Minggu, 05 September 2010

Tafsir Al-Baqarah ayat 183 : Aspek-Aspek Ruhaniyyah dari Puasa

Oleh : Abu AbduLLAH
“Hai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al Baqarah, 2:183)

“Wahai orang-orang yang beriman…” : Kata ini bermakna takhshish (pengkhususan) dari Sang Maha Pencipta langit dan bumi kepada sedikit di antara makhluk-NYA yang dicintai-NYA. Maka panggilan itupun begitu lembut dan penuh kasih, dengan menyebutkan aspek kedekatan dan keakraban-NYA dengan kelompok tersebut. “Wahai orang-orang yang telah beriman…” Pantaslah bahwa diriwayatkan jika para sahabat RA ketika mereka sedang berbicara atau melakukan suatu kegiatan jika mereka mendengar kata “wahai orang-orang yang telah beriman…” maka mereka seketika terdiam dengan khusyu’ mendengarkan apa kelanjutan firman-NYA, jika mereka telah melaksanakan perintah tersebut maka mereka bersyukur dan jika belum maka mereka berusaha untuk segera melaksanakannya.
“telah diwajibkan atasmu berpuasa” : Kata “kutiba” bermakna “furidha ‘alaykum” (telah diwajibkan atas kalian semua yang telah beriman) untuk berpuasa. Kewajiban tersebut dijelaskan oleh ayat ini dan juga oleh beberapa hadits shahih, di antaranya yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar ra : “Islam itu dibangun atas 5 hal, bersaksi bahwa tiada Ilah kecuali ALLAH, menegakkan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan dan berhaji ke BaituLLAH jika memiliki kemampuan.” Demikian pula bahwa para ulama salaf (terdahulu) dan khalaf (kontemporer) yang shalih telah ijma’ (bersepakat) tentang wajibnya puasa Ramadhan, sehingga jika ada yang menyatakan bahwa puasa Ramadhan tidak wajib maka perkatannya itu tertolak.
“sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian” : Puasa adalah juga merupakan syariat para nabi-nabi sebelum Muhammad SAW dan iapun juga merupakan syariat orang-orang shalih dimasa terdahulu. Puasa mereka semua adalah jauh lebih berat dari puasa kita (ummat Muhammad SAW). Lihatlah bagaimana puasa nabi yang shalih Zakariyya AS yang selain tidak makan dan minum juga TIDAK BOLEH BERBICARA (QS. Maryam, 19:10) kecuali hanya boleh memberikan isyarat saja (QS Ali Imran, 3:41), demikian pula Maryam AS yang sezaman dengannya (QS Maryam, 19:26). ALLAH SWT pun menjelaskan kepada kita tentang puasanya Thaluth AS yang hanya dibolehkan berbuka hanya dengan seteguk air saja dan tidak boleh lebih (QS al-Baqarah, 2:249). Atau juga puasa nabi Daud AS yang disebut sebagai sebaik-baik puasa oleh nabi Muhammad SAW, yaitu sehari puasa dan sehari berbuka seumur hidupnya.
“mudah-mudahan kalian menjadi orang yang bertaqwa” : Puasa yang ikhlas dan benar akan mengantarkan pelakunya kepada sifat taqwa. Tidaklah setiap amal dalam Islam kecuali memiliki faidah kepada yang melakukannya, tentang shalat ALLAH SWT menyebutkan bahwa ia dapat mencegah pelakunya dari perbuatan yang keji dan munkar (QS al-Ankabut, 29:45), tentang zakat ALLAH SWT menyebutkannya sebagai untuk membersihkan (harta) dan mensucikan (hati) mereka (QS at-Taubah, 9:103), dst. Taqwa bukanlah sebuah perhentian tapi ia adalah sebuah proses yang tidak akan pernah berhenti sampai kita menghadap ALLAH SWT, hal ini digambarkan dalam hiwar (diskusi) antara 2 orang sahabat mulia yaitu Umar bin Khattab ra dan Ubay bin Ka’ab ra, kata Umar ra : “Wahai Ubay apakah taqwa itu menurutmu?” Jawab Ubay ra : “Wahai Amirul Mu’minin pernahkah anda melalui suatu jalan yang penuh dengan duri?” Maka jawab Umar ra : “Pernah.” Kata Ubay ra : “Lalu apa yang anda lakukan ketika itu?” Jawab Umar ra : “Aku bersungguh-sungguh dan berhati-hati (IJTAHADTU WA SYAMMARTU).” Maka kata Ubay ra : “Itulah yang disebut taqwa.”
Puasa sempurna adalah puasa orang-orang yang shalih, yaitu dengan melakukan :
1. Menahan pandangan dan menjaganya dari sembarangan memandang hal yang dilarang, dan dari segala sesuatu yang melalaikan hati dari dzikrullah. Hadits:
“Sekali memandang itu adalah satu anak panah dari anak-anak panah Iblis, maka barangsiapa yang meninggalkannya karena takut kepada Allah, maka Allah akan memberinya manisnya keimanan yang dapat ia rasakan dalam hatinya.” (HR al-Hakim dan shahih isnad-nya).
2. Menjaga lidah dari berkata kotor, berdusta, menggunjing, mengadu domba, berkata keji, menyindir, marah, bergurau yang mengandung dosa dan memperbanyak diam serta menyibukkannya dengan dzikrullah dan membaca al-Qur’an. Hadits :
“Puasa itu benteng, maka jika salah seorang diantaramu berpuasa janganlah ia berkata kotor atau menipu dan jika ada yang mengajaknya berkelahi atau mencacinya, maka katakanlah : Saya sedang berpuasa! Saya sedang berpuasa!” (HR Bukhari dan Muslim).
3. Menjaga pendengaran dari segala sesuatu yang dilarang, karena segala sesuatu yang dilarang mengucapkannya maka dilarang pula mendengarkan-nya. Karena itulah Allah SWT menyamakan antara mendengarkan berita bohong (pekerjaan telinga) dengan memakan harta yang haram (pekerjaan mulut) dalam firman-Nya :
“Mereka itu suka mendengarkan berita bohong dan memakan harta yang haram…” (QS 5/42).
4. Menahan semua anggota badan dari dosa, baik tangan, kaki, perut, dari segala yang syubhat apalagi yang haram. Karena tiada artinya berpuasa dari makanan yang halal kemudian berbuka dengan yang syubhat apalagi yang haram. Makanan yang haram itu merusak agama seseorang, sementara makanan yang halal memberikan manfaat tetapi juga ada bahayanya, maka diperintahkan untuk berpuasa. Hadits nabi SAW :
“Berapa banyak orang yang berpuasa, tetapi tiada mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali sekadar lapar dan haus.” (HR an-Nasa’I dan Ibnu Majah).
5. Agar tidak makan berlebihan pada saat berbuka, karena ruh dari puasa serta rahasianya adalah melemahkan kekuatan syetan yang mengarahkannya kepada keburukan. Dan tidak akan tercapai hal tersebut kecuali dengan menyedikitkan memakan makanan yang biasa dimakannya saat tidak berpuasa. Termasuk juga menyedikitkan tidur siang supaya fisik benar-benar merasakan dampak puasa tersebut (lapar, haus, lemah) sehingga akan melembutkan juga hati kita.
6. Agar hati kita pada saat berbuka berada dalam kondisi antara harap dan takut, demikian pula pada saat selesai melakukan ibadah di bulan ini. Hadits nabi SAW :
“Jika seorang mu’min mengetahui hukuman yang disediakan Allah SWT, maka mereka takkan sempat mengharapkan jannah. Dan seandainya seorang kafir mengetahui ampunan yang disediakan Allah SWT, maka mereka takkan putus asa atas rahmat dan ampunan Allah SWT.” (HR Muslim).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar