Selasa, 23 November 2010

Tarbiyah Mas’ul Dakwah dan Struktur Kepengurusan

Sesungguhnya dakwah memberikan perhatian khusus terhadap tarbiyah para mas’ul, mempersiapkan kemampuan dan kemahiran di bidang yang digelutinya, begitupula dengan persiapan tarbawi. Hal ini merupakan dasar yang akan membantunya dalam menjalankan tugas sesuai dengan kemampuannya.
Berikut beberapa sisi-sisi penting yang sangat diperhatikan dalam tarbiyah para mas’ul:
a. Yang berhubungan langsung dengan diri mas’ul
1. Rasa tanggung jawab yang tinggi seorang mas’ul di hadapan Allah Swt., dan ia akan memikul amanah tersebut di hadapan-Nya.
2. Selalu ikhlas dalam setiap amal, dan menghindari sifat-sifat ujub, angkuh, riya, sum’ah (ingin selalu dipuji), serta selalu berupaya merasakan bahwa ia sangat membutuhkan jamaah ini, dan bukan jamaah yang membutuhkannya.
3. Tidak tergantung dengan kedudukan, sama halnya ia dikedepankan atau dikebelakangkan, serta selalu menguatkan semangat jundiyah (militansi dan kepatuhan terhadap pemimpin).
4. Senantiasa memuhasabah dirinya, sebagaimana yang dilakukan oleh Umar bin Khattab –semoga Allah meridhainya-.
5. Hendaknya ia memiliki bekal khusus dari ibadah dan ketaatan, yang dengannya ia mendapatkan bekal ruhi, dan menjadikannya sebagai sarana untuk meminta taufik dari Allah, memperbanyak doa, meminta dan menyandarkan diri kepada Allah.
6. Dan hendaknya ia selalu memiliki kekuatan spiritual yang tinggi, semangat yang selalu membara, dan tekad yang kuat.
b. Yang berhubungan dengan tugasnya:
1. Kemurnian yang paripurna, yaitu dengan mengikat setiap anggota tarbiyah dengan jamaah, dan bukan dengan figuritasnya, serta tidak menghalangi siapa saja yang bersamanya dari anggota kelompok dan jamaah.
2. Amanah dalam pengiriman dan penyampaian
3. Mengembangakan potensi dan kemampuan diri, serta berupaya untuk mendapatkan beberapa keahlian yang dibutuhkan.
4. Lebih mengutamakan kerja, dan menjauhkan diri dari cara-cara yang gaduh dan suara yang tinggi, senantiasa tawakkal kepada Allah, mengutamakan hal-hal yang substabsial, sebagaimana lebih baik baginya memiliki buku tanpa judul dari pada memiliki judul tanpa buku.
5. Selalu menggunakan cara-cara musyawarah dan prosedural kerja.
6. Menerima nasehat dari siapapun
7. Memperhatikan adab-adab muhasabah dan evaluasi, dan hendaknya tegas dan mampu mengambil keputusan.
8. Hendaknya ia Menjadi teladan bagi siapa saja yang bersamanya dalam hal ketaatan, kedisiplinan dan dalam berbagai hal.
9. Mampu mengkondisikan suasana, serta menebar iklim kasih, persaudara dan saling memikul beban.
10. Menjaga keadilan dan kesamaan dalam hubungan sosialnya, mampu memperhitungkan dan memutuskan sesuatu secara tepat, serta bersandar pada kebenaran dan bukti.
11. Menerima masukan, permintaan dan evaluasi
c. Yang berhubungan dengan interaksinya dengan anggota tarbiyah
1. Lapang dada, berbaik sangka dan percaya terhadap ikhwah yang lain, karena mereka adalah turut berperan bersamanya untuk memikul tanggungjawab.
2. Memiliki kemahiran tarbiyah dalam menyampaikan taujih (pengarahan) dan materi-materi tarbiyah, karena ia bertanggungjawab terhadap mereka, mengembangkan potensi yang mereka miliki dan pendelegasian yang tepat.
3. Memiliki kemampuan untuk menguasai anggota, menghadapi problematika dan permasalahan-permasalahannya.
4. Mengenal karakter, tipikal dan kondisi setiap anggota
5. Mewujudkan makna-makna Ta’aruf, Tafahum, dan Takaful, dengan makna yang sempurna di antara anggota.
6. Tidak menyembunyikan ilmu, mentransfer pengalaman dan kemampuan kepada orang-orang yang bersamanya, serta bekerja keras dalam mewariskan dakwah dan pembentukan simpatisan dakwah.
7. Saling berhubungan dengan ikhwah yang lain, berinteraksi dengan mereka, dan berada di garda terdepan bersama mereka.
8. Menjaga hubungan dan komunikasi yang baik dengan orang yang lebih senior dan yang junior dari mereka.
Muwashafat tarbawiyah (karakteristik kader tarbiyah) ini tentunya tidak mungkin dilahirkan dalam waktu sehari-semalam, atau dengan mengadakan lompatan-lompatan tertentu, namun hal ini hanya bisa terwujud dengan ketekunan, latihan, dan pengarahan yang berkesinambungan. Kita tidak mengatakan bahwa seorang mas’ul dalam segala sisi telah memiliki dan menyempurnakan karakter-karakter ini, namun paling tidak ada standar minimal untuk kita memulai. Yang kemudian penyempurnaan, latihan dan peningkatan kualitas tarbiyah akan dilanjutkan dengan menggunakan sarana-sarana tarbiyah yang beraneka ragam, dengan tetap mengetahui bahwa jika seorang kader yang hendak diberikan tanggungjawab ternyata memiliki sebuah cela yang bisa merusak, maka kita harus berhenti sejenak sebelum memberikan tanggungjawab tersebut, dan kita tidak boleh meremehkan permasalahan itu, walaupun ia memiliki banyak karakter positif yang lain.
Diantara permasalahan-permasalahan tersebut adalah sebagai berikut: Lemahnya makna jundiyah (militansi dan ketaatan kepada qiyadah), lemahnya kedisiplinan terhadap jamaah dan condong kepada figuritas dan mengikuti pandangan individu dan nafsu, tidak memiliki loyalitas, bergantung dengan kedudukan dan posisi serta tidak siap untuk meninggalkannya jika diminta, keras hati dan kasar terhadap orang lain, bangga terhadap diri sendiri, tidak menerima kritikan dan masukan (terutama dalam hal penyimpangan finansial dan akhlak), dll.
Kepengurusan dalam dakwah kami, tidak terpisah dari tarbiyah dan pembinaan, karena keduanya adalah sebuah kemestian. Praktek kepengurusan pada dasarnya merupakan praktek nilai-nilai tarbiyah dan ia memiliki bentuk dan sarana yang beragam, ia tidak semata mengikuti sebuah manhaj studi atau gagasan yang disampaikan di pelatihan-pelatihan managerial, namun lebih kepada praktek, latihan, interaksi dan pelatihan anggota tarbiyah oleh mas’ul.
Adab-adab Islam, akhlak dan batasan-batasannya dalam hubungan dan interaksi langsung yang terjalin antara anggota tarbiyah dengan batasan-batasan kerja itu sendiri, merupakan asas tarbiyah dan mahhaj praktis yang akan mewujudkan tujuan-tujuan yang ingin dicapai.
Struktur kepengurusan di dalam jamaah pada dasarnya merupakan sebuah fase tarbiyah dimana ada saling keterkaitan dan kesatuan dalam menjalankan tanggungjawab, dan bukan struktur kelompok yang hanya melakukan kerja-kerja nisbi yang terpisah di beberapa sekat yang berbeda-beda. Struktur-struktur itu misalnya, serikat para pekerja, petani, kalangan profesional, pedagang, pegawai, ulama, atau persatuan para guru, pelajar dan kaum wanita. Dengan pelbagai jenjang tanggungjawab yang ada di internal struktur kepengurusan tersebut, justru mereka berada dalam satu barisan yang saling bertautan erat yang membentuk kesamaan tanggungjawab, baik melalui pemilihan atau penetapan dari anggota tanpa melihat sekat-sekat bidang di tempat mereka bekerja, lalu mereka menyelesaikan tugas dan kepentingan mereka secara kolektif.
Tidak mengapa jika struktur kepengurusan tersebut berupa kepanitiaan atau tim-tim khusus yang bekerja dan bergerak di masing-masing bidang dan divisi tertentu.
Terkadang, beberapa peristiwa menimbulkan gerakan tertentu terhadap jamaah, sementara ia belum memiliki kesiapan yang sempurna dengan kemampuan dan ketersediaan tenaga-tenaga ahli, baik kuantitas maupun kualitas yang mumpuni. Dalam kondisi seperti ini, dakwah tentu tidak bisa berdiri mematung hingga sempurna seluruh potensi dan kemampuan yang ada. Namun selayaknya pada waktu itu, ia berusaha menggali dan memusatkan perhatian untuk menyiapkan pembinaan-pembinaan tarbawi dan keahlian untuk para tokoh di dalam jamaah, dan hendaknya aktivitas dan peristiwa yang terjadi tidak menggangu proses pembinaan tarbawi dan pembinaan terhadap aset dan tokoh-tokoh jamaah. Hendaknya juga dilakukan upaya keras untuk mengobati titik-titik cela dan kelemahan yang ada. Proses penyiapan kader-kader handal yang memiliki kemampuan paripurna dalam pelbagai sisi baik tarbawi maupun keahlian tertentu merupakan proyek besar yang membutuhkan waktu yang relatif panjang.
Sesungguhnya pertolongan Allah akan datang setelah dikerahkannya seluruh kemampuan manusia secara optimal, dan menyandarkan seluruh urusan dan bertawakkal kepada-Nya.
Sesungguhnya kader-kader dakwah yang menonjol, tokoh-tokoh, dan kader-kader yang menjadi figur-figur politik dan sosial, sangat membutuhkan perhatian tarbawi dan evaluasi yang cermat dan terus-menerus, karena karakter gerakan dan aktivitas mereka, serta kantor-kantor tempat mereka bekerja akan menguras banyak waktu yang mereka miliki, dan hal itu sudah barang tentu memberikan dampak terhadap kondisi ruhi dan tarbiyah mereka.
Sebagaimana sorotan publik, pers, kemilau kedudukan, dan gema suara mikropon terkadang memberikan implikasi yang cukup besar terhadap jiwa dan memberikan pengaruh yang negatif, yang kemudian menyebabkan terjadinya fitnah dan penyimpangan, baik pikiran, kedisiplinan, loyalitas, ketaatan dan ruh militansi. Yang kemudian menyebabkan timbulnya sifat liar, takjub dengan pendapat sendiri, dan hanya loyal untuk kepentingan diri dan kemaslahatannya sendiri. Hal ini bahkan sampai pada penolakan terhadap taujih (seruan atau himbauan jamaah) dan pelanggaran terhadap rukun-rukun bai’at, baik sebagian maupun seluruhnya.
Untuk itu, kami menegaskan tentang pentingnya persiapan tarbiyah yang baik dan berkualitas terhadap figur-figur kader yang menonjol dan tokoh-tokoh dakwah yang beraktivitas sebelum diterjunkan ke pelbagai lapangan, memberikan imunitas kepada mereka dari fitnah dan penyimpangan, serta melanjutkan pembinaan tarbawi secara terus menerus dan berkesinambungan, dan senantiasa menerapkan budaya musarahah (berterus terang) dan taujih-taujih tarbawi, serta memberikan perhatian yang besar terhadap bentuk-bentuk penyimpangan sejak mula, walaupun sesuatu yang kecil dan sederhana, dan hendaknya jamaah selalu tegas dan disiplin dalam menerapkan hal ini.
Tentang Realitas Kader Dakwah
• Tidak berarti dengan tingginya manhaj dan nilai-nilai tarbiyah, maka setiap individu kader dakwah menjadi malaikat sepanjang siang dan malam, namun mereka justru tetap menjadi bagian dari komunitas masyarakat yang menerima seruan dakwah dan bersemayamnya iman di hati-hati mereka, yang memikul beban dakwah, dan di waktu yang sama mereka juga memperbaiki dirinya sendiri, ‘Perbaiki dirimu dan berdakwahlah kepada orang lain’.
Mereka tidak melakukan dosa besar dan tidak melakukan maksiat secara terang-terangan. Walaupun mereka mampu melakukan maksiat, namun mereka segera menyesali perbuatannya dan bertobat kepada Allah, dan tidak ada yang tersisa di barisan mereka orang-orang yang kehilangan orientasi dan keinginan.
Imam Syahid berkata, “Kami sesungguhnya tidak berputus asa dengan diri kami.”
Beliau juga menasehatkan, “Agar kami senantiasa mengukur kadar diri kami apa adanya.”
Di dalam buku “Memoar Imam Syahid Hasan Al Banna, beliau menyampaikan nasehat yang diberikan oleh Syaikh Muhsin Sa’id Al Urfy, salang seorang ulama dari Suriah. Saat itu bertepatan dengan acara peresmian Ma’had Hurra Al Islamy di Ismailiyah pada era pertama dakwah. Beliau selalu mengatakan kepada saya, “Dengarlah baik-baik, janganlah engkau merasa resah dengan bergabungnya kedalam dakwah orang-orang yang banyak melakukan kekurangan dalam ketaatan dan melakukan kemaksiatan, selama masih takut kepada Allah, menghormati undang-undang, dan berusaha melakukan ketaatan dengan baik, karena mereka akan bertobat dalam waktu dekat. Sesungguhnya bahtera dakwah ini laksana rumah sakit yang di dalamnya terdapat dokter yang memberikan obat dan pasien yang membutuhkan pengobatan, maka janganlah anda tutup pintu dakwah di hadapan wajah mereka.
Namun hendaknya engkau waspada dengan dua kelompok dengan kewaspadaan yang tinggi, dan jangan sekali-kali mengikutkan mereka dalam gerbong dakwah; pertama adalah mulhid (atheis), yaitu orang yang tidak memiliki keyakinan agama, walaupun mereka tampak seperti orang-orang yang baik. Karena ia tidak mempunyai harapan lagi untuk diperbaiki, dan ia sangat jauh dari kalian dengan dasar ideologi, sampai ia benar-benar bertobat dan kembali kepada agama. Yang kedua, yaitu orang baik yang tidak menghormati undang-undang dan peraturan serta tidak mengenal makna ketaatan. Tipikal seperti ini bisa bermanfaat untuk dirinya sendiri dan menghasilkan kerja, namun ia akan merusak kekokohan jamaah. Ia akan mendekati jamaah untuk kepentingan pribadinya dan akan meninggalkannya jika berbeda. Andai engkau bisa mengambil manfaat darinya sementara ia jauh dari shaf jamaah, maka lakukanlah. Namun jika tidak, maka ia akan merusak dan menggoyahkan barisan dakwah.”
• Begitupula dari tipikal kelompok orang-orang yang suka menyebar fitnah dan menyimpan ambisi-ambisinya. Berkata Syaikh Hamid Askariyah –semoga Allah merahmatinya-, beliau adalah salah satu generasi pertama yang mendirikan jamaah dakwah ini bersama dengan Imam Syahid. Ketika dakwah berhadapan dengan sekelompok orang yang keluar dari jamaah, dan melakukan fitnah, beliau memberikan nasehat kepada Imam Syahid, “Mereka tidak memiliki kebaikan sedikitpun, mereka telah kehilangan kesadaran terhadap keagungan dakwah ini, mereka telah kehilangan ketaatan terhadap qiyadah (pemimpin), sesungguhnya mereka tidak memberikan kebaikan apapun terhadap barisan dakwah kita, maka hati-hatilah terhadap mereka dan teruslah berjalan di atas jalanmu, dan kepada Allah tempat meminta pertolongan.”
• Beliau juga menjelaskan tentang tidak terwujudnya manhaj dakwah secara sempurna di beberapa personal, “Sekelompok manusia memvonis kalian terhadap dakwah yang kalian serukan, bahwa kalian tidak menerapkan manhaj dakwah secara sempurna di dalam diri kalian. Saya membenarkan pendapat ini, karena harus diakui kita masih lemah dalam mewujudkan manhaj dakwah secara sempurna di dalam diri kita, dan sayapun tidak akan beralasan bahwa sebenarnya kelemahan ini lebih banyak disebabkan oleh kondisi dibanding oleh disebabkan oleh pelaku dakwah. Karena hal ini lebih menjadi otokritik agar kita berupaya untuk mewujudkan kesempurnaan, dan tidak maksudkan untuk membela kelemahan. Namun saya ingin menegaskan tentang perbedaan antara Ikhwan dengan komunitas lain adalah dalam hal; bahwa Ikhwan merasakan kekurangan ini dan mengakuinya, sementara orang lain akan menggunakan alasan dan bersembunyi di balik keindahan kata-kata. Ikhwan dengan pengakuan ini, akan terus berjalan untuk melakukan penyempurnaan hingga mereka mendapatkan bagian yang telah ditetapkan Allah untuk mereka.”
• Imam Syahid juga menolak orang-orang yang malas dan orang yang banyak bertanya dengan mengatakan, “Maka dimanakah jamaah itu sebenarnya? Apa yang telah aku berikan untuk jamaah? Beliau mengatakan, “Demikianlah orang banyak tertipu dalam memahami hakikat jamaah dan individu. Mereka mengira bahwa jamaah itu sesuatu sedangkan individu adalah sesuatu yang lain. Padahal jamaah itu, tiada lain adalah kumpulan dari individu-individu, dan individu-individu itu adalah komponen bangunan jamaah itu sendiri. Apabila komponen-komponen itu bercerai-berai dan setiap mereka bertanya dengan pertanyaan, “lalu dimanakah jamaah itu? Siapa yang bertanya dan siapa yang ditanya? Kita sering memahami hal ini secara keliru, disebabkan oleh kebiasaan kita bersikap kurang bertanggungjawab; kita sering melimpahkan beban tanggung jawab hanya pada pundak seseorang. Berikutnya lahirnya sifat masa bodoh, tidak tahan uji menghadapi keadaan, dan tidak kunjung melangkah lebih maju.
Untuk itu, maka saya ingin berseru kepada putra-putri Islam yang memiliki semangat bahwa sesungguhnya seluruh jamaah Islam di masa kini sangat membutuhkan munculnya pribadi aktivis sekaligus pemikir dan anasir produktivitas yang pemberani. Maka haramlah hukumnya bagi orang semacam ini untuk tertinggal dari kafilah dakwah, meskipun sesaat.”
“Tidakkah seorang Al Akh memahami bahwa sesungguhnya jamaah adalah tempat individu-individu berkumpul.”
• Setiap individu dalam shaf dakwah tidak diproduksi dalam satu cetakan, atau dalam satu naskah yang digandakan, namun di sana terdapat perbedaan manusiawi, baik dalam kemampuan maupun karakter. Walaupun dakwah telah menetapkan standar minimal dan dasar yang sama, namun tentu dakwah harus beradaptasi dengan perbedaan-perbedaan ini, mengendalikannya dengan segenap kendala yang ada, mengarahkannya untuk beraktivitas dan memperbaiki apa saja yang bisa diperbaiki. Jamaah dakwah menerima setiap individu dengan segala kondisi yang ada, kemudian ia akan tumbuh bersama mereka dan memberikan apa saja yang mereka butuhkan. Pluralitas dan keberagaman yang menjadi karakter setiap individu ini merupakan hal yang positif, ia akan menjadi aset dan modal bagi jamaah untuk belajar mengendalikannya dan memberikan peran yang tepat.
• Pembentukan ini diupayakan agar tidak menghasilkan model produk yang teoritis dan filosofis semata, tapi lebih bertujuan menghasilkan kepribadian yang aktif dan produktif, dan ini adalah manhaj yang membedakan antara khayalan, slogan dan ucapan dengan kesungguhan amal, dan jihad yang bijaksana.
“Sesungguhnya seseorang yang berbicara itu berbeda dengan orang yang beramal, dan orang yang beramal berbeda dengan orang yang berjihad, dan orang yang berjihad berbeda dengan orang yang berjihad dengan bijak yang produktif menghasilkan keuntungan besar dengan pengorbanan yang sedikit.”
• Bahwa dakwah juga tidak membiarkan seseorang mengembangkan manhaj individual yang bersemangat tapi tidak terkontrol dan terarah. Imam Syahid berkata, “Kekanglah rasa ketergesaan kalian dengan pandangan dan pemikiran yang jernih, dan terangilah kecemerlangan akal pikiran dengan gelora perasaan yang mengharu biru penuh semangat. Beranganlah dengan kejujuran hakikat dan kenyataan, dan singkaplah hakikat itu dengan benderangnya angan yang rasional nan cemerlang.”
• Imam Syahid berkata, “Sebagian orang mengatakan bahwa kalian adalah orang-orang yang tenang dan tidak agresif, orang lamban di era yang serba cepat, mereka mengklaim kalian dengan mengatakan bahwa kalian loyo dan lemah dalam semangat. Maka ingatkanlah mereka dengan satu kalimat yang mengatakan, “Berapa banyak ketergesa-gesaan yang justru menghambat jalan.”
Allah Swt. ketika mengajarkan metode penyampaian dakwah kepada nabi-Nya, berfirman:
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik”. (An-Nahl: 125)
Allah Swt. tidak mengatakan untuk berdakwah dengan tergesa-gesa, kasar dan keras, dan itu adalah perintah Allah yang diturunkan kepada kalian. Dan hendaklah kalian memahami bahwa jika Ikhwan mengetahui bahwa ketergesa-gesaan akan memberikan keberhasilan dengan persentase 99%, dan kebijaksanaan akan memberikan persentase keberhasilan 100%, maka mereka akan memilih untuk mengambil langkah perlahan yang bijak demi mewujudkan kesuksesan yang sempurna.
Dan hal ini adalah ijtihad mereka. Namun mereka berpandangan bahwa jika datang waktu untuk melakukan penyegeraan, sementara mereka mengetahui bahwa kelambatan dan ketenangan justru akan menghambat kemajuan mereka, atau akan merenggut kemenangan mereka, maka pada saat itu mereka tahu apa yang harus dilakukan untuk menambah bekal dakwah dan bagaimana mewujudkan kematian yang mulia dalam mencapai tujuan yang agung.
فَاصْبِرْ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ وَلَا يَسْتَخِفَّنَّكَ الَّذِينَ لَا يُوقِنُونَ
“Dan Bersabarlah kamu, Sesungguhnya janji Allah adalah benar dan sekali-kali janganlah orang-orang yang tidak meyakini (kebenaran ayat-ayat Allah) itu menggelisahkan kamu”. (Rum: 60)
• Manhaj Tarbiyah sangat memperhatikan terwujudnya kebersihan hati, pikiran, keikhlasan, dan kemurniaan diri untuk dakwah. Imam Syahid berkata dalam wasiatnya kepada Ikhwan:
“Jika saya khususkan apa yang hendak saya sampaikan kepada kalian dalam kesempata ini, maka hendaknya syiar kita adalah kebersihan; baik jiwa, pikiran, lisan, dalam berjalan, pakaian, badan, makanan, minuman, penampilan, tempat tinggal, interaksi, dalam perjalanan, perkataan dan perbuatan.”
Dan diantara wasiat Rasulullah Saw. kepada umatnya adalah:
Senantiasalah bersih hingga kalian tampak seperti tahi lalat di antara bangsa-bangsa.”
Begitu indah dan tingginya bahwa ajaran fiqih yang pertama dalam ibadah kita adalah Thaharah (kebersihan). Dalam sebuah hadits yang shahih disebutkan:
مِفْتَاحُ الْجَنَّةِ الصَّلَاةُ وَمِفْتَاحُ الصَّلَاةِ الطُّهُورُ
“Kunci surga adalah shalat, dan kunci shalat adalah thaharah.” (Ahmad)
Maha benar Allah yang berfirman:
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri“. (Al baqarah:222)
• Imam Syahid menekankan tentang urgensi keimanan dan ketakwaan, serta bagaimana cara untuk mewujudkannya. Beliau berkata di dalam Risalah Ta’alim, “Dan hendaklah engkau menempuh perjalan menuju Allah dengan penuh semangat dan keinginan.”
“Hendaklah engkau senantiasa merasa diawasi oleh Allah, mengingat akhirat, dan bersiap-siap untuk menjemputnya, mengambil jalan pintas untuk menuju ridha Allah dengan tekad yang kuat, mendekatkan diri kepada-Nya dengan ibadah sunah, seperti shalat malam, puasa tiga hari –minimal- setiap bulan, memperbanyak zikir hati dan lisan, dan berusaha mengamalkan doa yang diajarkan pada setiap kesempatan.”
Imam Syahid juga mewasiatkan kepada para aktivis dakwah untuk melakukan muhasaban rutin setiap hari dan setiap pekan. Hal ini dimaksudkan agar kita terbiasa melakukan evaluasi diri dan pembaharuan niat yang baik serta taubat yang benar dari segala bentuk kemaksiatan, dan agar kita dapat mengetahui permasalahan dengan cepat.
Pentingnya Refleksi Nilai-nilai Tarbiyah
• Dalam proses tarbiyah sangat dibutuhkan perhatian yang besar terhadap refleksi nilai-nilai ibadah, ketaatan, dan sarana-saran yang beragam untuk tarbiyah, serta penjelasan tentang pengaruh-pengaruh konkretnya terhadap individu peserta tarbiyah, yang tidak berdasarkan jumlah yang dihasilkan semata.
• Hakikat dari refleksi nilai-nilai tarbiyah tentunya tidak akan tampak kecuali pada saat-saat sempit dan tertekan yang dialami oleh masing-masing individu. Maka melalui kondisi-kondisi tersebut akan tampak hakikat perubahan yang terjadi. Adapun pada kondisi-kondisi biasa dan tenang, maka tidak menjadi standar dan tidak menjadi ujian terhadap kekokohan tarbiyah seseorang.
• Proses evaluasi dan perbaikan harus dilakukan dengan berinteraksi langsung dalam setiap kondisi, dan bersandar pada kejelasan, keterbukaan, keterus-terangan dan apa adanya, dan harus dilakukan melalui pencermatan yang teliti, dan tidak berdasarkan pada isu-isu yang tersebar, perkataan dan perkiraan, serta hendaknya memperhatikan kondisi-kondisi tertentu masing-masing individu. Tujuannya tidak untuk klasifikasi dan melemahkan, namun untuk proses peningkatan kualitas tarbiyah setiap kader di segala aspek, serta untuk menutupi celah-celah kerusakan dan kelemahannya.
• Proses evaluasi tarbiyah atau pembersihan hati ini merupakan hal yang tetap dan akan terus berlangsung, yang tidak berhenti pada suatu jenjang atau fase tertentu. Maka perubahan akan terus terjadi pada setiap individu di setiap waktu, dan pencapaiannya terhadap satu sifat tertentu, terkadang tidak berlangsung lama, karena sewaktu-waktu ia akan dihinggapi oleh kelemahan dan permasalahan, dengan demikian hal ini menegaskan kepada kita tentang urgensi dilakukannya evaluasi dan penyegaran, baik di jenjang individu peserta tarbiyah maupun mas’ul.
• Terkadang kelemahan refleksi tarbiyah pada diri seseorang disebabkan oleh beberapa sebab umum maupun khusus; yang hal ini menuntut sebuah pencermatan yang serius, dan upaya yang keras, serta usaha untuk menghilangkan kendala-kendalanya.
Diantara sebab-sebab umum adalah:
• Rusaknya iklim untuk mengoptimalkan fungsi sarana-sarana tarbiyah, lemahnya hubungan antara sesama peserta tarbiyah, dan sesama murabbi dan mas’ul.
• Tidak memahami dan menguasai sarana-sarana tarbiyah yang beraneka ragam dengan pemahaman yang benar, baik murabbi atau individu-individu yang melaksanakannya, yang kemudian mengakibatkan terjadinya kerusakan dalam penerapannya.
• Lemahnya kualitas tarbiyah murrabi dan kepiawaian mereka dalam menggunakan sarana-sarana tarbiyah yang beraneka beragam, dan keterbatasan kemampuan pada jumlah sarana tarbiyah yang sangat sedikit. Pengalaman dan keahlian dalam menggunakan sarana-sarana tarbiyah diwariskan melalui interaksi langsung dari satu jenjang ke jenjang yang lain, dan tidak melalui penjelasan-penjelasan teoritis.
• Kurang optimalnya dorongan pada setiap peserta tarbiyah untuk berinteraksi langsung dengan sarana-sarana tarbiyah tersebut, mengevalusi dan mengawasi pengaruhnya terhadap diri mereka.
• Hilangnya naluri tarbiyah dari setiap peserta tarbiyah, dan tidak jelasnya manhaj tarbiyah yang mereka miliki.
• Tidak ada evaluasi dari murabbi terhadap refleksi dan pengaruh instrumen tarbiyah pada masing-masing peserta tarbiyah, dan tidak adanya teguran kepada mereka ketika terjadi kelemahan dan permasalahan.
• Lemah atau hilangnya kekuatan spirit dan semangat yang tinggi, yang bermula dari mas’ul kemudian berpindah ke peserta tarbiyah.
• Banyak dan melimpahnya tugas dan kewajiban tanpa keteraturan (analisa beban dan pendelegasian tugas), yang menyebabkan kemalasan dan terbebani.
• Sedikitnya zikir dan doa kepada Allah, baik skala personal maupun kolektif (jamaah).
• Kerasnya hati, serta dominasi dosa dan maksiat.
Selain itu terdapat permasalahan-permasalahan khusus yang berkaitan dengan individu-individu tertentu, baik masalah finansial, sosial, pekerjaan (profesi), atau penyimpangan dalam pikiran dan prilaku.
Untuk mengatasi hal ini, diperlukan evaluasi yang cermat terhadap setiap individu kader dan melakukan upaya penyembuhan yang cocok untuk itu, dengan tetap memahami bahwa proses penyembuhan hati bukan permasalahan yang mudah.
Istighfar, doa, zikir, memperbanyak ikatan dengan Al Quran, shalat malam dan sedekah adalah ibadah yang dapat membersihkan dan menyucikan hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar