banyak lagi kisah lainnya.
Kader yang berinisiatif tidak hanya semata mengandalkan point-point buku manual melainkan ia juga dapat melakukan sesuatu dengan tepat dan benar sesuai masanya yang sedang dihadapinya. Inisiatif memang tidak lahir begitu saja. Ia selalu beriringan dengan kebiasaannya untuk berbuat. Kebiasaan berbuat dapat menerobos celah sekecil apapun untuk menemukan hal-hal baru. Oleh karena itu Allah SWT. merintahkan orang-orang beriman untuk senantiasa berbuat.
“Dan katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan”.(At Taubah: 105).
3. Bina ruhil mas’uliyah (Membangun jiwa tanggung jawab terhadap dakwah)
Tanggung jawab kader terhadap dakwah tidak boleh berkurang. Kader hendaknya selalu membangun rasa tanggung jawabnya setiap saat.
Berkurangnya tanggung jawab kader pada dakwah ini dapat memporak-porandakan amanah umat ini. Kader yang bertanggung jawab pada tugas tidak bisa bersantai-santai/beruncang kaki sementara kader lainnya sedang sibuk menunaikan tugas.
Jiwa tanggung jawab ini sangat dikaitkan dengan keimanan yang melekat padanya. Juga dikaitkan dengan kesertaannya menjadi umat Muhammad SAW. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW.,
“Bukanlah golongan kami orang yang tidak punya perhatian terhadap urusan kaum muslimin”. (Bukhari).
Sangatlah logis bila tanggung jawab terhadap dakwah ini berhubungan erat dengan kesertaannya sebagai umat Nabi Muhammad SAW. Karena merekalah yang bertanggung jawab langsung terhadap kesinambungan dakwah ini.
Tersebar luas dakwah ini atau tidak ada pada pundak mereka. Mereka yang menjadi pelanjut dakwah ini telah mendekatkan dirinya dengan para Nabi. Lantaran mereka telah melaksanakan hal yang sama dilakukan para Nabi.
Kader dakwah yang bertanggung jawab pada tugas kadang tidak bisa tidur nyenyak. Ia senantiasa berpikir keras untuk untuk kemajuan dakwah. Ia merasa malu bila tidak dapat berbuat apa-apa. Ia merasa sedih bila dakwah tidak berkembang. Ia sangat senang kalau dakwah ini menggeliat dan meraih banyak pengikut. Ia risih bila meninggalkan tugas yang masih berceceran di sana-sini. Dan ia akan senantiasa siap menyongsong tugasnya. Wajarlah bila Imam Hasan Al Banna memandang sikap kader yang tidak bertanggung jawab pada tugasnya sebagai perbuatan dosa.
Oleh karena itu kader dakwah dalam menyongsong tugas mulianya seperti pengikut Nabi Isa AS. yang setia. Merekalah kaum Hawariyun sangat peka pada tanggung jawab dan tugasnya. Sebagaimana firman Allah SWT.:
“Maka tatkala Isa mengetahui keingkaran mereka (Bani Israel) berkatalah dia: “Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk (menegakkan agama) Allah?” Para Hawariyyin (sahabat-sahabat setia) menjawab: “Kamilah penolong-penolong (agama) Allah. Kami beriman kepada Allah; dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri”. (Ali Imran: 52).
4. Tarqiyatu ruhil badzli wat tadhhiyah (Membangkitkan semangat pengorbanan)
Pengorbanan dan perjuangan sesuatu yang niscaya. Perjuangan tidak dapat dipisahkan dengan pengorbanan. Dakwah suci ini bergerak dengan deras karena pengorbanan para kadernya. Maka semangat pengorbanan harus terus hidup di hati kader dakwah agar menjadi kepribadian mereka yang sesungguhnya. Sehingga mereka akan selalu terdepan dalam pemgorbanan.
Karenanya tidak ada dalam sejarah sebuah perjuangan ideologi yang dibangun tanpa perjuangan. Maka sudah menjadi suatu keharusan untuk berkorban dengan apa yang ada padanya demi tegaknya dakwah mulia ini.
Kader-kader yang siap berkorban menjadi syarat mutlak untuk suatu kemenangan. Dengan jiwa ini jalan mencapainya menjadi mulus. Perjalanan meraih kemenangan bak tanpa hambatan. Adalah hal patut bagi seluruh kader dakwah memberikan sesuatu yang amat diperlukan dakwah ini. Ini menjadi tanda keringanan dirinya untuk berkorban. Dalam berkorban untuk dakwah tidak pernah terbetik untuk menolaknya. Bahkan sedapat mungkin memberikan apa yang sangat berharga dalam dirinya. Jiwa dan raga.
Semangat semacam inilah yang melancarkan futuhat dakwah di berbagai negeri. Termasuk ketika menaklukan Romawi. Khalid bin Walid RA. ditanya pembesar Romawi perihal kepahlawanan kaum muslimin sehingga mereka bisa menaklukkan Romawi. Panglima Khalid RA. menjawab, ‘Kami dapat berada di depan mata kalian dan menaklukkan negeri kalian karena kami datang bersama orang-orang yang cinta mati sebagaimana kalian mencintai hidup’. Tentunya pengorbanan semacam ini pengorbanan yang maksimal. Memang Allah SWT. hanya menerima pengorbanan hamba-Nya yang maksimal. Seperti dalam Firman-Nya.
“Ceriterakanlah kepada mereka kisah kedua putra Adam (Habil dan Kabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Kabil). Ia berkata (Kabil): “Aku pasti membunuhmu!” Berkata Habil: “Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa”. (Al-Maidah: 27).
Syaikh Muhammad Ahmad Rasyid mengingatkan bahwa dalam perjalanan dakwah ini janganlah bersikap seperti umat Nabi Musa yang duduk-duduk berdiam diri saja menunggu datangnya kemenangan dari perjuangan Nabinya. Akan tetapi berbuat banyaklah untuk jalan dakwah ini dengan senantiasa selalu berkorban dan tidak pernah kendur semangatnya untuk berkorban. Memang semestinya demikian.
Tentu saja semangat berkorban ini tidak akan kendur manakala sikap kepatuhan kader pada ajaran ini tidak berkurang secuilpun. Mereka mematuhi ketentuan yang sudah seharusnya dijalankan. Mereka mengokohkan ruh maknawiyahnya setiap saat. Mereka berada dalam stamina spiritual yang prima. Said Hawwa menegaskan bahwa pengorbanan merupakan kepatuhan dan kepatuhan adalah syarat kemenangan. Maka siapkanlah sarana-sarana kemenangan dengan meningkatkan semangat berkorban terus menerus agar kemenenagan menjadi kenyataan yang dekat.
