Kamis, 05 Agustus 2010

Naqib : Jantung dan Qudwah

Dalam tanzhim jamaah muslimah, naqib menempati posisi tiang utama dalam struktur dan bangunan jamaah.
Naqib juga merupakan jantung yang terus berdenyut yang memompakan al-hayah (kehidupan), al-hayawiyah (spirit) dan al-harakah (gerakan).
Naqib adalah munaffidz (pelaksana) asasi bagi berbagai proses:
  1. Tarbawi (tarbiyah).
  2. Tanzhimi (struktural), dan
  3. Idari (manajerial).
Pada saat yang sama, naqib ibarat pusat tata surya harakah, padanya terpusat rotasi:
  1. Taujih/khithab qiyadi (pengarahan pemimpin), dan
  2. Amal tanfidzi (amal pelaksanaan).
Pada saat yang sama pula, naqib ibarat qanat (terusan, kanal) asasi yang antara qiyadah dan afrad, melalui kanal inilah:
  1. Berbagai awamir (perintah) dan taujihat (pengarahan) turun, dan
  2. Berbagai berita dan iqtirahat (usulan) naik.
Karena inilah, sesungguhnya dengan membina naqib, membina qudrah (kemampuan)-nya dan membina berbagai karakteristiknya, baik yang bersifat bawaan, maupun yang bersifat empiris merupakan pembinaan terhadap kemampuan berbagai perangkat jamaah dan terhadap kafa-ah-nya untuk berharakah dan melakukan intaj (produktivitas). Sesuai dengan kadar yang diperoleh oleh naqib, baik yang berupa sifat-sifat asasi, maupun tarbiyah yang sukses, sesuai kadar itu pula terletak:
  1. Kekuatan bangunan tanzhimi.
  2. Produktivitas ada’ idari (pelaksanaan manajerial).
  3. Kesuksesan amaliyah tarbawiyah (proses tarbiyah), dan
  4. Keberkahan ansyithah da’awiyah (berbagai aktivitas dakwah).
Mungkin posisi naqib dalam jamaah muslimah itu seperti titik ordinat sebuah lingkaran, dimana posisi qiyadah berada di bagian atas, posisi afrad berada di posisi bawah, sementara berbagai aktivitas yang berada di dalam lingkaran itu lewat melalui sang naqib yang menghubungkan antara qiyadah dengan afrad tadi, tidak mungkin bagian-bagian dari lingkaran itu sampai kepada arah yang berlawanan, di manapun posisinya, kecuali melalui titik ordinat itu. Maksudnya: apapun arah sebuah kegiatan, baik dari qiyadah kepada afrad atau sebaliknya, maka naqib merupakan titik ordinat kegiatan itu, dan ia adalah pusat tata surya gerakan ini, dan darinyalah keberadaan berbagai macam aktivitas.
Berikut ini adalah sebagian dari aktivitas-aktivitas jamaah muslimah yang asasi -yang dalam gambaran di atas merupakan isi dari lingkaran- yang tidak bisa tidak naqib pasti menjadi pusat siklus asasi dan pusat penghubungnya:
1. Al-‘Amaliyah At-Tarbawiyah (proses tarbiyah).
Hal ini mencakup:
  1. Dirasah Mabadi’ Jama’ah (kajian prinsip-prinsip jamaah).
  2. Ta’allumul Fiqhid Da’awi (pembelajaran fiqih dakwah).
  3. Thuruqud Da’wah wal Ittishal (metode dakwah dan komunikasi).
  4. As-Siyasat Al-’Ammah lil Harakah (siyasat umum harakah).
  5. Lawaihul Jama’ah (undang-undang jamaah).
  6. Al-Mafahim At-Tarbawiyah (konsep-konsep tarbiyah).
  7. Al-‘Ilmu bitarikhid da’wah al-islamiyah (pengetahuan sejarah dakwah Islam).
  8. Ma’anil Badzli wat Tadh-hiyah (nilai-nilai infaq dan pengorbanan).
  9. Tahammulul Masyaq (daya tahan dalam memikul berbagai kesulitan).
  10. Membaca Al-Qur’an, dan mengkaji makna-maknanya.
    Semua itu berjalan sesuai dengan manhaj jamaah, dan ta’limat qiyadah yang tidak mungkin sampai kepada afrad kecuali melalui naqib.
  11. At-Tarbiyah bis-Suluk (tarbiyah dengan tindak laku), dan
  12. Al-Qudwah al-‘Amaliyah (teladan amali), yang memang menjadi kewajibannya.
Pada satu sisi, seorang naqib mengambil qudwah (teladan) yang baik dari para qiyadah, pada saat yang sama ia adalah teladan bagi saudara-saudaranya.
Dengan demikian, ia menjadi pihak yang menerima kebaikan, sekaligus menjadi penebar kebaikan tadi.
Karena gerakan Ikhwan adalah haqiqatun shufiyah (hakikat kesufian), maka naqib merupakan asas hakikat ini.
Di depan para qiyadah ia adalah seorang murid yang belajar, mempraktekkan dan meneladani, dan di hadapan saudara-saudaranya ia adalah seorang syekh yang menjadi teladan.
Dengan demikian, naqib merupakan inti tarbiyah sulukiyah, penukil tarbiyah ini dan tali pengait yang menyambungkan hubungan antar generasi dakwah.
Dan jamaah dengan izin Allah terbebas dari berbagai bid’ah tasawuf, dan manhajnya yang nyalafi mu’tadil (salafi moderat) sudah amat dikenal, dan hal ini telah disebutkan oleh Imam Asy-Syahid dengan gamblang, hanya saja, beliau meminjam istilah tasawuf dalam rangka memberikan isyarat kepada tawajjuh tarbawi al-akhlaqi (orientasi tarbiyah ke-akhlaq-an) yang sangat memperhatikan tazkiyatul qulub wal arwah (pensucian hati dan ruhani).
***
2. Al-Ansyithah Al-Idariyah (berbagai aktivitas manajerial).
Yang demikian ini karena jamaah sebagai hizb dan tanzhim memiliki berbagai aktivitas yang beraneka ragam, dengan segala konsekuensinya yang berupa:
  • Pengeluaran berbagai perintah dan penerapannya, dan
  • Pengambilan berbagai keputusan dan pelaksanaannya.
Sebagaimana lazimnya sebuah lembaga sosial kemanusiaan mempunyai manajemen dan anggota, ada ketua dan ada anak buah, ada pimpinan dan ada pengikut, demikian juga halnya dengan jamaah muslimah, para qiyadah-nya tercermin pada para pimpinan manajerialnya, sementara personel jamaah ibarat anggota sebuah lembaga yang menunaikan kewajiban-kewajibannya dalam menjalankan berbagai qararat (keputusan), melaksanakan berbagai rencana serta komitmen terhadap berbagai taujihat (arahan).
Mereka juga berkewajiban menyampaikan berbagai berita, mengamati berbagai fenomena dan menulis taqrir (membuat laporan).
Termasuk dalam hal ini pula bahwa masing-masing dari qiyadah dan atba’ (anggota) mempunyai berbagai hak dan kewajiban, dimana pihak yang satunya berkewajiban melaksanakan hak-hak itu, adakalanya hal itu adalah kewajiban syar’i, dan bisa pula hal itu adalah ekspresi dari ibadah, semua itu bergantung kepada berbagai kemaslahatan yang menjadi titik tujuan didirikannya tanzhim yang membantu tercapainya kemaslahatan-kemaslahatan diniyah.
Dalam aktivitas idariyah ini harus ada titik central dan titik ordinat yang menjadi penghubung antara pimpinan puncak dengan basis massanya. Titik central ini ada pada naqib yang merupakan pusat nadi mengalirnya harakah idariyah (gerakan manajerial). Ia ibarat pengikut di hadapan qiyadah, dan ia ibarat imam di hadapan afrad. Atau dengan bahasa lain, ia adalah pimpinan dan yang dipimpin sekaligus.
Masalah ini tetap akan benar sampaipun saat nasyath idari (aktivitas manajerial) berubah menjadi nasyath askari (aktifitas kemiliteran), atau tanfidz siyasi (pelaksanaan politik).
Jadi, Naqib adalah seorang jundi yang taat, dan pada saat yang sama ia adalah qaid (pimpinan) yang mengeluarkan perintah kepada saudara-saudaranya.
***
3. Al-Ansyithah Ats-Tsaqafiyah (berbagai aktivitas tsaqafiyah).
Jamaah muslimah sebagai harakah salafiyah (gerakan salaf) mengimani bahwa al-‘ilmu asasul ‘amal (ilmu adalah pondasi amal).
Jadi, di dalam usrah terdapat madrasah tsaqafiyah mutakamilah (sekolah terpadu tempat mengasah wawasan). Melalui usrah jamaah muslimah bersemangat untuk mengadakan:
  • At-tastqif asy-syar’i (pengasahan wawasan syari’ah) dengan keanekaragamannya, seperti:
  • Belajar Al-Qur’an dan melakukan kajian terhadapnya.
  • Ilmu hadits.
  • Kajian dasar-dasar fiqih.
  • Prinsip-prinsip aqidah, dan lain-lain.
  • At-tastqif bist-tsaqafah al-‘ammah (pengasahan wawasan umum), seperti:
  • Sejarah manusia.
  • Sejarah Islam.
  • Keanekaragaman skill kehidupan, dan lain-lain.
‘Amaliyah tsaqafiyah (proses pengasahan wawasan) ini –walaupun masih banyak tempat-tempat yang bisa dipilih- namun, intinya, atau minimal pelurusan dan penentuan alurnya dilakukan dalam ‘amaliyah tsaqafiyah yang diselenggarakan di usrah. Hal ini mendorong –mau tidak mau- bagi:
Berjalannya fungsi naqib sebagai ustadz dan mu’allim di hadapan saudara-saudaranya.
Keharusan untuk selalu mendapatkan bekalan-bekalan secara kontinyu dari para qiyadah da’wah dan para pemikirnya dalam menuntut ilmu, dan jadilah dia di hadapan mereka sebagai seorang siswa yang belajar.
Dengan demikian, secara otomatis, naqib juga menjadi:
Markaz wa jauhar al-‘amaliyah at-tarbawiyah (center dan inti dari proses tarbiyah),
Dia adalah titik sambung antara mengambil dan memberi.
Pihak yang secara istimrar (berkelanjutan) berkewajiban menjadi siswa yang belajar yang terus menyerap ilmu dari pihak lainnya, dan pada saat yang sama
Ia menjadi seorang yang aktif yang mampu memberi sebagai seorang mu’allim dan ustadz.
***
Salah satu kewajiban naqib yang sangat banyak itu, di samping perannya sebagai murabbi (pendidik), munazhzhim (pengorganisir), dan mudir (manajer), ia juga berperan sebagai mu’allim (guru) yang menjalankan ‘amaliyatut-ta’lim ad-da’awi wal fikri (proses pengajaran dakwah dan fikrah) dalam lingkup jamaah, melalui usrah atau di luar usrah melalui berbagai ceramah, kajian rutin dan pertemuan-pertemuan. Dan dia, saat menjalankan proses ini, berarti sedang menjalankan kewajiban syar’i yang sangat besar, sesuai dengan kemampuan dan daya dukungnya. Di hadapan saudara-saudaranya, ia adalah seorang guru, walaupun yang ia sampaikan hanya satu ayat dari Al-Qur’an, bagaimana halnya kalau dia menjadi guru pertama mereka dalam ilmu-ilmu syari’ah yang beraneka ragam itu. Ditambah lagi bahwa saudara-saudaranya juga mengambil darinya pelajaran fikr islami untuk pertama kalinya, bahkan, darinya terambil berbagai manhaj jamaah, pokok-pokoknya, prinsip-prinsip dakwah dan tradisi-tradisi dakwah. Karena inilah, peran naqib sangatlah besar dalam al-‘amaliyah at-ta’limiyah (proses pengajaran) dalam jamaah muslimah.
Karena perannya yang besar inilah, seorang naqib membutuhkan pengetahuan dan komitmen terhadap tata krama dalam al-‘amaliyah at-ta’limiyah (proses pengajaran) ini.
Terkait dengan hal ini, kita bisa mengambil pelajaran dari aadabul muhaddits (tata krama seorang ahli hadits) yang layak bagi seorang murabbi atau naqib, khususnya dalam usrah.
“… Seorang muhaddits (baca: murabbi atau naqib) berkewajiban meluruskan niat, membersihkan hatinya dari tujuan-tujuan duniawi … dan jangalah ia menolak melakukan tahdits atau proses periwayatan hadits (baca: tarbiyah dalam arti proses pembinaan) kepada seseorang dengan alasan seseorang itu tidak lurus niatnya, sebab, seseorang itu bisa diharapkan –melalui tahdits (baca: tarbiyah) kelurusan niatnya, dan hendaklah ia (muhaddits, baca: murabbi) bersemangat menyebar luaskan hadits (baca: materi tarbiyah) dengan mengharapkan besarnya pehala yang akan didapat … hendaklah ia (muhaddits, baca: murabbi) membuka dan menutup majlisnya dengan hamdalah, shalawat kepada nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dan doa yang tepat, hendaklah ia menyiapkan seorang pembaca Al-Qur’an yang bagus suaranya untuk membaca sedikit ayat-ayat Al-Qur’an. Dalam meriwayatkan hadits (baca: menyampaikan materi tarbiyah) janganlah meluncur saja yang menyebabkan tidak difahaminya hadits (baca: materi tarbiyah) itu atau sebagiannya … dan hendaklah ia memohon kepada Allah -subhanahu wata’ala- agar mendapatkan taufiq (ketepatan), tasdid (pelurusan) dan taisir (kemudahan), dan hendaklah ia komitmen terhadap berbagai akhlaq dan tata kerama mulia, kemudian, hendaklah ia mengerahkan seluruh jerih payahnya dalam rangka menguasai hadits (baca: materi tarbiyah) itu dan mengoptimalkan pemahamannya …”.
(Taqribun-Nawawi, silakan periksa pada tadribur-rawi syarah taqribun-nawawi, juz: 2 hal. 127 – 141)
Begitu pula garis besar tata kerama seorang da’i dalam kapasitasnya sebagai mu’allim bisa dikutip dari adabul muhaddits (tata kerama seorang ahli hadits) yang disebutkan oleh Imam Al-Ghazali –rahimahullah. Beliau menyebutkan bahwa adab seorang muhaddits adalah:
“… Bertujuan shidiq (benar), menjauhi dusta, meriwayatkan hadits yang masyhur serta meriwayatkan dari orang-orang tsiqat (terpercaya) … tidak menyebutkan khilaf yang ada di antara sesama salaf, ma’rifatuz-zaman (mengenali zaman), menjaga diri agar tidak terpeleset dan salah tulis, lahn (kesalahan baca ) dan tahrif (perubahan) … tetap komitmen dengan pekerti tawadhu’ dan sebagian besar hadits yang diriwayatkannya membawa manfaat bagi kaum muslimin … dan tidak meriwayatkan hadits yang pada asalnya tidak diamalkan …”.
(Al-Adab fid-diin, karya Al Ghazali hal. 5)
Harap diperhatikan bahwa termasuk dalam pengertian al hadits al masyhur dalam perkataan Imam Al-Ghazali (dengan menggunakan metode qiyas (analogi) adalah segala hal yang bermanfaat dan dikenal oleh masyarakat, bukan:
  • Masalah-masalah yang aneh-aneh.
  • Hadits-hadits fitnah.
  • Mencari berita-berita yang meresahkan.
Termasuk dalam pengertian komitmen untuk tidak menyebutkan khilaf antar sesama salaf –meskipun hal ini merupakan tuntutan- adalah:
  • Menceritakan hal-hal yang masih khilaf.
  • Hadits-hadits fitnah.
  • Khilaf dan pertikaian antar sesama qiyadah da’wah.
Sedangkan yang dimaksud dengan ma’rifatuz-zaman adalah:
  • Memperhatikan al-wa’yu al-hadhari al-‘am (kesadaran peradaban umum).
  • Mengenali berbagai peristiwa yang sedang terjadi.
  • Mengikuti berbagai perkembangan berita politik dan sosial.
Seorang naqib hendaklah selalu mengingat bahwa dia adalah seorang mu’allim murabbi (guru yang mendidik) yang menjalani peran sebagai ad-da’iyah al-qudwah (dai teladan), yang mentarbiyah dengan suluk (prilaku), sebagaimana mentarbiyah dengan kata-kata, bukan sekedar mentarbiyah dengan ilmu yang melaksanakan risalatul ‘ilmi (misi ilmu) tanpa disertai hararatur-ruh (kehangatan ruhani), dan melepaskan kendali tadris (pengajaran) tanpa disertai hati.
Perlu diketahui bahwa al-’amaliyah at-tarbawiyah (proses tarbiyah) dalam jama’ah muslimah adalah ‘amaliyah tarbawiyah yang menuntut adanya iltizam biqawa’idi rabbaniyyatit-ta’lim (komitmen terhadap kaidah-kaidah ke-rabbaniyan dalam ta’lim, yang di antara kandungannya adalah:
  • Ta’allumul mawazin wal qawa’id (mempelajari timbangan-timbangan dan kaidah-kaidah).
  • Al-Bidayah bil ahamm la bil ashal (memulai dengan yang terpenting, bukan yang termudah).
  • Tathbiqul mumarasat ash-shahihah wal badzli la jam’ul ma’lumat (pengamalan praktek yang benar dan semangat memberi, bukan menginventasisasi informasi atau pengetahuan).
  • At-Tamassuk bil jawahir la bil qushur (berpegang teguh kepada inti bukan kulit).
  • Al-Iltizam bil auwlawiyat ‘inda tazahumidh-dharurat (komitmen dengan prioritas saat terjadi desakan atau kepadatan berbagai kebutuhan primer).
  • Daf’ul mafasid ‘ala maqadiri rutabiha (menolak kerusakan sesuai dengan tingkatannya).
  • Istihshalil mashalih hasba darajatiha (mengupayakan tercapainya berbagai kemaslahatan sesuai dengan derajatnya).
  • Mura’atul isti’dadat an-nafsiyah (memperhatikan potensi-potensi kejiwaan).
  • Akhdzul ‘ulum hasba maratibiha wa ahammiyyatuha (mengambil ilmu berdasarkan tingkatan dan urgensinya).
  • Dan lain-lain yang telah dijelaskan panjang lebar di tempat lain.
***
Tidak diragukan lagi bahwa termasuk akhlaq seorang da’i yang obyektif, dalam kapasitasnya sebagai mu’allim murabbi hendaklah ia menisbatkan ilmu kepada yang memilikinya, dalam rangka:
  • Menolak dugaan kesombongan.
  • Mengembalikan keutamaan kepada pemiliknya.
  • Memberikan irsyad (bimbingan) kepada para da’i untuk kembali kepada sumber-sumber ilmu.
  • Al-wafa’ (kesetiaan) kepada ahlul ‘ilmi.
  • Tatsbitul haqq (mengokohkan kebenaran), dan
  • Menolak dan menghindari bahaya hasad (iri).
Dalam hal ini Al-Imam As-Suyuthi berkata:
“… Di antara keberkahan ilmu dan syukur kepadanya adalah menisbatkan ilmu kepada yang mengatakannya, demikianlah perkataan Al-Hafizh Abu Thahir As-Salafi … (kemudian Imam Suyuthi menukil perkataan Abu Ubaid yang mengatakan): Di antara bentuk menyukuri ilmu adalah engkau mengambil manfaat dari sesuatu, jika ada sesuatu disebutkan kepadamu engkau berkata: “Tidak jelas bagiku masalah ini dan ini, dan saya tidak memiliki pengetahuan dalam hal ini, sehingga si fulan memberikan faedah dalam hal ini begini dan begini” inilah bentuk mensyukuri ilmu … karena inilah engkau tidak melihat diriku menyebut sesuatu dalam tulisan-tulisan saya satu huruf pun kecuali dalam keadaan tersandarkan kepada yang mengatakannya dari para ulama’ dengan menjelaskan nama kitab yang menyebutkan hal itu …”.
(Al-Muzhir fi ‘ulumi al-lughah, karya As-Suyuthi, juz: 2 hal. 164)
Al-Imam Al-Fasi menukil sebagian kalam ini setelah memberikan prolog demikian:
“… Tidak tersamar lagi bahwa termasuk dalam al-madarik al-muhimmah fi bab ast-tashnif (pemahaman pentng dalam menulis kitab) adalah menisbatkan berbagai faedah dan masalah serta nukat (masalah penting yang tidak semua orang bisa melihat dan mengetahuinya) kepada para pemiliknya dalam rangka membebaskan diri dari mengakui sesuatu yang bukan miliknya dan dalam rangka menjauhkan diri dari labisi tsaubai az-zur (memakai dua baju kepalsuan) … inilah kaidah kami yang berhasil kami himpun …”.
(Qawa’id ast-tahdits, karya Al-Qasimi, hal. 40)
Kaidah atau akhlaq yang dulunya menjadi komitmen para ulama’ ini, sekarang mulai meredup, dan sudah menjadi semacam kebanggaan saat seseorang menyebutkan berbagai masalah indah tanpa menisbatkannya kepada para pemiliknya, atau sudah menjadi kepelitan dan kekikiran ilmiah kepada para pemiliknya, atau umumnya karena kebodohan terhadap kaidah ini. Karena inilah menjadi sebuah kemestian untuk mengingatkan hal ini sebagai salah satu akhlaq murabbi (dan naqib) saat ia menjalani al-‘amaliyah at-ta’limiyah (proses pengajaran), baik saat berbicara maupun saat berdiskusi, atau saat menulis dan mengarang buku.
***
Sebagaimana naqib berperan sebagai titik fokus dalam al-‘amaliyyah at-tarbawiyah, karenanya ia juga menjadi markazul ‘amaliyah at-ta’limiyah (pusat proses pengajaran) dalam jama’ah, yang berarti ia berperan sebagai mu’allim (guru) bagi orang lainnya, pada saat yang sama, ia adalah muta’allim (siswa) bagi orang lainnya, baik yang dimaksud dengan “orang lain” ini adalah orang-orang yang berada di dalam grup yang ia manaj, ataupun orang-orang yang berada di bawah ke-amir-annya, ataupun para ulama’, da’i dan fuqaha yang sama sekali tidak ada ikatan tanzhimi dengannya, bahkan sampai pun mereka mereka berasal dari luar jama’ah, dan “persiswaan” ini ada dalam salah satu cabang pengetahuan, atau salah satu bagian dari syari’ah, bahkan sampaipun hanya dalam satu masalah tertentu saja, mengingat bahwa ijtihad memang bisa juz’i. Intinya bahwa sang naqib atau murabbi belajar dalam satu bidang studi tertentu, atau salah satu ilmu dari orang-orang yang berada di bawah ke-amir-annya, dan tidak ada malu dalam ilmu dan semua dimudahkan kepada apa yang ia dicipta untuknya.
Di atas semua itu, sang naqib atau murabbi juga berkewajiban mencari pengetahuan dan mengambilnya, dari wadah yang manapun juga, selama ia telah terbekali dengan barometer-barometer yang cukup yang mampu mencegahnya dari penyimpangan pemikiran, atau inhiraf aqidi (penyimpangan aqidah), atau al-iltiwa’ al-haraki (pembelokan harakah). Bahkan, seorang naqib atau da’i yang sukses dan kokoh, dari sela-sela belajarnya, sekaligus ia bisa menjadi guru dan murabbi terhadap guru dan syekh-nya, atau teman-teman sebayanya, melalui:
  • Dialog konstruktif.
  • Dan diskusi yang sukses.
Bahkan ia dapat mempengaruhi melalui perilakunya yang “beda” dan akhlaqnya yang komplit.
Ditambah lagi bahwa proses belajar dari para masyayikh dan ulama’ di luar jama’ah akan membuka kesempatan kepada para da’i untuk berinteraksi dengan mereka, mengulas fikrah mereka, bahkan menarik simpati orang lain terhadap mereka, mempengaruhi mereka dan pandangan-pandangan mereka, dan otomatis juga mengambil manfaat dari majlis dan murid-murid mereka dalam hal penyebaran fiqih da’wah, publikasi pemikiran haraki, penyiapan perluasan dukungan publik kepada da’wah dan menarik simpati unsur-unsur yang mengarah ke sana.
Sesungguhnya, proses belajarnya sang naqib dan sebagian da’i kepada para masyayikh dan ulama’ sangatlah penting, bukan saja karena adanya:
  • Faedah-faedah ilmiah, dan
  • Interaksi dengan banyak orang, bahkan hal ini juga merupakan
Memberikan saving tenaga besar jamaah dalam proses ilmiah, sebab, biasanya, para masyayikh itu lebih banyak mempunyai waktu, terlebih lagi bahwa mereka lebih itqan terhadap sebagian ilmu, misalnya: tajwid, tafsir, fiqih, hadits dan ilmu-ilmu bahasa, yang bisa jadi itqan seperti itu tidak dimiliki oleh personel jama’ah, dan jika ada sebagian personel jama’ah yang menguasainya secara itqan, namun, kewajibannya yang sangat banyak akan menghalanginya untuk melakukan proses pengajaran.
Belajar kepada masyayikh di luar jama’ah juga akan berdampak kepada kasbuts-tsiqah (menggapai tsiqah) mereka secara pribadi dari satu sisi dan pada sisi lain, jama’ah juga akan mendapatkan shibghah ijtima’iyah yang akan mencegah terisolisirnya jama’ah serta menjauhnya masyarakat umum dari jama’ah.
Belajar kepada masyayikh di luar jama’ah juga berdampak kepada adanya dukungan para masyayikh dan ulama’ itu kepada jama’ah, bahkan bisa jadi mereka juga akan bergabung dengan jama’ah yang berarti akan semakin menambah kokohnya jama’ah itu, serta mampu menolak berbagai isyu dan syubhat, dan pada saat yang sama akan mencegah ekploitasi gerakan-gerakan bid’ah, dan tasawuf yang menyimpang, atau salafi yang berlebihan untuk kepentingan dan tujuan mereka yang bisa jadi tidak sesuai dengan tujuan-tujuan amal islami yang lurus.
***
Akan tetapi, di sini ada sejumlah adab yang menjadi kewajiban para da’i untuk komitmen dengannya saat ia duduk di hadapan orang-orang yang memberikan pengajaran kepadanya.
“… Hendaklah ia mengagungkan gurunya dan orang-orang yang ia mendengar darinya, sebab hal ini termasuk pengagungan terhadap ilmu dan sebab-sebab mendapatkan manfaat dari ilmu, hendaklah ia meyakini keagungan dan keunggulan gurunya, berusaha meraih ridhanya, dan janganlah berlama-lama dengannya yang sekiranya menjadikannya tidak enak hati. Hendaklah ia berkonsultasi dengannya dalam berbagai urusan dan kesibukannya dan bagaimana cara mengoptimalnya berbagai hal tadi. Dan jika ia mendengar satu hadits, hendaklah ia membertahukan orang lain, sebab, menyembunyikan hal itu adalah sifat tercela, yang tidak terjerumus kepadanya selain para penuntut ilmu yang bodoh, dan jika menyembunyikan ilmu dikhawatirkan menjadi ilmu yang tidak bermanfaat, sebab, termasuk keberkahan sebuah hadits adalah jika ia disampaikan kepada orang lain, dan mempublikasikannya adalah keberkahan. Dan berhati-hatilah jangan sampai rasa malu dan rasa besar menghalanginya untuk berupaya secara maksimal dalam belajar dan mengambil ilmu dari orang yang lebih rendah darinya, baik dalam hal nasab maupun usia maupun dalam hal lainnya. Hendaklah ia bersabar atas kekasaran urusan. Hendaklah ia memperhatikan yang penting dan janganlah menyia-nyiakan waktu dalam memperbanyak guru hanya sekedar memperbanyak saja…”.
(At-Taqrib, karya Imam An-Nawawi, silahkan periksa Tadrib Ar-Rawi fi Syarh Taqrib An-Nawawi juz: 2 hal. 145)
Demikian.
(Terjemahan Majalah Al-‘Ain, juz: 2, hal. 166- 172)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar