Selasa, 10 Mei 2011

Hakim Bin Hazam

Pernahkah Anda mendengar berita tentang sahabat ini? Sejarah mencatat, dia adalah satu-satunya anak yang lahir dalam ka’bah yang agung.

Pada suatu hari ibunya yang sedang hamil tua masuk ke dalam ka’bah bersama-sama rombongan orang-orang sebayanya, untuk melihat-lihat ka’bah. Hari itu ka’bah dibuka untuk umum sesuai dengan ketentuan. Ketika berasa dalam ka’bah, tiba-tiba si ibu mulas hendak melahirkan. Dia tidak sanggup lagi berjalan keluar ka’bah. Maka diberikan orang tikar kulit kepadanya, dan lahirlah bayinya di atas tikar tersebut.

Bayi itu ialah Hakim bin Hazam bin Khuwailid, yaitu anak laki-laki dari saudara Ummul mukminin Khadijah binti Khuwailid.

Hakim bin Hazam
dibesarkan dalam keluarga turunan bangsawan yang berakar dalam dan terkenal kaya raya. Karena itu tidak heran kalau dia menjadi orang pandai, mulia dan banyak berbakti. Dia diangkat menjadi kepala kaumnya, dan diserahi urusan rifadah (yaitu lembaga yang memberi bantuan kepada jamaah haji yang kehabisan bekal) di masa jahiliyah. Untuk itu dia banyak bersahabat dekat dengan Rasulullah SAW, sebelum beliau menjadi Nabi. Sekalipun Hakim bin Hazam kira-kira lima tahun lebih tua dari Nabi SAW, tetapi dia lebih senang, lebih ramah dan lebih suka berteman dan bergaul dengan beliau. Rasulullah mengimbanginya pula dengan kasih sayang dan persahabatan yang lebih akrab. Kemudian ditambah pula dengan hubungan kekeluargaan, karena Rasulullah menikahi bibi Hakim, Khadijah binti Khuwailid r.a. Maka hubungan antara keduanya bertambah erat.

Anda boleh jadi heran, walaupun hubungan persahabatan dan kekerabatan antara keduanya demikian erat, ternyata Hakim tidak segera masuk Islam, melainkan sesudah pembebasan kota Makkah dari kekuasaan kafir Quraisy, kira-kira dua puluh tahun sesudah Muhammad diangkat menjadi Nabi dan Rasul. Diperkirakan orang Hakim bin Hazam, yang dikaruniai Allah akal sehat dan pikiran tajam ditambah dengan hubungan kekeluargaan, serta persahabatan yang akrab dengan Rasulullah, menjadi mukmin pertama-tama, membenarkan dakwah Muhammad, dan menerima ajarannya dengan spontan.

Tetapi kehendak Allah lain. Dan kehendak Allah itu jualah yang berlaku.

Kita heran dengan terlambatnya Hakim bin Hazam masuk Islam, tetapi Hakim sendiri pun tidak kurang keheranannya akan hal itu. Maka setelah dia masuk Islam dan merasakan nikmat iman, timbullah penyesalan mendalam, karena umurnya hampir habis dalam kemusyrikan dan mendustakan Nabi-Nya.

Putranya pernah melihat dia menangis. Dan ia bertanya, ”Mengapa Bapak menangis?”
”Banyak sekali hal-hal yang menyebabkan Bapak menangis, hai anakku!” jawab Hakim.

”Pertama, keterlambatan masuk Islam menyebabkan aku tertinggal merebut banyak kebajikan. Seandainya aku nafkahkan emas sepenuh bumi, belum seberapa artinya dibandingkan dengan kebajikan yang mungkin aku peroleh dengan Islam. Kedua, sesungguhnya Allah telah menyelamatkan dalam perang Badar dan Uhud. Lalu aku berkata pada diriku ketika itu, aku tidak lagi akan membantu kaum Quraisy memerangi Muhammad, dan tidak akan keluar dari kota Makkah. Tetapi aku senantiasa ditarik-tarik kaum Quraisy untuk membantu mereka.

Ketiga, setiap aku hendak masuk Islam, aku loihat pemimpin-pemimpin Quraisy yang lebih tua tetao berpegang pada kebiasaan-kebiasaan jahiliyah. Lalu aku ikut saja mereka secara fanatik.

Kini aku menyesal, mengapa aku tidak masuk Islam lebih dini. Yang mencelakakan kita tidak lain, melainkan fanatik buta terhadap bapak-bapak dan orang-orang tua kita. Bagaimana aku tidak akan menangis karenanya, hai anakku?”

Sebagaimana kita heran terlambatnya Hakim bin Hazam masuk Islam, begitu pulalah dia heran terhadap dirinya. Rasulullah pun heran terhadap orang yang berpikiran tajam dan berpaham luas seperti Hakim bin Hazam, tapi menutup diri untuk menerima Islam. Padahal dia dan golongan orang-orang yang seperti dia ingin segera masuk Islam.

Semalam sebelum memasuki kota Makkah, Rasulullah SAW bersabda kepada para sahabat, ”Di Makkah terdapat empat orang yang tidak suka kepada kemusyrikan, dan lebih cenderung kepada Islam.”

”Siapa mereka itu, ya Rasulullah,” Tanya para sahabat. ”mereka ialah: Attab bin Usaid, Jubair bin Muth’im, Hakim bin Hazam, dan Suhail bin Amr.” Maka dengan karunia Allah, mereka masuk Islam secara serentak.

Ketika Rasulullah SAW masuk kota Makkah sebagai pemenang, beliau tidak ingin memperlakukan Hakim bin Hazam melainkan dengan cara terhormat. Maka beliau perintahkan juru pengumuman agar menyampaikan beberapa pengumuman:
”Siapa yang mengaku tidak ada Tuhan selain Allah Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya. Dan mengaku Muhammad sesungguhnya hamba Allah dan Rasul-Nya, maka dia aman.
Siapa yang mengunci pintu rumahnya, maka dia aman.
Siapa yang masuk ke rumah Abu Sufyan, makan dia aman.
Siapa yang masuk rumah Hakim bin Hazam, maka dia aman.”

Rumah Hakim bin Hazam terletak di kota Makkah bagian bawah, sedangkan rumah Abu Sufyan bin Harb terletak di bagian atas kota Makkah.

Hakim bin Hazam memeluk Islam dengan sepenuh hati. Dan iman mendarah daging di kalbu. Dia bersumpah akan selalu menjauhkan diri dari kebiasaan-kebiasaan jahiliyah, dan menghentikan bantuan dana kepada Quraisy untuk memusuhi Rasulullah dan para sahabat beliau. Hakim menepati sumpahnya dengan sungguh-sungguh.

Sekali peristiwa di Darun Nadwah (Balai Sidang), suatu tempat terhormat bagi kaum Quraisy di masa jahiliyah untuk bermusyawarah, para pemimpin, tetua-tetua, dan para pembesar memutuskan hendak membunuh Rasulullah SAW. Hakim ingin melepaskan diri dari kenangan pada putusan tersebut. Untuk itu dia membuat tirai penutup yang dapat melupakan ingatannya pada masa lalu yang dibencinya itu. Lalu dibelinya gedung Darun nadwah tersebut seharga seratus ribu dirham.

Para pemuda Quraisy bertanya kepadanya, ”Untuk apa gedung yang dimuliakan kaum Quraisy itu Anda beli, hai paman?”

Hakim menjawab, ”Bukan begitu, hai anakku! Segala kemuliaan telah sirna. Yang mulia hanyalah taqwa. Aku tidak hendak membelinya, melainkan karena ingin menjual kembali untuk membeli rumah di surga. Aku saksikan kepada kalian semuanya, uang harganya akan kusumbangkan untuk perjuangan fi sabilillah.”

Sesudah masuk Islam, Hakim bin Hazam pergi menunaikan ibadah haji. Dia membawa seratus ekor unta yang diberinya pakaian kebesaran yang megah. Kemudian unta-unta itu disembelihnya sebagai kurban untuk mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla.

Waktu hajii tahun berikutnya, dia wukuf di Arafah beserta seratus orang hamba sahayanya. Masing-masing sahaya tergantung di lehernya sebuah kalung perak bertuliskan:
”Bebas karena Allah Azza wa Jalla, dari Hakim bin Hazam.”

Selesai menunaikan ibadah haji, budak-budak itu dimerdekakannya semuanya.

Waktu naik haji ketiga kalinya, Hakim bin Hazam mengurbankan seribu ekor biri-biri, seribu ekor persis, disembelihnya di Mina, utnuk dimakan dagingnya oleh fakir miskin, guna mendekatkan dirinya kepada Allah Azza wa Jalla.

Sesudah perang Hunain, Hakim bin Hazam meminta harta rampasan perang kepada Rasulullah SAW, lalu diberi oleh beliau. Kemudian dimintanya lagi, maka diberi pula oleh beliau. Akhirnya harta rampasan perang yang diterima Hakim dengan jalan meminta itu berjumlah seratus ekor unta yang kini menjadi cerita (hadits) dalam Islam.

Maka bersabda Rasulullah kepada Hakim, ”Sesungguhnya harta itu manis dan enak. Siapa yang mengambilnya dengan rasa syukur dan rasa cukup, dia akan diberi barakah dengan harta itu. Dan siapa yang mengambilnya dengan nafsu serakah, dia tidak akan mendapat barakah dengan harta itu, bahkan dia seperti orang makan yang tidak pernah merasa kenyang. Tangan yang di atas (memberi) lebih baik daripada tangan yang di bawah (meminta atau menerima).”

Mendengar sabda Rasulullah tersebut, Hakim bin Hazam bersumpah. ”Ya Rasulullah! Demi Allah yang mengutus engkau dengan agama yang baik, aku berjanji tidak akan meinta-minta apapun kepada siapa saja sesudah ini. Dan aku berjanji tidak akan mengambil sesuatu dari orang lain sampai aku berpisah dengan dunia!”

Sumpah tersebut dipenuhi Hakim dengan sungguh-sungguh. Pada masa pemerintahan Abu Bakar, lebih dari satu kali Hakim bin Hazam dipanggil Abu Bakar supaya mengambil gajinya dari baitul mal. Tetapi dia tidak mengambilnya. Tatkala jabatan Khalifah pindah kepada Umar Al-Faruq, Hakim pun tidak mau mengambil gajinya setelah dipanggil beberapakali.

Khalifah Umar mengumumkan di hadapan orang banyak. ”Ya ma’asyiral muslimin! Saya telah memanggil Hakim bin Hazam beberapa kali supaya mengambil gajinya dari baitul mal. Tetapi dia tidak mengambilnya!”

Bagitulah, sejak mendengar sabda Rasulullah tersebut di atas, Hakim selamanya tidak mau mengambil sesuatu dari seseorang sampai dia meninggal. [Sumber: Kepahlawanan Generasi Sahabat Rasulullah SAW]

Rabi'ah Bin Ka'ab

Rabi'ah bin Ka'ab. Rabi'ah bin Ka'ab bercerita tentang riwayat hidupnya dalam Islam. Katanya, "Dalam usia muda jiwaku sudah cemerlang dengan cahaya iman. Hati kecilku sudah penuh berisi pengertian dan pemahaman tentang Islam. Pertama kali aku berjumpa dengan Rasulullah saw. aku langsung jatuh cinta kepada beliau dengan seluruh jiwa ragaku. Aku sangat tertarik kepadanya, sehingga aku berpaling kepada beliau seorang dari yang lain.

Pada suatu hari hati kecilku berkata, "Hai Rabi'ah! mengapa engkau tidak berusaha untuk berkhidmat menjadi pelayan kepada Rasulullah SAW? Cobalah usahakan. Jika beliau menyukaimu engkau pasti akan bahagia berada di samping beliau dalam mencintainya dan akan beroleh keuntungan di dunia dan akhirat."

Berkat desakan hati, aku segera mendatangi Rasulullah SAW dengan penuh harapan semoga beliau menerimaku untuk berkhidmat kepadanya. Ternyata harapanku tidak sia-sia. Beliau menyukai dan menerimaku menjadi pelayannya. Sejak hari itu aku senantiasa di samping beliau, selalu berada di bawah bayang-bayangnya. Aku ikut ke mana beliau pergi dan selalu siap dalam lingkungan tempat beliau berada. Bila beliau mengedipkan mata ke arahku, aku segera berada di hadapannya. Bila beliau membutuhkan sesuatu, aku sudah siap sedia melayaninya.

Aku melayani beliau sepanjang hari sampai habis waktu Isya' yang terakhir. Ketika beliau pulang ke rumahnya hendak tidur, barulah aku berpisah dengannya. Tetapi, hatiku selalu berkata, "Hendak ke mana engkau hai Rabi'ah? Mungkin Rasulullah membutuhkanmu tengah malam." Karena itu aku duduk di muka pintu beliau dan tidak pergi jauh dari bendul rumahnya.

Tengah malam beliau bangun untuk salat. Sering kali aku mendengar beliau membaca surat Al-Fatihah. Beliau senantiasa membacanya berulang-ulang sejak dari pertengahan malam ke atas. Setelah mataku mengantuk benar, barulah aku pergi tidur. Sering pula aku mendengar beliau membaca, "Sami'allaahu liman hamidah." Kadang-kadang beliau membacanya ulang dengan tempo yang lebih lama daripada jarak ulangan membaca Al-Fatihah.

Sudah menjadi kebiasaan Rasulullah SAW, jika seorang berbuat baik kepadanya, beliau lebih suka membalasnya dengan yang paling baik. Begitulah, beliau membalas pula pelayananku kepadanya dengan yang paling baik. Pada suatu hari beliau memanggilku seraya berkata, "Hai Rabi'ah bin Ka'ab!"

"Saya, ya Rasulullah!" jawabku sambil bersiap-siap menerima perintah beliau.

"Katakanlah permintaanmu kepadaku, nanti kupenuhi," kata beliau.

Aku diam seketika sambil berpikir. Sesudah itu aku berkata, "Ya Rasulallah, berilah aku sedikit waktu untuk memikirkan apa sebaiknya yang akan kuminta. Setelah itu akan kuberitahukan kepada Anda."

"Baiklah kalau begitu," jawab Rasulullah.

Aku seorang pemuda miskin, tidak berkeluarga, tidak punya harta dan tidak punya rumah tinggal di shuffatul masjid (emper masjid), bersama-sama dengan kawan senasib, yaitu orang-orang fakir kaum muslimin. Masyarakat menyebut kami "dhuyuful Islam" (tamu-tamu) Islam. Bila seorang muslim memberi sedekah kepada Rasulullah, sedekah itu diberikan beliau kepada kami seluruhnya. Bila ada yang memberikan hadiah kepada beliau, diambilnya sedikit dan lebihnya diberikan beliau kepada kami.

Nafsuku mendorong supaya aku meminta kekayaan dunia kepada beliau, agar aku terbebas dari kefakiran seperti orang-orang lain yang menjadi kaya, punya harta, istri, dan anak. Tetapi, hati kecilku berkata, "Celaka engkau, hari Rabi'ah bin Ka'ab! Dunia akan hilang lenyap dan rezkimu di dunia sudah dijamin Allah, pasti ada. Padahal, Rasulullah saw. yang berada dekat Rabnya, permintaannya tak pernah ditolak. Mintalah supaya beliau mendoakan kepada Allah kebajikan akhirat untukmu."

Hatiku mantap dan merasa lega dengan permintaan seperti itu. Kemudian aku datang kepada Rasulullah, lalu beliau bertanya, "Apa permintaanmu, wahai Rabi'ah?"

Jawabku, "Ya Rasulullah! aku memohon semoga Anda sudi mendoakan kepada Allah Taala agar aku menjadi teman Anda di surga."

Agak lama juga Rasulullah saw. terdiam. Sesudah itu barulah beliau berkata, "Apakah tidak ada lagi permintaamu yang lain?"

Jawabku, "Tidak, ya Rasulullah! rasanya tidak ada lagi permintaan yang melebihi permintaan tersebut bagiku."

"Kalau begitu bantulah saya dengan dirimu sendiri. Banyak-banyaklah kamu sujud," kata Rasulullah. Sejak itu aku bersungguh-sungguh beribadah, agar mendapatkan keuntungan menemani Rasulullah di surga, sebagaimana keuntunganku melayani beliau di dunia.

Tidak berapa lama kemudian Rasulullah saw. memanggilku, katanya, "Apakah engkau tidak hendak menikah, hai Rabi'ah?"

Jawabku, "Aku tidak ingin ada sesuatau yang menggangguku dalam berkhidmat kepada Anda, ya Rasulullah. Di samping itu, aku tidak mempunyai apa-apa untuk mahar kawin, dan untuk kelangsungan hidup atau tegaknya rumah tangga.

Rasulullah diam saja mendengar jawabanku. Tidak lama kemudian beliau memanggilku kali yang kedua. Kata beliau, "Apakah engkau tidak hendak menikah, ya Rabi'ah?"

Aku menjawab seperti jawaban yang pertama. Tetapi setelah aku duduk sendiri, aku menyesal. Aku berkata kepada diri sendiri, "Celaka engkau hai Rabi'ah! Mengapa engkau menjawab begitu? Bukankah Rasulullah lebih tahu apa yang baik bagimu mengenai agama maupun dunia, dan beliau lebih tahu daripada kamu tentang dirimu sendiri? Demi Allah jika Rasulullah memanggilku lagi dan bertanya masalah pernikahan, akan kujawab, ya."

Memang tidak berapa lama kemudian Rasululah saw. menanyakan kembali, "Apakah engkau tidak hendak menikah, hai Rabi'ah?"

Jawabku, "Tentu, ya Rasulullah! Tetapi, siapakah yang mau kawin denganku, keadaanku seperti yang Anda maklumi."

Kata Rasululah saw., "Temuilah keluarga Fulan. Katakan kepada mereka Rasulullah menyuruh kalian supaya menikahkan anak perempuan kalian, si Fulanah dengan engkau."

Dengan malu-malu aku datang ke rumah mereka. Lalu kukatakan, "Rasulullah mengutusku ke sini, supaya kalian mengawinkan denganku anak perempuan kalian si Fulanah."

Jawabku, "Ya, si Fulanah?"

Kata mereka, "Marahaban, bi Rasulilah, wa marhaban bi rasuli Rasulillah!" (Selamat datang ya Rasulullah dan dan selamat datang utusan Rasulullah. Demi Allah! Utusan Rasulullah tidak boleh pulang, kecuali setelah hajatnya terpenuhi!"

Lalu, mereka nikahkan aku dengan anak gadisnya. Sesudah itu aku datang menemui Rasulullah saw. Kataku, "Ya Rasulullah! aku telah kembali dari rumah keluarga yang baik. Mereka mempercayaiku, menghormatiku, dan menikahkan anak gadisnya denganku. Tetapi, bagaimana aku harus membayar mahar mas kawinnya?"

Rasulullah memanggil Buraidah ibnu al-Kasib, seorang sayyid di antara beberapa sayyid dalam kaumku, Bani Aslam. Kata beliau, "Hai, Buraidah! kumpulkan emas seberat biji kurma, untuk Rabi'ah bin Ka'ab!"

Mereka segera melaksanakan perintah Rasulullah saw. tersebut. Emas sudah terkumpul untukku. Kata Rasulullah kepadaku, "Berikan emas ini kepada mereka. Katakan, "Ini mahar kawin anak perempuan kalian."

Aku pergi mendapatkan mereka, lalu kuberikan emas itu sebagaimana dikatakan Rasulullah. Mereka sangat senang dan berkata, "Bagus, banyak sekali!"

Aku kembali menemui Rasulullah saw. Kataku, "Belum pernah kutemui suatu kaum yang sebaik itu. Mereka senang sekali menerima emas yang aku berikan. Walaupun sedikit, mereka mengatakan, "Bagus, banyak sekali!" Sekarang, bagaimana pula caranya aku mengadakan kenduri, sebagai pesta perkawinanku? Dari mana aku akan mendapatkan biaya, ya Rasulullah?"

Rasulullah berkata kepada Buraidah, "Kumpulkan uang seharga seekor kibasy, beli kibasy yang besar dan gemuk!"

Kemudian Rasulullah berkata kepadaku, "Temui Aisyah! Minta kepadanya gandum seberapa ada padanya."

Aku datang menemui 'Aisyah Ummul Mukminin. Kataku, "Ya, Ummul Mukminin! Rasulullah menyuruhku minta gandum seberapa yang ada pada ibu."

'Aisyah menggantangi gandum yang tersedia itu di rumahnya. Katanya, "Inilah yang ada pada kami, hanya ada tujuh gantang. Demi Allah! tidak ada lagi selain ini, bawalah!"

Aku pergi ke rumah istriku membawa kibasy dan gandum. Kata mereka, "Biarlah kami yang memasak gandum. Tetapi kibasy, sebaiknya Anda serahkan kepada kawan-kawan Anda memasaknya."

Aku dan beberapa orang suku Aslam mengambil kibasy tersebut, lalu kami sembelih dan kuliti, sesudah itu kami masak bersama-sama. Kini sudah tersedia roti dan daging untuk kenduri perkawinanku, beliau datang memenuhi undanganku. Alhamdulillah.

Kemudian, Rasulullah menghadiahkan sebidang kebun kepadaku, berbatasan dengan kebun Abu Bakar Shidiq. Dunia kini memasuki kehidupanku. Sehingga, aku sempat berselisih dengan sahabat senior Abu Bakar Shidiq, mengenai sebatang pohon kurma. Kataku kurma itu berada dalam kebunku, jadi milikku. Kata Abu bakar, tidak, kurma itu berada dalam kebunnya dan menjadi miliknya. Aku tetap ngotot dan membantahnya, sehingga dia mengucapkan kata-kata yang tak pantas didengar. Setelah dia sadar atas keterlanjurannya mengucapkan kata-kata tersebut, dia menyesal dan berkata kepadaku, "Hai Rabi'ah! Ucapkan pula kata-kata seperti yang saya lontarkan kepadamu, sebagai hukuman (qishash) bagiku!"

Jawabku, "Tidak! Aku tidak akan mengucapkannya!" Kata Abu Bakar, "Saya adukan kamu kepada Rasulullah, kalau engkau tidak mau mengucapkannya!" Lalu dia pergi menemui Rasulullah saw. Aku mengikutinya dari belakang.

Kaumku Bani Aslam mencela sikapku. Kata mereka, "Bukankah dia yang memakimu terlebih dahulu? Kemudian dia pula yang mengadukanmu kepada Rasulullah?"

Jawabku kepada mereka, "Celaka kalian! Tidak tahukah kalian siapa dia? Itulah "Ash-Shidiq", sahabat terdekat Rasulullah dan orang tua kaum muslimin. Pergilah kalian segera sebelum dia melihat kalian ramai-ramai di sini. Aku khawatir kalau-kalau dia menyangka kalian hendak membantuku dalam masalah ini sehingga dia menjadi marah. Lalu dalam kemarahannya dia datang mengadu kepada Rasulullah. Rasulullah pun akan marah karena kemarahan Abu Bakar. Karena kemarahan beliau berdua, Allah akan marah pula, akhirnya si Rabi'ah yang celaka?"

Mendengar kata-kataku mereka pergi. Abu Bakar bertemu dengan Rasululah saw., lalu diceritakannya kepada beliau apa yang terjadi antarku dengannya, sesuai dengan fakta. Rasulullah mengangkat kepala seraya berkata padaku, "Apa yang terjadi antaramu dengan Shiddiq?"

Jawabku, "Ya Rasulullah! Beliau menghendakiku mengucapkan kata-kata makian kepadanya, seperti yang diucapkannya kepadaku. Tetapi, aku tidak mau mengatakannya."

Kata Rasulullah, "Bagus!" Jangan ucapkan kata-kata itu. Tetapi, katakanlah, "Ghaffarallaahu li abi bakar." (Semoga Allah mengampuni Abu Bakar).

Abu bakar pergi dengan air mata berlinang, sambil berucap, "Jazaakallaahu khairan, ya Rabi'ah bin Ka'ab." (Semoga Allah membalas engkau dengan kebajikan, hai Rabi'ah bin Ka'ab). [Sumber: Kepahlawanan Generasi Sahabat Rasulullah SAW]

Karena Hidup Bukan Menunda Kekalahan

Hidup itu bukan perjalanan yang datar. Atau bergerak linear. Ada lika-likunya. Ada suka dan duka. Ada keberhasilan di satu waktu, kadang kegagalan di waktu lainnya. Bahkan iman, "yazidu wa yanqus" suatu saat naik, suatu ketika turun.

Maka mempertahankan azam dan cita-cita adalah energi jiwa yang membuat manusia mampu bertahan dalam kebermaknaan hidup. Memiliki harapan yang akan digapai adalah bahan bakar yang membuat nyali kehidupan kita tetap menyala. Kalaupun cita-cita itu telah tercapai, buatlah cita yang lebih tinggi. Kalaupun harapanmu telah kau gapai, buatlah harapan yang lebih besar hendak kau gapai. Seperti jiwa perindu Umar bin Abdul Aziz. Memancangkan cita memperoleh istri shalihah, lalu berharap menjadi amir. Kemudian khalifah. Semuanya tercapai. Ketika menjadi khalifah, ia mengerahkan segenap potensinya untuk meraih cita terakhirnya: masuk surga. Jadilah ia pemimpin yang adil dan menyejahterakan: sampai para amil kesulitan menemukan para mustahik.

Mengapa kini kita temukan orang-orang yang kehilangan daya hidup sebelum kehidupan meninggalkannya? Atau orang-orang yang diam menanti kematian datang, seraya menggumamkan dalam hatinya bait puisi Chairil Anwar: "Hidup hanya menunda-nunda kekalahan"

Manusia bisa menjadi seperti itu ketika ia tak lagi memiliki harapan, cita-cita. Dan itu bermula dari kesalahan memandang kehidupan. Bahwa hidup sekedar materi, untuk materi. Dari sana mencuatlah "godaan" yang lain: jika kau tak tahan menderita, akhiri saja hidupmu sekarang juga.

Tanpa harapan, cita-cita, bisa saja manusia tetap bertahan hidup. Namun tak ada lagi gairah dan semangat. Tak ada lagi letup-letup jiwa yang menggerakkannya untuk hidup lebih berarti, lebih bermanfaat. Ia menyerah. Ia kalah.

Ada lagi manusia yang pada awalnya memiliki cita-cita. Ia puas ketika cita-cita itu tercapai, lalu berdiam diri. Pada mulanya puas. Lama-lama menjadi tak berarti. Sebab tak ada lagi azam untuk mencapai yang lebih tinggi. "Di antara sekian jenis kemiskinan", kata KH. Rahmat Abdullah, "yang paling memprihatinkan adalah kemiskinan azam"

Atau seseorang yang telah menorehkan prestasinya dalam pertengahan hidup. Lalu berputus asa karena ia hanya mampu mengenangnya tanpa membuat prestasi lain yang lebih besar di masa-masa akhir hidupnya. Di sini godaan iman menggoyahkannya. Ia justru kehilangan keikhlasan lalu tercebur dalam kesalahan. Memanggil topan untuk memporakporandakan kapal prestasinya. Maka kapal itupun tenggelam sebelum ditulis sejarah. Tenggelam dalam lautan kesalahan.

Khalid bin Walid mengajari kita. Menorehkan prestasi terbesar bukan di akhir hidupnya. Namanya telah mengharum sebagai pedang Allah, panglima perang yang selalu membawa pasukannya pada kemenangan. Dan puncaknya adalah Perang Yarmuk. Ketika ia berhasil membuat militer Romawi kalang kabut, ambruk. Lalu paska karya monumental itu, ia dipecat Umar. Tak pernah lagi memimipin perang. Namun ia berhasil memenangkan keikhlasan. Berhasil pula mempertahankan azam. Untuk syahid fi sabilillah. Maka seperti hadits Nabi, Khalid pun mendapatkan ini: "Siapa yang berazam mendapatkan mati syahid, ia akan dicatat sebagai syahid meskipun matinya di atas peraduan." Dan sampai kini, namanya dikenang sebagai panglima besar Islam, hingga Agha Ibrahim Akram membutuhkan lebih dari 600 halaman untuk mencatat biografinya.

Belum terlambat bagi kita untuk memancangkan cita. Menegakkannya meninggi, berkibar di angkasa. Menguatkan akarnya hingga tak pernah tercabut dari bumi jiwa. Mengokohkan tiangnya hingga tak pernah patah oleh sekencang apapun angin godaan yang menghempas menerpa. Jika cita demi cita menjadi nyata, ucapkan puji dan panjatkan syukur pada-Nya. Namun satu lagi yang kita semua belum mampu memastikannya: Menggapai ridha-Nya dan beroleh surga. Bukankah itu setinggi cita-cita dan akan terus menyalakan semangat kita? Jika demikian halnya, percayalah: hidup bukan menunda kekalahan. [Muchlisin]

Ketika Hidayah Membersamai Cinta

Aneh. Mereka menangis. Menangisi kepergian orang-orang yang sebelumnya datang sebagai musuh dan mengalahkan negerinya. Bulir-bulir air mata jatuh menyentuh tanah kelahiran yang kini mulai berubah. Tidak semuanya menangis, memang. Namun rona kesedihan menjadi wajah negeri Hims pada hari itu.

Sebelumnya, Hims berada di bawah kekuasaan Romawi. Penduduknya mayoritas beragama Nasrani dan Yahudi. Sampai Islam mengalahkan militer negeri itu, justru ketika mereka mengejar kaum muslimin. Militer itu mungkin terlalu berambisi untuk mengalahkan kaum muslimin. Mereka tidak sadar akan kecerdasan Khalid bin Walid yang telah merancang strategi jitu, sebagaimana mereka tidak juga sadar akan keberanian kaum muslimin menyongsong kematian.

Setelah militer Hims kalah, kaum muslimin memasuki negeri itu untuk menggantikan tirani Romawi. Kesepakatan yang disepakati kedua belah pihak, setiap penduduk Hims membayar jizyah 1 dinar dengan jaminan keselamatan dan keamanan mereka.

Waktu bergulir begitu cepat bersama berubahnya hati manusia. Hims merasakan cinta kaum muslimin kepada mereka. Mereka menikmati kebaikan, keadilan, perlindungan, dan kedamaian dari tentara Muslim di bawah kepemimpinan Abu Ubaidah dan Khalid bin Walid. Maka, tahun 13 H atau 636 M itu menjadi saksi tetesan air mata saat tentara muslim berpamitan kepada mereka menuju Yarmuk. "Kami telah melupakan kemenangan kalian dan mempertahankan kalian," kata Abu Ubaidah dalam sambutan perpisahannya, "karena itu kini kalian bebas menjalani urusan kalian masing-masing." Kata-kata pengundang air mata itu mengiringi sikap yang tidak pernah dilupakan Hims. Kaum muslimin mengembalikan semua jizyah penduduk Hims.

Mata yang berkaca-kaca kini berlinang air mata. Tetesannya menjadi saksi keharuman cinta kaum muslimin. Agha Ibrahim Akram mencatat perkataan sebagian Yahudi Hims dalam buku Khalid bin Walid, The Sword of Allah : "Sungguh, pemerintahan dan keadilan kalian lebih kami senangi dari kezaliman yang dahulu kami rasakan." Mereka juga berjanji takkan mengundang Romawi ke negeri itu. Namun yang lebih menggembirakan, kebaikan kaum muslimin itu membuat penduduk Hims berbondong-bondong memeluk Islam di belakang hari. Hidayah Allah turun membersamai cinta kaum muslimin yang dihadiahkan pada mereka.

Jihad Perang di dalam Islam memang bukan untuk motif ekonomi. Dr. Yusuf Qardhawi menjelaskan panjang lebar dalam Fiqih Jihad bahwa perang seperti itu dilarang dalam Islam. Demikian pula jihad perang bukan dimaksudkan untuk memaksa manusia masuk Islam. Bukan pula untuk melenyapkan seluruh kekufuran di penjuru dunia. Barangkali sebagian kita terkejur dengan larangan terakhir ini. Namun Dr. Yusuf Qardhawi telah mengambil kesimpulan ini dari dalil-dalil Al-Qur'an dan Sunnah.

Tujuan jihad perang yang dibenarkan dalam Islam adalah untuk melawan agresi musuh, mencegah terjadinya fitnah atau menjaga stabilisasi kebebasan dakwah, menyelamatkan orang-orang yang tertindas, dan memberi pelajaran kepada orang-orang yang mengingkari perjanjian. Selebihnya, ketika jihad perang selesai, biarlah orang-orang kafir berinteraksi dengan Islam, menerima dakwahnya, memahami hakikatnya, merasakan kebaikannya, dan membandingkannya dengan keyakinan lama mereka. Allah yang kuasa untuk menganugerahkan hidayah-Nya. Dan hidayah itu turun, biasanya membersamai cinta.

Jihad dalam bentuknya yang lain juga demikian. Jihad siyasi, misalnya. Ia tidak bertujuan meraih kekuasaan, seperti banyak dituduhkan oleh orang-orang yang belum memahami Islam dan dakwahnya. Kekuasaan hanyalah sasaran antara. Hanya anak tangga. Agar Islam bisa mengatur negeri dengan keadilannya. Agar Islam menampakkan keseluruhan wajahnya; yang indah dan mempesona. Agar kaum muslimin bisa menghadirkan cinta, tanpa dihalangi oleh tirani penguasa. Lalu biarlah... dengan cinta yang telah diterimanya umat memilih. Berbondong-bondong menyempurnakan agamanya. Sebab hidayah itu kuasa Allah Azza wa Jalla.

Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,
dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong,
maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Penerima taubat.
(QS. An-Nashr: 1-3)

Wallaahu a'lam bish shawab. [Muchlisin]

Senin, 09 Mei 2011

Kalau Sudah Benci, Semua Langkah Dianggap Salah

Mengkritik adalah hak setiap orang. Demikian pula mengkritik sebuah harakah, mengkritik jama'ah dakwah, mengkritik partai dakwah.

Kritik sering kali justru menjadi motivasi untuk maju, memperbaiki kesalahan, dan melakukan perbaikan. Maka kritik adalah sebentuk "tanda cinta" yang perlu disyukuri oleh pihak yang dikritik.

Betapa banyak orang atau organisasi yang terbuai pujian kemudian menjadi stagnan. Betapa banyak orang atau organisasi yang terninabobokkan oleh tepuk tangan lalu ia tidak sadar bahwa ia tengah berhenti beramal, berhenti memproduksi kebaikan dan kebajikan. Ketika ia terbangun, matanya silau oleh perubahan dan pandangan tergagap mendapati dirinya sendiri berselimut kegagalan.

Maka kritik adalah sebentuk "tanda cinta" yang perlu disyukuri oleh pihak yang dikritik. Dengan kritik yang datang kita jadi tahu kelemahan kita, kekurangan kita. Maka kita terselamatkan dari malapetaka lebih besar yang mengancam kita; seandainya kesalahan kecil tetap kita biarkan membesar, atau kelemahan tidak kita antisipasi sejak dini.

Namun tidak semua kritik harus kita amini. Tidak semua kritik kita telan mentah-mentah, lalu kita tergopoh-gopoh dalam menjawab kritik, atau mengubah keputusan secara sporadis. Maka di sini diperlukan kecerdasan mengelola kritik.

Setiap kritik yang datang perlu dihadapi dengan tenang. Pertama-tama kita harus mampu meletakkan pada timbangan obyektif; ini konstruktif atau destruktif. Kontruktif jika konten kritik itu benar; mengemukakan kesalahan yang selama ini mungkin tidak kita sadari. Destruktif jika kritik itu asal bunyi, hal yang benar dinilai salah, keputusan yang tepat dianggap bejat. Kritik konstruktif menjadi "tanda cinta" yang kita tindaklanjuti dengan perbaikan. Kritik destruktif kita jawab dengan bijak; kalau toh tak ada tanda-tanda ia bisa tercerahkan oleh jawaban kita, abaikan saja!

Maka mereka yang cinta pada kita atau benci, kritiknya bisa berbentuk konstruktif atau destruktif. Bedanya pada niat, cara menyampaikan, dan intensitasnya. Orang yang cinta selalu mendahului kritiknya dengan niat suci; agar kita lebih baik, agar kita tidak terjebak pada kesalahan. Dari niat yang suci akan lahir bahasa yang relatif santun dan tepat sasaran; mengkritik permasalahan. Suatu saat bisa jadi orang yang cinta juga memberikan kritik yang salah, kritik destruktif. Ini dimungkinkan terjadi karena aspek pemahaman atau sudut pandang. Namun intensitas kritik destruktif dari orang jenis ini ibarat setetes air dalam gelas cintanya; kritik konstruktifnya jauh lebih banyak.


Namun bagi orang yang benci, segala hal akan dikritik. Salah atau benar, semua langkah kita akan dianggap salah. Baik kritik itu bermuatan benar (konstruktif) ataupun salah (destruktif), biasanya disampaikan dengan nada negatif, menghakimi, dan menjatuhkan. Bukan berarti kita lantas mengabaikan semuanya. Masih ada kritik konstruktif hatta dari orang yang benci seperti ini. Maka, itu pun bermanfaat bagi perbaikan kita. Kita patut berterima kasih pada kesempatan seperti itu. Namun, kita tidak boleh terjebak pada banyak kritik destruktifnya. Sebab jika kita terjebak, alih-alih lebih baik, kita malah bisa terlempar dari jalan yang benar, atau berputar arah dari garis finish kesuksesan yang tinggal beberapa langkah ke depan. Wallaahu a'lam bish shawab. [Muchlisin]

Taubatnya Sya'labah bin Abdul Rahman

Tsalabah bin Abdul Rahman ra adalah salah seorang sahabat yang mulia. Beliau berasal
dari kalangan Anshar, dan selalu setia melayani Rasulullah Saw sejak beliau ra masuk
Islam.
Suatu ketika dalam sebuah perjalanan untuk menunaikan sebuah urusan, secara tidak
sengaja Tsalabah ra melihat seorang wanita Anshar yang sedang mandi. Rasa takutnya
akan Allah Swt muncul seketika, ia takut jika Allah Swt akan menurunkan wahyu atas
apa yang telah terjadi. Maka ia lari hingga mencapai pegunungan, tinggal disana dan
senantiasa bertaubat dan menangis kepada Allah Swt selama 40 hari.
Malaikat Jibril as menyampaikan perihal ini kpd Rasul Saw, shg Rasulullah Saw
meminta kepada beberapa sahabat Anshar untuk menjemputnya. Ketika sampai Madinah,
Rasulullah Saw sedang memimpin shalat berjamaah. Maka shalatlah mereka, namun
Tsalabah ra masih dengan rasa berdosanya, memilih shaf paling belakang. Ketika ia
mendengar ayat Qur'an yg sdg dibaca Rasul Saw, ia seketika pingsan. Selesai shalat,
Rasulullah Saw membangunkannya dan menanyakan perihal dirinya.
"Apa yg menyebabkan kau pergi dariku?," tanya Rasul.
"Dosaku, ya Rasulullah," jawabnya.
"Bukankah aku pernah menunjukkan ayat yg dpt menghapus dosa dan kesalahan (QS.
2:201)?," tanya Rasul.
"Betul, akan tetapi dosaku teramat besar, ya Rasulullah," jawabnya.
"Akan tetapi, Kalam Allah itu lebih besar lagi," jawab Rasulullah Saw.
Setelah itu, Rasulullah Saw memerintahkan agar Tsalabah dibawa kerumahnya. Namun
setelah sampai dirumah, Tsalabah ra jatuh sakit, hingga akhirnya Rasulullah Saw yang
mendengar kabar sakitnya Tsalabah ra menjenguknya. Tsalabah ra masih malu karena
rasa bersalahnya selalu menggeser kepalanya dari pangkuan Rasulullah Saw.
"Mengapa kamu geser kepalamu dari pangkuanku?," tanya Rasulullah Saw.
"Karena kepala ini penuh dosa," jawab Tsalabah ra.
"Apa yg kamu keluhkan?," tanya Nabi Saw kepadanya.
"Seperti ada gerumutan semut-semut di antara tulangku, dagingku, dan kulitku," jawab
Tsalabah ra.
"Apa yang kamu inginkan?," tanya Nabi Saw.
"Ampunan Rabbku," jawabnya.
Kemudian turunlah Jibril as kpd Nabi Saw dengan membawa wahyu dr Allah Swt,
"Andaikata hamba-Ku ini meghadap-Ku dengan kesalahannya sepenuh bumi, Aku akan
menyambutnya dengan ampunan-Ku sepenuh bumi pula."
Nabi Saw menyampaikan wahyu tersebut kepada Tsalabah ra, dan seketika ia terpekik
dan meninggal. Maka Rasulullah Saw memerintahkan agar ia segera dimandikan dan
dikafani. Ketika selesai menyalatinya, beliau Saw berjalan sambil berjingkat.
Salah seorang sahabat menanyakan mengapa Rasulullah Saw berjalan sambil berjingkat
seperti itu. "Demi Dzat yang telah mengutusku dengan benar sebagai Nabi, sungguh aku
tidak mampu meletakkan kakiku di atas bumi, karena malaikat yang turut melayat
Tsalabah sangatlah banyak," jawab Rasulullah Saw.
Kisah Tsalabah ra, seorang sahabat yang mulia, memberikan kita beberapa hikmah. Ada
keagungan dalam sikap Tsalabah ra dalam menyikapi rasa bersalahnya. Kesalahan
Tsalabah ra mungkin merupakan sebuah kesalahan yang sepele untuk kita, namun tidak
untuk seorang Tsalabah ra.
Yang dianggap sebagai dosa besar bagi Tsalabah adalah SECARA TIDAK SENGAJA melihat
seorang wanita yang sedang mandi. Ketidaksengajaan inilah yang memicu penyesalan dan taubat dari Tsalabah ra. Sedemikian mulia akhlakmu, hai Tsalabah!
Dan coba kita renungkan perjalanan taubatnya Tsalabah ra. Langkah pertama adalah
ketakutan akan kuasa Allh Swt. Rasa takut akan kuasa Allah Swt mencerminkan betapa
Tsalabah ra adalah manusia yang ihsan, dimana ia tahu dan yakin walaupun tidak ada
seorang pun yang bersamanya saat itu, namun Allah Swt ada dan mengetahui apa yang
dilakukannya. Takutnya Tsalabah ra akan azab Allah Swt atasnya segera menuntunnya ke langkah selanjutnya, yaitu penyesalan.
Penyesalan yang penuh dengan sujud dan tangis selama 40 hari. Hingga Allah Swt
menunjukkan Kasih-Nya dengan mengirim Jibril as untuk mengabarkan mengenai Tsalabah ra yang berada di atas pegunungan, ditempatnya sedang bertobat. Bahkan setelah dijemput, Tsalabah ra masih dalam nuansa penyesalan dan takut yang membuatnya pingsan ketika mendengar ayat Allah yang dibacakan oleh Rasulullah Saw dalam shalatnya. Penyesalan yang kemudian menyebabkan sakitnya Tsalabah ra, hingga Allah Swt menegaskan keagungan-Nya dan ampunan-Nya kepada Tsalabah ra.
Tahap terakhir adalah ampunan Allah Swt atas Tsalabah ra. Sangat terlihat betapa
Allah Swt mencintai hamba-hamba-Nya yang bertobat dan kembali kepada-Nya. Jika
seorang hamba sudah bertobat dan datang kepada Allah membawa kesalahan seisi dunia, maka akan disambut-Nya dengan ampunan seisi dunia pula. Yaa Allah, subhanaka yaa Ghofururrahim.
Taubat adalah rezeki setiap manusia yang seringkali dilupakan. Allah Swt membuka
pintu taubat selapang-lapangnya bagi hamba-Nya yang ingin kembali kepada-Nya. Selama hamba-Nya tidak mempersekutukan Allah Swt, maka nikmat taubat itu ada untuknya.
Sungguh merugi manusia yang lalai menikmati rezeki taubat ini, taubat ini gratis
dari Allah Swt dan tanpa tedeng aling-aling. Sebuah kehinaan jika memohon ampunan
atau maaf dari sesama manusia, namun adalah sebuah kemuliaan untuk memohon ampun dari Allah Swt dengan sebaik-baiknya permohonan.
Dikisahkan oleh Jabir bin Abdullah Al-Anshari, dikutip dr mukhatashar Kitabit-Tawwabiin yang ditulis oleh Ibnu Qudamah Al-Maqdisy.

Imam Ahmad bin Hambal, Ujian dari Empat Rezim

Nama asli beliau Ahmad bin Muhammad bin Hambal. Panggilan akrab ulama yang lahir di Baghdad 164 Hijriyah ini adalah Abu Abdillah. Nama itu merupakan sandingan dengan nama salah seorang putera beliau yang bernama Abdullah.
Sejak belia Ahmad bin Hambal telah hidup yatim. Di usia tiga puluh tahun, ayahnya yang seorang walikota meninggal dunia. Sejak saat itu, kehidupan keluarga Ahmad kecil ini dalam keadaan yang sangat sederhana.
Ibu Ahmad bin Hambal sangat bersikeras anaknya kelak menjadi orang yang berilmu. Ia sengaja melahirkan dan membesarkan anaknya di Baghdad, bukan kota di mana suaminya pernah menjadi pejabat nomor satu, hanya untuk mengkondisikan puteranya menjadi dekat dengan para ulama dan jauh dari kehidupan glamour seperti umumnya anak-anak pejabat.
Kegigihan dan keseriusan Ahmad bin Hambal muda memang luar biasa dalam menuntut ilmu. Kerap kali, Ibu Ahmad bin Hambal menyampaikan usul agar anaknya bisa berangkat mencari ilmu setelah adzan Subuh. Tapi, Ahmad muda tetap menunjukkan keseriusan itu. Sebelum adzan Subuh, Ahmad bin Hambal sudah keluar rumah untuk mendatangi para ulama.
Beberapa kota yang ia datangi untuk menemui para ulama yang ia jadikan sebagai guru, di antaranya, Kufah, Hijaz, Makkah, Madinah, Yaman, Syam, Tsaghur, Maroko, Al-Jazair, Al-Faratin, Persia, dan Khurasan.
Suatu kali, pernah Ahmad bin Hambal ingin belajar dari seorang ulama di Shan’a yang bernama Abdurrazaq. Sebelum ia berangkat ke Shan’a, sebuah daerah di Yaman yang menempuh sekitar satu bulan perjalanan dari Baghdad, ia bertemu sang guru itu di Mekah dalam ibadah haji.
Seorang teman beliau mengusulkan agar belajarnya di Mekah saja dan tak perlu lagi ke rumah beliau yang begitu jauh. Tapi, tetap saja, Ahmad bin Hambal berangkat ke rumah gurunya itu untuk mendapatkan ilmu.
Dalam sebuah perjalanan menuntut ilmu, ketika berada di sebuah rumah tempat ia menginap, semua perbekalan Ahmad bin Hambal dicuri orang. Si pemilik rumah menceritakan itu ke Ahmad bin Hambal.Tapi, Ahmad tidak menanyakan soal perbekalannya. Ia hanya bertanya, apakah buku catatannya masih ada.
Di rumah Abdurrazaq, Ahmad bin Hambal sudah kehabisan perbekalan. Abdurrazaq menghadiahkan uang dirham yang cukup untuk perbekalan ke tempat lain yang akan dituju Ahmad. Tapi, ia menolak. Ketika Abdurrazaq mengatakan bahwa uang itu sebagai pinjaman, Ahmad pun tetap menolak. Keesokannya, Abdurrazaq mendapati Ahmad bin Hambal mencari perbekalan dengan berkerja.
Imam Syafi’i yang hidup sezaman dengan Imam Ahmad bin Hambal sangat mengagumi sosok ulama ini. Ia mengatakan, aku belum pernah menemukan seorang pemuda seperti Ahmad bin Hambal yang begitu alim dan tsiqah.
Tidak kurang dari satu juta hadits telah dihafal Ahmad bin Hambal. Ia mendirikan sebuah sekolah yang bernama Al-Hanabilah. Setiap kali ada taklim, tidak kurang dari lima ribu orang hadir untuk menyimak apa yang disampaikan Imam Ahmad bin Hambal.
Selain soal keilmuan, orang mengenal Ahmad bin Hambal karena kezuhudannya yang luar biasa. Rumahnya sangat sederhana, walaupun begitu banyak orang yang ingin membantunya untuk memugar rumah yang dianggap sudah tidak lagi layak huni itu.
Seorang pejabat yang begitu menghormati beliau pernah menghadiahkan uang sebesar 3000 dinar atau senilai 4,2 milyar rupiah. Uang itu dimaksudkan sebagai bantuan untuk memugar rumah dan biaya kebutuhan sehari-hari untuk keluarga Ahmad bin Hambal.
Tapi, Imam Ahmad bin Hambal menolak. Ia mengatakan bahwa keluarga sudah sangat berkecukupan. Begitu pun ketika Khalifah Al-Mutawakkil memberinya uang bulanan sebesar 4000 dirham atau senilai 160 juta rupiah untuk mencukupi kebutuhan Imam Ahmad dan keluarga. Uang itu ia tolak.
Imam Ahmad bin Hambal mengatakan, ”Wahai paman, berapa tahun lagi sisa umur kita? Kenapa kau lakukan ini? Sesungguhnya, anak-anak kami hanya makan bersama kami dalam masa yang sangat sebentar. Seandainya Allah membukakan tirai penglihatan manusia, maka ia akan tahu, mana yang baik dan mana yang buruk. Mereka akan bersabar sebentar untuk mendapatkan balasan pahala yang panjang. Sesungguhnya, semua ini adalah fitnah.”
Ketika Ahmad bin Hambal menghadiri sebuah taklim, beberapa muridnya telah menyiapkan karpet dan bantal untuk beliau duduk. Imam Ahmad bertanya, ”Kenapa kalian perlakukan aku seperti ini? Singkirkan karpet dan bantal ini.” Dan, beliau merasa lebih nyaman duduk di atas tanah seperti hadirin yang lain.
Imam Ahmad bin Hambal pernah tidak mau masuk rumahnya. Hal itu setelah ia tahu kalau anaknya yang bernama Abdullah menerima bantuan dari pemerintah untuk memugar rumah beliau. Begitu pun ketika beliau sakit. Ulama penulis kitab Al-Musnad ini tidak mau mencicipi bubur dari anaknya yang bernama Shaleh, setelah ia tahu kalau anaknya menerima uang bantuan dari pemerintah.
Allah swt. menguji ulama yang luar biasa ini dengan empat rezim. Mereka adalah Al-Makmun bin Harun Ar-Rasyid, Al-Mu’tashim bin Al-Makmun, Al-Watsiq, dan Al-Mutawakkil. (bersambung)
(Muhammadnuh@eramuslim.com/Min ’Alam As-Salaf
Di masa Imam Ahmad bin Hambal, ada empat rezim kekhalifahan yang akhirnya menjadi batu ujian untuk perjalanan hidup beliau. Empat penguasa itu adalah Al-Makmun Abu Ja’far bin Harun Ar-Rasyid, Al-Mu’tashim bin Harun Ar-Rasyid, Al-Watsiq Abu Ja’far Harun bin Al-Mu’tashim, dan Al-Mutawakkil Abu Fadhl Ja’far bin Al-Mu’tashim. Mereka secara bergantian, memberikan berbagai ujian berat kepada Imam Ahmad.
Di masa kekhalifahan Al-Makmun, pengaruh Mu’tazilah mulai merasuk ke istana. Salah satu pengaruh yang menjadi fitnah besar dalam perkembangan Islam di Baghdad saat itu adalah ajaran yang menyatakan bahwa Alquran adalah makhluk, yang berarti bisa benar dan salah. Dengan masuknya beberapa tokoh Mu’tazilah ke jajaran pejabat tinggi istana, pemahaman buruk itu akhirnya dideklarasikan oleh Al-Makmun.
Al-Makmun pun menyerukan ajaran sesat itu ke seluruh negeri kekuasaannya. Ia memaksa seluruh ahli hadits, para ulama, dan tokoh umat untuk mengikuti ajaran itu. Tentu saja, mereka menolak. Tapi karena adanya teror, ancaman dan paksaan dari Khalifah, dengan sangat terpaksa sebagian besar mereka pun mengikuti seruan itu.
Imam Ahmad bin Hambal adalah di antara mereka yang menolak keras ajaran sesat yang dideklarasikan Khalifah. Walaupun, penolakan itu, punya konsekuensi yang tidak kecil bagi diri Imam Ahmad. Benar saja, sejumlah prajurit menangkap Imam Ahmad untuk dihadapkan ke Khalifah Al-Makmun.
Di tengah perjalanan, seorang sahabat Imam Ahmad berhasil mendekat dan berbincang dengan beliau. ”Apakah engkau masih mengkhawatirkan aku, sahabatku?” ucap Imam Ahmad dalam keadaan yang sangat memprihatinkan.
”Saudaraku,” ucap sahabat Imam Ahmad. Ia pun melanjutkan, ”Saat ini, engkau menjadi panutan begitu banyak manusia. Demi Allah, kalau engkau mengikuti pendapat mereka bahwa Alquran adalah makhluk, maka akan begitu banyak pula orang yang mengikuti pendapat sesat itu. Bertakwalah kepada Allah saudaraku, jangan kamu terima pendapat mereka!”
Saat itu juga, Imam Ahmad bin Hambal pun menangis. ’Apa yang dikehendaki Allah, pasti akan terjadi!“ ucap beliau kepada sang sahabat, lirih.
Pertemuan Imam Ahmad bin Hambal dengan Khalifah Al-Makmun tidak berlangsung lama. Al-Makmun menegaskan bahwa hukuman untuk Imam Ahmad adalah hukuman mati. Setelah itu, dalam penantian kapan hukuman mati itu dilaksanakan, Imam Ahmad dijebloskan ke penjara.
Dalam perjalanan menuju penjara itu, Imam Ahmad sempat berdoa kepada Allah. Beliau berdoa agar tidak dipertemukan lagi dengan Al-Makmun. Dan doa itu langsung dikabul Allah swt. Sewaktu Imam Ahmad masih dalam penjara itu, tersiar kabar bahwa Al-Makmun meninggal dunia.
Rezim pun berganti. Kekhalifahan diteruskan oleh Al-Mu’tashim. Dan ujian untuk Imam Ahmad bukan lagi surut, justru tambah berat. Di masa Al-Mu’tashim, Imam Ahmad tidak sekadar dipenjara, tapi disiksa dengan hukuman cambuk. Dan itu dilakukan dihadapan khalifah Al-Mu’tashim.
Dalam pertemuan pertama antara Al-Mu’tashim dengan Imam Ahmad yang diperbolehkan untuk disaksikan banyak orang, Al-Mu’tashim berkata, “Wahai Ahmad! Bicaralah, dan jangan takut!“
Imam Ahmad pun menatap Al-Mu’tashim dengan tenang. “Demi Allah, sejak aku di sini, tidak ada rasa takut pun dalam hatiku kepadamu, walaupun sebesar biji kurma!“
Al-Mu’tashim mengatakan, “Apa pendapatmu tentang Alquran?“ Pertanyaan yang sudah diduga oleh Imam Ahmad itu langsung beliau jawab, “Alquran adalah firman Allah yang qadim, dan bukan makhluk!” Imam Ahmad pun menyebutkan beberapa dalil Alquran.
Al-Mu’tashim berkata lagi, “Apa kamu punya hujjah yang lain?” Beberapa ayat Alquran dan hadits pun akhirnya disampaikan Imam Ahmad. Setelah itu, Al-Mu’tashim kembali memerintahkan bawahannya untuk memasukkan Imam Ahmad ke penjara.
Beberapa hari kemudian, Al-Mu’tashim kembali memanggil Imam Ahmad. Setelah dikeluarkan dari penjara, Al-Mu’tashim kembali menanyakan soal pendapat Imam Ahmad tentang Alquran. Karena jawabannya tidak juga berubah, Al-Mu’tashim memerintahkan agar Imam Ahmad disidang oleh beberapa ahli fikih dan hakim istana.
Terjadilah sebuah peristiwa debat antara Imam Ahmad dengan para ahli fikih istana. Tidak tanggung-tanggung, debat ini berlangsung hingga tiga hari. Dan akhirnya, tidak sedikit pun hujah dari Imam Ahmad yang bisa ditangkis oleh pakar agama istana yang notabene tokoh Mu’tazilah ini. Imam Ahmad pun kembali dijebloskan ke penjara
Setelah ujian penyiksaan, fitnah, dan penjara dialami Imam Ahmad bin Hambal dari tiga khalifah secara berturut-turut sukses dilalui dengan kesabaran; ujian bentuk lain pun sudah menanti. Dan justru, ujian dari khalifah yang baru ini lebih berat dirasakan Imam Ahmad ketimbang ujian-ujian sebelumnya.
Setelah meninggalnya Al-Watsiq bin Al-Mu’tashim, kekhalifahan pun dipegang oleh Al-Mutawakkil bin Al-Mu’tashim. Seorang khalifah yang pemahaman akidahnya sangat berbeda dengan para pendahulunya.
Al-Mutawakkil melarang seluruh penduduk, siapa pun mereka, untuk memperdebatkan atau membicarakan soal Alquran adalah makhluk. Beliau pun membebaskan seluruh ulama yang sempat masuk penjara karena fitnah dari para khalifah pendahulunya. Sebaliknya, mereka yang sebelumnya disebut sebagai ulama yang mengobarkan fitnah bahwa Alquran adalah makhluk, dipenjara seumur hidup. Dan, harta yang mereka dapatkan dari kekhalifahan sebelumnya disita tanpa syarat.
Para ulama ahlul hadits yang akhirnya mendapat pembebasan bukan saja dibebaskan tanpa syarat, tapi juga dipersilakan dan difasilitasi khalifah untuk melakukan dakwah dan taklim kepada seluruh warganya. Mereka yang pernah dipenjara pun mendapat permohonan maaf dan penghormatan secara khusus dari Khalifah. Termasuk Imam Ahmad bin Hambal.
Khalifah Al-Mutawakkil mengirim surat kepada Gubernur Baghdad untuk mengantar Imam Ahmad bin Hambal menemuinya di istana kekhalifahan.
Salah seorang putera Imam Ahmad, Abdullah, menceritakan bahwa utusan Al-Mutawakkil datang untuk menyampaikan surat undangan. Utusan itu memberitahukan bahwa khalifah sangat mengharapkan kedatangan Imam Ahmad dan doa restunya.
Kemudian, berangkatlah iring-iringan utusan Khalifah yang mengantarkan Imam Ahmad berserta keluarga ke istana Mutawakkil. Sambutan meriah pun diberikan kepada Imam Ahmad. Bahkan, Mutawakkil mengucapkan sebuah kalimat kepada ibunya di saat kedatangan Imam Ahmad. “Wahai Ibunda, saat ini, rumah kita menjadi sangat bercahaya dengan kedatangan Imam Ahmad.”
Selain sambutan yang begitu meriah, Al-Mutawakkil menghadiahkan Imam Ahmad dengan berbagai fasilitas. Mulai dari uang dirham, baju kebesaran, dan lain-lain.
Imam Ahmad tidak memberikan reaksi apa pun dengan sambutan dan berbagai hadiah itu. Lama ia terdiam. Kemudian, tiba-tiba ia menangis. Seluruh yang hadir pun terkejut mendapati reaksi di luar dugaan dari Imam Ahmad.
Imam Ahmad saat itu mengatakan, ”Enam puluh tahun aku diuji dengan berbagai penderitaan. Tapi kini, di penghujung usiaku, engkau uji aku dengan yang ini.” Tak satu pun dari hadiah-hadiah itu yang disentuh Imam Ahmad.
Beberapa waktu berlalu setelah pertemuan itu, Al-Mutawakkil mengirim tunjangan bulanan kepada Imam Ahmad. Tapi, setiap kali utusan khalifah menyampaikan itu, setiap kali itu pula hadiah ditolak Imam Ahmad. Hingga akhirnya, Al-Mutawakkil menulis surat.
Surat itu berbunyi, ”Jika hadiah uang ini tidak diterima oleh Imam Ahmad, biarlah uang ini disedekahkan Imam Ahmad kepada orang lain yang berhak, walaupun tidak bersisa sedikit pun untuk beliau.”
Selain uang, Al-Mutawakkil juga mengirimkan berbagai makanan istimewa termasuk buah-buahan yang dikhususkan buat Imam Ahmad. Tapi, tak sedikit pun dari kiriman itu yang disentuh Imam Ahmad.
Al-Mutawakkil tidak putus asa untuk memberikan hadiah kepada Imam Ahmad. Melalui anak beliau yang bernama Shaleh bin Ahmad bin Hambal, Al-Mutawakkil memberikan rumah khusus yang dinilai layak untuk ditinggali Imam Ahmad.
Shaleh tidak berani menolak pemberian tulus seorang Khalifah. Dan justru, inilah konflik yang terjadi antara Shaleh dengan ayahnya. Setelah mengetahui anaknya menerima pemberian rumah, Imam Ahmad berkata kepada Shaleh, ”Kalau kamu menerima hadiah itu, maka putuslah hubungan antara aku dengan kamu.” Sejak itu, Imam Ahmad tidak pernah masuk ke rumah yang akhirnya ditinggali anaknya itu. Ia tetap tinggal di rumah lamanya yang sangat sederhana.
Begitu pun dengan anak Imam Ahmad yang lain, Abdullah. Melalui Abdullah, Al-Mutawakkil mengirimkan uang bulanan untuk dihadiahkan kepada Imam Ahmad, khususnya untuk membeli makanan-makanan yang layak dan bergizi. Tapi justru, sejak anaknya menerima hadiah dari Khalifah, Imam Ahmad tidak mau mencicipi makanan yang diberikan dari puteranya itu. Walaupun di saat beliau sedang sakit.
Namun, semua itu tidak membuat Imam Ahmad putus kontak dengan Khalifah. Beliau tetap memberikan jawaban dan pengarahan kepada Khalifah. Bahkan, hampir tidak satu pun kebijakan dari Al-Mutawakkil kecuali setelah mendapatkan persetujuan dan pengarahan dari Imam Ahmad.
Seorang murid beliau pernah meminta nasihat dari Imam Ahmad. Beliau mengatakan, ”Seorang ksatria adalah mereka yang berani meninggalkan tuntutan nafsu karena landasan takwa.”
Imam Ahmad pun pernah menyampaikan nasihat, ”Arahkanlah hidupmu untuk selalu mencari balasan akhirat. Sedikit yang kamu peroleh dari dunia, maka sedikit pula hisabmu di akhirat.”
Imam Ahmad bin Hambal meninggal dunia di usia 77 tahun. Beberapa karya besar yang beliau wariskan untuk umat ini begitu tidak ternilai. Di antaranya, Kitab Al-Musnad yang memuat 30 ribu hadits, Kitab At-Tafsir yang memuat 120 ribu hadits, An-Nasikh wal Mansukh, At-Tarikh, Hadits Syu’bah, Al-Muqaddam wal Mutaakhar fil Quran, dan lain-lain. (muhammadnuh@eramuslim.com)

Jihadnya Seorang Sufyan Ats-Tsauri dari Kungkungan Penguasa

“Janganlah kalian mencintai kekuasaan, karena hal itu bisa membuatmu rendah. Seorang ulama tidak akan menghiraukan kekuasaan, kecuali yang telah menjadi makelar. Jika kekuasaan telah membuatmu senang, maka hilanglah jati dirimu.”
Itulah di antara isi surat nasihat yang ditulis oleh seorang ulama hadits yang menjadi rujukan utama di zamannya. Beliaulah Sufyan bin Said bin Masruq bin Rafi’ bin Abdillah, atau biasa dengan panggilan akrab beliau Sufyan Ats-Tsauri.
Ketegasan ulama kelahiran Kufah tahun 77 Hijriyah terhadap kezhaliman penguasa, membawanya kepada sebuah pelarian yang melelahkan. Walaupun, hal itu tidak membuatnya lalai untuk mencari hadits dan mengajarkannya kepada murid-murid yang ia bina.
Hal yang membuatnya dikejar-kejar penguasa yang saat itu dijabat Al-Mahdi bermula ketika sang raja mendatangi rumah Sufyan Ats-Tsauri. Al-Mahdi memberikan Ats-Tsauri sebuah cincin yang baru saja ia lepas dari jarinya. Dan tentu, cincin itu sangat bernilai untuk orang kebanyakan, termasuk Sufyan Ats-Tsauri.
“Wahai Abu Abdillah,” ucap sang raja kepada Ats-Tsauri. “Ini adalah cincin kepunyaanku. Ambillah! Aku ingin engkau berkata kepada umat sesuai Quran dan Sunnah,” seraya sang raja melemparkan cincin itu kepada Ats-Tsauri.
Cincin itu pun dipegang Ats-Tsauri. “Izinkan aku berbicara, wahai amirul mukminin,” ucap ulama yang hadits periwayatannya selalu bernilai shahih. “Ada apa?” ucap Al-Mahdi. “Apa aku akan aman jika berbicara?” tanya Ats-Tsauri lagi. “Ya, kamu akan aman!” jawab sang raja.
“Wahai Amirul Mukminin, janganlah engkau datang kepadaku, sehingga aku sendiri yang datang kepadamu. Dan janganlah kamu memberikan sesuatu kepadaku, sehingga aku yang meminta kepadamu!” ucap Ats-Tsauri tanpa sedikit pun menampakkan rasa sungkan.
Betapa marahnya sang raja Al-Mahdi dengan ucapan yang menghinakan seperti itu. Hampir saja, ia memukul Ats-Tsauri kalau saja tidak diingatkan seseorang dengan ucapan jaminan aman sebelum Ats-Tsauri mengungkapkan ketegasannya kepada sang raja.
Orang-orang sudah berkumpul di sekitar rumah Sufyan Ats-Tsauri untuk melihat keadaan sang ulama. Mereka khawatir terjadi sesuatu. Dan betapa gembiranya mereka ketika Ats-Tsauri keluar dari rumah dengan selamat. “Apakah Al-Mahdi mengatakan agar berbicara sesuai Quran dan Sunnah?” tanya mereka kepada Ats-Tsauri.
Dengan ringan, Sufyan Ats-Tsauri menjawab, “Jangan anggap serius ucapannya.” Saat itulah, Sufyan Ats-Tsauri menjadi pelarian. Ia melarikan diri ke Bashrah.
Sebelum ke Bashrah, Ats-Tsauri pergi menuju Mekah. Al-Mahdi mengetahui keberadaan Ats-Tsauri, dan langsung mengutus seseorang untuk memerintah penguasa Mekkah, Muhammad bin Ibrahim untuk menangkap Ats-Tsauri.
Tapi, penguasa Mekkah paham betul kalau Ats-Tsauri seorang ulama besar yang tidak mungkin berbuat salah hingga menjadi buronan. Ia mengutus seseorang untuk memberikan pesan khusus kepada Ats-Tsauri. Isinya, “Jika kamu ada kepentingan untuk menemui beberapa orang di Mekkah, hubungilah aku untuk memberikan perlindungan. Dan jika tidak, sebaiknya sembunyi saja!”
Tetap saja, Ats-Tsauri menemui beberapa ulama Mekkah untuk berdiskusi tentang hadits. Hingga keberadaannya di Mekkah dirasa sudah tidak aman lagi, Ats-Tsauri pun berangkat menuju Bashrah.
Setibanya di Bashrah, beberapa ulama langsung menemuinya. Mereka mengkaji beberapa hadits dari Ats-Tsauri dan berdiskusi dengannya. Dan ketika keberadaannya di Bashrah juga dirasa sudah tidak aman, Ats-Tsauri pun pergi lagi menuju Baghdad.
Begitu seterusnya, hingga beliau akhirnya meninggal dunia di Bashrah, masih dalam suasana persembunyian. Ketika meninggal dunia, seorang ulama, Hammad bin Zaid, berkata, “Wahai Sufyan, aku tidak merasa iri dengan begitu banyaknya hadits yang kamu hafal. Tapi aku iri dengan amal shaleh yang telah kamu perbuat.”
Beberapa nasihat Sufyan Ats-Tsauri yang masih dikenang oleh murid-muridnya. Antara lain, “Melihat wajah orang zhalim merupakan sebuah kesalahan. Siapa yang mendoakan kebaikan kepada orang zhalim, maka dia berarti senang berbuat durhaka kepada Allah.”
Seorang murid Sufyan pun berkata, “Lalu, kepada siapa kami harus bergaul, wahai Syaikh?” Sufyan mengatakan, “Dengan orang-orang yang senantiasa mengingatkanmu untuk berdzikir kepada Allah, dengan orang-orang yang membuatmu gemar beramal untuk akhirat. Dan, dengan orang-orang yang akan menambah ilmumu ketika kamu berbicara kepadanya.”
Surat yang disampaikan ulama yang selalu mengisi waktu antara Maghrib dan Isya atau Zhuhur dan Ashar dengan shalat sunnah ini pun mempunyai sambungannya. “Menurutku, sebaiknya kamu jangan mengundang para penguasa dan bergaul dengan mereka dalam suatu masalah. Takutlah dengan fitnah dari orang yang taat beribadah tapi seorang yang bodoh, dan fitnah orang yang mempunyai banyak ilmu tapi tidak mempunyai akhlak terpuji.”
Sufyan Ats-Tsauri meninggal dunia di usia 84 tahun dan masih dalam suasana persembunyian. Ulama yang begitu wara’ ini pun meninggal dunia dengan masih mengenakan sebuah pakaian yang banyak coretan peta. (muhammadnuh@eramuslim.com)/Min A'lam As-Salaf, Syaikh Ahmad Farid

Bus Kehidupan

Jika naik bus semisal kampus pas lagi terik-teriknya mentari dan ada beberapa pilihan tempat duduk yang masih kosong (pas penumpangnya agak sepi), biasanya aku akan melakukan estimasi, kira-kira kalau duduknya di sebelah sini, bakalan terkena panas matahari gak yah?
Nah, hari ini, ketika aku naik bus, hanya ada satu bangku yang tersisa, padahal, menurut perkiraanku, tempat duduk itu bakalan ketiban panas. Tapi, alhamdulillaah, dari pada harus berdiri, mending duduk di tempat yang panas. Alhamdulillaah, syukuri apa yang ada.
Pas sampai di kampus Politeknik (poltek), banyak yang turun dan banyak pula yang naik. Tiba-tiba aku tertarik memperhatikan tingkah mahasiswa yang sedang menaiki bus. Sebut saja namanya mrs. X. Jadi, mrs. X awalnya ia di posisi berdiri. Lalu, dia memiliki kesempatan untuk bisa duduk di dua tempat. Satu di sisi kanan. Satu lagi di sisi kiri. Waktu sampai di poltek, sisi kanannya lagi terik, terkena matahari, dan bagian yang tidak terkena mataharinya adalah bagian kiri. (Sebelumnya, aku sudah melakukan estimasi, sebelah mana sih yang bakalan terkena panas nantinya dan hasilnya: bagian yang akan terkena panas itu adalah sebelah kiri).
Lalu, dalam hati, aku menerka-nerka, kira-kira tempat duduk mana yaah yang akan dipilih oleh mrs. X? Hmm…kayaknya dia memilih sisi yang rindang sesaat deh, sisi kiri. Padahal, sisi kanannya justru posisinya lebiih dekat dengan mrs. X. Ternyata benar! Mrs. X lebih memilih sisi kiri yang awalnya rindang itu! Tapi, mrs. X tak menyadari bahwa ia justru akan mendapatkan panas lebih lama, ketika bus sudah jalan lagi, karena sisi kiri itu memang ketiban panas. Lumayan lama juga waktu yang harus dihabiskan dengan panas yang sangat terik dari kampus politeknik hingga Pasar Baru (sekitar lima kilometer). Dalam hati, aku jadi tertawa saja. Sembari bergumam, juga dalam hati, “sepertinya kamu salah pilih deh.” Hehe. Padahal kan semestinya, DIINGATKAN dan DIKASI TAU!

PERAHU

Sebuah perahu kayu berpenumpang tampak melintas di sungai nan jernih. Sepanjang jalan, para penumpang perahu benar-benar terbuai dengan pepohonan hijau yang memagari tepian sungai. Para penumpang yang berada di lantai atas ini benar-benar beruntung dengan pemandangan indah itu.
Dua lantai perahu penumpang itu memang punya harga sewa yang berbeda. Lantai atas lebih mahal dari yang di bawah. Bahkan mencapai dua kali lipat. Walau begitu, penumpang di lantai bawah masih bisa melihat pemandangan dari balik jendela kecil yang tertutup kaca.
Kelebihannya, penumpang lantai bawah bisa lebih asyik dalam kesunyian tidur. Tak ada suara burung, tak ada terik matahari, dan tak ada angin kencang. Kalau sudah tertidur, waktu menjadi tidak lagi panjang.
Suatu kali, masih dalam aliran sungai nan jernih, pompa air perahu macet. Krisis air minum pun terasa begitu cepat. Beruntungnya, para penumpang masih bisa menikmati segarnya air yang bisa mereka ambil langsung dari sungai yang mereka lewati. Tinggal ambil wadah dan tali, air pun bisa diperoleh.
Beberapa teriakan dari penumpang lantai bawah terus terdengar. “Hei, bagi kami air!” ucap para penumpang bawah. “Ya, kalian bisa ambil ke atas sini!” jawab para penumpang lantai atas.
Di sinilah persoalannya. Kalau penumpang lantai atas bisa mengambil langsung air, sementara yang di bawah mesti meniti anak-anak tangga agar bisa mencapai atas perahu. Dan ini begitu merepotkan.
Suatu malam, masih dalam perahu, beberapa penumpang di lantai bawah merasakan haus yang luar biasa. Kantuk yang mereka rasakan kadang menyelingi rasa haus itu. Saat itulah, rasa enggan menghinggapi mereka untuk bersusah payah menuju atas.
Seseorang dari mereka mengatakan, “Kenapa mesti repot ke atas, toh air yang kita butuhkan ada di kaki kita.” Dan ucapan itu pun seolah menyadarkan para penumpang lain kalau merekalah yang sebenarnya paling dekat dengan letak air daripada penumpang atas.
Salah seorang mereka pun berusaha keras melubangi dinding bawah perahu dengan sebuah linggis. Di benak mereka cuma satu: bagaimana bisa dapat air tanpa mesti susah payah ke atas. Karena toh, yang di atas pun tidak merasa perlu untuk berbagi dengan yang bawah.
**
Kebersamaan dalam sebuah wadah, apakah itu perusahaan, organisasi, dan rumah tangga; tidak cukup hanya meletakkan pandangan dari sudut diri sendiri.
Berlatihlah untuk bisa menangkap pandangan dari sudut pandang orang-orang yang bersama kita. Karena dengan begitulah, perahu kebersamaan akan bisa terus melaju ke arah tujuan yang diinginkan. (muhammadnuh@eramuslim.com)

Tamu

Seorang kakek sedang asyik menyisiri rambutnya di hadapan cemin ketika cucunya tiba-tiba di belakangnya. “Kakek lagi ngapain,” tanya sang cucu yang disambut sang kakek dengan senyum.
“Mau ada tamu, ya!” ucap sang cucu lagi walau pertanyaan pertama belum dijawab kakek.
Sang kakek pun membalikkan badannya ke arah cucu balitanya. “Kamu benar, Cu! Tak lama lagi, kakek akan kedatangan tamu,” jawab sang kakek sambil membungkukkan badannya.
Tak lama kemudian, sang kakek pun menggelar sajadah untuk kemudian shalat. Mendapati tingkah kakeknya, sang cucu hanya terheran-heran. “Mau ada tamu, kok, malah shalat,” ujar sang cucu membatin.
Lama sekali sang kakek terpekur dalam zikir panjang di shalat sunnahnya di pagi hari. Setelah salam, sang kakek pun meraih pundak cucunya untuk mengajaknya zikir bersama. Tingkah itu kian membuat sang cucu terheran.
“Kata kakek mau ada tamu, kok, malah shalat sama zikir?” ucap sang cucu sambil duduk di pangkuan kakeknya. “Apa tamunya sudah ngasih tahu ke kakek?” ucapnya lagi kemudian.
“Iya, dia sudah ngasih tahu. Gak lama lagi juga datang!” jawab sang kakek sambil membelai rambut cucu yang duduk di pangkuannya itu.
“Kek,” sergah sang cucu sambil menoleh ke wajah kakeknya. “Kakek mau kasih tahu gak, siapa sih tamu kakek?” sambung sang cucu.
Sambil merapikan sajadah, sang kakek kembali tersenyum. “Cucuku, suatu saat kamu akan tahu, siapa tamu spesial kakek itu!” ujar sang kakek sambil kembali berdiri untuk meneruskan shalat.
**

Sungguh sebuah kebahagiaan hidup ketika seseorang memahami betul apa yang mesti dipersiapkan untuk menghadapi tamu spesial yang akan ia temui esok. Dan tak ada yang lebih pasti dan paling spesial untuk ia temui esok kecuali kematian.
“Orang yang cerdas adalah mereka yang mampu mengendalikan nafsunya dan beramal (berbuat) untuk masa sesudah mati, sedang orang yang lemah ialah mereka yang mengikuti nafsunya dan berangan-angan kepada Allah.” (HR. Ahmad).

ULAT

Seorang gadis cilik tampak asyik bermain di halaman rumah yang penuh bunga. Ada bunga mawar, melati, ros, dan lain-lain. Sesekali, ia pandangi bunga itu satu per satu. “Aih, cantiknya bunga ini!” ucap gadis cilik sambil menyentuh tangkai bunga.
Tapi, ia pun terkejut saat akan memetik bunga yang hampir di genggamannya itu. Seekor ulat bulu begitu asyik menikmat dedaunan di sekitar bunga. Sebegitu lahapnya, sang ulat tak menyadari kalau ia sedang diperhatikan seseorang.
Langkah sang gadis kecil pun menyurut. Ia pun mencari-cari sesuatu untuk menghentikan kerakusan ulat bulu yang bisa merusak bunga kesayangannya itu. “Ha, ada kayu!” ucapnya sambil mengarahkan kayu kecil itu ke tubuh sang ulat. Dan….
“Jangan, sayang! Biarkan sang ulat itu menampakkan kerakusannya!” ucap seseorang yang ternyata ibu gadis itu. Saat itu juga, gadis kecil itu pun menghentikan langkahnya dan merapat ke sang ibu. “Tapi, Bu…” ujarnya sambil menggenggam jari sang ibu.
“Anakku, biarkanlah. Saat ini, kita sedang diajari Tuhan tentang siapa ulat bulu,” jelas sang ibu sambil membelai rambut gadis kecilnya.
“Apa selamanya dia serakus itu, Bu?” sergah sang gadis kecil kemudian.
“Tidak, anakku. Ia serakus itu karena ingin sukses menjadi kupu-kupu yang indah!” jelas sang ibu sambil senyum.
**
Begitu banyak pelajaran bertebaran dalam dinamika alam raya ini. Ada yang mudah ditafsirkan, dan tidak sedikit yang butuh perenungan.
Serangan ulat bulu seolah memberikan kita sebuah teguran. Bahwa keindahan fisik berupa penampilan, citra, wibawa, dan segala kemegahan jasadiyah lain yang dicita-citakan; semestinya tidak diraih dari menghalalkan segala cara dan penuh kerakusan. (muhammadnuh@eramuslim.com)

Racun-racun Hati : Salah Pergaulan


Ditulis oleh Muhammad Shaleh Drehem, Lc.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah hadits shahih bersabda,”Perumpamaan teman yang baik dan teman yang buruk adalah seperti penjual minyak wangi dan tukang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberikan hadiah minyak wangi kepadamu, atau engkau akan membeli minyak wangi darinya, atau setidak-tidaknya engkau akan mendapatkan bau semerbak wangi (dari minyak wangi yang ia jual).
Adapun bersama tukang pandai besi, engkau bisa terbakar karena apinya, atau jika tidak engkau pasti akan mendapati bau angus.”
Dalam sabda ini, Nabi menjelaskan manfaat yang akan kita dapatkan jika kita gemar berteman dengan orang yang baik. Sebaliknya, Nabi juga menjelaskan kerugian yang akan kita dapatkan jika kita berteman dengan orang yang buruk perangainya. Ini secara tidak langsung merupakan perintah dari Nabi agar kita memilih orang yang baik sebagai teman karib atau teman dekat kita. Sebaliknya, beliau melarang kita untuk menjadikan orang-orang yang jahat sebagai teman karib kita.
Para ulama sendiri membagi teman menjadi empat macam. Pertama, teman yang seperti makanan. Kita setiap hari pasti membutuhkan makanan. Tanpa makanan, kita akan mati. Makanan adalah sesuatu yang bisa membuat kita terus bertahan hidup. Demikian pula, kita membutuhkan teman yang seperti ini. Teman yang bisa menjaga kelangsungan hidup kita, baik secara jasmani maupun secara ruhani. Rekan kerja dan rekan bisnis kita adalah contoh teman yang bisa menjaga kelangsungan hidup kita secara jasmani. Ulama, pembimbing dan guru adalah contoh teman yang bisa menjaga kelangsungan hidup kita secara ruhani. Itulah teman-teman yang senantiasa kita butuhkan setiap saat.Kedua, teman yang seperti obat. Namanya obat pasti hanya kita perlukan saat sakit saja. Disamping itu, jenis obat yang kita konsumsi pun harus sesuai dengan sakit yang kita derita. Demikian pula takaran atau dosisnya pun harus tepat, tidak boleh berlebihan. Seperti inilah teman yang hanya kita butuhkan pada saat-saat tertentu saja. Tidak setiap saat kita membutuhkan kehadirannya. Demikian pula kita hanya perlu berhubungan dengannya seperlunya saja dan tidak boleh sampai berlebihan.
Teman macam pertama dan kedua inilah yang bisa kita jadikan sebagai teman karib atau teman dekat.
Ketiga, teman yang seperti penyakit. Tentu saja teman seperti ini tidak bisa kita jadikan sebagai teman karib. Akan tetapi, bukan berarti kita sama sekali memutus hubungan dengannya. Sebaliknya, kita memiliki kewajiban untuk berusaha menyembuhkannya.
Sebagaimana penyakit ada yang ringan, ada yang sedang, dan ada yang parah, demikian pula teman yang satu ini. Keadaannya berbeda-beda dan bertingkat-tingkat. Namun bagaimanapun, ia tetap berpotensi menularkan penyakitnya kepada diri kita. Karena itu kita harus tetap berhati-hati ketika berinteraksi dengannya.
Keempat, teman yang seperti racun. Ini adalah teman yang mematikan! Sama sekali tidak ada kebaikannya bagi diri kita. Ia juga hampir-hampir tidak memiliki peluang lagi untuk berubah menjadi baik. Karena itu, kita harus ekstra waspada terhadap orang-orang semacam ini.
Pertemanan dengan orang-orang yang baik dan shalih akan menjadi pupuk bagi keimanan kita. Pertemuan dengan mereka akan menyegarkan dan meningkatkan keimanan kita. Nasihat-nasihat mereka ibarat siraman air di tanah yang tandus. Berbagai hal yang bermanfaat juga akan tercipta dari pertemanan dengan mereka.
Sebaliknya, pertemanan dengan orang-orang yang gemar bermaksiat dan dalam rangka kemaksiatan adalah fatamorgana. Pertemanan dengan mereka adalah pertemanan yang bersifat semu. Sekalipun di dunia ini pertemanan semacam ini bisa berlangsung akrab, akan tetapi pada hari kiamat kelak justru akan menjadi penyesalan. ”Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan Fulan sebagai teman akrabku.”
Ketika itu, satu orang dengan yang lainnya akan saling berlepas tangan. “Ketika orang-orang yang diikuti (kesesatannya) berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa, (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali. Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti (kesesatan temannya): ‘Seandainya kami dapat kembali (ke dunia), pasti kami akan berlepas diri dari mereka (teman-teman yang telah menyesatkan aku), sebagaimana mereka berlepas diri dari kami.’ Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi penyesalan bagi mereka; dan sekali-kali mereka tidak akan keluar dari api neraka.” (QS Al-Baqarah: 166-167)
Bahkan, pada hari kiamat itu orang-orang yang saling berteman dalam kemaksiatan akan menjadi musuh satu sama lain karena saling mempersalahkan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: ”Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.”
(QS Az-Zukhruf: 67). [sumber: konsultasi syariah.net]

Banyak yang Hilang dari Diri Kita

"Kata-kata itu, bisa mati," tulis Sayyid Qutb. "Kata-kata juga akan menjadi beku, meskipun ditulis dengan lirik yang indah atau semangat. Kata-kata akan menjadi seperti itu bila tidak muncul dari hati orang yang kuat meyakini apa yang dikatakannya. Dan seseorang mustahil memiliki keyakinan kuat terhadap apa yang dikatakannya, kecuali jika ia menerjemahkan apa yang ia katakan dalam dirinya sendiri, lalu menjadi visualisasi nyata apa yang ia katakan," lanjut Sayyid Qutb dalam karya monumentalnya Fii Zilaalil Qur'aan.

Saudaraku,
Menjadi penerjemah apa yang dikatakan. Menjadi bukti nyata apa yang diucapkan. Betapa sulitnya. Tapi ini bukan sekedar anjuran. Bukan hanya agar suatu ucapan menjadi berbobot nilai pengaruhnya karena tanpa dipraktikkan, kata-kata menjadi kering, lemah, ringan tak berbobot, seperti yang disinyalir oleh Syayyid Qutb rahimahullah tadi. Lebih dari itu semua, merupakan perintah Allah SWT. Firman Allah SWT yang tegas menyindir soal ini ada pada surat Al-Baqarah ayat 44 yang artinya, "Apakah kalian memerintahkan manusia untuk melakukan kebaktian, sedangkan kalian melupakan diri kalian sendiri dan kalian membaca Al-Kitab. Apakah kalian tidak berakal?"

Membandingkan antara kita hari ini dan masa-masa lalu, akan terasa bahwa ada banyak hal yang hilang dari diri kita. Kita dahulu, yang mungkin baru memiliki ilmu dan pemahaman yang sedikit, tapi banyak beramal dan mempraktikkan ilmu yang sedikit itu. Kita dahulu, yang barangkali belum banyak membaca dan mendapatkan keterangan tentang Allah, tentang Rasulullah SAW, tentang Islam, tapi terasa begitu kuat keyakinan dan banyak amal shalih yang dikerjakan. Kita dahulu, yang belum banyak mendengarkan nasihat, diskusi, arahan para guru dalam menjalankan agama, tapi seperti merasakan kedamaian karena kita melakukan apa yang kita ketahui itu. Meskipun sedikit.

Saudaraku,
Banyak yang hilang dari diri kita…

Saudaraku,
Dahulu, sahabat Ali radhiallahu anhu pernah mengatakan bahwa kelak di akhir zaman akan terjadi sebuah fitnah. Antara lain, ia menyebutkan, "…Ketika seseorang mempelajari ilmu agama bukan untuk diamalkan," itulah ciri fitnah besar yang akan terjadi di akhir zaman. Sahabat lainnya, Ibnu Mas'ud radhiallahu anhu juga pernah menyinggung hal ini dalam perkataannya, "Belajarlah kalian, dan bila kalian sudah mendapatkan ilmu, maka laksanakanlah ilmu itu." Ilmu dan amal, dua sisi mata uang yang tak mungkin dipisahkan. Tapi kita, sepertinya, kini lebih berilmu namun miskin dalam amal…

Saudaraku,
Perhatikanlah, apa saja yang hilang dari diri kita selama ini…?
Barangkali kita termasuk dalam ungkapan Al Hasan Al Bashri rahimahullah ini. Ia mengatakan, "Aku pernah bertemu dengan suatu kaum yang mereka dahulunya adalah orang-orang yang memerintahkan yang makruf dan paling melaksanakan apa yang diserukannya.
Mereka juga orang yang paling melarang kemungkaran dan mereka sekaligus orang yang paling menjauhi kemungkaran itu. Tapi kini kita ada di tengah kaum yang memerintahkan pada yang makruf sementara mereka adalah orang yang paling jauh dari yang diserukan. Dan paling banyak melarang kemungkaran, sedangkan mereka adalah orang yang paling dekat melaksanakan kemungkaran itu. Bagaimana kita bisa hidup dengan orang yang seperti mereka?"

Saudaraku,
Berhentilah sejenak di sini. Duduk dan merenungkan untuk memikirkan apa yang kita bicarakan ini. Perhatikanlah apa yang dikatakan lebih lanjut oleh Sayyid Qutb rahimahullah, "Sesungguhnya iman yang benar adalah ketika ia kokoh di dalam hati dan terlihat bekasnya dalam perilaku. Islam adalah akidah yang bergerak dinamis dan tidak membawa yang negatif. Akidah Islam itu ada dalam alam perasaan dan bergerak hidup mewujudkan indikasinya dalam sikap luar, terterjemah dalam gerak di alam realitas."

Saudaraku,
Jika banyak yang baik-baik, yang hilang dari diri kita, mari memuhasabahi diri sebelum beramal, melihat apa yang menjadi orientasi dan tujuan amal-amal kita selama ini. Jika kita memeriksa niat sebelum beramal, berarti kita sudah membenahi sesuatu yang masih bersifat lintasan hati.
Dan itu akan lebih mudah melakukannya. Karena asal muasal suatu pekerjaan itu adalah lintasan. Lintasan hati, dan keinginan hati itu bisa menjadi kiat sampai kemudian menjadi waswas. Dari waswas muncul dorongan untuk dilahirkan dalam bentuk tindakan. Imam Ghazali mengatakan, "Jalan untuk membersihkan jiwa adalah dengan membiasakan pekerjaan yang muncul dari jiwa yang bersih secara sempurna."

Saudaraku,
Jika kita bicara, maka kita sebenarnya diajak bicara oleh diri kita sendiri melalui kata-kata itu. Kata-kata yang kita keluarkan, sebenarnya pertama kali ditujukan pada diri sendiri, sebelum orang lain. Jika kita mendapatkan ilmu, kitalah orang pertama yang harus melakukannya. Dengan perenungan lebih jauh, sahabat Rasulullah SAW yang terkenal dengan sikap zuhudnya, Abu Darda radhiallahu anhu mengatakan, "Aku paling takut kepada Rabbku di hari kiamat bila Dia memanggilku di depan seluruh makhluk dan mengatakan, "Ya Uwaimar." Aku menjawab, "Ya Rabbku…" Lalu Allah mengatakan, "Apakah engkau mengerjakan apa yang sudah engkau ketahui?" Seorang ulama, Syaikh Jibrin yang baru saja wafat meningalkan tulisan begitu menyentuh tentang ini. Ia mengutip sebuah hadits qudsi, bahwa Allah SWT berfirman, "Idzaa ashanii man ya'rifunii, salath tu alaihi man laa ya'rifunii…"
Jika orang yang mengenal-Ku melakukan maksiat kepada-Ku, Aku kuasakan dia kepada orang yang tidak mengenal-Ku…"

Saudaraku,
Banyak hal baik yang telah hilang dari diri kita.
[M. Lili Nur Aulia, sumber: Tarbawi edisi 209 Th.11]