5. Tarqiyatu ath-Thaqah adz-Dzatiyah (Meningkatkan potensi diri)
Untuk dapat melaksanakan tugas mulia ini kader dakwah mesti menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan potensi dirinya. Agar ia bisa memberikan apa saja yang dibutuhkan dakwah ini. Meningkatkan potensi diri berawal dari penggalian potensi dan penajamannya. Adalah kemestian bagi kader untuk dapat mengenali potensinya. Sehingga ia tahu betul kemampuannya selaras dengan keperluan dakwah ini.
Menyadari kedudukan potensi kader bagi kelangsungan dakwah ini amat berarti maka para kader perlu mencermati dan mempertajamnya. Karena apapun potensi yang dimilikinya sangat berguna bagi dakwah ini. Sekalipun seperti butiran pasir. Memang secara fisik sebutir pasir sangat kecil adanya.
Dan bila dibandingkan dengan material lainnya dalam sebuah bangunan terasa begitu amat sangat kecil. Tampaknya ia bukanlah unsur penentu dalam kekokohan bangunan tersebut. Betul adanya asumsi ini bila satu butir pasir saja yang berpandangan demikian. Akan tetapi jika seluruh butiran pasir beranggapan sama maka rubuhlah bangunan tersebut.
Karena itu kader dakwah tidaklah boleh memandang remeh terhadap berbagai potensi yang diberikan kader lainnya. Malah harus menghargai potensi-potensi tersebut dan menyemangati untuk berupaya terus meningkatkannya. Sebab Allah SWT. menyukai orang-orang yang dapat ikut serta dalam barisan dakwah ini dengan potensi yang diberikan-Nya.
“Katakanlah: “Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing”. Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya”. (Al-Isra’: 84)
Sedapat mungkin setiap waktu yang bergulir potensi kader semakin tajam. Seiring berjalannya waktu potensi kualitas kader semakin membaik. Seperti ungkapan seorang ulama tatkala berjumpa dengan temannya menyatakan ‘tidak aku temukan dalam dirinya setiap berlalunya waktu kecuali semakin membaik kepribadiannya’. Bila kondisi ini menjadi watak dan kepribadian para kader dakwah. Tidak mustahil kemenangan ini amat sangat dekat.
Hayawiyatun Harakiyatun (Kedinamisan Gerak Dakwah)
Adalah suatu kepatutan bagi kader dakwah untuk mengkondisikan kepribadiannya sedemikian rupa. Dengannya gerak dakwah ini akan semakin dinamis. Bahkan akan semakin mulus melenggangkan badannya untuk berkembang dan tersebar luas. Penyebaran dakwah yang menjangkau seluruh lapisan masyarakat dan pelosok wilayah. Sehingga kenikmatan dakwah ini dirasakan secara merata. Ini menjadi indikasi kedinamisannya.
Sebagaimana pertumbuhan fisik manusia yang dinamis adalah ketika seluruh organnya berkembang seimbang. Perkembangan tubuh yang imbang untuk dapat menjalani hidupnya yang semakin hari semakin menuntut kekuatan organ tubuhnya. Sehingga tidak boleh ada satu selpun dalam tubuhnya yang ngawur perkembangannya. Karena hal itu berdampak pada kesehatan dan kekuatan tubuhnya melakukan gerak hidupnya.
Adalah kewajiban kader dakwah untuk memenuhi kepribadian dirinya yang berimbas pada kedinamisan gerak dakwah ini. Dan kepribadian ini menjadi watak harian para kader. Maka mulailah berbenah diri secepat mungkin memenuhi tuntutannya. Terlebih bahwa kedinamisan dakwah ini memiliki dampak yang sangat besar. Bagaikan air yang terus mengalir. Aliran air akan menjadi suatu kekuatan dan energi kehidupan. Sebaliknya air yang diam tidak mengalir akan berakibat rusaknya susunan senyawa yang ada sehingga dapat merusak zat benda lainnya.
Kedinamisan gerak dakwah ini akan berdampak pada:
1. Isti’dadu lit tanfidz (Kesiapan dimobilisasi di setiap lini)
Kesiapan kader dakwah untuk bisa dimobilasasi bagi kemenangan merupakan dampak dari gerak dakwah yang dinamis. Keberadaan kader di berbagai lini dapat memudahkan memikul tugas yang semakin banyak. Selayaknya memang bagi Kader dakwah menyadari akan fungsi dan perannya. Sehingga ia dapat selalu siap sedia dimobilisasi dalam untuk proyek besar dakwah ini. bahkan kesiapan dimobilisasi dan berada pada seluruh lini dari dakwah ini menjadi indikasi kualitas kader. Sebagaimana ungkapan Rasulullah SAW. tentang prajurit yang baik adalah mereka yang berada pada tugasnya masing-masing. Bila ditugaskan pada barisan depan ia ada di sana. Dan bila ditugaskan di bagian belakang ia pun menjalankan tugasnya di sana dengan baik.
Berada pada posisinya masing-masing, kader dakwah tidaklah boleh gentar apalagi kecewa dan mengeluh. Sebab semua itu tidak akan bermanfaat bagi dirinya untuk menjalankan tugasnya. Melainkan ia sambut dengan hati senang gembira dan selalu bermohon kepada Allah SWT. agar Dia senantiasa memberikan kekuatan untuk menunaikan tugas tersebut. Sehingga ia akan menjadi satu barisan prajurit yang gagah perkasa menyelesaikan amanahnya.
“(Yaitu) orang-orang yang menaati perintah Allah dan Rasul-Nya sesudah mereka mendapat luka (dalam peperangan Uhud). Bagi orang-orang yang berbuat kebaikan di antara mereka dan yang bertakwa ada pahala yang besar. (Yaitu) orang-orang (yang menaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: “Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka”, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.” (Ali Imran: 172).
Kesiapan kader berada pada lini dakwah yang beragam karena menyadari bahwa pos-pos dakwah ini tidak boleh ada yang kosong. Kekosongan pos dakwah dapat membuka pintu kekalahan. Terlebih lagi pada pos yang sangat strategis. Cukuplah peristiwa Uhud menjadi pelajaran berharga bagi kader dakwah. Dimana pos-pos yang diringgalkan kadernya dapat menjadi peluang bagi musuh untuk mengobrak-abrik barisan kaum muslimin. Oleh karena itu apapun yang ditugaskan dakwah ini untuk menempati lini-lininya dan siap dalam keadaan dimobilisasi mesti diterima dengan antusias dan mengistijabahinya. Malah bila perlu selalu beranggapan bahwa justru disitulah letak kehidupan bagi dakwah ini.
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nya lah kamu akan dikumpulkan”. (Al-Anfal: 24).
Meski demikian tidak menutup peluang untuk menyampaikan pendapatnya tentang lini yang paling tepat bagi dirinya. Namun yang perlu diingat adalah sikap kesiapannnya untuk dimobilisasi tidak boleh sampai hilang.
2. Taqwiyatu matanah at tanzhimiah (Mengokohkan soliditas struktural)
Gerak dakwah yang dinamis berdampak pula pada kesolidan struktural dakwah. Apalagi dengan keadaan kadernya yang selalu dalam kondisi siap sedia. Keadaan ini akan mejadikan struktural tidak akan pernah keropos. Sebab sering kali penyebab kekeroposan struktural lantaran gerak dakwah yang asal menggeliat dan kadernya yang dipenuhi dengan qadhaya internal.
Sudah dapat dipastikan bahwa kader yang selalu rebut dengan urusan internal konflik akan menggembosi perjalanan dakwah. Malah gerak dakwah ini menjadi rusuh, jalan tak beraturan dan berarah.
Umar bin Abdul Aziz RA. memerintahkan kepada seluruh jajaran panglimanya untuk mencermati para prajuritnya. Agar selalu memonitor mereka sehingga dapat mengetahui aktivitas apa yang sedang mereka lakukan. Tidak dibenarkan bagi mereka berdiam diri atau tidak dalam barisannya. Perhatian yang sedemikian rupa untuk mempersempit ruang bagi kekeroposan struktural. Karena prajurit yang tidak berada dalam barisan amal akan berpeluang menjadi perusuh.
Ketahanan struktural dapat menjadi tameng yang amat kuat melawan serangan musuh. Serangan sebesar apapun tidak akan mempan untuk menerobos masuk ke dalamnya. Ketahanan ini sekaligus melindungi prajurit yang ada di dalamnya. Oleh karena itu Allah SWT. mewanti-wanti agar selalu menjaga daya tahan struktural melalui persatuan dan kesatuan prajurit yang ada di dalamnya.tidak gaduh dengan persoalan internalnya. Tidak ribut dengan qadhaya dakhiliyahnya.
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk”. (Ali Imran: 103)
3. Tawsi’atu munawarati ad da’wah (Meluasnya Manuver Dakwah)
Dampak lainnya adalah manuver dakwah semakin meluas. Ia tidak dihambat oleh urusan-urusan internal sehingga langkah geraknya semakin melebar. Apalagi misi dari dakwah ini berkembang. Maka gerakannya harus selalu berkembang baik sisi jumlah kadernya, wilayahnya, jangkauan tanggung jawabnya, tuntutan dan kebutuhannya serta sisi perkembangan lainnya
Rasulullah SAW. selalu mengamati perkembangan demi perkembangan dakwah ini dengan mendapatkan informasi dari para sahabatnya. Sehingga beliau dapat membayangkan masa-masa yang akan terjadi pada dakwah dan umatnya setelah hamasah nabawiyah(kepekaan kenabiannya) tentunya.
Paling tidak dengan kondisi kader dan struktural yang mapan tanpa hambatan yang berarti bagi dakwah ini penyebarluasan dakwah akan semakin pesat dan cepat. Sehingga dakwah ini kembali pada ashalahnya yakni miliki semua orang dari berbagai kalangan bukan hanya pada kalangan tertentu yang sangat terbatas.
Bila seluruh jajaran kader menghiasi dirinya dengan kepribadian kader dakwah sedemikian rupa dan gerak dakwah ini semakin dinamis tanpa henti atau stagnan dalam geraknya maka futuhat-futuhat dakwah ini semakin dekat. Dan pintu-pintu kemenangan itu semakin terbuka. Serta serombongan manusia akan berbondong-bondong menerimanya. Tinggal permasalahan adalah sejauh mana kemauan kader untuk menata diri dan menghiasinya dengan kepribadian tersebut. Disinilah masalahnya. Maka sejak saat ini tanamkan dalam diri kita masing-masing untuk berupaya mewujudkannya dalam diri kita. Tanpa kenal lelah dan henti. Berusahalah semaksimal mungkin semoga Allah SWT. membantu diri kita untuk mengaplikasikannya.
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. Dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik”. (An-Nur: 55)

Jiwa yang Harus – Lebih Dahulu – Berubah

Imam Syahid Hasan Al-Banna
Penterjemah: Abu Ahmad
Allah SWT berfirman : “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah –nasib- suatu kaum, sehingga mereka yang mau mengubah jiwa mereka sendiri”. (Ar-Ra’ad:11).
Disaat Allah menurunkan Al-Quran kepada nabi Muhammad saw dan para sahabatnya, lalu Nabi saw membacakannya dihadapan bangsa ara, sehingga membuat jiwa mereka seakan tersihir, sehingga pengaruhnya mampu merasuk ke dalam lubuk hati, meresap ke dalam setiap pensendian, mengalir dalam denyut nadi dan melekat dalam ruh dan jiwa, sehingga Allah SWT berkenan mengubah umat tersebut dengan bentuk yang lain, dan memiliki perbedaan yang sangat besar antara bangsa arab saat jahiliyah dengan bangsa arab setelahnya, setelah mendapatkan hidayah Islam.
Al-Quran telah memberikan pengaruh yang sangat besar dalam jiwa kaum musyrikin dan orang-orang beriman secara bersamaan, walaupun pengaruh yang terdapat dalam jiwa orang-orang musyrik hanyalah temporer dan negative. Ada diantara mereka yang lari darinya, dan ada yang membuat penghalang antara mereka dengannya, sebagian mereka berkata kepada yang lainnya : “Janganlan kalian mendengarkan dengan seksama Al-Quran ini dan buatlah menjadi rancu dan simpang siur sehingga kalian mampu mengalahkan mereka”. (Fushilat:26)
Namun orang-orang yang beriman mereka menyimak setiap ucapan dari kalam Allah dan mengikuti yang baik-baik, mereka adalah orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan mereka itulah orang-orang yang berakal, pengaruh Al-Quran dalam diri mereka selalu positif, saat pergantian, perubahan dan peralihan dari satu kondisi ke kondisi yang lain, bahkan mampu mendorong mereka pada prilaku yang terbaik dan kerja yang konkret.
اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُتَشَابِهًا مَثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمْ وَقُلُوبُهُمْ إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ ذَلِكَ هُدَى اللَّهِ يَهْدِي بِهِ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُضْلِلْ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ هَادٍ
“Allah telah menurunkan Perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. dan Barangsiapa yang disesatkan Allah, niscaya tak ada baginya seorang pemimpinpun”. (Az-Zumar:23)
قُلْ يَا قَوْمِ اعْمَلُوا عَلَى مَكَانَتِكُمْ إِنِّي عَامِلٌ فَسَوْفَ تَعْلَمُونَ
“Katakanlah: “Hai kaumku, Bekerjalah sesuai dengan keadaanmu, Sesungguhnya aku akan bekerja (pula), Maka kelak kamu akan mengetahui”. (Az-Zumaar:39)
Al-Quran yang selalu kita baca dan kita dengar dan menjadi wirid harian kita, apakah memberikan pengaruh pada suatu perubahan dan mencetak akhlak pada yang terbaik, serta mengkondisikan hati-hati kita sebagaimana yang mampu diraih oleh pada salafus shalih sebelum kita?
Namun ironinya tidaklah demikian wahai para ikhwan, kita sering membaca Al-Qur’an dengan bacaan yang indah, kata-kata dan seni suara yang beragam indahnya, kemudian setelah itu tidak ada sedikitpun yang membekas kecauali ini (kepuasan suara yang indah), padahal Al-Quran penuh dengan pelajaran dan nilai mulia, seperti arus yang mengalir deras. Namun antara kita dengannya ada hijab, karena itu kita tidak mendapatkan gambaran dari naskah pertama yang dapat memberikan pengaruh dan merubah jiwa kita menjadi yang terbaik, kita saat ini menginginkan tauladan dari para salaf, menginginkan kebangkitan baru dalam jiwa setiap muslim dan umat Islam sehingga menjadi umat Al-Qur’an dan negera –bensendikan- Al-Qur’an.
Apakah kita menjalin komunikasi dengan Al-Qur’an secara intens sehingga mampu membersihkan ruh kita dan merubah jiwa kita menjadi yang terbaik?
Kita saat ini sedang terpengaruh dengan dunia dan terlalu cinta dengannya hingga keseluruh hati dan jiwa kita. Apakah kita pernah mendengar firman Allah SWT yang Maha Tinggi dan Agung :
قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنْ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
“Katakanlah: “Jika bapa-bapa , anak-anak , saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan dari berjihad di jalan nya, Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan NYA”. dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik”. (At-taubah:24).
Dan firman Allah :
بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا. وَالآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى
“Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal”. (Al-A’la:16-17).
Dan juga firman Allah:
مَا عِنْدَكُمْ يَنفَدُ وَمَا عِنْدَ اللَّهِ بَاقٍ
“Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal”. (An-Nahl:96).
Padahal seharusnya kita lebih sering terpengaruh dengan apa yang ada disisi Allah daripada apa yang ada dalam jiwa-jiwa kita, dan berambisi untuk mencapai ridha Allah, mengharap ganjaran-Nya yang berlimpah, dan tidak mengeluh terhadap apa yang menimpa kita dalam mengarungi jalan kebenaran yang telah diamanahkan oleh Allah, terutama berbagai siksaan yang menimpa jiwa dan harta kita, dan tidak akan menimpa kita suatu musibah kecuali telah ditulis dan ditentukan oleh Allah kepada kita, dan tidak akan menimpa kita suatu musibah kecuali ada dibaliknya kebaikan:
فَانْقَلَبُوا بِنِعْمَةٍ مِنْ اللَّهِ وَفَضْلٍ لَمْ يَمْسَسْهُمْ سُوءٌ وَاتَّبَعُوا رِضْوَانَ اللَّهِ وَاللَّهُ ذُو فَضْلٍ عَظِيمٍ. إِنَّمَا ذَلِكُمْ الشَّيْطَانُ يُخَوِّفُ أَوْلِيَاءَهُ فَلا تَخَافُوهُمْ وَخَافُونِي إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Maka mereka kembali dengan nikmat dan karunia (yang besar) dari Allah, mereka tidak mendapat bencana apa-apa, mereka mengikuti keridhaan Allah. dan Allah mempunyai karunia yang besar. Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah syaitan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy), karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepadaKu, jika kamu benar-benar orang yang beriman”. (Ali Imran:174-175)
Kita memandang suatu sebab pandangan sebagai sesuatu yang penting, namun mengacuhkan akan hisab kita terhadap kehendak yang Maha Tinggi dan Maha Besar, menolong para pemimpinnya dari arah yang tidak mereka duga dan sangka, mendukung mereka terhadap apa yang disadari oleh manusia atau tidak disadari, karena Allah SWT berfirman :
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا . وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah Mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu”. (At-thalaq:2-3).
Dan firman Allah:
وَنُرِيدُ أَنْ نَمُنَّ عَلَى الَّذِينَ اسْتُضْعِفُوا فِي الأَرْضِ وَنَجْعَلَهُمْ أَئِمَّةً وَنَجْعَلَهُمْ الْوَارِثِينَ . وَنُمَكِّنَ لَهُمْ فِي الأَرْضِ
“Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi). Dan akan Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi” (Al-Qashash:5-6)
Dan lain sebagainya dari ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan tentang penyerahan segala perkara kepada Allah baik sebelum kejadian ataupun sesudahnya.
Apakah berubah jiwa kita melalui wahyu rabbani ini yang kit abaca dan kita simak, janji-janji qur’ani, kitab yang diturunkan dari langit, sehingga kita menjadi lebih percaya dan imani terhadap apa yang ada ditangan Allah daripada apa yang ada digenggaman kita?!.
Kadang kita murka dan marah terhadap suatu sebab, bahkan melakukan pemutusan dan makar dengan ada sebab atau tanpa sebab, kita terpecah belah oleh karena perbedaan pendapat, keinginan, syahwat, perseteruan dan dunia, padahal hiasan dunia pasti akan hilang, sedangkan wahm dan angan-angan kebanyakannya adalah bathil, dan tujuan yang gagal pasti akan sirna, sementara itu Allah berfirman :
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara”. (Ali Imran:103)
Dan firman Allah :
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ
“Sesungguhnya, hanyalah orang-orang yang beriman yang bersaudara”. (Al-hujurat:10)
Dan firman Allah :
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ
“Dan orang-orang beriman laki-laki dan perempuan, satu sama lainnya saling membantu dan menolong”. (At-taubah:71)
Maka apakah kita mendapatkan pengaruh dengan khitab Al-Qur’an yang mulia sehingga melupakan kedengkian dan kebencian, dan membersihkan jiwa-jiwa dan dada-dada kita, bersatu dalam satu kalimat Allah dan menjadi saudara karena Dzat-Nya, saling mencintai dengan ruh-Nya, dan saling tolong menolong berharap ridha-Nya, karena sesungguhnya Allah SWT berfirman :
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ. الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاتِهِمْ خَاشِعُونَ. وَالَّذِينَ هُمْ عَنْ اللَّغْوِ مُعْرِضُونَ. وَالَّذِينَ هُمْ لِلزَّكَاةِ فَاعِلُونَ. وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ. إِلاَّ عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ.فَمَنْ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمْ الْعَادُونَ. وَالَّذِينَ هُمْ لأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ. وَالَّذِينَ هُمْ عَلَى صَلَوَاتِهِمْ يُحَافِظُونَ. أُوْلَئِكَ هُمْ الْوَارِثُونَ. الَّذِينَ يَرِثُونَ الْفِرْدَوْسَ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam sembahyangnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; Maka Sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa. Barangsiapa mencari yang di balik itu. Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas. Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. Dan orang-orang yang memelihara sembahyangnya. Mereka Itulah orang-orang yang akan mewarisi, (yakni) yang akan mewarisi syurga Firdaus. mereka kekal di dalamnya”. (Al-Mu’minun:1-11)
Maka dimanakah posisi kita dari sifat-sifat yang mulia dan karakter yang indah seperti yang telah digambarkan oleh Allah terhadap hamba-hamba-Nya yang beriman.
Tunduk dan khusyu’ dalam shalat dan menjaga atasnya, menjauhkan perkataan yang melalaikan, beraktivitas untuk menghindar dari apa yang tidak bermanfaat dan berfaedah; baik yang kecil ataupun yang besar, menunaikan zakat; zakat fitrah, zakat maal untuk memberikan jaminan bagi kelompok yang harus dilindungi, membersihkan harta, mencegah fitnah dan berbuat baik kepada para fuqoro dan miskin.
Menjaga kemaluan dan memeliharanya dari perbuatan yang tidak halal, dan menjaga semua anggota tubuh dari hal-hal yang berhubungan dengannya; mata, telinga, mulut, hidung, tandan dan kaki. Menjaga kemaluan untuk kesucian perasaan, ketinggian ruh, kebersihan jiwa dan menjaga kehormatan, menghadang syaitan, mendapatkan ridha dari yang Maha Kasih, menunaikan amanah, memenuhi janji dan melaksanakan untuk kebenaran, mempersiapkan jiwa, memperbanyak ketsiqohan, menegakkan untuk keseimbangan saling mengenal dan saling tolong sesama manusia.
Dimana posisi kita saat ini dari sifat dan karakter yang disebutkan Al-Quran, yang telah mencetak generasi yang beriman dan jujur, dan yang telah menelurkan para ulama salaf, sehingga mereka menjadi sebaik-baik umat yang dikeluarkan untuk manusia?!
Demikianlah contoh dari ajaran-ajaran yang mampu mencetak jiwa ulama salaf, sehingga selayaknya mereka dijadikan sebagai cermin dan cahaya yang bersinar terang benderang untuk umat manusia seluruhnya, dan sebagai petunjuk menuju jalan yang lurus.
Apakah jiwa-jiwa kita mampu berubah sehingga dapat merubah kondisi, keadaan dan lingkungan serta masyarakat kita?
Ya Allah kabulkan permohonan kami dan terimalah serta jawablah seruan kami… amin

Mujahadatunnafs (Mengendalikan Diri)

Di dalam kehidupan ini setiap insan bertarung dengan dirinya sendiri. Adakalanya ia menang dan adakalahnya ia kalah atau ia tetap dalam pertarungan yang
tiada henti. Memang pertarungan ini tidak akan berhenti sehingga ajal
menjemputnya. Allah Berfirman:
وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا. َفَأْلهَمَهَا ُفجُورَهَا وَتَقْوَاهَا. قدْ َأفَْلحَ مَنْ زَكَّاهَا وََقدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا
Demi diri manusia dan Yang menyempurnakan kejadiannya (dengan kelengkapan yang sesuai dengan keadaannya); Serta mengilhamkannya (untuk mengenal) jalan yang membawanya kepada kejahatan, dan yang membawanya kepada takwa; Sesungguhnya bahagialah orang yang menjadikan dirinya bersih dan bertambah bersih (dengan iman dan amal kebajikan), Dan sesungguhnya hampalah orang yang menjadikan dirinya kotor dan terbenam dalam kekotoran maksiat. (Asy-Syams:7-10)
Inilah yang terkandung dalam sabda yang diisyaratkan oleh beliau saw:
تعرض الفتن على القلوب كالحصير عودا عودا فأيما قلب أشرﺑﻬا نكت فيها نكتة السوداء وأيما قلب أنكرها نكت فيها نكتة بيضاء حتى تصير على أحد قلبين :على أبيض مثل الصفاة فلا تضره فتنة والآخر أسود مربادا لا يعرف معروفا ولا ينكر منكرا
Fitnah akan melekat di hati manusia bagaikan tikar yang dianyam secara tegak-menegak antara satu sama lain. Hati yang dihinggapi oleh fitnah, niscaya akan terlekat padanya bintik-bintik hitam. Begitu juga jika hati yang tidak dihinggapinya, akan terlekat padanya bintik-bintik putih sehingga hati tersebut terbahagi dua: Sebagiannya menjadi putih bagaikan batu licin yang tidak lagi terkena bahaya fitnah, selama langit dan bumi masih ada. Adapun sebagian yang lain menjadi hitam keabu-abuan seperti bekas tembaga berkarat, tidak menyuruh pada kebaikan dan tidak pula melarang kemungkaran. (Muslim dari Huzaifah bin Yaman)
Dalam pertarungan menghadapi nafsu manusia terbagi pada 3 golongan:
1. Golongan yang tunduk mengikut hawa nafsu mereka.
Mereka hidup dengan kemaksiatan di atas muka bumi ini dan ingin hidup kekal di dunia. Mereka adalah orang-orang kafir dan orang yang mengikuti jejak langkah mereka. Golongan ini lupa dan lalai (kebesaran dan nikmat) Allah, lalu Allah juga membiarkan mereka. Di dalam Al-Quran Allah menyifatkan mereka sebagai orang yang mempertuhankan hawa nafsu, Allah berfirman:
َأَفرََأيْتَ مَنِ اتَّخَذ إَِلهَهُ هَوَاهُ وََأضَلَّهُ اللَّهُ عََلى عِلْمٍ وَخَتَمَ عََلى سَمْعِهِ وََقلْبِهِ وَجَعَ َ ل عََلى بَصَرِهِ غِشَاوًَة َفمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ َأَفَلا تَذَكَّرُون
“Dengan yang demikian, bagaimana fikiranmu (wahai Muhammad) terhadap orang yang menjadikan hawa nafsunya: Tuhan yang dipatuhinya dan dia pula disesatkan oleh Allah karena diketahui-Nya (Bahwa dia tetap kufur ingkar) dan ditulikan pula atas pendengarannya dan hatinya serta ada lapisan penutup atas penglihatannya? Maka siapakah lagi yang dapat memberi hidayat petunjuk kepadanya sesudah Allah (menjadikan dia demikian)? Oleh karena  itu, mengapa kamu (wahai orang-orang yang ingkar) tidak ingat dan insaf?. (Al-Jathiyah:23)
2. Golongan yang bermujahadah dan bertarung menentang hawa nafsunya.
Dalam menentang hawa nafsunya ada kalanya golongan ini mencapai kemenangan dan ada kalanya mereka kalah. Namun apabila terlibat dalam kesalahan mereka segera bertaubat. Begitu juga bila mereka melakukan maksiat mereka segera sadar dan menyesal serta memohon ampun kepada Allah. Allah berfirman:
وَالَّذِينَ إِ َ ذا َفعَلُوا فَاحِشًَة َأوْ َ ظَلمُوا َأنْفُسَهُمْ َ ذ َ كرُوا اللَّهَ فَاسْتَغَْفرُوا لِ ُ ذنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وََلمْ يُصِرُّوا عََلى مَا َفعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُو ن
“Dan juga orang-orang yang apabila melakukan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka segera ingat kepada Allah lalu memohon ampun akan dosa mereka dan sememangnya tidak ada yang mengampunkan dosa-dosa melainkan Allah dan mereka juga tidak meneruskan perbuatan keji yang mereka telah lakukan itu, sedangkan mereka mengetahui (akan salahnya dan akibatnya). (Ali Imran :135)
3. Golongan yang berada dalam genggaman syetan dan hawa nafsu sebagaimana bola berada di tangan anak kecil. Mereka menyerah diri mereka bulat-bulat kepada syetan dan hawa nafsu.
Inilah golongan yang dijelaskan oleh Rasulullah saw dalam sabdanya:
كل بني آدم خطاء وخيرا الخطاءين التوابون
“Setiap anak Adam (manusia) itu melakukan kesalahan, sebaik-baik orang yang melakukan kesalahan (dosa) ialah mereka yang bertaubat. (Ahmad dan Tirmizi)
Sehubungan dengan pengertian inilah diriwayatkan satu kisah oleh Wahab Bin Munabbih yang mengatakan: “Sesungguhnya Iblis pernah bertemu dengan Nabi Allah Yahya bin Zakaria a.s, lalu Nabi Zakaria a.s berkata kepada Iblis: “Ceritakan kepadaku tabiat perangai manusia menurut pandangan kamu”. Lalu Iblis menjawab:
1. Golongan pertama dari manusia ialah seperti kamu ini. Mereka ini terpelihara (dari kejahatan dan dosa).
2. Golongan yang kedua adalah mereka yang berada dalam genggaman kami sebagaimana bola berada di tangan anak-anak kamu. Mereka menyerah diri mereka bulat-bulat kepada kami.
3. Golongan yang ketiga ialah golongan yang sangat sukar untuk kami kuasai mereka. Kami menemui salah seorang dari mereka dan kami berhasil memperdayakannya dan mencapai hajat kami tetapi ia segera memohon ampun (bila ia sadar) dan dengan istighfar itu rusaklah apa yang kami dapati darinya. Maka kami tetap tidak berputus asa untuk menggodanya dan kami tidak akan mendapati hajat kami tercapai.
Sendi-sendi Kekuatan Dalam Memerangi Nafsu.
1. Hati:
Hati akan menjadi benteng yang kuat dalam memerangi nafsu ketika hati itu hidup, lembut, bersih. Sayidina Ali dalam pesannya mengatakan:
“Sesungguhnya Allah SWT mempunyai bejana di atas buminya yaitu hati-hati … maka hati yang paling disukai oleh Allah SWT ialah hati yang lembut, bersih dan teguh. Kemudian Sayidina Ali mentafsirkan (kalimat tersebut dengan) katanya: terguh dalam berpegang pada agama Allah, bersih di dalam keyakinan dan lembut terhadap saudara-saudara mukmin.
Sayidina Ali juga berkata: “Hati seorang mukmin itu bersih, terdapat padanya pelita yang bercahaya. Hati seorang kafir itu hitam serta berpenyakit”.
Al-Quran Al-Karim memberi gambaran tentang hati orang-orang mukmin seperti Allah Berfirman:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُو َ ن الَّذِينَ إِ َ ذا ذُكِرَ اللَّهُ وَجَِلتْ قُلُوبُهُمْ وَإِ َ ذا تُلِيَتْ عََليْهِمْ ءَايَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا
“Orang-orang yang beriman itu (yang sempurna imannya) ialah mereka yang apabila disebut nama Allah (dan sifat-sifatNya) gemetarlah hati mereka; dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya, menjadikan mereka bertambah iman mereka. (Surah Al-Anfal 8: Ayat 2)
Dalam menggambarkan sifat-sifat hati orang kafir pula Allah menjelaskan:
َفإِنَّهَا َلا تَعْمَى اْلَأبْصَارُ وََلكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ
“Karena keadaan yang sebenarnya bukanlah mata kepala yang buta, tetapi yang buta itu ialah mata hati yang ada di dalam dada. (Al-Hajj: 46)
Allah juga berfirman:
َأَفَلا يَتَدَبَّرُو َ ن الُْقرْءَا َ ن َأمْ عََلى ُقُلوبٍ َأقَْفاُلهَا
“(Setelah diterangkan yang demikian) maka adakah mereka sengaja tidak berusaha memahami serta memikirkan isi Al-Quran? Atau telah ada di atas hati mereka kunci penutup (yang menghalangnya daripada menerima ajaran Al-Quran)?. (Muhammad :24)
2. Akal:
Akal adalah (ciptaan Allah) yang dapat melihat, mempunyai daya memahami sesuatu, mampu membedakan dan dapat menyimpan sesuatu pemahaman dari ilmu-ilmunya di mana dengan ilmu itu kelak ia dapat mendekatkan diri dengan Allah, mengetahui keagungan Allah serta kekuatan-Nya. Akal seperti inilah yang dimaksudkan oleh Allah Berfirman:
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ
“Sebenarnya yang menaruh bimbang dan takut (melanggar perintah) Allah dari kalangan hamba-hambaNya hanyalah orang-orang yang berilmu. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa, lagi Maha Pengampun. (Fatir:28).
Rasulullah saw menyebut betapa tingginya nilai akal ini dalam sabdanya:
ما خلق الله خلقا أكرم عليه من العقل
“Allah tidaklah mencipta suatu kejadian yang lebih mulia dari akal”. (At-Tirmizi al-hakim dalam “An-Nawadir” dengan sanad dha’if.)
Rasulullah saw berpesan kepada Sayidina Ali Karramallahu wajhah:
إذ تقرب الناس إلى الله تعالى بأنواع البر فتقرب أنت بعقلك
“Apabila manusia mendampingi Allah dengan melakukan berbagai amalan kebajikan maka engkau dampingilah Allah dengan akal fikiran engkau”. (An-Nu’aim dalam “Hilyah” dengan sanad dha’if.)
Beliau juga bersabda:
ما اكتسب رجل مثل فضل عقل يهدي صاحبه إلى هدى ويرده عن ردي
“Tidaklah beruntung seorang lelaki (dengan satu pemberian) dibandingkan dengan kelebihan karunia akal yang dapat membimbing pemiliknya kepada petunjuk dan menahannya dari perkara yang buruk”. (Al-Mujbir)
Oleh karena betapa tingginya nilai akal, maka Islam menganjurkan agar akal diisi dengan ilmu dan ma’rifah serta mendalami segala urusan agama agar dengan ilmu-ilmu itu akal menjadikannya sebagai sebab akibat yang memandu segala tindakan, membedakan di antara yang buruk dengan yang baik, di antara yang hak dengan yang batil sebagaimana Rasulullah saw bersabda:
من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين
“Barangsiapa yang Allah inginkan kebaikan pada dirinya diberikan kefahaman yang mendalam dalam agama”. (Bukhari dan Muslim)
Sabda beliau lagi:
فضل العالم على العابد كفضلي على أدنى رجل من أصحابي
“Kelebihan (keutamaan) seorang ‘alim atas seorang ‘abid (ahli ibadah) adalah seperti kelebihanku atas orang yang paling rendah dari sahabat-sahabatku”.
Semua ini membuktikan betapa tingginya nilai dan kedudukan  akal dalam proses membina kekuatan insan di dalam diri manusia. Dengannya manusia dapat mengenali serta dapat menyelami hakikat alam semesta dan rahasianya.
Oleh yang demikian akal seorang mukmin itu adalah akal fikiran yang waras, dapat membedakan buruk dan baik, halal dan haram, kebaikan dan kemungkaran karena ia melihat segala perkara dengan cahaya Allah yang dapat menembus dibalik tutupan yang halus. Allah Berfirman:
وَمَنْ َلمْ يَجْعَلِ اللَّهُ َلهُ نُورًا َفمَا َلهُ مِنْ نُورٍ
“Dan (ingatlah) Barangsiapa yang tidak dijadikan Allah menurut undang-undang peraturanNya mendapat cahaya (hidayat petunjuk) maka dia tidak akan beroleh sebarang cahaya (yang akan memandunya ke jalan yang benar). (An-Nur :40).
Cahaya akal seseorang mukmin itu senantiasa bersinar, tidak dapat dipadamkan kecuali oleh kerja-kerja maksiat yang terus menerus, dilakukan pula secara terang-terangan dan tidak pula diikuti dengan taubat. Rasulullah saw menjelaskan:
لولا أن الشياطين يهمون على قلوب بني آدم لنظروا إلى ملكوت السموات والأرض
“Kalaulah tidak karena syaitan-syaitan itu mengelilingi hati anak-anak Adam niscaya mereka dapat melihat (merenung) kerajaan Allah di langit dan di bumi”. (Imam Ahmad daripada Abu Hurairah)
Anas bin Malik r.a menceritakan:
لما دخلت على عثمان رضى الله عنه وكنت قد لقيت إمرأة في طريقي فنظرت إليها شزرا وتأملت محاسنها فقال عثمان لما دخلت: يدخل أحدكم وآثر الزنا على عينيه أما علمت أن زنا العينين النظر؟ لتتوبن أو لأعزرنك؟ فقلت أوحى بعد النبي؟ فقال: لا ولكن بصيرة وبرهان وفراسة صادقة
“Semasa aku masuk menemui Usman bin Affan r.a aku bertemu seorang wanita dalam perjalanan, lalu aku sempat mengerling memandangnya dan tertarik kepada kecantikannya. Lalu semasa aku menemuinya Othman berkata kepadaku: “Seorang dari kamu menemuiku sedangkan kesan zina kelihatan pada kedua matanya”. Adakah engkau mengetahui Bahwa zina mata itu ialah memandang? Hendaklah kamu bertaubat atau aku akan mengenakan hukuman takzir. Lalu akupun bertanya? Adakah lagi wahyu (kepadamu) selepas Nabi? Maka Othman menjawab: “Tidak, tetapi (dengan pandangan) basirah hati burhan dan firasat yang benar”.
Tanda-tanda matinya Jiwa
Apabila hati manusia telah mati atau menjadi keras, apabila hati manusia telah menjadi padam dan tidak bersinar lagi atau apabila ia telah tumpas dalam pertarungannya menghadapi syaitan maka terbukalah pintu-pintu masuk segala kejahatan terutama ke dalam dirinya, karena syaitan itu meresap ke dalam diri anak Adam sebagaimana pengaliran di dalam tubuhnya.
Sebenarnya apabila benteng pertahanan dan kekuatan manusia telah runtuh maka syaitan akan kembali menjadi teman karibnya sebagaimana Allah Berfirman:
اسْتَحْوَ َ ذ عََليْهِمُ الشَّيْطَا ُ ن َفَأنْسَاهُمْ ذِكْرَ اللَّهِ
“Syaitan telah menguasai mereka lalu menjadikan mereka lupa kepada Allah”. (Al-Mujadalah:19)
Inilah kandungan maksud yang dibayangkan oleh Al-Quran Al-Karim yang menyatakan: Kisah ini di sebut oleh at-Tajas-Subki dalam “At-Tabaqat”. Lihat Tafsir Ibn. Kathir; surah al-Hijr: 75.
قَا َ ل َفبِمَا أغوَيْتَنِي َلَأقْعُدَنَّ َلهُمْ صِرَا َ طكَ اْلمُسْتَقِيمَ ُثمَّ َلآتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ َأيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ َأيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَائِلِهِمْ وََلا تَجِدُ َأكَْثرَهُمْ شَاكِرِينَ
“Iblis berkata: Oleh karena Engkau (wahai Tuhan) menyebabkan daku tersesat (maka) demi sesungguhnya aku akan mengambil tempat menghalangi mereka (dari menjalani) jalanMu yang lurus; Kemudian aku datangi mereka, dari hadapan mereka serta dari belakang mereka, dan dari kanan mereka serta dari kiri mereka dan Engkau tidak akan dapati kebanyakan mereka bersyukur. (Al-A’raf:16-17)
Sebenarnya selain dari penyakit di atas terdapat satu penyakit lain yang paling berbahaya iaitu penyakit was-was, syaitan menyebabkan mereka merasa was-was dalam setiap urusan hidup mereka dengan tujuan memnyimpangkan mereka dari jalan Allah. Dalam hal ini Rasulullah bersabda:
إن الشيطان قعد لإبن آدم بطريق فقعد له بطريق الإسلام فقال: أتسلم وتركت دينك ودين آبائك؟ فعصاه وأسلم ثم قعد له بطريق الهجرة فقال: أﺗﻬاجر؟ أتدع أرضك وسماءك؟ فعصاه وهاجر ثم قعد له بطريق الجهاد فقال: أتجاهد وهو تلف النفس والمال فتقاتل فتقتل فتنكح نساؤك
“Sesungguhnya syaitan itu menghasut anak Adam dengan berbagai cara. Lalu (pertamanya) ia menghasut melalui jalan agama Islam itu sendiri dengan berkata: Apakah kamu menganut Islam dan meninggalkan agamamu dan agama nenek moyangmu? Anak Adam enggan mengikutinya dan tetap berpegang dengan Islam. Kemudian dia menghasut pula di jalan hijrah, lalau dia berkata: Adakah anda ingin berhijrah meninggalkan tanah air dan kampung halaman? Lalu anak Adam mengingkarinya dan tetap berhijrah. Kemudian syaitan menghasut pula di jalan jihad dengan berkata: “Adakah engkau ingin sedangkan jihad itu membinasakan jiwa dan harta benda engkau, kemudian engkau berperang lalu engkau dibunuh, kemudian isteri engkau dikahwini orang dan harta kekayaan engkau dibahagi-bahagikan. Lalu anak Adam tetap mengingkari syaitan dan terus berjihad. Kemudian Rasulullah saw bersabda: Maka Barangsiapa yang bersikapdemikian kemudian ia mati maka adalah hak Allah SWT memasukkannya ke dalam syurga”. (An-Nasa’i)
Alangkah baiknya jikalau anda dapat menatap kisah antara syaitan dan seorang Rahib Bani Israil dalam tafsir ayat Surah Al-Hasyr 59: Ayat 16.
َ كمََثلِ الشَّيْطَانِ إِ ْ ذ قَا َ ل لِْلإِنْسَانِ ا ْ كُفرْ َفَلمَّا َ كَفرَ قَا َ ل إِنِّي بَرِيءٌ مِنْكَ إِنِّي َأخَافُ اللَّهَ رَبَّ الْعَاَلمِينَ
“Bujukan orang-orang munafik itu) samalah dengan (pujukan) syaitan ketika dia berkata kepada manusia: Kufurlah kamu. Maka tatkala manusia itu telah kafir dia berkata: “Sesungguhnya aku berlepas diri dari kamu karena sesungguhnya aku takut kepada Allah Tuhan semesta alam”.
Cara-cara Menghalang Godaan Syaitan.
Bagi setiap manusia yang ingin menghadapi hasutan syaitan dan serangan-serangan Iblis, Islam telah menunjukkan kepada manusia berbagai perkara yang dapat membantunya bertahan menghadapi pertarungan dengan syaitan sehingga berhasil menewaskan musuh ketatnya itu. Cara tersebut telah dirumuskan oleh seorang dari para salihin dengan katanya:
“Saya telah merenung dan memikirkan cara-cara dari pintu manakah syaitan masuk ke dalam diri manusia, ternyata ia masuk ke dalam diri melalui sepuluh pintu:
1. Tamak dan buruk sangka, maka aku menghadapinya dengan sifat menaruh kepercayaan dan berpangku dengan apa yang ada.
2. Cinta kehidupan dunia dan panjang angan-angan, lalu aku menghadapinya dengan perasaan takut terhadap kedatangan maut yang bisa terjadi kapan saja waktunya.
3. Cinta kemewahan dan foya-foya, lalu aku menghadapinya dengan keyakinan bahwa kenikmatan itu akan hilang dan balasan buruk pasti menanti.
4. Kagum terhadap diri sendiri (‘Ujub), lantas aku menghadapinya dengan rasa berhutang budi kepada Allah dan kepada akibat yang buruk.
5. Memandang rendah terhadap orang lain dan tidak menghormati mereka, lalu aku menghadinya dengan mengenali hak-hak mereka serta menghormati mereka secara wajar.
6. Hasad (dengki), lalu aku menghadapinya dengan sifat qana’ah dan ridha terhadap karunia Allah kepada makhluknya.
7. Riya’ dan suka pujian orang. Lalu aku menghadapinya dengan ikhlas.
8. Bakhil (kikir), lalu aku menghadapinya dengan menyadari bahwa apa yang ada pada makhluk akan binasa dan yang kekal itu berada di sisi Allah.
9. Takabbur (membesarkan diri), lalu aku menghadapinya dengan rasa tawadhu’.
10. Tamak, lalu aku menghadapinya dengan mempercayai ganjaran yang disediakan di sisi Allah dan tidak tamak terhadap apa yang ada di sisi manusia.
Di antara arahan-arahan yang di anjurkan oleh Islam sebagai jalan untuk mengelak serangan dan tipu daya syaitan ialah agar senantiasa seseorang itu mengingat Allah pada setiap memulai pekerjaan.
Satu riwayat dari Abu Hurairah menyebutkan:
“Syaitan bagi orang-orang mukmin telah bertemu syaitan bagi orang-orang kafir, lalu di dapati syaitan bagi orang-orang kafir dalam keadaan gemuk montel sedangkan syaitan bagi orang-orang mukmin dalam keadaan kurus kering bertelanjang dan kusut masai. Lalu syaitan bagi orang-orang kafir itu bertanya kepada syaitan bagi orang-orang mukmin: Kenapa kamu kurus kering?. Lalu ia menjawab: “Aku bersama seorang lelaki yang apabila ia makan ia menyebut nama Allah, lalu aku terus kelaparan, apabila ia minum ia menyebut nama Allah, lalu aku terus dalam keadaan dahaga, apabila ia memakai pakaian ia menyebut nama Allah menyebabkan aku terus bertelanjang. Apabila ia memakai minyak rambut juga ia menyebut nama Allah menyebabkan aku terus kusut masai”.
Kemudian syaitan bagi orang-orang kafir itu berkata: “Tetapi aku bersama lelaki yang tidak berbuat demikian sedikitpun, maka aku bisa mendapat makan, minum dan pakai dengannya”.
Di antara cara-cara untuk dijadikan kubu pertahanan menghadapi tipu daya dan godaan syaitan ialah dengan cara:
1. Janganlah terlalu kenyang apabila makan meskipun menghadapi makanan yang baik dan halal karena Allah berfirman:
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وََلا تُسْرِفُوا
“Makanlah dan minumlah, tetapi jangan kamu berlebihan”. (Al-A’raf : 31)
Rasulullah saw juga bersabda mengingatkan, maksudnya:
“Sesungguhnya syaitan itu berjalan dalam tubuh anak Adam mengikut perjalanan darah. Oleh itu sempitkanlah pintu masuknya dengan kelaparan”. (Ahmad)
2. Membaca Al-Quran, berzikir mengingati Allah dan memohon ampunan sebagaimana yang diperintah oleh Rasulullah saw:
“Sesungguhnya syaitan itu meletakkan belalainya ke atas hati anak Adam, maka jika ia mengingati Allah ia pun lari daripadanya, jika sekiranya ia lupakan Allah syaitan akan mengunyah hatinya”. (Ibnu Abi Dunya)
3. Tidak tergopoh gopoh dalam sembarang pekerjaan karena mengingati pesanan Rasulullah saw:
“Bergopoh-gopoh (terburu-buru) itu adalah dari syaitan dan berhati-hati itu dari Allah”. (ibn Abi Shaibah, Abu Ya’la dan al-Baihaqi. At-Tirmizi meriwayatkan Hadits sepertinya dan Al-Albani mengetakan :Snadnya Hasan.)
Sebenarnya ruang ini adalah terbatas untuk menyebutkan semua sebab, amalan dan pesan-pesan yang dianjurkan oleh Islam untuk menjaga diri dari serangan dan godaan syaitan. Marilah kita melihat Allah Berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ اتََّقوْا إِ َ ذا مَسَّهُمْ طَائِفٌ مِنَ الشَّيْطَانِ تَ َ ذكَّرُوا َفإِ َ ذا هُمْ مُبْصِرُو َ ن
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa, apabila mereka disentuh oleh sesuatu imbasan hasutan dari Syaitan, mereka ingat (kepada ajaran Allah) maka dengan itu mereka nampak (jalan yang benar). (Al-A’raf :201)